Matahari sudah lebih bersahabat sore itu namun Indra belum bisa bernafas lega. Sudah dua hari ini dirinya berkeliling kompleks untuk mencari pekerjaan dan tak kunjung menemukan yang cocok. Sebuah kafe yang cukup besar d ujung jalan menarik perhatiannya. Indra berpikir mencoba sekali lagi tidak ada ruginya.
Kafe Javajaya yang dimasuki Indra sedang sepi saat itu. Hanya ada satu pembeli yang duduk di pojok dan satu orang lagi di belakang meja kasir. Dengan mengambil nafas panjang, Indra mengumpulkan percaya dirinya dan mendekati pria berambut cepak di belakang counter.
"Selamat sore, Pak. Maaf mengambil waktunya sebentar. Saya mau melamar pekerjaan," Indra memulai sambil memberikan senyum bisnisnya yang sudah dilatih di depan kaca.
"Saya Indra, ini daftar riwayat pekerjaan saya," kali ini giliran Indra menyodorkan map berisi data diri, berharap harap cemas pria tanpa ekspresi itu mau melihat isi map-nya.
"Saya berhenti dari pekerjaan terakhir karena sakit, sekarang saya sudah sembuh dan bisa bekerja lagi."
Kali ini pria itu mengambil map yang disodorkan Indra. Membacanya sebentar lalu mengembalikan map ke pemilik asalnya.
"Mas'nya balik lagi besok buat interview, ya. Jam 8 pagi bisa?"
Seperti disodori es teh setelah puasa seharian, Indra langsung mengiyakan. Tidak lupa meminta nama dan nomer orang tersebut sebelum berterima kasih dan berpamitan dengan bahagia.
Selama perjalanan pulang, berkali kali Indra mengucap syukur karena Tuhan telah melancarkan usahanya. Meski tidak mudah, akhirnya dia dapat janji interview. Berdasarkan pengalamannya selama ini, mendapat janji interview sudah sangat besar kemungkinan diterima.
. . .
Pagi keesokan harinya, Indra sampai seperempat jam lebih awal di Kafe Javajaya. Di dalam kafe, lampu masih gelap dan belum ada tanda-tanda manusia selain dirinya jadi Indra duduk di atas motor agar pakaiannya tidak kusut.
Tidak sampai lima menit, pria berambut cepak yang kemarin datang dan langsung membuka gembok pintu.
"Masuk dulu," pria berambut cepak langsung masuk tanpa menunggu Indra, membuka korden, menyalakan lampu, mengutak atik barang di counter.
Indra yang awalnya berdiri di dekat pintu masuk akhirnya duduk setelah diacuhkan selama seperempat jam. Mau bagaimana lagi, dia ingin memberikan kesan baik jadi Indra berusaha tidak menyela apa yang dilakukan pria itu selama mempersiapkan kafe sebelum buka. Terdengar suara mendengung beberapa perangkat elektronik yang mulai bekerja.
Indra memperhatikan interior ruangan, bahan-bahan yang dipakai, letak penataan, apa saja yang terlihat dari tempat dia duduk, untuk menghabiskan waktu. Tidak melakukan apapun membuat Indra merasa sedikit gelisah. Untungnya tidak lama kemudian terdengar lagu yang akrab ditelinga disusul dengan pria berambut cepak muncul membawa sesuatu.
"Cuma ada kopi instan, silahkan," pria itu menyodorkan mug ke arah Indra.
"Terimakasih," sahut Indra yang mengambil mug tapi tidak langsung meminum isinya. Map berisi riwayat pekerjaan yang kemarin dibawanya, masih tertutup rapi di atas meja.
"Indra, kemarin aku baca di riwayat, kamu belum pernah kerja di kafe?"
"Iya, saya belum pernah kerja di kafe, tapi kalau di warung atau depot saya pernah, Pak."
