Pagi itu mereka sarapan seadanya, mie instan, telor ceplok dan tumis taoge.
"Kok cuma punyaku yang telurnya gini?" Tanya Gaska sambil menusuk-nusuk telurnya pakai ujung garpu. Warna kuning meleleh perlahan dari tengah.
"Nggak suka setengah matang?" Indra yang isi piringnya masih separuh, berbicara dengan mulut penuh dan tidak berhenti menyendok. Dia sengaja menyembur ke arah Gaska yang makin kehilangan selera makan.
"Bukan gitu, aku sudah kenyang," jawab Gaska tanpa kehilangan senyum manisnya. "Kalau sudah, aku tunggu di luar, ya. Sekalian manasin mobil."
"Jorok banget, Mas..." Surya tertawa kecil sepeninggal Gaska.
Indra melihat ke arah meja yang berantakan dengan sedikit menyesal, "Iya, mana aku sendiri yang beresin."
Tawa Surya makin terkekeh. Indra senang melihat Surya yang lebih rileks dan lepas.
Saat mereka akan berangkat, Gaska melihat Indra dari atas ke bawah lalu ke atas lagi. Dia memakai jaket warna merah yang lumayan trendi tapi tidak cocok dengan celana hitamnya yang mulai pudar, sama belelnya dengan tas kecil terselempang di pundak Indra. Gaska bahkan tidak tega berkomentar tentang alas kakinya dan menyuruh semua masuk mobil.
Memang nggak ada yang salah karena Indra ingin berhemat dengan gaji yang didapatkannya, tapi menurut Gaska nggak salah juga kalau Indra sedikit memperhatikan penampilannya. Dia berpikir apa mereka sekalian mampir ke salon karena rambutnya sudah mulai menutupi pandangan.
Seperti dugaan Gaska, mereka bertiga cukup menarik perhatian nasabah dan karyawati di bank. Mungkin karena jaket merahnya. Terlebih karena Indra yang tampak canggung dan tidak nyaman.
"Kamu nggak sakit perut, kan?" Gaska berbisik saat mereka duduk mengantre di pelayanan customer.
"Nggak," jawab Indra singkat. Dia sudah membuka mulut untuk bicara tapi tidak jadi karena nomor antrean mereka dipanggil. Huh, lebih cepat dari perkiraannya.
Gaska menarik lengan Indra yang hanya berdiri bingung ke arah meja yang tersedia. Setelah saling sapa dan menanyakan keperluan, pegawai bank meminta data yang diperlukan.
"Uangnya ditarik tunai atau ditransfer ke rekening lain?" Mbak Pegawai yang dari tadi menanyakan hal-hal yang tidak Indra pahami akhirnya mengatakan sesuatu yang jelas.
"Tunai," jawab Indra tegas.
"Transfer," Gaska mengatakan di saat yang bersamaan.
"Mohon maaf, untuk tunai hari ini kami hanya bisa menyiapkan maksimal seratus juta. Kalau Bapak mau menunggu, dua hari lagi sudah bisa diambil tunai semuanya," Mbak Pegawai menjelaskan lebih lanjut. "Dan untuk alasan keamanan, saya sarankan menyewa jasa pengawalan. Hanya untuk berjaga-jaga saja."
"Indra, sekarang ini bahaya kalau bawa duit sebanyak itu."
"Tapi itu 'kan uangku, yang kamu simpan tanpa pernah bilang ke aku," protes Indra yang ngambek berat. Indra tahu bahayanya membawa uang dalam jumlah besar, jangankan seratus juta, bawa uang gajinya dua juta dan uang belanjaan dua juta saja dia sudah dag dig dug. Dia tidak suka karena Gaska yang menjelaskan. Kalau Surya atau yang lain yang menjelaskan, dia tidak akan mempersulit seperti ini.
"Iya, makanya sekarang kamu bikin akun baru, nanti bisa kamu atur sendiri password dan lainnya," bujuk Gaska, "aku nggak ikut campur lagi."
"Kalau aku lupa passwordnya gimana?" Tanya Indra sambil manyun.
"Ya datang lagi kesini, minta tolong dibukain sama mbak-nya," Gaska yang gemas dengan Indra, merangkul pundaknya tanpa canggung.
