Chereads / Kau Curi Milikku, Milikmu Kucuri (BL) / Chapter 12 - 12. Pacar (17+)

Chapter 12 - 12. Pacar (17+)

(Di bab ini terdapat adegan yang dapat memicu ketidaknyamanan bagi pembaca. Disarankan kebijakan dalam membaca)

Indra sengaja datang lebih awal ke kafe agar bisa bertanya pada Anya. Gadis cantik berambut pink itu cukup terbuka dengan keadaan dirinya dan tidak ragu bertukar pikiran dengan orang lain termasuk para pembeli. Para pembeli pun sepertinya mudah akrab dengan Anya dibanding dirinya dan Dian atau Pak Hendi.

"Anya, aku mau tanya," Indra mendekati gadis itu ketika keadaan memungkinkan.

"Iya, Ndra? Tanya apa?"

"Mm, kamu jalan sama pacarmu sekarang sudah berapa lama?"

"Lumayan, sudah tiga bulan." Anya menjawab dengan sabar tapi akhirnya penasaran juga. "Apa sih? Yang jelas dong.."

"Kamu atau dia duluan yang ngajak pacaran?" Indra tetap bertanya meski merasa agak malu menanyakan hal-hal sampai detil begitu.

"Kamu ditembak?" Anya balik tanya.

Ditembak? Indra sempat nge-blank sebelum istilah itu muncul di ingatannya. Istilah kalau ada yang menyatakan perasaan...

"Iya," jawab Indra singkat.

"Terus?" Giliran Anya yang mencecarnya dengan pertanyaan.

"Terus?" Indra balik tanya.

Anya melihat Indra dengan wajah seolah menanyakan hal yang jelas tapi yang jadi lawan bicara tidak nyambung.

"Terus bingung apa? Kalau suka ya terima, kalau nggak ya tolak aja."

Indra bertanya pada dirinya sendiri. Dia suka dengan gambaran uang dan pembalasan di depan mata. Tapi dia tidak suka dengan ide pacaran dan Gaska dalam satu pikiran.

"Aku bukannya nggak suka orangnya. Nggak kepikiran aja sama dia."

"Tajir nggak, yang nembak kamu?" Anya melanjutkan sambil sedikit berbisik. "Sekarang pacaran cuma buat seneng-seneng aja, buat temen makan, jalan-jalan, antar jemput kerja, beliin barang. Nggak harus yang serius. Sambil mengenal orangnya kayak apa. Kalo nggak baik ya putus aja."

Gaska yang selama ini dia tahu ya agak aneh sebenarnya. Gara-gara dia Indra jadi harus terus memakai celana dalam meski nggak nyaman dan.... Diluar itu Gaska sepertinya cukup bisa diandalkan. Surya tampak sekali sangat menurut dan percaya pada pria aneh itu.

"Dari pacaran itu kita jadi tahu pasangan kita seperti apa. Aku juga pernah pacaran nggak sampai seminggu soalnya dia nggak seperti yang aku bayangin, hehehehe," Anya menambahkan. "Kalau buat senang-senang enakan yang tajir, bisa jalan ke tempat bagus, dibeliin barang mahal juga."

Indra tidak tahu sekaya apa Gaska. Hanya saja, ya harusnya kaya karena dia memakai mobil untuk kerja. Surya yang masih di bangku SMA, tiap hari di antar jemput oleh ojol. Bahkan untuk soto saja mereka beli yang harganya satu porsi paling murah empat puluh ribu, belum makanan lain. Mereka bahkan nggak mempermasalahkan uang belanja dua jutaan yang dibawanya saat jengkel kemarin, uang yang masih tersimpan di kantong tas kecilnya bersama amplop berisi gajinya sebulan.

Indra pun memutuskan untuk menceritakan garis besar yang dialaminya pada Anya. Wajah gadis itu berubah-ubah seiring kisah yang didengarnya.

