Indra duduk termenung di dekat nisan setelah membaca doa dan ayat suci untuk Ibunya. Ibu yang tidak lagi bisa merespon kala ada keluh kesah dan sesak di dada. Angin yang berhembus pelan, membawa pergi debu, kuntum dan daun kering.
Indra berharap angin itu bisa membawa kebimbangan dan kegelisahannya. Setelah Gaska bercerita panjang lebar, dia merasa sesak di dalam rumah. Tadinya dia ingin ke kafe tapi sekelebat bayangan ibunya membuat Indra terus memacu motornya ke persemayaman terakhir beliau.
Memikirkan semua kemungkinan yang akan terjadi, yang belum tentu akan terjadi di masa depan membuat Indra penat. Dia telah berusaha mencari kebenaran dan mendapati kenyataan yang tidak menyenangkan. Bahkan fakta bahwa dia sekarang jadi jutawan tidak benar-benar membuatnya bahagia. Dirinya juga tidak kegirangan ketika mendengar Surya menderita karena mamanya. Besok, dia akan menemui ayah mereka.
Indra tidak yakin dia ingin mendengar hal lain dari mulut pria itu.
Dia terus duduk termenung tanpa berkata hingga sore terbenam dan panggilan ibadah bersahut-sahutan terdengar di udara, di antara klakson dan deru kendaraan jalanan.
"Aku pergi dulu, Bu," pamitnya dengan suara lirih.
Indra menyucikan diri sebelum beribadah dengan jamaah yang lain. Dia melanjutkan membaca kitab suci yang tersedia. Berangsur-angsur, pikiran Indra kembali jernih dan tenang. Meski saat ini dia belum memutuskan apa yang akan dilakukannya nanti, dia yakin kalau jawabannya akan datang pada waktu yang tepat.
Dengan keyakinan itu, Indra mengucap syukur pada Tuhan YME yang telah memberinya ibu yang lebih baik daripada mamanya Surya dan Gaska.
Saat panggilan ibadah malam dikumandangkan, Indra bersiap untuk beribadah lagi bersama jamaah lain.
. . .
Paginya, Indra membuat sarapan dan masak seperti biasa setelah memastikan Surya akan bersekolah. Dia belum terpikir untuk mengajak Surya berbicara dalam waktu dekat terkait orangtua mereka. Indra ingin menata hati dulu, dan agak aneh baginya tiba-tiba menjadi kakak dari majikan yang baru ditemuinya sebulan terakhir.
Benar, sudah hampir sebulan dia tinggal di rumah itu. Indra tidak yakin apakah dia masih akan mendapat bayaran sebagai ART sekarang setelah identitasnya terkuak.
Bzzzz...
Ponsel Indra yang biasanya masih di kamar, kini ada di meja di dapur. Setelah membersihkan tangan, Indra memeriksa isinya. Ada pesan singkat dari ayahnya Surya.
-Nanti kamu mau dijemput jam berapa, Nak?-
Indra membalas, -langsung ketemu di bank jam 9-
Saat Indra pikir akan langsung dibalas, ternyata ada jeda waktu cukup lama sebelum balasannya sampai.
-Baiklah, Nak.-
Ponselnya masuk kantong setelah pesan balasan tadi. Indra ingin fokus pada pekerjaannya. Kali ini dia membuat sayur lodeh dan tahu tempe goreng. Masih ada cukup waktu untuk bersiap-siap dan berangkat.
Indra sedang berjalan ke arah ruang laundry saat dia berpapasan dengan Gaska yang sudah rapi dengan kemeja biru muda dan celana jeans. Seperti pagi-pagi sebelumnya, rambut Gaska diarahkan ke belakang sehingga dia tampak sangat serius dan lumayan galak.
"Kamu nanti kerja ke kafe?" Gaska yang kelihatan galak itu pasang tampang melas sehingga hilang galaknya.
"Iya, ada apa?" Indra menjawab asal-asalan sambil terus berjalan.
"Nanti pulangnya tunggu aku, ya. Berangkat jalan kaki aja, 'kan dekat. Atau kalau mau naik ojol juga boleh. Pokoknya nanti aku jemput."
Indra yang tidak tahu harus merespon bagaimana selain berteriak ogah dan emoh karena Gaska tidak akan menggubrisnya. Dia bahkan tidak punya pilihan untuk berkata tidak.
"Sudah, kalau mau berangkat kerja, berangkat aja. Nggak usah bingung nanti aku berangkatnya gimana."
Indra sudah berbalik ketika Gaska tiba-tiba memeluknya dari belakang.
"Apa aku libur sehari lagi, ya..." Gumam Gaska terdengar jelas di telinga Indra.
Indra berpikir kalau sebenarnya lebih menguntungkan jika Gaska bersamanya ke bank. Selain sebagai teman di jalan, Indra tidak ingin sendirian bersama ayahnya Surya. Hanya saja sikap Gaska yang sulit ditebak membuatnya was-was, Indra mau urusan hari ini selesai tanpa masalah.
