Orang bijak berkata kalau seseorang diuji sesuai dengan kemampuannya.
Indra percaya akan perkataan itu karena sampai saat ini dia masih tetap hidup setelah melalui berbagai ujian.
Keseharian yang dijalani kadang terasa sulit. Saat bangun, ibu sudah sibuk di dapur menyiapkan berbagai jajan untuk dijual di pasar. Jajan bikinan ibu enak, Indra sering membawanya sebagai bekal kesekolah. Sebelum Indra mengerti, dia sering dimarahi ibu kalau bermain mulai siang sampai sore, karena kecapekan main kalau malam jadi malas belajar. Setelah dia sudah paham, sepulang sekolah dia membantu membereskan rumah dan kadang memasak.
Waktu masih kecil, Indra beberapa kali menanyakan keberadaan ayah yang tidak ada. Sang ibu sering terlihat sedih dengan pertanyaan itu. Ketika Indra sudah tidak mempermasalahkan keberadaan ayah, ibu menjelaskan kenapa ayah Indra tidak ada disampingnya.
Semakin bertambah usia Indra, makin banyak hal yang dia pelajari baik dari sekolah, dari pergaulan sehari-hari, dari kehidupan orang-orang di televisi. Indra menyadari kalau dia dan ibunya termasuk keluarga kurang mampu, yang atap rumahnya sering bocor kalau hujan, yang kalau mau melihat televisi numpang ke tetangga, yang lemarinya sudah lapuk dan tidak bisa ditutup rapat. Tapi bukan itu yang membuat Indra mulai membenci ayahnya.
Indra dan ibunya harus menabung berminggu-minggu kalau sepatu Indra sudah tidak bisa dipakai lagi. Indra dan ibunya harus bekerja ekstra kalau ada kebutuhan tambahan yang harus dibeli. Kalau banjir dan rumah mereka terendam, atau ibunya sakit berhari-hari sehingga tidak bisa berjualan, Indra sering keluar malam untuk mengamen bersama teman-teman sekolahnya.
Itu semua tidak seberapa dibanding saat Indra harus meninggalkan ibunya yang sakit keras di rumah, untuk bekerja. Setiap akan berangkat Indra selalu berpamitan seolah takut kehilangan beliau saat di tempat kerja. Meski sudah minta tolong tetangga untuk membantu menjaga, membantu memberi makan atau minum, bahkan menelepon kalau terjadi sesuatu, perasaan was was itu tidak bisa hilang. Perasaan khawatir yang selalu membayanginya selama di perjalanan dan di tempat kerja. Hingga akhirnya perasaan itu berubah jadi duka mendalam waktu beliau berpulang.
Seandainya gaji yang dia dapatkan lebih besar untuk perawatan beliau. Seandainya dia bisa mengambil dua pekerjaan sekaligus. Seandainya beliau tidak terlalu lelah bekerja. Seandainya mereka bisa membeli makanan yang lebih baik untuk kesehatan. Seandainya..
seandainya..
SeAndAinya. seAndAInya. SEandainYa. seaNDainYa. SEandAinyA. seAndAINya. sEAnDainYa. SeANdainYa.
SeaNDaInYa. sEaNdAInYa. SeAndAiNyA. sEanDAinYA. SEanDAInyA.
SeAnDaINYa. sEAnDAiNYa. seANDaINYa.
SEANDAINYA!!!
Tapi pikiran itu Indra hentikan saat dia memandang wajah beliau untuk terakhir kalinya. Wajah putih bercahaya seolah sedang bermimpi indah. Sudah tidak ada beban dan kesakitan lagi yang menahan beliau di dunia.
Tinggal doa-doa yang mengalir dari bibir pelayat. Tinggal kata-kata pujian dan permohonan agar beliau berada di tempat terindah, di tempat teduh, di tempat bercahaya, di tempat yang lapang, tak kurang suatu apapun.
Dibantu ibu-ibu tetangga untuk menyelenggarakan kirim doa, Indra berusaha bertahan. Hingga hari ketujuh, Indra berusaha menata lagi hidup setelah salah satu pilarnya roboh. Berhari-hari dia mencoba mencari alasan yang cukup kuat untuk berkutat dengan peliknya kehidupan. Alasan itu dia temukan pada sebuah alamat di kompleks perumahan Batara.
. . .
Berbekal aplikasi pencarian, Indra berhasil menemukan alamat yang kini jadi tujuannya.
Rumah yang terletak di jalan ketiga setelah belok kanan itu bertingkat dua. Memang kalah jauh dibanding rumah-rumah lain di kompleks tersebut yang lebih mentereng. Namun, dibanding rumah milik Indra dan mendiang ibunya, rumah itu jauh lebih besar dan lebih mewah. Halaman yang muat hingga tiga buah mobil masih juga berhiaskan taman lengkap dengan air terjun mini dan gazebo.
Indra tidak berani macam-macam seperti menerobos masuk dan merusak isi di dalamnya. Dia tidak mau wajahnya terekam cctv dan membuatnya berurusan dengan pihak yang berwajib. Dia bahkan tidak tahu apa yang akan dilakukannya kalau bertemu dengan salah satu penghuni rumah tersebut. Jadi Indra memutuskan untuk melihat sambil memupuk rasa kesal dan bencinya. Dia akan memutuskan apa yang akan dilakukan kalau sudah tiba waktunya.
Sekarang dia hanya akan melihat dan mengawasi. Dia akan menunggu.
Indra cukup sabar menunggu.
.
.
.