Indra sangat berhati-hati sekali sejak dia bangun. Dia keluar rumah bahkan sebelum subuh dan beribadah di tempat terdekat baru ke pasar dengan membawa dua lembar seratus ribu dan beberapa ribuan untuk parkir. Tujuan utamanya adalah penjual daging, dia berencana masak semur hari itu. Meski wajahnya sempat terasa panas saat kejadian semalam muncul di ingatannya, Indra mengalihkan perhatiannya pada penjual ikan.
"Buk, ikan mujaernya setengah kilo yang agak kecil," ujar Indra sementara matanya tertuju pada tumpukan udang yang ukurannya lumayan besar dan kelihatan masih segar. "Sama udangnya sekilo."
Selagi menunggu belanjaannya ditimbang, mata Indra tidak sengaja melihat pria penjual yang tengah meraih dagangannya yang agak jauh sehingga bajunya sedikit terangkat. Terdapat sedikit kain warna merah di balik celananya yang berwarna coklat tua. Saat dia perhatikan lagi, pak penjual itu umurnya beberapa tahun lebih tua darinya.
"Udangnya tujuh puluh, mujairnya sepuluh ribu. Semua delapan puluh, Mas." Indra memberikan uang seratus, setelah mendapat kembalian, dia berpindah ke penjual sayur.
Di beberapa tempat saat Indra mempelajari keadaan sekelilingnya, ternyata bukan hanya pak penjual tadi yang memakai sesuatu di dalam celananya. Mas-mas yang duduk di warkop di dalam pasar, pembeli lain yang memilih belanjaan, penjual kerupuk, mereka sepertinya memakai pakaian dalam. Indra yang tiba-tiba merasa tidak nyaman dan agak tergoncang memutuskan pulang.
Indra menyangka kalau pakaian dalam itu hanya dia perlukan selama bersekolah saja. Karena saat berganti pakaian olahraga bebarengan dengan teman sekelasnya. Sedangkan di kafe Indra selalu berganti di kamar mandi jadi tidak ada masalah juga. Diluar itu, Indra selalu tidur di kamarnya sendiri jadi tidak perlu sungkan dengan ibunya.
Sejak mulai SMA, kesehatan ibunya yang memburuk membuat Indra lebih fokus pada mencari uang dibanding hal lain. Waktu luang yang dia miliki hanya saat sesama karyawan sedang beristirahat untuk bercanda dan bergurau, atau membahas tren yang kekinian. Jarang sekali mereka membahas hal pribadi selain tentang pacar mereka.
Indra memang tertarik melihat wajah ayu teman yang tersenyum padanya. Tapi untuk berbicara dengan mereka selama berjam-jam, berjalan-jalan atau bersenang-senang sementara ibunya kesakitan seorang diri di rumah, Indra tidak punya hati untuk melakukan itu. Terlebih karena Indra masih menyimpan sakit hati yang besar pada bapaknya, seolah tidak ada ruang lagi untuk yang lain.
Sebentar saja Indra sudah sampai di tempat tinggalnya yang baru, rumah dua lantai di kompleks Batara. Dalam hati dia berharap Gaska belum bangun selagi Indra meletakkan belanjaan di dapur dan bergegas naik ke kamarnya. Indra langsung memakai salah satu pemberian Surya semalam dan memastikan kalau cukup longgar dan enak dipakai.
Merasa aman, Indra lanjut ke dapur dengan langsung memasak nasi dan membersihkan ikan. Ikan yang sudah dimarinasi dimasukkan ke lemari es sementara dia menggoreng ayam dan merebus daging. Indra senang bisa masak cepat karena ada banyak kompor yang bisa dipakai. Sayur yang sudah dicuci, dipotong-potong lalu dikukus sebentar. Sedangkan kentang digoreng hanya setengah matang.
"Hmmm, pagi-pagi sudah wangi." Surya muncul dengan memakai setelan piyama warna hijau lumut.
"Mau sarapan sekarang, M.. Surya?" Indra keburu ingat kalau majikan mudanya suka dipanggil namanya langsung.
"Kepagian. Nanti aja, Mas. Oiya dua hari lagi sudah mulai masuk sekolah, aku biasanya sarapan roti panggang."
"Dipanggang di kompor atau pakai alat apa?" Indra ingin tahu lebih jelas.
"Ada alatnya disitu, sebelah magic jar."
"Pakai telur ceplok atau sosis? Mau dibikinkan susu anget juga?" Indra pernah melihat di televisi kalau sarapan roti biasanya pakai susu, sosis, telor atau pendamping lain.
"Mas Indra bisa bikin sandwich?" Surya balik tanya tapi karena Indra hanya berkedip, dia hanya tertawa kecil. "Nanti aku ajarin bikinnya. Mas berangkat jam setengah tiga kan? Nanti sandwich-nya bisa buat cemilan di kafe."
