Indra beranjak dari duduknya, menyingkirkan semua belanjaannya ke satu sudut lalu keluar kamar. Di depan kamar Gaska, dia mengetuk pelan.
"Gaska? Kamu didalam?"
Pintu kamar terbuka dan muncul pria jangkung memakai kaos warna merah muda pucat. Kali ini rambutnya dibiarkan natural, tidak di model kebelakang seperti kalau berangkat kerja. Kacamatanya sedikit melorot.
"Ya? Ada apa?"
"Kamu bilang kalau kamu akan cerita semuanya, termasuk cara balas dendam."
Gaska mengangguk. "Iya, mau masuk?"
Indra agak gentar melihat kamar dengan pencahayaan remang-remang di depannya. Berduaan di ruang tertutup mengisyaratkan tanda bahaya dengan tanda seru ekstra besar.
"Kalau bicara di taman aja gimana? Di luar rumah ada gazebo..." Indra menghindar.
Saat Gaska terlihat tidak terlalu senang dengan ide itu, Indra menggenggam tangan Gaska dan berjalan mendekat.
"Ya, sambil lihat air terjun, kayaknya romantis," Indra yang awalnya merayu, nyengir kecut saat mengatakan hal terakhir.
Gaska menahan senyum melihat usaha Indra yang masih setengah hati. Tapi sudah lebih bersahabat dibanding sebelumnya saat terang-terangan menolak Gaska.
"Ayo," Gaska memberi isyarat lewat tangan mereka yang bertaut.
Indra berjalan di depan, sedikit malu dan hatinya dag dig dug tak karuan. Siapa menyangka hanya gandengan bisa membuat tegang dan khawatir dan... Indra bernafas lega saat mereka tidak berpapasan dengan Surya. Saat membuka pintu pun, tanaman yang lebat menutupi sebagian besar bangunan itu dari arah jalan, memberi sedikit privasi.
Suara gemericik air terjun mini membantu membuat Indra lebih tenang. Dia memilih duduk di tempat yang menghadap taman sedangkan Gaska duduk di sebelahnya, bahunya yang lebar bersandar ke salah satu pilar dengan mata tertuju ke langit.
Indra kini bingung harus memulai darimana. Ada begitu banyak yang ingin ditanyakannya.
Indra menghela nafas panjang dan mengatakan apa saja. "Kamu tahu aku sudah berapa lama?"
"Lama..." Jawab Gaska, "..mungkin dua belas, tiga belas tahun."
Apa?!?! Teriak Indra dalam hati. Saat itu dia baru masuk sekolah dasar.
Saat Indra menunggu Gaska untuk melanjutkan, mulutnya yang terkatup rapat menjelaskan bahwa dia hanya akan menjawab apa yang Indra tanyakan.
"Kamu tahu aku darimana? Dari siapa?" Sulit bagi Indra untuk menerima Gaska yang juga pastinya masih kecil untuk mengetahui urusan orang lain.
"Mama...," Mata Gaska memicing seolah silau, "Mamaku sering bilang tentang anak lain. Padahal dirumah cuma ada aku. Ah, itu sebelum Surya lahir."
"Dia bilang kalau Papa sering pergi menemui anak itu," Gaska lalu melihat ke arah Indra yang menyimak dengan wajah berubah-ubah. "Aku minta ikut. Aku pingin tahu anak apa yang dimaksud Mama. Kami lihat kamu dari jauh."
Wajah Indra tampak sangat sedih sehingga Gaska tak tega dibuatnya. Perlahan dia mengelus-elus punggung tangan Indra agar sedikit tenang. "Selalu dari jauh. Waktu itu aku nggak begitu ngerti, kalau aku tahu, aku pasti... Aku nggak akan diam saja."
Indra yang berusaha menenangkan emosinya yang bergejolak, tidak melihat Gaska yang juga tidak merasa nyaman dengan cerita masa lalu mereka.
"Apa ayah kita orang yang sama? Surya nggak pernah panggil kamu 'Mas'," tanya Indra dengan suara lirih.
Gaska lalu tertawa terbahak-bahak begitu keras sehingga Indra terkejut. Suara tawanya tidak terdengar bahagia, malah sedikit histeris.
