(Di bab ini terdapat adegan yang dapat memicu ketidaknyamanan bagi pembaca. Disarankan kebijakan dalam membaca.)
Sempat terpikir oleh Indra bahwa pemuda di depannya pernah berpacaran dengan orang lain sebelumnya. Karena tidak mungkin dia begitu lihai menemukan tempat dimana Indra ingin disentuh dengan lembut dan dimana dia ingin ditekan.
Dan pandangan mata Gaska itu...
"Hei, aku mau makan kamu. Ya?" Mata Gaska yang setengah tertutup membuat Indra sulit menolaknya, meski dia tidak tahu apa maksudnya. Satu ciuman saja bisa membuat pikiran Indra beterbangan tak tentu arah. Dia ingin tahu apa lagi yang akan dilakukan pemuda yang sulit ditebak itu.
Gaska lalu menyeringai lebar, menarik training Indra hingga selutut dan membuat kemaluannya bergerak bebas ke atas dan ke depan. Indra spontan berusaha menutupi dengan tangannya, namun Gaska yang tadinya menciumi lehernya, perlahan bergerak ke turun.
"Lihat aku, Indra," perintahnya.
Indra yang tanpa sadar menutup mata, makin berdebar saat melihat Gaska duduk berlutut didepannya, dengan bagian pribadi Indra dekat dengan wajahnya. Tanpa ragu, Gaska memegang dan memainkan puncaknya yang perlahan menjadi basah.
"Jangan tutup matamu," perintah Gaska lagi sambil mengecup di ujung sebelum membuka mulutnya dan memasukkannya sedikit demi sedikit.
Indra menutup matanya tanpa dia sadari, dirinya hanya bisa berfokus pada kenikmatan yang diberikan Gaska. Dalam mulut Gaska yang tidak hanya basah, licin, tapi juga panas dan...ah, apakah itu lidahnya? Indra merasa sangat terangsang karena Gaska tanpa ragu mengulumnya dan memainkan bagian pribadinya dengan lihai. Tidak hanya tangannya, tapi juga mulut dan lidahnya.
"Aah..." Indra mendesah dan kehilangan tenaga di kakinya saat Gaska menghisap sambil memainkan bagian yang ujung dengan pangkal lidahnya. Kedua tangannya yang bertumpu pada pundak Gaska terasa basah dan gemetaran. "..Gaska..."
Tangan Gaska yang bergantian antara bagian batang, lalu pindah ke zakarnya, semua terasa nikmat. Indra juga tidak keberatan saat jari panjang Gaska mengelus gunungan pantatnya dan menyentuh lubangnya yang tertutup. Rasa geli di belakang dan enak di depan membuat Indra semakin sensitif.
"Gaska, lepas... Mau keluar," bisik Indra sambil menarik rambut Gaska agar kepalanya menjauh.
Seolah tidak peduli, Gaska terus mengisap dan membelai Indra yang terasa kencang di dalam mulutnya. Dagu dan rahangnya sedikit capek karena harus terbuka terus agar Indra bisa merasa nyaman dan tidak sampai terkena giginya. Tapi bagi Gaska hal itu sepadan dengan cairan yang keluar dari ujung penis Indra sebagai bukti keberhasilannya.
Gaska sempat tersedak ketika Indra mendorong miliknya kedalam tenggorokan Gaska bersamaan dengan makin kaku dan besarnya organ Indra sebelum menyemburkan cairan yang lebih pekat dan memiliki rasa yang berbeda. Gaska mengeluarkan Indra dari mulutnya dan membantu mengeluarkan sisa ejakulasinya dengan bantuan tangannya.
Tubuh Indra yang kini sepenuhnya bertumpu pada Gaska, basah karena keringat. Gaska menyandarkan Indra yang masih tidak bertenaga duduk ke dinding. Dia lalu mengeluarkan bagian pribadinya yang sudah sedari tadi meronta dan sesak di dalam, dia juga sudah tidak tahan. Tanpa pikir panjang, dia mengarahkan ujungnya ke wajah Indra yang belum bisa fokus dan mengocoknya. Tidak lama, cairan putih keluar dari penisnya mendarat di wajah manis dan polos Indra.
