Pagi itu Surya mulai bersekolah jadi Indra membuat sandwich setelah ibadah fajar. Indra tidak lupa membuatkan bekal ayam goreng dan tumis kacang panjang pakai tempe dan tomat. Atas permintaan Gaska, Indra membuatkan bekal untuknya juga.
Meski agak siang ke pasar, Indra senang karena masakannya disukai kedua majikan mudanya. Melihat kegiatan mereka yang padat, Indra membeli lebih banyak bahan makanan sehingga dia bisa menyiapkan makanan setengah jadi. Indra sadar pentingnya makanan yang bervariasi dan sesuai kebutuhan tubuh agar bisa tetap sehat, terlebih Surya masih masa pertumbuhan. Dirinya tertawa kecil membayangkan setinggi apa nanti kalau Surya sudah berhenti bertambah tinggi.
Sepulang dari pasar, Gaska sudah selesai bersiap berangkat kerja. Rambutnya yang cepak diarahkan ke belakang membuat pandangannya lebih tajam. Tidak seperti kemarin saat Gaska memakai kemeja, kali ini dia memakai kaos berwarna gelap yang ditutup jas coklat tua dan celana berwarna senada. Indra yakin bahkan artis ibukota tidak banyak yang bisa menyamai aura Gaska saat itu.
"Indra," panggil Gaska sambil berjalan mendekat.
Jarak diantara mereka masih sekitar satu meter tapi Indra bisa mencium aroma kayu yang agak gosong namun maskulin dan menenangkan. Berbeda dari parfum yang biasa dipakai beberapa hari terakhir.
"Nanti aku nggak pulang," lanjut Gaska. Saat itulah Indra melihat koper kecil yang dibawa Gaska. "Tolong titip Surya. Biasanya dia pulang sore jadi siapkan buat makan malam secukupnya saja."
"Nggak bawa mobil?" Indra melihat ke mobil yang tidak dipanasi mesinnya.
Gaska tersenyum lebar ke arahnya, sambil menepuk lengan Indra pelan. "Nggak, temanku sebentar lagi kesini. Sama minta nomermu."
Indra yang tidak langsung paham membuat Gaska tertawa kecil lagi. Kali ini Gaska melangkah maju dan berbisik di telinga Indra. Suaranya yang dekat dan aroma wewangian yang lebih tajam membuat Indra merasa sedikit mabuk dan bingung ketika jantungnya berdetak kuat seperti beberapa hari lalu saat Surya menyalakan stereo yang menggetarkan rumah.
Dadum..
Dadum..
Gaska meraih tangan Indra yang sudah memegang ponsel dan sebentar saja memasukkan nomernya tanpa melepaskan ponsel itu dari tangan Indra. Satu tombol lagi dipencet dan terdengar dering dari ponsel Gaska, barulah Gaska melepas dan memisahkan tangan mereka.
Indra merasa seperti tersihir saat itu. Dia bahkan tidak bergerak menghindar saat Gaska mendekat lagi dan mengecup pelan pipinya. Indra baru tersadar ketika suara klakson keras mengejutkannya dari lamunan. Seorang wanita cantik berbibir merah muda dengan rambut digelung berada di belakang kemudi mobil besar berwarna hitam.
"Aku pergi dulu," Gaska pun berlalu dengan koper kecilnya ke arah mobil tadi. Dia duduk di sebelah wanita itu dan mereka bercakap-cakap dengan akrab.
"Awas kau! Sialan!" Teriak Indra yang jengkel dengan dirinya sendiri telah bertingkah bagai orang bodoh yang melongo hanya karena Gaska jadi sedikit lebih ganteng dan sedikit lebih wangi.
Kemarahan itu dia lampiaskan pada sayuran dan daging yang dia persiapkan. Setelah kejengkelannya mereda dan masakannya siap untuk langkah selanjutnya, barulah terpikir dalam benak Indra untuk melihat-lihat ruangan yang sebelumnya hanya dia bersihkan sekedarnya saja. Siapa tahu akan ada petunjuk tentang ayahnya atau sesuatu.
Indra mulai dari ruangan sayap kanan, selain ruang laundry, dua ruangan kosong yang lemari dan laci mejanya kosong, adalah kamar tempat Indra dan Gaska. Indra pun memasuki kamar Gaska tapi di lemari dan laci meja yang bisa dibukanya tidak ada barang-barang yang dicari Indra. Hanya ada berkas dan dokumen terkait pekerjaannya, gambar-gambar rumah baik yang sudah jadi maupun yang belum.
Indra merasa agak tidak enak saat menggeledah kamar Surya dan merasa sedikit lega saat menemukan banyak sketsa bunga dan pemandangan yang belum jadi. Untuk ukuran sketsa, Indra melihat ada yang berbeda dari garis yang ditorehkan Surya. Mungkin lukisan bunga yang ada di rumah ini buah tangan pemuda itu, pikir Indra dengan satu senyum di sudut bibirnya.