"Kamu tahu, Indra? Awalnya aku benci kamu. Aku sangat membencimu!" Kata-kata Gaska membuat Indra bingung. Gaska yang dikenalnya ramah dan sering usil, tapi Indra tidak merasakan kebencian dalam diri Gaska.
Indra tidak tahu harus bersikap bagaimana. "Mama selalu melampiaskan amarahnya ke aku, gara-gara anak itu aku selalu... selalu... Aku berusaha jadi anak yang baik tapi Mama tenggelam dalam perasaannya sendiri. Gara-gara kamu aku menderita!"
"Karena itu aku ikut Papa. Aku ingin tahu anak seperti apa dan wanita seperti apa yang membuat Mama sampai begitu. Tapi..." Suara Gaska yang tinggi tiba-tiba kehilangan kekuatannya. "Tapi keadaan kalian seperti itu.. Kami lebih kaya dan ada Papa dirumah, dan ada aku.. tapi kalian kelihatan lebih bahagia daripada kami bertiga.."
"Bahkan setelah Surya lahir, keadaan lebih memburuk," saat itu Gaska sudah melepas tangannya yang tadi bertaut dengan Indra. Dia mengusap-usap wajah dan rambutnya untuk menguasai diri. Bahwa hari-hari berat itu sudah berlalu.
Indra menatap Gaska dengan perasaan bercampur aduk. Dia tidak menyangka kalau Gaska juga mengalami saat yang sulit waktu kecil. Tapi dia tidak mengerti kenapa Gaska tetap menderita padahal orangtuanya lengkap, padahal kekayaannya lebih dari Indra, padahal rumahnya lebih bagus dan tidak kurang suatu apapun...
"Dan aku sendiri nggak yakin kalau Papa.. kalau aku anak Papa.."
"Jadi.. kita mungkin bukan saudara?"
Gaska hanya mengangkat pundaknya, tanda tidak tahu. Pasti ada alasan Gaska ragu akan identitasnya bahkan saat sudah sedewasa ini.
"Terus, uang itu, kenapa kamu yang transfer? Awalnya bukan kamu 'kan?"
Gaska memandang Indra untuk waktu yang lama. Indra yang tidak bergeming, tetap diam saat ujung jari Gaska menjumput ujung rambutnya.
"Aku kadang pergi sendiri buat lihat kamu. Waktu itu kamu muncul dengan rambut luar biasa," Gaska tersenyum lebar dengan pandangan mata bahagia.
Indra yang tidak terlalu paham, langsung malu saat Gaska bertanya, "Kamu potong rambut sendiri? Gimana caranya?"
Salah satu kebodohannya saat masih muda dan Indra ingin mengubur ingatan itu dalam-dalam.
"Sudah! Jangan lanjutkan!! Gahhh!!!" Protes Indra.
"Tapi aku jadi tahu kalau kamu juga nggak salah. Kalau hidup kita jadi seperti ini gara-gara orangtua kita." Gaska mengenang perubahan yang terjadi pada dirinya sejak itu.
Kebenciannya pada Indra seolah ikut terpotong bersama rambut Indra. Wajah Indra yang biasanya ceria, merengut dengan bibir manyun, membuat pipinya semakin tembam.
"Setelah itu, aku minta Papa biar aku sendiri yang mengurusi keuanganmu. Disitu aku jadi belajar banyak," Gaska akhirnya sampai pada jawaban yang diinginkan Indra.
Indra lalu menatap ke kedua telapak tangannya yang kosong. "Kalau aku nggak muncul di kafe atau jadi ART, apa kamu juga nggak akan mengatakan apa-apa?"
Untuk suatu alasan, Indra tidak mau melihat ke arah Gaska. Mengetahui kebenaran tidak selamanya menyenangkan dan butuh keberanian.
"Aku tahu terakhir kamu kerja di depot ayam goreng. Sampai beberapa kali aku kesana, kamu nggak ada, waktu aku tanya, mereka bilang kamu sudah berhenti. Nggak ada yang tahu nomor telponmu. Rumah yang di jalan Mawar itu sudah ditempati orang lain. Lagi-lagi nggak ada yang tahu kamu kemana, nomormu berapa...."
"Kalau aku tiba-tiba muncul dan bilang kalau aku tinggal dengan ayahmu, apa kamu bakal percaya?" Gaska balik bertanya.
"Jadi kamu nggak niat buat bilang sampai kapanpun?" Cibir Indra.
