Indra berniat berjalan kemana kakinya melangkah. Dengan Surya di dekatnya, dia memutuskan mereka hanya akan berada di kompleks perumahan. Sudah hampir seminggu dia tinggal bersama mereka dan melalui berbagai kejadian mengejutkan. Bagaimanapun, itu tidak sebanding dengan bukti transfer yang dibendel rapi yang ditemukannya di dalam ruangan mirip gudang itu.
Dia melirik ke arah Surya yang mengikutinya tanpa bicara. Hanya suara kedua alas kaki yang beradu dengan jalanan dan hewan malam mengisi kesunyian diantara mereka. Indra ingin tahu, sebanyak apa yang Surya ketahui. Apakah dia tahu kalau Indra sengaja mengincar mereka?
"Tadi..." Suara Indra terdengar aneh bahkan ditelinganya.
Surya menoleh ke arahnya, menunggu dengan pandangan mata penuh tanda tanya.
"Tadi waktu bersih-bersih, aku menemukan bukti transfer yang aneh," Indra memulai lagi.
"Aneh apanya?" Surya bertanya saat Indra tidak menjelaskan lebih detil.
"Penerimanya atas namaku. Tapi aku tidak pernah merasa menerima uang..." Indra lalu tertawa hampa. "Aku bahkan tidak punya tabungan di bank."
Surya tidak mengatakan apa-apa hingga waktu yang lama. Indra pun tidak ingin berbicara lagi kalau dirinya tetap tidak mendapat kejelasan.
"Aku bisa bantu jelaskan sedikit dirumah. Bukannya aku nggak mau," Surya segera memberi alasan. "Aku juga tidak tahu terlalu banyak. Gaska dan Papa yang lebih paham."
Indra sudah menduga. Meski dia ingin berpikiran positif kalau ada 'Indra' yang lain, dia tidak mau berpikir bodoh. Jadi dia hanya bisa menghela nafas panjang yang berat.
Perjalanan mereka kembali ke rumah dua lantai itu tidaklah lebih mudah. Kelelahan badan dan pikiran mulai Indra rasakan. Hawa dingin yang meremangkan bulu romanya turut membuat giginya bergemelatuk jika dikatupkan.
Perlahan tapi pasti, mereka pun sampai. Setelah mencuci kaki dan tangan, mereka masuk bergantian lewat pintu yang mengarah langsung ke dapur. Sekilas dia melihat Surya yang berkali-kali mengusap lengan untuk mengusir dingin. Indra berinisiatif untuk membuat minuman hangat. Segelas sereal vanila untuk Surya dan segelas lagi untuk dirinya.
"Terimakasih," Surya berbisik sebelum menyeruput minuman setengah panas itu.
"Jadi, itu uang apa?" Indra langsung ke pokok perkara.
"Itu uang buat Mas Indra. Awalnya ayah yang transfer tapi setelah Gaska tahu, dia sendiri yang ingin menggantikan ayah."
"Kenapa..." Ada banyak 'kenapa' yang bermunculan di pikiran Indra sehingga dia menghela nafas untuk mengatur nalarnya. "Siapa orang yang kamu panggil ayah ini? Kenapa dia... Uangnya nggak pernah sampai ke aku."
Surya menatap lurus ke mata Indra. "Ayahku, Mas. Setahuku dia juga ayah Mas Indra," pandangannya seolah menantang Indra untuk menepis kebenaran. "Kalau uang itu, Gaska yang lebih tahu."
Indra menatap ke arah permukaan meja yang menjadi pemisah antara dia dan Surya. "Setahuku sejak kecil aku nggak punya ayah," suara Indra yang dibebani kekalahan terdengar pelan dan lemah.
"Tidurlah, sudah malam." Ujar Indra saat sudah tidak ada yang dibicarakan lagi. Kakinya melangkah meninggalkan dapur dan sereal yang masih utuh.
. . .
Pagi itu perasaan Indra sudah lebih baik dibanding kemarin. Setelah ibadah fajar, dia membuatkan sandwich dan bekal untuk Surya. Adonan daging cincang yang dia masukkan lemari es kemarin dibungkusnya ke dalam kulit pangsit satu persatu lalu digoreng bentuk bunga, sebagian lagi digoreng setengah matang untuk nanti malam.
"Mas, aku berangkat dulu," Surya berpamitan sebelum berangkat. Pandangannya tajam, tidak seperti tadi malam.
"Kamu boleh marah ke aku dan Gaska, Mas. Tapi jangan pergi dari rumah ini. Setidaknya sampai Mas Indra dapat semua uangnya," genggaman tangannya kuat saat memegang lengan Indra.
Sepeninggal remaja itu, Indra tertawa seperti kesetanan. Kata-katanya barusan untuk jangan pergi sebelum mendapat semua uangnya sungguh terasa lucu. Dia datang untuk membawa penderitaan pada keluarga ini dan dia masih dapat uang juga.