"Surya mau udang goreng tepung?" Indra ganti mulai membersihkan udang.
"Suka, aku pikir cuma masak semur aja, Mas."
"Tadi kebetulan udangnya agak gede, sekalian beli mujair juga. Kalo mujair mau?"
"Hmmm, nggak tentu. Kalau pas mood ya mau, Mas." Jawab Surya tanpa memberi kepastian.
"Oiya, Surya," panggil Indra yang sudah memasukkan udang yang bersih ke lemari es mendekati remaja yang sedang meracik minuman coklat hangat.
Surya mengangkat satu alis tanpa melepas perhatian dari racikannya. "Apa Mas?"
"Terimakasih, celananya tadi malam yang di kamar. Itu nggak cukup semua?"
Surya tersenyum lebar ke arah Indra kali ini, "Iya, pas belanja kemarin aku ambil soalnya bagus. Ternyata kebesaran. Buat Mas Indra gimana, cukup?"
"Cukup, tapi apa nggak disimpan saja buat nanti kalau ukuran Surya sudah cukup?" Indra tanya balik.
"Nggak, Mas," tawa Surya meledak, "Mau nunggu berapa tahun baru cukup? Sudah, Mas Indra pakai aja, aku bisa beli lagi nanti."
"Iya, terimakasih, Surya. Nanti kalau ada yang bisa Mas bantu, bilang, ya."
"Oke."
Indra tidak berlama-lama didapur karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Memang jadwal Gaska selalu berubah sejak Indra tinggal disana jadi dia tidak tahu kapan waktu pasti dia berangkat kerja. Saat ini Indra sedang tidak ingin bertemu dengan pria itu, jadi berbekal alat kebersihan, dia mulai melap pajangan yang ada di lantai satu yang letaknya di ruangan yang jarang dilalui orang.
Sejurus kemudian, Indra mendengar suara orang bercakap-cakap di dapur dan ruang keluarga disusul suara mobil dipanaskan. Indra merasa lega setelah dia mendengar suara mobil keluar rumah dan pagar tertutup. Sisa mengelap pajangan dilakukannya dengan tenang.
. . .
Hati Indra yang terasa tenang setelah ibadah tengah hari akhirnya ketiduran saat membaca puji-pujian. Dia baru terbangun saat alarm yang disetting jam setengah dua siang berbunyi. Matanya masih digelayuti rasa kantuk saat dia mencari Surya di luar kamar.
"Ya... Surya! Ada dimana?" Panggil Indra.
"Di dapur, Mas!" Indra mendengar suara balasan yang agak samar-samar.
Di dapur, Surya sudah menyiapkan beberapa potong roti tawar tanpa kulit yang sudah diolesi mentega dan sedang menggoreng telor ceplok. Ada tomat, selada, dan potongan sosis lebar. Seingat Indra tadi pagi tidak ada bahan-bahan ini di lemari es.
"Habis belanja juga, Surya?"
"Iya, di rumah nggak ada bahan-bahan buat mbikin sandwich. Jadi sekalian nyetok buat isiannya, kadang aku suka pakai yang daging lembaran ini, kadang yang mirip nugget ini," Surya menunjukkan antara ham dan patty burger.
Indra ikut meracik sandwich dengan urutan seperti yang ditunjukkan Surya. Tetapi sandwich miliknya tidak serapi milik Surya, dan isinya bergeser-geser saat diangkat. Malah ada potongan tomat dan timun yang jatuh membuat meja counter dapur jadi berantakan.
"Ini, ditahan pakai kertas ini biar gak habis isinya nanti," Surya memberikan kertas putih pembungkus makanan untuk sandwichnya yang letoy.
"Hahahaha, ada juga makanan yang Mas Indra nggak bisa bikinnya."
"Nanti kalau sudah sering mbuat pasti saya lebih jago daripada Surya."
"Iya, iya... Nggak sekalian nyiapin bekal nasi sama semur? Sudah jam segini, Mas."
"Iya. Nanti digoreng lagi kentangnya ya, kalau mau makan. Terus buncis sama wortelnya juga dihabiskan."
Meski wajahnya mengerenyit tidak suka, Surya mengangguk menuruti apa kata Indra. Hal itu membuat Indra berpikir apakah seperti ini rasanya kalau dia punya saudara.
. . .
Suasana mendung tidak terlalu banyak berpengaruh pada penjualan di kafe. Cukup banyak pengunjung yang sekedar duduk minum coklat atau kopi panas sambil menikmati mini tart yang dipajang di etalase kafe.
