(Di bab ini terdapat adegan pelecehan yang dapat memicu ketidaknyamanan bagi pembaca. Disarankan kebijakan dalam membaca.)
Sarapan berlanjut dengan ramai karena kedua pemuda kaya itu merasakan pengalaman baru. Setelah itu Gaska berangkat kerja bersama Surya yang minta tolong diantarkan ke suatu tempat. Rumah yang tadinya ramai langsung terasa sepi. Indra memanfaatkan kesempatan ini untuk bersih-bersih dan mencuci pakaian.
"Mau digorengkan ayam jam berapa?" Indra mengirim pesan ke nomor Surya. Sebentar lagi waktu ibadah siang, Indra mau sekalian mandi lalu beristirahat sebelum berangkat ke kafe.
"Sekarang nggak apa. Sudah arah pulang." Balas Surya beberapa menit kemudian.
Selain menggoreng ayam, Indra sekalian menumis sayuran dan menanak nasi. Dia puas, saat semua sudah selesai. Meski perlu waktu lebih lama untuk bersih-bersih dan Indra baru sempat membereskan lantai satu saja termasuk menyiram tanaman.
Selesai ibadah siang, Indra mendengar Surya memanggilnya. Masih memakai sarung, Indra keluar mencari majikan mudanya yang sedang mengambil makan siang.
"Nyari saya, Mas?"
"Sudah makan, Mas?" Surya balik tanya.
"Sudah tadi habis beres-beres," jawab Indra.
Surya langsung meletakkan piring di tangannya dan menarik Indra ke ruang tamu dimana ada banyak tas kresek dan beberapa tas kertas.
"Tadi aku belanja, Mas. Terus inget Mas Indra. Ini buat Mas Indra."
"Makasih, Mas Surya. Lain kali nggak usah repot-repot," Indra menerima tas kertas yang sekilas berisi sesuatu berwarna merah.
"Panggil nama Surya aja, Mas. Anggap saja adik sendiri." Remaja yang tubuhnya lebih tinggi daripada Indra itu lalu menyodorkan seperangkat kunci. "Ini kunci serep buat gerbang, dapur, ruang tamu sama kamar Mas Indra. Kunci lainnya nyangkut di pintu. Jadi nggak bingung kalo aku sudah masuk sekolah nanti."
"Iya, terimakasih, Surya."
"Mas Indra kalo mau istirahat dulu, tolong sekalian bawakan belanjaannya ke kamarku, ya. Aku laper."
Indra hanya mengangguk sambil mengumpulkan berbagai macam tas di tangannya dan menaiki tangga melingkar. Dia meletakkan semua tas di dekat meja belajar kecuali miliknya yang dibawa Indra ke kamar. Saat dibuka, di dalamnya berisi jaket berwarna merah.
. . .
Hari kedua Dian bekerja masih belum banyak perubahan. Setidaknya kafe sudah memakai peralatan melamin jadi kerusakan tidak sebanyak jika masih memakai peralatan makan dari keramik. Jumlah pembeli yang datang pun bertambah lagi setelah beberapa hari berkurang.
Pak Hendi lebih banyak bekerja di belakang membuat kue dan membantu saat sedang ramai saja. Yang lain dari biasanya adalah makin banyak orang yang memberi tip. Saat Indra melaporkan fenomena ini, Pak Hendi mengatakan untuk memisahkan uang tip dan penjualan.
"Iced cappucino ekstra sirup dan whip cream." Ujar suara yang sudah tidak asing di telinga Indra.
"Tiga puluh ribu, bawa pulang atau minum disini?"
"Minum disini."
Indra yang heran, melihat ke arah Gaska yang tengah memperhatikan dirinya.
"Silahkan duduk dulu, nanti saya antar ke meja." Indra yang merasa pandangan Gaska lebih aneh dari biasanya langsung memproses pesanan cappucino.
Gaska datang saat jam sibuk sudah lewat dan Indra merasa bersemangat karena satu hari lagi akan dia lalui dengan selamat. Meski shiftnya baru berakhir satu jam lagi, Indra sudah tidak sabar. Dia mengantar pesanan cappucino Gaska sambil tersenyum-senyum.
"Silahkan," ujar Indra seramah mungkin. Saat akan beranjak, tangan Gaska meraihnya.
"Ada yang bisa saya bantu?" Seingat Indra pesanan Gaska persis seperti yang dibawanya.
Gaska seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi dan melepas tangannya. "Aku tunggu sampai pulang."
Tentu saja Indra tidak menduga perkataan yang keluar dari mulut Gaska itu. Saat akan bertanya lebih lanjut,
"Indra, tolong bantu bersihkan meja yang kosong." Kata Pak Hendi dari belakang counter.