Gaska terus mengocok sampai tetes terakhir. Dia puas melihat Indra yang tidak menghindar meski Gaska mengayunkan penis di depan wajahnya. Bahkan ketika Gaska menciumnya, Indra menerima ciuman Gaska dengan antusias yang sama.
"Bisa berdiri?" Tanya Gaska, suaranya serak setelah memberi blow job pertama Indra. Dia mengusap jejak penanda wilayahnya agar tidak mengotori wajah Indra lama-lama.
Indra mengangguk meski tidak sepenuhnya yakin. Dia menarik lagi trainingnya ke atas hingga tidak ada lagi bagian yang menjuntai. Luar biasa, mereka baru pacaran belum satu jam tapi Gaska sudah membuatnya keluar. Indra berpikir untung saja dia laki-laki sehingga tidak mungkin bagi Gaska menghamilinya. Dan mereka melakukannya begitu masuk ke dalam rumah, di dapur, dimana Surya bisa saja muncul sewaktu-waktu.
Gaska yang sudah merapikan diri sedikit, tersenyum lebar ke arah Indra. "Nanti malam mau tidur bareng aku?"
Indra tiba-tiba merasa jengkel karena hilang kendali setiap berurusan dengan Gaska, memukul perut pacar barunya itu.
"Aku lapar! Cepat belikan makanan!"
Tertawa kecil, Gaska menyibak rambut Indra yang basah dan berantakan. "Nanti aku panggil kalau sudah siap. Kamu mandi dulu."
Indra mendengus sebelum berjalan ke arah tangga dimana Surya duduk sambil main ponsel di anak tangga teratas. Di telinganya terpasang earphone. Saat melihat Indra, Surya membetulkan posisi kacamatanya.
"Sudah selesai?" Tanya remaja itu datar.
Indra yang tidak ingin menjawab karena malu hanya mengangguk dan tidak mengangkat wajahnya lagi sampai tiba di kamar.
Di cermin pintu lemari, mata Indra terbelalak saat melihat penampilannya yang mengejutkan. Dia sudah menduga dirinya terlihat berantakan tapi tidak dengan bibir dan pipi yang masih memerah, cairan Gaska yang masih belum diusap dan sorot matanya yang masih seperti setengah tidur. Tidak ingin melihat sosoknya lebih lama lagi, Indra bergegas ke kamar mandi.
. . .
Gaska memesan bermacam-macam untuk sarapan setengah makan siang. Selesai mandi di kamar mandi lantai satu, Gaska memakai bathrobe saat keluar dan melihat Surya yang duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya.
"Gaska," panggil Surya, nadanya dingin.
"Apa?" Mood Gaska sedang bagus, jadi dia tidak tersinggung.
Surya menghela nafas panjang dan keras. "Di rumah ini nggak cuma ada kalian berdua. Aku juga tinggal disini," protesnya ketus.
"Oopsss," Gaska malah sengaja menggoda Surya.
"Apa perlu aku ajak pacarku kesini dan pacaran disini juga?!" Tantang Surya yang jengkel karena diremehkan.
"Hei, aku nggak mau lihat pantatmu yang gepeng!" Protes Gaska.
"Pantatku Gak Gepeng!!!" Teriak Surya sebelum dia mengatur nafas karena terpancing omongan Gaska. Gaska sendiri terkekeh-kekeh senang.
"Intinya, kalian sudah tinggal di sayap kanan, jangan sampai mengganggu yang lain," Surya berdiri lalu melempar kain lap ke arah Gaska, "Dan bersihkan sendiri habis main. Dasar manusia sub species."
. . .
Indra hampir tidak percaya betapa mudah baginya terperangkap pada kata-kata Gaska. Dia tidak menyangka hanya butuh beberapa kata dari pemuda bertubuh tinggi itu untuk meyakinkan Indra melangkah lebih jauh dalam hubungan mereka yang tidak bisa dia jelaskan. Dan sentuhan Gaska dapat melelehkan pertahanannya.