"Selama ini dia menyimpan uangmu tapi mengancam tidak memberikan kalau tidak mau pacaran dengannya? Ha!!! Masih ada ya orang nggak tahu diri dan mengambil kesempatan mentang-mentang dianya lebih kaya!" Anya langsung berapi-api sampai beberapa pembeli melihat ke arah mereka.

"Sshhh...jangan keras-keras," Indra mencoba menenangkan Anya.

"Apa benar-benar nggak ada cara lain mendapatkan duitmu selain lewat dia? Apa pura-pura mau pacaran tapi langsung kabur begitu sudah dapat duitmu?"

"Iya, aku sempat kepikiran begitu juga. Ya sudah, Anya, makasih masukannya. Nanti aku coba tanya-tanya juga ke yang lain barangkali ada yang tahu." Indra tidak mau mereka ditegur Pak Hendi karena mendiskusikan masalah pribadi saat jam kerja.

Malam itu saat Indra pulang, rumah sudah dalam keadaan gelap dan dia bersyukur tidak bertemu dengan Gaska. Setelah mandi dan bersuci, Indra melakukan ibadah tambahan di tengah malam untuk meminta petunjuk pada Tuhan.

Mungkin bagi Gaska dan Anya pacaran itu hanya sekedar main-main, bersenang-senang, karena itu Gaska dengan mudahnya mengajak Indra berpacaran sebagai ganti informasi yang dimilikinya. Sedangkan bagi Indra, berpacaran dengan Gaska seperti bermain dengan api karena Indra punya firasat kalau Gaska nggak akan berhenti kalau belum puas atau bosan.

Indra merasa pikirannya lebih jernih dan mendapat petunjuk untuk menolak tawaran Gaska. Dia sudah menemukan celah untuk mendapatkan uangnya tanpa menuruti kemauan Gaska.

Pagi hari saat membuat sandwich, Surya sudah siap dengan seragam olahraganya.

"Ada acara di sekolah? Kok lebih pagi?" Tanya Indra.

Wajah Surya langsung cerah ketika Indra sudah mau mengajaknya bicara seperti biasa. "Iya, Mas. Latihan paskibra. Kemarin pangsitnya enak, masih ada atau sudah habis, Mas?"

"Mau digorengkan sekarang?" Sandwich yang sudah selesai dia letakkan di piring untuk disodorkan pada remaja yang juga adiknya itu.

"Mm, kalau nggak ngerepotin Mas Indra," jawab Surya sambil mengunyah roti tumpuk berisi macam-macam.

Indra menggoreng pangsit sambil sesekali mengaduk sayur sop yang tinggal menunggu sayurnya sedikit empuk. "Ayahmu kenapa nggak pernah kelihatan?"

"Ayah tinggal sama Mama di tempat lain, di Surabaya," Surya menggosok lengannya pelan, mungkin karena gatal digigit nyamuk.

"Aku bisa minta nomer ayahmu?"

"Bisa," suara Surya terdengar sedikit sayu, "..kan dia ayah Mas Indra juga.."

Indra pura-pura tidak dengar bagian terakhir dan mematikan kedua kompor serta mulai memasukkan isi bekal ke dalam wadahnya masing-masing. Surya mengirim nomer ponsel lewat aplikasi chatting sebelum dia berangkat ke sekolah.

Indra merasa aneh tiba-tiba mendapat seorang adik laki-laki dan seorang ayah yang masih hidup. Sedangkan Gaska, dia tidak tahu apakah Gaska juga ada hubungan darah dengannya. Kelakuan dan pikirannya tidak bisa ditebak oleh Indra.

Tanpa menunggu lebih lama, Indra menekan tombol panggilan.

Rrrrr...

Rrrrr...

Rrrr...

-Iya...- Suara di seberang terdengar berat dan belum fokus.

"Ini Indra," ujar Indra singkat.

-Iya, Indra, ada perlu...- terdengar suara menghela panjang sebelum dia melanjutkan. -Ada yang bisa Ayah bantu, Nak?-

Indra duduk di salah satu kursi di dapur. "Aku mau ambil uangnya segera."

-Ah, iya. Tentu saja. Dimana kamu sekarang?-

"Di perum Batara."