Berpindah ke kamar lain di sayap kiri, ada satu kamar kosong dan satu ruangan lagi yang biasanya selalu terkunci. Kali ini kuncinya masih tergantung di pintu, tanpa ragu, Indra membuka pintu ruangan yang gelap dan berbau debu itu. Belum juga masuk, hidungnya sudah gatal dan bersin beberapa kali.
Indra menyalakan senter ponselnya untuk mencari letak saklar lampu. Saat lampu menyala, terdapat barang bertumpuk-tumpuk, sebagian terbungkus plastik hitam, sebagian plastik putih buram. Ada tiga lemari kayu, satu meja berisi buku bertumpuk-tumpuk, dan satu kotak besar berisi barang bermacam-macam.
Indra mencoba membuka lemari satu persatu, isinya pakaian wanita, satu lemari berisi beberapa tas dan satu lemari lagi berisi sepatu yang sudah rusak. Indra pun berpindah pada plastik hitam, ada yang berisi buku-buku, mainan anak laki-laki, hampir tidak ada yang bisa memberinya petunjuk. Indra mencoba membuka barang bertutup plastik putih buram. Isinya koper yang lumayan berat. Berharap didalamnya berisi dokumen, Indra sedikit terkejut saat tas itu memang berisi berbagai dokumen.
Ada beberapa bendel yang berasal dari perusahaan asuransi. Tagihan listrik, tagihan telepon, bukti transfer bank dan...
Indra kaget saat membaca transaksi yang tercatat atas nama Bagaskara Satya Adi tapi tujuannya adalah namanya, Indra Amatya. Ada cukup banyak transaksi yang dilakukan, tanggalnya sudah tidak terlalu jelas, tapi tahunnya sekitar sepuluh tahun yang lalu. Yang lebih mengejutkan lagi bagi Indra nilai transaksi mulai dari lima juta rupiah dilakukan tiap sebulan sekali. Urutannya jelas, tidak ada sebulanpun yang terlupa.
Tanggal yang paling baru adalah bulan lalu, saat dirinya sudah bekerja di kafe tapi sebelum bekerja disini. Pikiran Indra seketika seperti penuh sesak.
Kalau dia tahu dirinya mendapat uang sebanyak itu setiap bulan sejak sepuluh tahun lalu, dan bisa mengambil uang itu, dia dan ibunya bisa hidup nyaman, lebih nyaman dari yang mereka jalani. Bahkan untuk pengobatan ibunya bisa mendapat yang lebih baik.
Tapi dimana uang itu? Dia berada disini bersama bukti ini tapi tidak satu lembar pun bersamanya. Harta miliknya yang tak bermanfaat. Tak berguna. Untuk apa deretan angka dan nol dengan cap legalitas kalau barangnya tidak nyata.
Air jatuh tidak terbendung dari pelupuk matanya, mengaburkan penglihatan. Mungkin dia punya nasib sama seperti barang-barang disini yang ditumpuk, dikumpulkan, kemudian dilupakan begitu lampu sudah dimatikan dan pintu kamar tertutup, terkunci. Dirinya baru bisa melihat indahnya cahaya kalau orang lain memutuskan sudah waktunya. Tidak ada kuasa atas dirinya sendiri, atas hidupnya.
Saat mulai menguasai diri, Indra beranjak dari ruangan itu dan menguncinya lagi. Kali ini dia yang membawa kuncinya.
Mungkin saja ada Indra Amatya yang lain selain dirinya. Mungkin saja, nama orang itu persis sama dengan namanya.
Tapi, kalau benar itu adalah dirinya..
Indra segera mengambil air untuk menyucikan diri dan melakukan ibadah untuk mendekatkan diri pada Tuhannya. Ditumpahkan perasaannya yang serasa hilang arah dan kendali. Bahwa dia tidak tahu harus kemana lagi, kesabarannya serasa habis setelah berkali kali menelan keputusasaan.
Waktu berlalu cukup lama saat alarm untuk pengingat bersiap ke kafe berbunyi nyaring. Mata dan bibir Indra sudah kering. Sekering hatinya yang berdetak pelan. Untuk pertama kalinya dia merasa enggan berangkat bekerja. Kalau bukan karena janjinya untuk bekerja dengan baik, Indra ingin mengambil libur saat itu. Tapi mungkin ini lebih baik baginya, selagi mencari tahu hal apa lagi yang belum diketahuinya.