Mbak Pegawai yang agak terkejut, ikut menimpali, "Benar, Pak. Kalau lupa password, nanti silahkan datang kemari dengan membawa data diri dan bukti kepemilikan rekening."
Indra yang mulai gelisah mendorong tubuh Gaska. Namun Gaska yang tidak kehilangan akal meletakkan tangannya di paha Indra.
"Nanti aku sediakan waktu buat kamu," ujar Gaska sambil mengelus-elus paha Indra.
"Iya, kalau gitu saya mau buka nomor rekening baru," ujar Indra cepat, dia lebih memilih mengalah sebelum Gaska bertindak lebih jauh.
Setelah mendapat bukti print-out saldo tabungannya, Indra masih sedikit tidak percaya uang sebanyak itu adalah miliknya. Surya yang mendekat, melihat dari balik punggungnya.
"Waaah, banyak banget uangnya Mas Indra. Nggak mau nraktir kita, nih? Sekalian belajar praktek pakai scan barcode pas belanja," Surya merayu.
"Kalau gitu aku juga mau coba ambil uang di ATM," sahut Indra semangat.
Gaska menahan senyum melihat tingkah Indra yang serba ingin tahu dan mencoba-coba.
Untuk alasan keamanan, Gaska menunggu di mobil sedangkan Surya yang menemani Indra mengambil uang. Sambil menunggu, dia mengirim pesan pada Surya untuk membujuk Indra berbelanja. Gaska masih ingat saat membantu Indra pindahan, jumlah pakaiannya tidak lebih dari sepuluh potong termasuk seragam kerjanya di kafe.
Sekembalinya dari ATM, Indra melihat ke arah Gaska yang sengaja memainkan ponselnya.
"Gaska, habis ini kamu sibuk nggak?"
"Nggak juga, aku ijin seharian soalnya nggak tahu sampai berapa lama prosesnya di bank. Ternyata sebentar sudah selesai."
"Mas Indra, kalau mau belanja sekalian di mall aja. Ada banyak pilihan tokonya."
"Aku biasanya belanja di pasar, barangnya juga bagus-bagus, kok. Murah lagi."
"Ya nggak apa, sekali-kali. Biar pernah."
"Sudah pernah, tapi ke pasar aja, ya. Surya belum pernah ke pasar baju 'kan?"
Surya tampak tidak yakin tapi akhirnya setuju dengan usul Indra. Dan disitulah Gaska jadi saksi bisu saat Indra memilih kaos berbagai warna dan desain sablon yang cetar. Indra tampak sangat bangga dengan pilihannya sampai-sampai Gaska spontan menariknya ketika Indra akan membayar ke kasir.
"Tunggu! Tunggu sebentar," potong Gaska.
"Apa lagi sih...?" Tanya Indra dengan malas.
"Bagaimana kalau kamu coba dulu yang aku pilihkan? Sini, aku bawakan kaosnya," Gaska mengambil satu kaos yang lengannya berbeda dan motif sablon yang lebih netral.
Dengan menggerutu, Indra mencoba baju yang ditawarkan Gaska. Saat melihat ke cermin, dia tidak menyangka dirinya terlihat berbeda, lebih keren dan trendi. Keluar dari ruang ganti, Gaska sudah membawa setumpuk kecil pakaian yang berbeda dengan yang dipilihnya tadi.
"Gimana? Kamu suka?" Tanya Gaska.
"Ini apa?" Indra yang tidak menjawab balik bertanya.
"Ini yang aku pilihkan lagi." jawab Gaska.
"Aku juga bantu pilihkan, Mas. Coba Mas Indra pakai, mungkin aja cocok," rayu Surya yang juga silau melihat baju pilihan Indra.
Indra mengambil satu per satu baju yang dipilih Gaska dan Surya. Beberapa berwarna terang sedang yang lain berwarna-warni. Yang berwarna lebih dari satu macam, potongannya sederhana. Untuk memastikan, Indra membawa tumpukan itu ke ruang ganti. Lagi-lagi dirinya terlihat berbeda setelah memakai baju pilihan Gaska dan Surya.
"Gimana, bagus nggak?" Gaska hanya bisa memilih baju yang sekiranya bakal cocok untuk Indra tapi tanpa melihat sendiri, dia tidak yakin pilihannya tepat atau tidak.
