Chapter 4 - Ba-Gaska-ra

Waktu pulang ke kosan malam itu, Indra langsung beribadah malam sebelum melakukan hal lain. Badannya terasa lebih capek dari biasanya, bahkan dibanding saat kafe sedang ramai. Dia berpikir mungkin karena tanpa sadar badannya tegang pas jaga kafe sendirian. Pak Hendi datang hanya sekitar dua jam saat kafe sedang ramai-ramainya sebelum pergi lagi dan meminta tolong Indra menutup kafe sendirian.

Saking capeknya, selesai ibadah, Indra langsung rebahan di kasur. Bersiap menyambut tidur lelap yang sudah di ambang mata.

Sejam kemudian, Indra membuka mata, berkedap-kedip menatap langit-langit kamar yang berwarna kuning muda. Dua jam kemudian, giliran dinding kamar yang menjadi obyek tatapan tajamnya. Lewat tengah malam dan dia belum bisa tidur.

Indra sempat merasa tergoda meminum obat yang biasa dipakai untuk membantu menenangkan kalau pikirannya kalut tapi lebih memilih membuka lemari makanan. Tubuh akan lebih tenang dan gampang mengantuk setelah makan. Karena hanya ada makanan instan, Indra membuat mie goreng kesukaannya.

Tinggal dua minggu lagi dia gajian. Diawal kesepakatan, Indra mendapat sekitar dua juta sebulan dan mendapat libur tiga hari sebulan. Dia tidak tahu apakah Pak Hendi termasuk orang yang perhitungan dengan uang atau tidak. Dari beberapa tempat Indra pernah bekerja, orang baik tidak selalu memberi uang lemburan yang banyak. Malah ada yang untuk lemburnya, Indra dibelikan seporsi nasi goreng. Ada juga yang lebih suka memberi barang dibanding uang pada karyawannya. Indra pribadi lebih suka dapat uang daripada makanan mahal yang dia belum tentu doyan.

Indra lalu teringat pada kartu nama yang diberikan pemuda di kafe tadi. Sebenarnya Indra ingin mengambil pekerjaan itu untuk dirinya sendiri tapi dengan kondisi sekarang, dia tidak terlalu yakin mampu menyelesaikan kedua pekerjaan dengan baik. Lagipula dia tidak tahu bagaimana kondisi rumah pemuda tadi, apakah ada peliharaan, apakah ada anak kecil, apakah termasuk memasak juga, apakah mencuci pakai mesin atau tangan. Dirinya juga tidak berani mengenalkan orang tanpa tahu jelas kondisinya karena tidak mau nantinya berbuntut panjang. Paling apes, sampai berurusan dengan polisi.

Karena itu, beberapa hari kemudian, Indra kaget saat membantu mengantarkan pesanan kue pemuda itu yang bernama Gaska, rumahnya adalah rumah bertingkat dua dengan gazebo dan air terjun mini di kompleks perumahan Batara.

"Tolong bawa masuk, Pak. Saya masih ada telepon penting sebentar. Ada adek saya di dalam."

Rumah yang kelihatan besar dari luar itu ternyata lebih besar lagi dalamnya. Pintu samping menuju dapur yang lebih luas dari kamar kosnya, terhubung dengan ruang makan yang tidak kalah luas disebelah taman. Dari tempatnya berdiri, Indra bisa melihat ruang tamu dan tangga melingkar keatas.

Tidak ada tanda-tanda anak kecil, hewan peliharaan, dan dijamin pasti punya mesin cuci canggih. Meskipun sendirian, Indra yakin bisa memasak tiga macam sekaligus kalau jumlah kompornya sebanyak itu.

"Siapa?" Tanya seseorang yang membuyarkan lamunan Indra.

Remaja laki-laki bertubuh jangkung dan kurus itu memegang ponsel di tangan kiri sedangkan tangan kanannya terdapat tumbler berwarna kuning. Wajahnya terlihat curiga dan penasaran.

Indra merilekskan wajah agar tidak ada ekspresi apapun yang muncul di wajahnya. Saat ini dia datang sebagai pegawai kafe jadi dia berusaha untuk profesional.

"Saya mengantarkan kue pesanan, mau ditaruh mana, ya?"

"Di dapur aja, ga apa. Urusan bayarnya sama Gaska, ya." Tanpa menunggu jawaban Indra, remaja itu langsung ngeloyor ke arah lain dan sudah menghilang dari pandangan.

Indra meletakkan kantong plastik jumbo berisi kotak kue di counter di dapur. Dia balik lagi keluar untuk mengambil bungkusan terakhir yang masih ada di kendaraan.

"Pembayarannya sudah, Pak?"

"Iya, sudah lewat transfer. Nanti yang pesen suruh hitung dulu, biar ga ada komplain selisih jumlah nanti."

"Iya, Pak."

Indra masuk lagi sambil membawa kantong plastik terakhir. Dia merasa tidak nyaman menjelajah rumah orang tanpa pemiliknya.

"Halo, permisi?!" Indra berteriak keras di dapur. "Kuenya sudah semua, ya! Permisi!"

Pemuda yang pesan, Gaska, muncul sambil membawa ponsel di tangan. "Sudah?"

"Iya, silahkan dihitung lagi," Indra menatap lurus ke depan, sekitar pundak Gaska.

Gaska mengangguk kecil, "Nggak usah, saya percaya."