Indra mengirim pesan singkat ke Surya, hatinya sedikit dongkol karena curiga bahwa remaja jangkung itu kemungkinan mengetahui hal-hal tentang dirinya termasuk transferan. -aku nggak sempat masak buat makan malam-
Sebentar saja sudah ada balasan. -Mas Indra gimana makannya? Jangan sampai nggak makan. Ambil uang belanja buat beli makan. Aku gampang, Mas.-
Tentu saja mereka tidak akan terganggu hanya karena Indra tidak sempat masak. Dengan uang yang mereka miliki, mudah bagi mereka untuk pesan bermacam-macam sebanyak yang mereka mau. Seperti soto waktu itu.
Indra yang sudah berganti training dan kaos hitam funbike-nya menuruni tangga dengan bersungut-sungut. Saat melihat beberapa bahan yang siap digoreng, tangannya meraih wadah dan bermaksud membuang isinya ke tempat sampah. Niatnya itu terhenti karena makanan-makanan itu tidak bersalah dan Indra ingat saat dia dan ibunya harus menghemat uang untuk segala sesuatu, termasuk membeli makanan.
Wadah-wadah itu dimasukannya ke lemari es dan Indra mengambil semua uang belanjaan di laci yang jumlahnya masih dua juta lebih sedikit.
Indra berhenti sejenak sebelum membuka pintu. Dipegang dadanya sebentar sambil memikirkan hal yang baru ditemukannya. Dia merasa akan sulit mengendalikan emosi dan dia tidak mau sesuatu yang akan disesali terjadi lagi. Indra pun berbalik ke kamar, mencari obat bundar berwarna merah muda di penyimpanan dan begitu ketemu langsung menelannya.
Indra bersyukur obatnya bekerja cepat. Saat di kafe, amarah dan kesedihannya yang tadi begitu menyesakkan dan meluap kini hanya tinggal bayangan saja. Walau dia tidak bisa tersenyum setulus biasanya pada pembeli yang datang, Indra merasa itu lebih baik baginya.
Beberapa kali ponselnya berbunyi pesan masuk sepanjang sore. Indra yang tidak ingin melihat pesan, mengubah settingan ponsel ke mode diam.
"Indra, kamu nggak makan?" Tanya Pak Hendi.
"Nggak, Pak. Perut saya lagi tidak enak." Dia tersenyum sekedarnya agar bossnya tidak bertanya lebih lanjut.
"Hmm, dijaga kesehatannya. Akhir-akhir ini cuaca sering tidak tentu. Kalau kamu perlu obat, di ruang karyawan ada kotak obat."
"Iya, Pak. Terimakasih."
Untung setelah itu ada pembeli sehingga mereka menghentikan percakapan mereka dan berbicara seperlunya saja. Saat sudah waktunya kafe tutup, Indra hendak pamit ketika Pak Hendi memintanya menunggu sebentar lagi.
"Iya, Pak?"
"Ini buat kamu," Pak Hendi menyerahkan amplop yang tebalnya tidak seberapa. "Di dalamnya ada rincian catatan gaji yang kamu peroleh bulan ini. Mau langsung kamu hitung juga boleh."
"Terimakasih, Pak," Indra menerima amplop dengan perasaan datar. Mungkin jika dia tadi tidak meminum obat, dia yakin akan merasa bahagia. Amplop itu pun dimasukkannya ke dalam tas kecil yang dibawanya.
"Kalau sudah tidak ada lagi, kamu boleh pulang."
"Iya, Pak. Saya pamit dulu." Indra menuju ke motornya yang terparkir di depan kafe.
Malam itu Indra lebih berhati-hati dalam perjalanan pulang, dan merasa lega saat sudah sampai. Segera dimasukkannya motor itu ke dalam rumah. Ketika akan menutup pagar, Indra melihat ke arah jalanan yang lengang. Aspal hitam yang menyatu dengan gelapnya malam tertutup gumpalan kabut tipis-tipis.
"Mas Indra?" Panggil seseorang dari dalam rumah.
Surya yang memakai jaket dan celana pendek berdiri sambil memegang ponsel. Wajahnya terlihat khawatir.
"Mau masuk, Mas?" Dia bertanya lagi.
Entahlah, jawab Indra dalam hati. Dia tidak begitu ingin masuk kedalam. Indra ingin menjernihkan pikiran dengan menyusuri dunia diluar sana yang tanpa batas.
"Kamu masuk dulu, Surya. Saya masih ada perlu."
"Aku ikut, Mas," Surya berjalan cepat ke arahnya dan menarik lengan jaket yang dipakainya.
Tidak ingin mengatakan apa-apa lagi, Indra berjalan keluar diikuti remaja yang lebih tinggi darinya itu. Setelah memastikan pintu dan gerbang terkunci, Indra mulai melangkah diikuti oleh Surya di sampingnya.
.
.
.
Hai, Kak!
Mulai bab 12, bisa dibuka pakai fast pass. Episode utk "KauCuriMilikku MilikmuKucuri" totalnya tidak sampai 30. Jadi, Valluca harap Kakak Pembaca menikmatinya sampai akhir.
Salam,