Untuk menenangkan Gaska, Indra menepuk pipinya pelan. "Sebentar lagi aku gajian, kamu kerja yang giat biar bisa bayar tepat waktu, oke?"
"Eh?! Tapi kan duitmu sudah banyak sekarang!" Protes Gaska, dengan manja dia malah bergelayutan di pundak Indra.
"Apa hubungannya? Aku juga nggak mau pacaran sama orang yang nggak punya duit," balas Indra tegas. Rasa malunya datang terlambat setelah kalimatnya selesai dan Gaska tidak membalas kata-katanya untuk beberapa waktu.
"Lepas, aku mau setrika," Indra mengalihkan topik dan berusaha kabur.
Pegangan Gaska malah semakin erat dan tidak membiarkan Indra beranjak selangkahpun. Mumpung kesabarannya masih ada, Indra berbalik menghadap Gaska lalu dengan sukarela, mengecup pipi kanan pria yang lebih tinggi darinya itu.
"Iya, nanti aku tunggu sampai kamu datang. Sekarang lepas dulu, oke? Aku mau setrika..." Indra gantian mengecup pipi kirinya dan langsung beranjak saat pegangan Gaska mengendor.
Gaska berdiri diam untuk beberapa saat sambil memegang kedua pipinya. Dia hampir tidak percaya Indra akan melakukan hal seperti itu. Semalaman dia sangat khawatir sampai tidak bisa tidur memikirkan perasaan Indra yang pasti sangat terluka dan terkejut. Belum lagi sore itu Indra keluar rumah cukup lama dan baru pulang menjelang tengah malam. Gaska ingin membiarkan Indra menata hati beberapa hari tapi dia tidak tahan untuk tidak mendekati Indra.
Gaska ingin melakukan banyak hal untuk menghibur Indra. Dirinya ingin melakukan banyak hal untuk membuat Indra bahagia.
. . .
Gaska yang berangkat kerja dengan semangat dan hati bahagia, membuat Indra lega. Semakin mendekati waktu janjian, hatinya makin berdebar tidak karuan. Berkali-kali dia memeriksa tas dan memastikan sudah membawa identitas dan dokumen yang mungkin akan diperlukan. Indra juga memutuskan menggunakan jasa ojol agar sampai dengan selamat.
"Mas, sudah sampai," driver ojolnya berhenti di tempat aman terdekat.
Indra memberi sedikit lebih dari tarif perjalanan. Saat kakinya mulai melangkah mendekati bank, hati Indra berdegup lagi.
"Mas, helm'nya, mas...!" Panggil pak driver ojol setengah berteriak.
Indra yang langsung berhenti karena malu dan kaget, mengembalikan helm yang dipakainya sambil meminta maaf. Rasa malunya bertahan sampai dia masuk ke dalam bank.
"Selamat Pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya security yang membantu membukakan pintu utama.
Pikiran Indra kembali kosong. "Saya ada janji sama seseorang," jawabnya spontan. Sejenak kemudian terpikir olehnya bahwa orang mungkin tidak biasa bertemu di bank.
"Iya, silahkan masuk," kata petugas keamanan masih dengan ramah meski ujung alisnya sedikit berkedut. Mungkin ada sesuatu dalam diri Indra yang menimbulkan kecurigaan.
Indra lalu duduk sebelum membuka ponselnya. Bersyukur karena gara-gara helm kelupaan tadi, dia sudah tidak terlalu tegang. Saat akan berangkat dia lebih dulu meminum obat penenangnya agar tidak emosi di tempat umum.
-Ayah ada di ruang kepala cabang. Nanti kalau sudah sampai, bilang ke security kalau ditunggu Bu Made-
Berdiri lagi, Indra mendekati petugas keamanan tadi sambil menunjukkan pesan di ponselnya, "Maaf, Pak. Katanya saya ditunggu Bu Made."
"Oh, Iya, silahkan sebelah sini," petugas itu lalu mengantar Indra melewati ruangan utama dimana banyak orang sedang mengantri dengan kepentingan masing-masing.
Indra diarahkan ke sebuah ruangan yang lebih tertutup dimana seseorang sudah duduk membelakanginya. Orang itu berbalik saat mendengar suara langkah kaki dan petugas keamanan saat mempersilahkan Indra untuk duduk.
Saat Indra melihat pria di depannya, dia merasa seperti bercermin. Hanya saja, cermin itu menunjukkan seperti apa kelak wajahnya kalau sudah semakin tua nanti, kalau rambutnya disisir rapi ke samping, dan kalau dirinya mengenakan setelan jas rapi. Senyum yang tersungging di wajahnya pun tampak familiar.
"Indra, Nak..." Sapa suara yang terdengar asing itu. Suara yang sarat akan emosi itu untungnya tidak mencetuskan perasaan apapun di hatinya.