Saat itulah Indra merasa mantab dan mulai tahu apa yang harus dilakukannya. Surya mungkin seperti dirinya yang tidak tahu apa-apa. Dia tinggal mencari tahu lebih lanjut tentang Gaska, apa perannya selama ini dan juga orang yang mereka panggil ayah.
Indra kembali ke kamar dan menyalakan ponselnya yang dia biarkan sejak kemarin. Ada beberapa pesan chat dari Surya dan penawaran dari operator. Indra membuka riwayat panggilan dan ada nomor yang belum disimpan yang menunjukkan waktu kemarin sesaat sebelum Gaska berangkat.
Dia ingat kemarin pria aneh itu meminta ditelepon. Jadi dengan penuh percaya diri, Indra menekan tombol panggilan.
Indra menunggu beberapa saat sebelum terhubung dan diangkat oleh Gaska.
"Indra?" Tanya Gaska dengan suaranya yang lebih berat dibanding biasanya.
"Gaska," Indra balik memanggil sebelum bertanya. "Kamu dimana sekarang?" Indra sudah merasa tidak perlu berbicara sopan sebagai ART. Dia sekarang adalah Indra yang akan mengambil miliknya karena miliknya telah diambil.
"Sebentar lagi sam...."
Lanjutan kata-kata Gaska tidak terdengar jelas, jadi Indra bertanya lagi, "Apa?"
"Kamu dimana?" Gaska balik tanya.
"Dikamar," jawabnya spontan. Indra lalu kembali mengumpulkan kemarahan dan kebengisannya untuk Gaska. "Tapi itu nggak penting. Dimana kamu sekarang?" Indra bertanya dengan nada dingin dan memerintah.
Pintu kamar Indra tiba-tiba terbuka. Indra kaget bukan kepalang saat Gaska muncul sambil menyeringai senang. "Disini.."
Indra berdiri meski dirinya sedang berada di atas kasur hanya agar bisa melihat Gaska yang berada lebih rendah darinya. Kemenangan kecil itu mengembalikan rasa percaya diri Indra.
"Kau! Berikan uangku!" Perintah Indra.
Gaska mendekat sambil tersenyum. "Uang? Gajimu masih tiga minggu lagi."
"Berhenti bercanda! Aku sudah melihat bukti transaksi bank, uang yang ditransfer untukku! Berikan sekarang!"
"Oh, itu..." Gaska yang berdiri di tepi kasur meraih tangan Indra. Saat Indra berontak, Gaska ganti memeluk kakinya. "Turunlah dulu. Bahaya kalau berdiri di kasur sambil marah-marah."
Indra yang jengkel karena Gaska tidak sedikitpun merasa takut atau gentar ingin semakin mengamuk, tapi Gaska mengatakan hal yang benar, jadi dia turun dari kasur dengan wajah masih bersungut-sungut. "Lepaskan!"
Gaska melipat kedua lengannya di depan dada. "Jadi, kau sudah melihat slip bank. Lalu apa lagi?" Gaska ingin mengklarifikasi sesuatu.
"Apa lagi? Jadi masih ada lainnya lagi?! Tunjukkan!" Indra kembali berteriak meminta haknya.
"Iya, akan kuberikan tapi ada syaratnya," ujar Gaska masih setenang sebelumnya.
Indra yang tidak suka mendengarnya tidak punya banyak pilihan jika dia ingin mendapatkan uang dan kebenaran lainnya. Yang pasti dia tidak akan kehilangan sesuatu hanya dengan mendengar syarat yang diajukan Gaska.
"Katakan," perintah Indra yang sudah menahan amarah sejak kemarin.
"Jadilah pacarku," kata Gaska sekali lagi meraih jemari Indra.
"Apa?!" Indra berharap dia salah dengar sambil bergerak mundur tapi tidak bisa karena ada kasur.
"Ayo pacaran denganku, nanti akan kuberitahu semuanya," kali ini Gaska mengangkat dan mencium telapak tangan Indra.
Indra langsung menarik tangannya dan membalas dengan bogem ke pipi Gaska, menyebabkan pria yang lebih tinggi beberapa senti itu terhuyung-huyung ke samping.
"Kamu sudah gila, Hah?!" Teriak Indra siap dengan pukulan selanjutnya.
Gaska mengelus pipinya yang terasa sakit, sepertinya di bagian dalam ada yang sobek. "Gila apanya, selama ini aku sudah mengirimkan uang untukmu dan menyimpannya karena ibumu tidak mau menerima. Apa salahnya kalau aku minta sesuatu sebagai gantinya."
"Ibu tidak mau? Jangan bohong kamu!"
"Apa aku pernah bohong padamu?" Kali ini Gaska terlihat tersinggung dan tidak terima, berbeda dari sosok Gaska yang selama ini dikenalnya.