Dian yang sudah tidak lagi menjatuhkan piring atau gelas berisi pesanan, sudah lebih lihai dalam menangani pembeli. Bahkan kadang sesekali pemuda itu terlihat bercanda dengan mereka. Walau untuk membuat minuman dia masih belum ahli, Indra yakin dalam beberapa hari kedepan dia akan berubah banyak.
Jika beberapa hari yang lalu jadwal libur mereka bebarengan, dengan adanya Dian, kafe masih bisa tetap buka walau ada salah satu yang libur. Indra ingat kalau dirinya mengalami peningkatan kemampuan setelah menjaga kafe seorang diri karena Pak Hendi ada keperluan mendadak.
Seperti halnya hari ini, Pak Hendi keluar bebarengan dengan saat shift kerja Dian selesai. Sekitar jam setengah tujuh mulai turun hujan disertai angin kencang. Beberapa pembeli bertahan hanya sekitar setengah jam sebelum pulang hingga akhirnya hanya ada Indra sendirian di kafe.
Tidak ada yang dilakukan, Indra makan bekal semur-nya di belakang counter agar langsung terlihat kalau ada pembeli yang masuk. Sampai makannya selesai dan Indra iseng-iseng mengelap etalase, meja dan pajangan agar tidak mengantuk sehabis makan pun, masih belum ada pembeli lagi. Cuaca di luar pun masih hujan dengan derasnya. Dalam hati Indra berdoa agar waktu shiftnya selesai nanti hujan sudah reda.
Ketika ponsel Indra berbunyi, ternyata ada pesan yang masuk dari Pak Hendi. -langsung persiapan tutup saja. Sepertinya hujannya awet sampai malam. Hati-hati pulangnya-
Indra membalas singkat -iya, pak.-
Ponselnya menunjukkan masih jam delapan dan kafe sudah bersih, tinggal merapikan kue yang masih ada, menyimpan susu dan stok lain yang bisa dipakai. Lainnya Indra masukkan ke tempat sampah. Setelah mengganti semua kantong sampah dan memastikan mesin dan alat sudah mati, Indra mematikan lampu utama kafe. Sambil berganti pakaian, dalam hati Indra bahagia bisa pulang lebih cepat.
Saat mengecek ponselnya lagi, baru jam delapan lebih seperempat. Indra memakai jas hujan sebelum menyalakan mesin motornya. Namun dicoba beberapa kali tidak menyala. Dia ingat untuk mencoba memaju mundurkan motor lalu menyalakan mesin lagi. Kali ini mesin motornya menyala meski lampu depan lebih redup dibanding biasanya. Indra memeriksa lampu sign kanan dan kiri sebelum turun ke jalan. Untungnya hujan tinggal rintik-rintik ringan.
Lampu rumah semuanya masih menyala ketika Indra sampai. Dia menggantung jas plastik di tempat seadanya sebelum mencuci kaki dan tangan yang terasa lengket terkena hujan. Mobil Gaska belum ada, kemungkinan dia belum pulang. Indra pun masuk ke dalam rumah dalam keadaan kaget.
Suara stereo berdentum-dentum menggetarkan seisi rumah bahkan sampai dada Indra pun mengikuti irama debam debum yang mengelilinginya. Dia segera ke lantai dua tempat Surya sering main game, televisi yang menyala menunjukkan sekelompok wanita yang tengah berjoget seperti di kelab malam tanpa ada yang melihat.
Indra berpikir kemana kira-kira Surya berada saat pemuda jangkung itu keluar dari kamarnya sambil membawa ponsel. Wajahnya yang semula terlihat gusar dan cemberut berubah lebih cerah saat melihat Indra.
"Sudah pulang, Mas? Sudah dari tadi?" Tanya Surya yang bergerak mengecilkan suara televisi sampai hampir tidak terdengar.
"Barusan. Kata Pak Hendi disuruh tutup. Surya sudah makan malam atau belum?"
"Sudah, Mas."
"Kalau gitu saya beresin, ya, habis ini," ujar Indra yang dijawab anggukan Surya. Tangannya menempelkan ponsel ke telinganya dan bercakap-cakap dengan si penelepon.
Indra melangkah ke kamar dan mengganti pakaiannya dengan yang kering, kaos hitam bertuliskan -fun bike 2018 beserta sponsornya- dan sarung kotak-kotak berwarna coklat tua yang sudah pudar.
Keluar kamar, Surya masih berbicara dengan lawannya di ponsel. Kali ini suaranya lebih tinggi dan jelas kalau dia tidak suka dengan apapun yang mereka katakan.
Indra masih mau berbicara lagi dengan Surya tapi memilih untuk memberi waktu sampai pemuda itu tenang dulu. Indra tidak mau terlalu ikut campur urusan orang dan terlibat masalah yang tidak perlu.
.
.
.