"Kafe ini biasanya buka mulai jam 9 pagi sampai jam 10 malam. Untuk persiapan harus datang sejam sebelum buka dan semua harus bersih saat tutup. Kerja disini dibagi dua shift, sekitar 8 jam sehari. Karyawan lain cewek, jadi dia dapat shift siang. Apa kamu bisa pulang malam terus?"
"Iya, Pak. Saya bisa," Indra bersyukur karena jam tutup kafe tidak sampai dini hari jadi masih relatif aman di perjalanan.
Selanjutnya mereka membicarakan hal lain terkait pekerjaan dan perjanjian kerja.
"Baiklah, kamu diterima. Bisa kerja mulai besok? Datang jam setengah tiga sore, jadi ada waktu buat latihan alat."
"Baik, Pak. Terimakasih. Sampai ketemu besok, Pak."
Sekeluarnya dari kafe, Indra sekali lagi mengucapkan syukur dan pujian pada Tuhan. Tanpa buang waktu, dia langsung melakukan rencana keduanya, mencari kos dekat kafe. Rumah yang ditempati Indra dan ibunya terlalu jauh dari sini dan sudah mulai ada orang yang berminat mengontrak tempat itu. Indra tidak mau terlarut dalam kesedihan dan dengan ini dia berharap bisa menenangkan hatinya yang selalu gelisah.
Dalam hati dia sekali lagi mengucapkan maaf pada mendiang ibu karena telah melanggar janji.
. . .
Saat Indra bangun pagi itu, untuk pertama kali setelah sekian lama, hatinya terasa ringan. Kemarin dia langsung menemukan tempat yang sesuai keinginannya, dekat kompleks perumahan Batara, ada tempat yang cukup untuk menjemur pakaian dan bisa parkir motor depan kamar.
Pagi itu juga dia mulai mengemas barang, antara yang akan dibawa ke kos, ditinggal di rumah dan yang dijual. Tidak mau terlalu kecapekan di hari pertama, setelah ibadah siang, Indra menyempatkan tidur sebentar sebelum berangkat ke kafe.
"Siang, Pak Hendi," sapa Indra saat dekat meja counter.
Pria berambut cepak pemilik kafe, Pak Hendi, kelihatan kewalahan. "Iya, langsung cuci tangan terus bantu sini dulu."
Dibanding pertama kali Indra datang Kafe Javajaya memang jauh lebih ramai. Hampir semua meja terisi, yang kosong karena masih belum dibersihkan setelah ditinggal pembeli, sedangkan yang antri di depan kasir masih lima orang.
"Dua Iced Americano plus syrup bawa pulang dan empat creamy cheese waffle, totalnya delapan puluh lima ribu."
"Coffe cream bun'nya masih ada?"
"Ada, untuk makan disini atau dibawa pulang?"
"Kamu sudah lihat drakor terbarunya Ki Song Joong? Ya ampun, ganteng banget, yaaa... 😍 "
"Belum, di kantor mau ngadakan event baru, jadi belum ada waktu buat me time 😭"
Karena baru hari pertama dan belum bisa memakai mesin, Indra lebih banyak mengambil barang dan membersihkan meja. Waktu pembeli agak surut, dirinya berinisiatif menghafalkan letak barang dan nama masing-masing.
"Disini selain kopi juga jual kue yang cantik-cantik. Pak Hendi sendiri yang mbikin kuenya," Anya, karyawati yang kerja shift siang menjelaskan.
Menjelang malam, Indra sudah bisa mengoperasikan mesin kasir. Sebagian besar mini cake yang ada di etalase sudah habis, begitu juga tenaga Indra. Untung ada ruangan khusus karyawan tempat dia bisa makan dengan tenang tanpa merasa sungkan dengan pembeli.
"Jam sembilan biasanya pembeli agak berkurang, jadi sudah bisa bersih-bersih," Pak Hendi menyodorkan alat untuk membersihkan meja dan kaca.
"Iya, Pak."
Indra langsung membersihkan kaca kafe dari dalam termasuk etalase sebelum mulai membersihkan meja. Sesekali matanya melihat keluar ke jalanan yang sudah tidak sepadat tadi siang.