"Iya, Pak," sahut Indra yang langsung merapikan meja yang berantakan setelah tamu selesai makan.
Indra tidak terlalu memikirkan Gaska selama sisa shiftnya karena selepas jam sembilan waktunya bersiap tutup. Hanya sesekali saat sudah tidak ada pembeli lain, Indra melihat Gaska yang tampak nyaman duduk sendirian, sesekali mengetik sesuatu pada laptop yang dibawa bersamanya.
"Kalau mas itu sudah selesai, tutup saja, Indra. Kamu ganti baju dulu." Kata Pak Hendi.
Setelah ada komando, Indra berinisiatif mengirim pesan ke Gaska tapi tidak punya nomernya karena berulang kali lupa mau meminta. Indra langsung berganti baju dan saat keluar, memberi isyarat pada Gaska untuk menunggu di parkiran.
"Sejak kapan kalian dekat begitu?" Indra terkejut karena pertanyaan Pak Hendi yang tiba-tiba. Biasanya dia tidak tertarik bertanya atau mengomentari urusan pribadi orang lain.
"Eh, nggak juga, Pak. Kebetulan tempat tinggal saya dekat dia." Dalam hati Indra menambahkan -kamar kami berdekatan di lantai dua-
"Sebelum kamu kerja dia beli sekitar seminggu atau dua minggu sekali."
Pak Hendi tidak perlu melanjutkan sisanya, karena saat Indra mulai mengingat pembeli reguler, Gaska beli hampir setiap hari. Itu pun menu yang sama, iced cappucino pakai sirup dan whip cream. Tiga hari ini memang Gaska tidak terlihat di kafe tapi bagi Indra tidak terlalu banyak pengaruhnya selama mereka sering bertemu di rumah, seperti tidak ada bedanya.
Indra tidak tahu apa yang orang akan katakan kalau mereka tahu rencana balas dendamnya, mungkin mendukung, mungkin menganggap dia naif rencananya akan berhasil, atau keliru karena lebih memilih membalas dendam daripada memaafkan. Tapi kalau dia tidak mencoba, Indra merasa seumur hidupnya dia tidak akan bisa lepas dari kegelisahan dan mimpi buruk yang menghantui sejak kecil.
Dia ingin mencari kedamaiannya sendiri dengan mencari tahu dan membalas kepahitan yang dirasakannya. Langkah selanjutnya akan dia pikirkan lagi nanti kalau sudah waktunya.
Indra pamit pulang setelah memastikan kalau kafe sudah tutup dan Pak Hendi tidak memerlukan bantuannya lagi. Jam menunjukkan pukul sepuluh lebih dua puluh tapi udara sudah lumayan menusuk. Perjalanan singkat mereka berdua dari kafe ke rumah sama sunyinya seperti keadaan rumah saat mereka sampai. Indra memeriksa dapur saat dia menyadari Gaska belum beranjak dari tempatnya.
"Gaska, apa kamu mau makan sesuatu? Mumpung nasinya belum aku simpan?"
"Kamu sudah makan malam?" Gaska balik tanya.
"Sudah tadi aku bawa tumis sama ayam goreng buat bekal. Apa mau titip masakkan buat besok?" Tanya Indra yang lalu teringat uang belanja tadi pagi. "Oiya, uangnya tadi aku taruh di laci, lupa langsung kukembalikan."
Indra mengambil sejumlah uang, sepertinya jumlahnya masih sama dengan saat ditinggalnya tadi.
"Oh, itu buat belanja. Kalau tinggal sedikit bilang lagi aja." Gaska yang berjalan mendekat perlahan.
Ada sesuatu dalam dirinya yang berbeda yang membuat Indra waspada, mungkin karena dia tidak melepas pandangan mata mereka dari satu sama lain. Gaska berhenti tepat di depan Indra, hanya sisa selangkah jarak di antara mereka.
"Surya suka masakan dari daging." Lanjut Gaska, kedua tangannya memerangkap Indra yang berusaha tidak terintimidasi meski tidak setinggi pemuda berambut cepak itu.
"Kalau kamu, apa suka daging juga?" Indra mengatur suaranya agar terdengar biasa. Dia memilih menutup mata atas keadaan dan suasana aneh diantara mereka.
"Ya, aku suka daging," tangan kiri Gaska yang mulanya berada di kitchen set berpindah ke pinggang Indra, tempat dimana karet celana trainingnya menahan agar celana itu tetap bisa tergantung. Indra spontan memegang karet celananya agar tidak ditarik lagi oleh Gaska seperti saat pindahan dari kosnya kemarin.