"Aku..." Gaska ingin membela diri dan mengatakan alasan kenapa dia tidak bisa sampai saat ini, namun semua itu hanya akan terdengar sebagai omong kosong bagi Indra. Karena faktanya tetap bahwa dia tidak bicara.
"Aku minta maaf, meski sangat terlambat, aku minta maaf," Gaska menatap Indra untuk menunjukkan ketulusannya.
Indra mengangkat kedua bahunya, tidak ada hal baginya untuk dikatakan. Permintaan maaf Gaska tidak berarti baginya saat ini. Disisi lain, Indra tidak menutup kemungkinan suatu saat perasaannya akan berubah dan akan dapat memberi maaf dengan tulus.
Pandangan Indra tertuju pada gemercik air yang mengalir dari tempat yang tertinggi sampai yang rendah. Dia tidak kehilangan sifat dan jati dirinya sebagai air. Dimanapun dan kapanpun, semua orang bisa tahu kalau dia tetap air yang sama.
Setelah menemukan alamat di Kompleks Perumahan Batara, Indra sudah berpikir berkali-kali sebelum memutuskan untuk mencari tahu kebenarannya dan membalas dendam. Dia tidak tahu kebenaran macam apa yang dia cari. Selama ini dia hanya bisa meraba dalam gelap. Dan sedikit demi sedikit dia merasa dirinya semakin hilang dengan fakta-fakta yang terungkap.
"Jadi, sebenarnya apa yang terjadi antara ibuku dengan orangtuamu? Kalau dia sudah punya istri... Lalu Ibuk..." Indra tidak mampu menyelesaikan kalimatnya.
"Bagaimana bisa kamu bukan anak Papamu yang sekarang? Mamamu menikah dua kali?" Indra bertanya lagi.
"Aku nggak berani tanya," jawab Gaska lirih.
"Kamu lahir bulan apa? Tahun berapa?" Indra kembali melanjutkan interogasinya.
"Februari, 2001. Kamu?"
"Maret, 2001.." Indra terkejut dengan jarak kelahiran mereka cukup dekat dan kemungkinan adanya konflik percintaan antara orang tua mereka semakin besar. Dengan ibunya yang selalu menutup mulut, mereka hanya punya Mama dan Papa Gaska dan Surya sekarang.
Gaska yang lahir lebih dulu membuat ibu Indra sebagai pihak ketiga diantara mereka. Namun dengan Gaska yang ragu bahwa dia berasal dari ayah yang sama, ada kemungkinan Mama Gaska dan Surya melakukan sesuatu untuk mendapatkan ayah mereka.
Semakin lama kepala Indra semakin pusing memikirkan kemungkinan hubungan antara orang tua mereka yang sebenarnya.
"Lalu, waktu itu, kamu bilang akan bantu balas dendam. Balas dendam apa yang kamu maksud?"
"Entahlah. Biasanya di film yang aku lihat, setelah kematian anggota keluarga, tokoh utama biasanya cari informasi sebelum balas dendam, menghancurkan keluarga yang sudah membuangnya."
Indra yang disamakan dengan tokoh utama di film pada umumnya merasa tertohok karena langkahnya selama ini telah terbaca dengan mudah. Dan lagi Gaska mengatakannya seolah sengaja memancingnya.
Indra lalu menarik kerah baju Gaska, "Jadi kamu cuma mempermainkan aku, Hah?!"
"Nggak! Bukan gitu! Tanpa kamu melakukan apapun juga keluarga ini sudah hancur!"
Saat Indra tidak sedikitpun melonggarkan pegangannya, Gaska melanjutkan, "Aku nggak mau bilang, tapi depresinya Mama itu sudah parah. Dia sering mukul Surya makanya Surya masih nggak bisa ketemu dia. Aku juga nggak tahu pasti ada apa dengan orang tua kita, tapi mungkin gara-gara Mama juga, akhirnya Papa nggak nikah sama Ibumu. Ah, Sialan... Aku juga nggak mau kamu sampai ketemu dia."
Indra terkejut saat Gaska mengatakan hal buruk tentang wanita yang melahirkannya. Tapi sampai Surya masih trauma setelah sering dipukuli...
"Ha... Jangan sampai kamu ketemu dia. Ah, tapi kalau kamu mau membalas Mama, aku mau bantu."
.
.