".. Selamat pagi, Pak," tidak tahu bagaimana harus menyapa, Indra melancarkan senyum bisnisnya seperti saat menyapa pelanggan di kafe. Benar, ini hanya bisnis bagi Indra.
Mendengar sapaan Indra yang sopan namun memberi batas diantara mereka, senyum pria itu meredup. Namun bukan berarti dia menyerah begitu saja. "Duduk dulu. Kamu mau makan apa?"
"Terimakasih. Saya sudah sarapan," Indra menarik kursi agak jauh sebelum duduk. "Bu Made mana?"
"Masih ada urusan," jawab pria itu sebelum kembali berfokus ke Indra. "Kamu makin dewasa, Nak. Bagaimana keadaanmu? Ibumu bagaimana?"
"Ibuk... Sebentar lagi seratus harinya," walaupun dia menjawab pertanyaan itu sendiri, Indra sedikit terkejut dengan jumlah waktu yang sudah berlalu.
"Ayah bersalah padamu dan Mirna. Sejak sebelum kamu lahir, ayah ingin agar kita bertiga tetap bisa akrab meski tinggal berjauhan tapi Mirna punya keinginan yang berbeda..."
Indra tidak ingin nama ibunya disebut oleh orang itu. Dalam hatinya Indra bertanya kemana kiranya Bu Made ini, kok lama sekali.
"Ayah bisa memaklumi kalau sulit baginya untuk memaafkan ayah."
Indra berdiri, dia tidak ingin mendengar tentang ibunya dari orang yang tidak pernah bersama dengan mereka selama lebih dari dua puluh tahun terakhir. Apa yang dia tahu tentang Indra dan ibunya?!
"Saya tunggu diluar," Indra berdiri dan sudah beranjak ketika tangannya ditarik dan ditahan oleh orang itu.
"Tunggu! Aku... Tolong dengarkan ayah sebentar, Nak..."
Indra berbalik, menatap ke arah pria itu tanpa bicara, tidak pula dia kembali ke tempat duduknya.
Pria paruh baya itu menghela nafas panjang. "Ayah dan ibumu sudah saling suka. Kami tidak menyangka kalau sahabat ibumu, Nadia, juga menyimpan rasa pada ayah. Dia, Nadia melakukan hal tercela sebelum pernikahan ayah dan ibumu, dia memperdaya ayah."
"Ayah salah karena tidak bilang apa-apa pada Mirna, ibumu. Ayah pikir semua akan baik-baik saja, tapi setelah mengandung dirimu, Nadia muncul dalam keadaan hamil, dia bilang kalau itu anakku. Pernikahan kami langsung berantakan."
"Ayah berusaha menjelaskan pada ibumu dan memintanya agar tidak pergi, agar lebih mempercayai ayah. Awalnya ibumu mau bertahan, sampai Nadia berkali-kali berusaha memisahkan kami. Ibumu angkat kaki dari rumah setelah Nadia mengalami kelahiran yang sulit."
"Ayah berusaha mencari ibumu dan membujuknya kembali tapi Mirna tidak ingin melihat ayah lagi. Bahkan biaya untuk membesarkanmu, Nak..."
Indra tidak berkomentar apa-apa. Puluhan, ratusan pertanyaan yang dulu ingin dia ajukan, tak satupun berhasil melewati tenggorokannya. Obat yang diminumnya telah berhasil membantu menekan perasaannya. Seusai mendengar awal sebab kisah hidup yang dijalaninya selama lebih dari dua puluh tahun telah disingkat menjadi beberapa kata saja...
Mata Indra melirik ke arah jam dinding di ruangan tersebut. Belum seperempat jam berlalu sejak dia sampai dan duduk di kursi tadi.
Dan dia merasa penderitaannya selama ini seperti sesuatu yang konyol.
Kalau pria di depannya ini tidak terpedaya dan membuat Nadia hamil...
Tapi kenapa Gaska berkata kalau ada kemungkinan dia bukan anak pria ini?
Indra mempelajari pria di depannya. Wajah dan gerakannya menunjukkan dia sungguh menyesal dengan apa yang telah terjadi dan berusaha memperbaiki apa yang bisa diperbaiki.
Pria di depannya itu kini diam, berbeda dengan beberapa menit lalu saat dia menceritakan apa yang terjadi antara para orang tua. Saat Indra mencoba menarik tangannya, pria itu tidak mau melepaskan.
Iya, mungkin tidak semua yang terjadi adalah kesalahannya. Sebagian besar adalah kesalahan Nadia yang berusaha merusak rumah tangga orang, sahabatnya. Dan ibunya yang tidak mudah memberikan maaf.
"Nama..." Ujar Indra, memecah kesunyian di antara mereka.
Pria itu mengangkat wajahnya dan menatap Indra.
"Nama Bapak siapa? Saya tidak pernah tahu nama Bapak."