"Tapi aku sedang penasaran dengan daging yang ini," diluar dugaan Indra, Gaska membisikkan kata-kata itu sambil menggerakkan tangan kanannya ke wilayah pribadi Indra.
Seketika pikiran Indra terhenti. Dalam hati, Indra membatin Gaska tidak akan melanjutkan seperti apa yang disangkanya, kan?
Sebelum Gaska beraksi lebih lanjut, tangan Indra bergerak untuk mencegah tapi Gaska malah menahan kedua tangannya ke atas. Indra jadi sedikit takut akan tatapan Gaska yang seperti predator menemukan mangsanya. "Aku heran apa yang membuatmu merasa aman sampai selalu ber-commando kemana-mana. Atau kamu memang sengaja, agar mendapat perhatian orang?"
Satu tangan Gaska menahannya, satu tangan lagi bermain dengan karet celana di pinggangnya. Indra mencoba menendang tapi kakinya malah ditahan juga oleh Gaska hingga hampir seluruh tubuh mereka berdempetan satu sama lain. Indra lagi-lagi merasakan milik Gaska yang bergerak-gerak di pinggulnya.
"Lihat," ujar Gaska tanpa ampun, "satu tarikan," tangan Gaska mengikuti ucapannya, satu jari mengait ke karet bagian dalam lalu menariknya menjauh. Indra tidak mau melihat ke bawah untuk melihat celananya yang terbuka.
"Satu tarikan dan...."
"Gaska, Cukup! Hentikan! Sudah cukup..." Pekik Indra.
Seketika itu tangan nakal Gaska langsung berhenti dan berpindah ke wajah Indra. Matanya sudah tidak menyeramkan lagi, tapi pandangan yang diarahkan padanya tetap membuat Indra tidak nyaman.
"Kenapa kamu terus saja menarik celanaku dari kemarin? Aku juga bukan cari perhatian, kok. Memangnya aku kenapa? Komando apa?" Tanya Indra bingung.
Gaska yang tiba-tiba kehabisan kata-kata, mendesah panjang. Entah apa yang akan dilakukannya pada Indra. Dia sudah berkali-kali memberi peringatan tapi dia bisa apa kalau peringatannya tidak dihiraukan karena tidak mengerti.
Gaska kembali berpikir untuk kesekian kalinya, hidup seperti apa yang Indra jalani selama ini sehingga dia masih menjaga semua kepolosannya. Bagian bawah dirinya loncat-loncat kegirangan dengan adanya kemungkinan Gaska-lah yang pertama menyentuhnya.
"Commando, ya, seperti ini. Kamu nggak pakai pakaian dalam 'kan?"
Dengan hati yang sangat berat, Gaska melepas dirinya agar tidak lagi menempel ke Indra. Indra yang melihat ada kesempatan langsung melesat ke kamarnya dan mengunci dari dalam.
Jantungnya berdegup keras. Dia tidak tahu kalau tidak memakai pakaian dalam untuk laki-laki bakal bermasalah. Sebab selama ini tidak ada masalah. Sepengetahuan Indra, hanya wanita yang harus memakai setiap saat. Terutama yang pakaiannya tipis atau agak terbuka. Yang pasti bukan dirinya. Tapi sudah dua kali Gaska mengerjainya gara-gara itu.
Saat pikiran Indra agak tenang, dia melihat ada beberapa bungkusan di atas kasurnya dengan tulisan rapi di atasnya.
-pas aku coba ternyata kebesaran. Mudah"an cukup buat Mas Indra-
Waktu dia membuka bungkusan, di dalamnya berisi beberapa celana dalam dengan gambar pria yang memakainya. Indra tidak yakin dirinya juga cukup, karena kelihatan kecil. Setelah merenung sebentar, Indra berpikir tidak ada salahnya dicoba dan meski agak tidak nyaman karena tidak biasa, Indra bisa memakainya tanpa kesulitan. Diluar dugaan, kainnya yang halus terasa enak di kulitnya.
Saat Indra hitung, total ada dua lusin dengan model yang berbeda. Jauh lebih banyak dari pakaian yang dia miliki. Dia jadi teringat salah satu pelajaran yang pernah diterimanya.
-lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya- di tempat yang berbeda orang punya cara hidup berbeda. Biasanya berlaku hanya di tempat kerja. Mungkin karena ini pertama kali dia tinggal serumah dengan orang lain.
Ya Tuhan, apa yang harus hambamu lakukan dengan majikan seperti ini? Tanya Indra dalam do'anya selesai ibadah tambahan menjelang tengah malam.