Untuk beberapa saat Indra tidak mendengar apa-apa dari seberang.

-Bagaimana... Bagaimana kabarmu, Nak?-

"Jadi kapan aku bisa ambil uangnya?" Indra balik tanya dengan dingin.

-Iya, iya... Ayah masih di luar negeri sekarang. Akan Ayah atur agar bisa pulang secepat mungkin. Kamu sabarlah sebentar, ya.-

Indra menutup sambungan telepon tanpa memberi salam dengan sengaja. Lucu, dia berpikir dengan bersikap kasar pada orang yang menelantarkannya dia akan merasa lega tapi hatinya malah terasa sesak.

Begitu mudahnya bagi mereka berdua untuk berbicara setelah bertahun-tahun, kenapa tidak sekalipun orang itu datang dan menemuinya? Selain menyebut dirinya sebagai 'Ayah', berani-beraninya dia memanggil Indra dengan sebutan 'Nak'.

Sebal karena suasana hatinya menjadi aneh setelah panggilan telepon tadi, Indra naik ke lantai dua ke kamar Gaska. Sudah waktunya dia bersiap-siap berangkat ke kantor dan Indra akan menegaskan padanya kalau dia bisa mendapat uang itu sendiri.

Indra menggedor pintu keras-keras.

"Gaska! Aku masuk!" Teriaknya dari luar.

"Masuk saja," sahut Gaska.

Indra membuka pintu dan melangkah masuk tanpa ragu hanya untuk berhenti setelah satu langkah. Gaska yang baru keluar dari kamar mandi dengan rambut basah hanya memakai handuk kecil di pundaknya.

"Eh, nanti saja..." Indra langsung berbalik seratus delapan puluh derajat tapi kaosnya keburu ditarik Gaska dari belakang.

"Kenapa pergi? Sepertinya tadi ada urusan mendesak," Gaska dengan tubuh yang lebih tinggi dan tangan yang lebih panjang, menutup pintu di depan Indra dan mencegahnya agar tidak keluar.

"Bisa menunggu sampai kamu pakai baju dulu," Indra menjaga jarak dengan melangkah maju tapi Gaska yang mengikuti di belakangnya membuat Indra semakin terperangkap.

"Aku sudah bisa dapat uangnya sendiri," Indra berbalik untuk menunjukkan tidak ada yang perlu ditakuti. Kalau perlu dia malah ingin membuat Gaska gentar.

Meski jantungnya berdegup kencang, Indra berpikir bahwa bukan dirinya yang telanjang, jadi kenapa harus dia yang merasa malu.

"Aku tidak mau jadi pacarmu. Jadi hentikan tingkah aneh ini sekarang juga," Indra menyentuh dada Gaska dan mendorongnya menjauh. Indra kesal saat dada bidang Gaska hanya bergeser sedikit.

Gaska tertawa kecil, "Kamu sudah menelepon ayahmu? Iya, sebelum aku transfer memang dia duluan buat biaya hidup dan pendidikan. Tapi uang yang aku simpankan, cuma aku yang bisa memberikannya padamu. Kenapa? Karena aku pakai bank dan penyimpanan berbeda."

Gaska membelai rambut Indra dan menyelipkannya ke belakang telinga. Rambutnya yang kaku dan tajam saat disentuh adalah bukti perjuangan hidupnya. Dan Gaska tahu kalau mereka saling bergenggaman tangan, jari Indra yang tebal karena kapal sangatlah kasar. Dari banyak hal yang dilakukannya setiap hari mulai terbit pagi sampai larut malam. Bagaimana bisa Gaska tidak jatuh hati pada sosok indah di depannya itu?

"Sialan kamu!" Indra memaki, sorot matanya tajam. Sumpah serapah yang ingin diucapkannya terhenti saat Gaska membungkam Indra dengan mulutnya.