Dan selama Indra bertemu Gaska, dia memang tidak pernah mengatakan kebohongan.
Berarti benar bahwa ibunya yang tidak mau menerima bantuan. Tapi kenapa?
"Aku tidak minta banyak," Gaska berjalan mendekat dan menolehkan wajah Indra agar mereka bertemu pandang. "Kalau kamu mau jadi pacarku, aku akan beritahu semuanya." Gaska merayu lagi, kali ini berbisik di telinga Indra. "Aku juga akan membantumu balas dendam."
Bagaikan mendengar bisikan setan, Indra merasa sebagian dirinya terpancing dengan janji manis yang keluar dari mulut Gaska. Apalagi yang diharapkannya selama ini selain melampiaskan kekecewaan, kesedihan dan penderitaan yang dialaminya dengan membuat mereka merasakan hal yang sama atau jauh lebih buruk dari itu.
Meski Indra tertarik tapi persyaratan Gaska bagaikan sebuah konsep yang tidak dia mengerti secara jelas. Ya, dia tahu arti kata pacaran secara luas tapi baru kali ini dirinya berkaitan langsung dan menjadi pelaku yang terlibat dalam kegiatan pacaran. Yang akan dilakukannya dengan Gaska. Yang sama-sama lelaki. Semakin lama, tawaran Gaska semakin tidak menarik. Dia tidak mau terlibat hal-hal yang akan menambah kepelikan hidupnya.
"Tidak usah memberi jawaban sekarang," Gaska mengambil langkah menjauh tapi tidak melepaskan tangannya yang menggenggam Indra. "Kamu bisa pikirkan baik-baik, aku nggak akan kemana-mana."
"Jangan omong kosong," Indra mendorong Gaska menjauh tapi tenaganya berkurang seiring kemarahannya yang mereda.
"Ini bukan omong kosong. Sudah lama aku ingin pacaran denganmu, seperti ini, gandengan," Gaska mengayun kedua tangan mereka yang masih bertaut.
"Berdekatan..." Gaska kembali melangkah maju hingga ujung hidungnya menyentuh tepian telinga Indra.
"Berciuman..." Perlahan, Gaska menyentuhkan bibirnya ke pelipis Indra. "...berduaan... Mudah 'kan? Dan kamu bisa dapatkan uangnya. Terakhir aku periksa lebih dari tujuh ratus juta."
Gaska menyalakan ponselnya dengan tangan yang lain. "Sayang sekarang sudah jam segini. Aku harus balik kantor lagi. Besok aku antarkan ambil uangmu kalau kamu setuju kita berpacaran."
Gaska melepaskan genggaman tangan mereka, sekali lagi mengecup pipi Indra sebelum keluar kamar menuju entah kemana.
Badan Indra kini merasa lemas setelah pikirannya tegang sejak kemarin. Terpikir baginya untuk pura-pura setuju dan mengikuti permainan Gaska sampai Indra mendapat semua uangnya tapi hal itu berarti dia hanya mendapat uang saja tanpa melakukan apapun pada keluarga ini.
Dari cara Gaska bicara, Indra menangkap seolah pria itu tidak peduli yang akan terjadi pada keluarga ini. Apakah Gaska bukan bagian dari keluarga mereka? Tapi kalau bukan keluarga, kenapa dia tahu begitu banyak bahkan dipercaya untuk melakukan tugas beresiko. Jika Gaska mulai mentransfer sejak sepuluh tahun lalu, berarti dia masih sangat muda, antara SD atau SMP. Kalau keluarga, apa yang membuatnya bersikap seperti itu. Ah, terserah, itu urusan Gaska, bukan urusannya, pikir Indra.
Kalau dia ingin mendapat uang dan balas dendamnya, maka dia dan Gaska akan bergandengan dan berciuman, berduaan seperti orang pacaran yang lain...
Yang Indra tidak mengerti mengapa Gaska mengajukan syarat seperti itu. Saat mereka bergandengan dan berdekatan, Indra tidak merasakan ada hal yang spesial seperti yang dibayangkannya tentang orang berpacaran. Rasanya sama seperti bergandengan tangan dengan orang lain. Dia hanya merasa geli saat telinganya ditotol hidung Gaska.
Kalau hanya seperti ini mungkin berpacaran itu tidak sesulit bayangannya. Lagipula, mau berapa lama mereka berpacaran? Gaska pasti akan segera bosan karena tidak ada yang berbeda dibanding bila pacaran dengan seorang gadis. Indra saja masih sering salah tingkah kalau berhadapan dengan pembeli yang cantik atau berbaju minim, atau berpakaian ketat.
Apa sebaiknya dia coba saja dulu. Kalau tidak sejalan dengan nuraninya, dia akan mundur.
.
.
.