Terbesit di pikirannya untuk mengitari kompleks Batara sekali lagi. Kemarin karena masih siang Indra tidak mau dikira berniat buruk. Mungkin kalau sudah malam begini...
"Satu iced cappucino extra syrup dan whip cream."
Indra menoleh ke arah pembeli yang sedang memesan minuman. Dalam hati dia sedikit kaget karena jenis minuman itu biasanya lebih sering dipesan siang atau sore hari saat cuaca sedang panas.
"Di bawa pulang ya?" Pak Hendi memastikan.
"Iya."
"Totalnya tiga puluh ribu."
Indra melanjutkan merapikan kursi terakhir. Semakin cepat pekerjaannya selesai, dia bisa pulang semakin cepat.
"Sudah, Pak Hendi," Indra melapor.
Pandangan Pak Hendi menyapu kondisi kafe yang sudah kinclong. Indra bahkan menyiram tanaman di dalam dan luar ruangan tanpa diminta. Tinggal sedikit merapikan saja dan kafe sudah siap ditinggal kalau tutup nanti.
"Hmm, kamu bisa pulang sekarang."
"Baik, Pak," mata Indra yang tadinya berat karena mengantuk langsung terang dan ringan. Kuatir bossnya berubah pikiran nanti, Indra langsung ke ruang karyawan untuk ganti baju.
Selesai memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal, Indra keluar lagi untuk berpamitan.
"Pak, saya pulang dulu."
"Bawa ini," Pak Hendi menyodorkan kotak yang biasanya dipakai membungkus mini cake yang dibawa pulang. "Kalau musim liburan biasanya kafe lebih rame."
"Terimakasih, Pak."
Sambil meninggalkan kafe, baru terpikir oleh Indra kalau sekarang mendekati akhir tahun. Sekolah mulai libur setelah ujian semesteran sedangkan perusahaan besar biasany mengadakan acara diluar ruangan untuk mempererat persaudaraan.
Karena besok kafe sepertinya ramai lagi, Indra bergegas menyalakan sepeda motornya. Tujuannya jelas, salah satu rumah di kompleks Batara. Saat Indra sudah dekat, dia melihat seseorang sedang memasuki halaman sebelum mengunci pagar. Agar tidak menyulut kecurigaan, Indra mematikan mesin motor dan berdiri di tempat yang gelap.
Jantung di dadany mulai berdegup kuat. Aliran darah yang berpacu dalam nadi seolah jadi penyulut emosi memanaskan seluruh tubuhnya. Telapak tangan tergegam yang dibasahi peluh, di bukanya perlahan seiring helaan nafas panjang untuk menurunkan kepenatan yang memuncak di pikiran Indra.
Sebelum dirinya melakukan hal bodoh, Indra menyalakan kembali mesin sepeda motor dan beranjak dari sana.
Mungkin ibunya sudah bisa menduga apa yang akan Indra rasakan, karena itu beliau melarangnya mendekati alamat rumah itu. Ibunya ingin melindungi Indra dari rasa kebencian, kepedihan dan kesengsaraan. Tapi menganggap lubang di hatinya seolah tidak pernah ada seperti yang selama ini dia lakukan hanya bisa karena sang ibu ada di dekatnya. Tersenyum mendampinginya.
Saat sosok itu sudah tiada dan kini berkalang tanah, lubang di hati Indra seolah makin membesar. Menertawakannya karena ternyata apa yang dia pikir sudah lakukan adalah kesia siaan belaka.
Malam itu Indra terpaksa menelan obat yang diresepkan dokter.
"Tuhan, Engkau yang bisa membuatku tenang dengan bantuan obat ini. Tanpa persetujuanMu, obat ini tidak akan bermanfaat. Tolonglah hambamu yang teraniaya ini, Tuhan. Engkau yang Maha Mengatur dan Maha Pemurah. Aamiiin."
.
.
.