"Bagus banget, Mas Indra. Kulit Mas kelihatan lebih bersih." Surya menyela, dia sadar kalau Indra lebih mau mendengarkan dirinya dibanding Gaska.
"Iya, aku ambil yang ini." Indra terdengar pasrah.
"Lumayan murah baju disini, kualitasnya juga nggak beda jauh," Surya berkomentar di sebelah Gaska.
"Iya, tapi kalau nggak jeli, beberapa downgrade kualitas dibanding aslinya." Gaska berbisik balik, tidak mau menyinggung pemilik kios.
"Ayo, sekarang kita cari celana," ajak Surya begitu Indra selesai membayar. Dia mengambil tas belanjaan Indra dan memberikan pada Gaska untuk dibawa.
Gaska sempat khawatir Indra akan memilih celana yang mencolok mata dan merasa lega saat Indra meminta saran darinya atau Surya. Meski Gaska tidak yakin Indra sepenuhnya paham saat Surya menjelaskan jenis kain, model celana dan cara memadu padankan celana dengan baju atau aksesoris lain untuk memberi tampilan berbeda.
Hari itu mereka bisa bersenang-senang bertiga sampai sore.
Indra benar-benar merasa bahagia karena dia mendapat pakaian yang bagus-bagus meski menghabiskan uang gaji dan belanjanya sebulan. Dia menyimpan buku tabungan dari bank beserta kartu ATM di kotak penyimpanan yang di sisipkan di dalam lemari. Meski ada banyak hal yang ingin Indra tanyakan pada Gaska, dengan adanya Surya, dia tidak merasa leluasa.
Sebagian dirinya masih menganggap kejadian di bank tadi pagi sebagai mimpi. Siapa yang menyangka dirinya akan mendapat uang sebanyak ini dalam waktu sekejap. Setelah dirinya mengalami banyak hal hingga saat ini, mungkin ini hadiah dari Tuhan untuknya.
Sebagian lagi dari diri Indra berpikir dengan cepat mengenai berbagai cara untuk mengelola uang yang didapatnya. Dia sempat terpikir tentang beberapa usaha dengan modal kecil yang untungnya cukup menjanjikan. Ide-ide itu bermunculan satu demi satu membuatnya bingung. Meski sebaiknya dipikirkan secepatnya tapi bukan berarti dia harus memutuskan hari itu juga. Jadi Indra mempertimbangkan untuk mencari tahu sebelum menanyakan pada beberapa orang.
Bzzzttt
Ponsel Indra yang biasanya diam, berbunyi. Dia bertanya dalam hati, notifikasi apa lagi yang dikirim oleh operator penyedia layanan telepon yang dipakainya. Dengan enggan dan hati yang berat, Indra menyalakan layar ponselnya.
Ada pesan di aplikasi chat-nya dari nomor yang tidak dia kenal. Awalnya Indra tidak terlalu menghiraukan tapi kutipan yang ada membuatnya penasaran.
-Ayah sudah sampai Jakarta....-
Saat dibuka Indra, pesan lengkapnya berbunyi
-Ayah sudah sampai Jakarta, Nak. Besok kamu ada waktu untuk ke bank?-
Indra berpikir balasan yang sesuai tanpa banyak penjelasan.
Indra mengetik -Besok pagi bisa. Siangnya kerja.-
Moodnya yang sedari tadi bagus kini langsung berubah menjadi buruk. Dahulu saat dia masih kecil, dirinya selalu ingin punya ayah layaknya anak-anak lain. Kini, tidak lagi. Dia tidak ingin bertemu dengan pria itu, tidak setelah Indra tahu telah ditelantarkan oleh ayahnya itu. Tapi dia tahu ini perlu untuk dilakukan. Minimal karena ada Rupiah yang terlibat. Mungkin dengan ini dirinya akan bisa lebih tenang kedepannya.
Indra lalu teringat dengan kata-kata Gaska, bahwa dia bersedia mengatakan semuanya. Dia sudah menjadi pa-pacar cowok aneh itu, jadi berhak atas banyak rahasia yang terjadi dalam hidupnya.
.
.
Hi, Kak! Bantu like ya, biar semangat nulis terus.