Gaska tidak hanya mencium bibir Indra yang lebih lembut dari perkiraannya. Ada sedikit sisa rasa pangsit ayam yang membuat Indra semakin nikmat bagi Gaska, beberapa kali dia memainkan lidah dan mengajak pria di depannya untuk sama-sama merasakan nikmatnya ditelan asmara. Tanpa sadar tangannya sudah memeluk Indra lebih dekat lagi hingga tidak ada jarak diantara mereka.

Indra yang terkejut, sempat berusaha melawan tapi sensasi yang dirasakannya membuat pikirannya bagai dijejali kapas. Lidah dan liur Gaska yang awalnya sedikit menjijikkan mengirim kejutan-kejutan listrik di sekujur tubuhnya. Lututnya sedikit lemas ketika ujung jari dan seluruh tubuhnya telah terlanjur merasakan kenikmatan bersama Gaska.

"Aku akan memperlakukanmu dengan sangat baik kalau kau beri kesempatan," Gaska berpindah menyerang sekitar leher Indra dengan sentuhan-sentuhan ciuman kecil. Saat tangan kirinya masuk ke dalam kaos Indra dan mengusap punggungnya, tangan kanan Gaska menarik training butut Indra ke bawah.

"Apa yang kamu?! Hentikan!" Indra yang tidak bisa berpikir jernih tidak punya cukup tenaga untuk mendorong Gaska.

Jangankan mendorong pemuda di depannya, untuk berdiri tegak saja Indra kesulitan. Terlebih lagi saat Gaska mulai membelai bagian pribadinya, sulit bagi Indra untuk tidak larut dalam kenikmatan. Hembusan nafas Gaska di dekat telinganya, aroma tubuh Gaska yang baru selesai mandi, dan aroma nafsu yang bercampur ketika Indra merasakan Gaska menempelkan kedua kemaluan mereka dan mulai mengocok dengan irama yang memabukkan.

Indra hanya bisa bersandar pada pintu di belakangnya dan memasrahkan kepalanya di pundak Gaska saat gelombang demi gelombang listrik nikmat yang berpusat di dekat perutnya terasa sampai ke ubun-ubun dan ujung jari kakinya.

"Lihatlah, tubuhmu begitu menikmatinya. Kenapa kau bersikeras menolak.." Gaska kembali menghujani wajah Indra dengan kecupan-kecupan kecil. Mata Indra yang tertutup rapat dan nafasnya yang tersengal merupakan pemandangan menakjubkan baginya. Terlebih karena dialah yang menyebabkan Indra bisa berekspresi seperti itu.

Jika bukan karena Indra adalah sosok berharga yang ingin dia jaga dan istimewakan, Gaska ingin melahap dan memilikinya saat itu juga, memasukkan miliknya dan melilit Indra dalam jeratan perasaan yang mengikat mereka jadi satu.

Dari reaksi Indra selama ini tampak jelas kalau dia belum pernah tidur dengan siapapun dan itu menjadi godaan besar bagi Gaska untuk mengambil keperjakaan Indra.

"Indra... " Gaska mendesahkan nama Indra saat kenikmatan itu terlihat dekat di balik pelupuk matanya.

Tubuh Indra yang mulai mengejang dan melekat ke arahnya menandakan bahwa pria di depannya itu pun sudah dekat. Gaska menggunakan kedua tangannya, satu untuk mengocok penis mereka lebih cepat, satu lagi untuk memainkan ujungnya. Sampai kenikmatan itu mengejan, menyebar ke seluruh tubuh bersama desiran darah mulai ujung kepala sampai jemari kaki, mengirim ledakan-ledakan kecil yang membuat dunia dipenuhi warna putih.

Dan Gaska melewatkan saat itu bersama Indra, kedua penis mereka masih berdenyut di tangannya sementara cairan putih yang memuncar membasahi tubuh mereka yang kini bercampur dengan peluh. Gaska mengangkat wajah Indra dengan rambut melekat di wajah kebasahan karena keringat. Mata Indra yang separuh terbuka masih ditutup kabut kenikmatan yang belum memudar.

"Bagaimana, masih nggak mau pacaran denganku?"

.

.

hmm... karena author masih gaptek, jadi masih freeee... 💕💕