Dia berpikir mungkin karena dia belum pernah berpacaran sebelumnya sehingga mudah baginya untuk terpengaruh oleh pasangan. Padahal Indra mengira dia berada di atas angin dengan menentukan apakah mereka resmi berpacaran atau tidak. Bahkan beberapa hari sebelumnya, Indra sudah yakin menolak Gaska dan iming-iming manisnya. Dan sebelum ini, Indra berjanji untuk membuat mereka semua menderita..
Ha! Lihatlah rencananya yang dia pikir akan berjalan seperti sinetron tragedi malah berubah jadi drama komedi begini.
"Ya Tuhan... Aku berlindung padaMu dari godaan setan yang terkutuk," pinta Indra dengan khusyuk.
Baru saja do'a itu selesai, pintu kamarnya dibuka dan muncul Gaska yang sudah segar dan berbinar. "Makanannya sudah datang, kamu mau makan disini atau dibawah?"
"Dibawah..." Ujar Indra pada setan gantengnya. Dia berusaha tidak melihat bibir Gaska yang tadi telah...
"Indra..." Tiba-tiba Gaska sudah mendekat selagi Indra sedikit melamun.
"Iya, duluan, sana!" Usirnya, berteriak untuk menutupi malu.
Indra sudah bisa memastikan akan mendapat uang dari...pria itu, ayah Surya, setelah dia sampai di Indonesia. Dan Indra akan mendesak Gaska Si Licik untuk memberikan uangnya juga.
Kalau dipikir lebih lanjut, berada terlalu lama disini bisa membuat dirinya hilang akal dan Indra tidak mau itu terjadi. Jika memang tidak bisa membuat mereka menderita, toh setidaknya dia sudah dapat uang ganti rugi sakit hatinya selama ini. Seandainya perlu, Indra akan mencoba memalaki mereka lagi nanti.
Merasa lebih tenang karena sudah menyusun rencana, Indra keluar dari kamarnya. Saat akan turun, dia mendengar suara Surya yang sedang berbicara dengan nada tinggi. Indra tidak terlalu jelas apa yang dibicarakan tapi Surya terdengar gelisah dan tidak setuju dengan siapapun itu yang diajaknya bicara. Indra tidak cukup mengenal Surya untuk ikut campur sehingga dia membiarkan remaja itu untuk saat ini.
Di meja makan, ada satu box pizza, satu ekor ayam bumbu kuning dengan irisan cabai rawit dan sayur daun singkong, beberapa gelas minuman es warna-warni, sosis goreng, kentang goreng, terang bulan, dan satu kotak kecil berisi makanan lembek berwarna merah-kuning pucat.
"Apa ini?" Indra menunjuk kotak kecil tadi.
"Itu semacam kulit pangsit ditumpuk pakai daging cincang, berlapis-lapis. Coba dulu," Gaska menyendok isi kotak lalu mengarahkan ke Indra.
Indra mengambil sendok itu lalu mendekatkan ke wajahnya. Tercium bau saos tomat dan bawang putih yang tajam. Saat Indra makan, rasa tomat dan kaldu daging langsung meleleh di mulutnya. Seperti makan bakso cincang pakai kuah saos tomat.
"Aku makan ayamnya aja. Kayaknya enak tapi pedes, ya?" Indra mengambil bagian paha setelah menyingkirkan rajangan cabe dan bawang prei.
"Ini aku pesan yang nggak terlalu pedes. Cabe ijo aja nggak ada pedesnya," Gaska menambahkan rajangan tadi ke priring Indra.
Saat Indra mencoba memang tidak sepedas yang dibayangkan. Rasa gurih pedas yang pas serta rasa segar dari sereh dan rempah lain membuat Indra makan dengan lahap.
"Besok pagi aku ada waktu buat ke bank," Indra memancing percakapan dan reaksi Gaska.
"Iya, aku juga sudah pastikan besok pagi jadwalku kosong," Gaska mendekatkan kursinya ke kursi Indra dan meregangkan tangannya hingga menyentuh punggung Indra. Kakinya ditumpangkan ke kaki Indra.
Indra yang tidak ingin berdebat saat makan, bergumam pelan 'capek deh'.
.
.