Indra ikutan mengangguk, "Kalau begitu saya permisi."

Sesampainya di kafe, Indra berusaha melanjutkan pekerjaannya seperti biasa. Namun kekagetannya setelah masuk ke rumah kompleks Batara itu belum hilang. Dia beberapa kali melakukan kesalahan yang tidak biasanya dilakukan. Pak Hendi sampai menanyakan apakah dia baik-baik saja dan menyuruh Indra pulang lebih awal.

Di kos-kosan pun, Indra masih termenung. Selama ini dia membayangkan bagaimana bahagianya keluarga yang komplit itu, yang orangtuanya lengkap, dengan anak mereka. Orang-orang yang berbahagia di atas penderitaan Indra dan ibunya. Tapi saat dia melihat dengan kepala mata sendiri bahwasanya mereka memang sebahagia itu, Indra merasa seperti tersambar petir.

Sejujurnya, dia pun tidak tahu ekspektasi apa yang diharapkannya. Mungkin rumah itu bagus hanya dari luar saja, dan dalamnya bobrok seperti kayu dimakan rayap. Bahwa mereka tidak sebahagia kelihatannya. Bahwa semua harta yang melimpah itu membawa petaka bagi mereka, seperti yang diharapkan Indra selama ini.

. . .

Keesokan paginya, Indra berangkat nyekar.

Makam bertulis nama Ibunya masih kelihatan baru. Dalam hati Indra sedikit terselip rasa marah pada ibu yang tidak pernah membahas tentang orang yang menjadi bapaknya. Hanya berulang kali mengatakan dan berpesan 'jangan cari dia'. Tidak hanya wajah, namanya pun Indra tidak tahu. Saat Indra menanyakan pada saudara dari ibunya, banyak dari mereka yang sudah lupa karena kejadiannya sudah sangat lama. Alamat yang didapat tanpa sengaja pun berada di antara barang-barang ibunya.

Suasana makam yang tenang dan syahdu membuat berbagai macam pikiran yang memenuhi kepala Indra mulai tertata satu demi satu. Untuk pertama kali terbesit dalam benaknya kalau yang tinggal di rumah itu mungkin orang yang berbeda, bukan bapaknya lagi. Toh kertas bertulis alamat itu sudah kuning kecoklatan dengan tinta yang agak blobor.

Demi satu kepastian, Indra beranjak dari makam dan membulatkan tekad untuk menanyakan langsung pada yang bersangkutan. Indra masih punya kartu nama Gaska di kantong seragam kerjanya.

Secepat mungkin, Indra bergegas kembali ke kamar kosnya dan mendapati baju kerjanya yang ternyata tergantung di jemuran. Dia baru ingat semalam semua hal dilakukan tanpa sadar, jam berapa dia pulang pun Indra tidak ingat. Saat merogoh kantong, tidak ada apa-apa disana. Karena ada kemungkinan tanpa sadar dia membuang kartu nama itu, Indra juga memeriksa tempat penampungan sampahnya dikamar, hanya ada bungkus mie instan dan kulit telur.

Indra lalu mencari dengan lebih teliti ke setiap sudut kamar, barangkali tercecer atau terselip. Setelah hampir dua jam mencari, masih juga belum menemukan kartu nama Gaska. Segala kemungkinan dipikirkannya, karena rute perjalanan Indra hanya tempat kos dan kafe, kemungkinan terbesar ada di dua tempat itu. Karena di tempat kos tidak ada, bisa jadi masih ada di kafe.

Sekali lagi Indra mencari ke sekeliling kamar untuk memastikan kartu nama itu tidak ada disana. Setelah yakin, Indra berangkat menuju ke Kafe Javajaya. Waktu menunjukkan pukul delapan lebih tiga puluh menit saat Indra sampai, jadi Anya atau Pak Hendi sebentar lagi akan tiba.

Indra menunggu sampai jam sembilan lebih namun tidak ada satu orangpun yang muncul. Baru saat itulah terpikir olehnya menelepon bos tempatnya bekerja.

"Selamat pagi, Pak Hendi, saya Indra. Maaf telepon pagi-pagi."

"Iya, ada apa, Indra?" Suara di seberang telepon kedengaran berat seperti baru bangun tidur.

"Kafenya nggak buka hari ini, Pak?"

"Nggak, kalau kalian libur, kafenya juga libur. Ada apa?"

"Ah, nggak, Pak Hendi kebetulan lewat depan kafe koq tutup. Ya sudah kalau begitu, maaf mengganggu, Pak.."

Ponsel di seberang langsung ditutup bahkan sebelum Indra selesai bicara. Indra merasa kesal karena sedari tadi usahanya berkali-kali menemui jalan buntu.

Merasa jengkel, putus asa dan frustasi jadi satu, Indra langsung menyalakan lagi motornya menuju rumah di kompleks perumahan Batara yang sudah diincarnya sejak beberapa minggu yang lalu.

Suasana di kompleks itu cukup sepi dengan sesekali saja ada kendaraan yang lewat. Tidak ada seorangpun yang menegur meski Indra berdiri berlama-lama di depan pintu. Meski tadi nyalinya menggelora, api itu meredup saat dia berhadapan dengan pintu yang memisahkan dirinya dengan fakta penghuni didalamnya.

Angin dingin yang bertiup membawa sekumpulan awal tebal gelap yang tampak garang dan menantang, menutupi cahaya matahari yang sedari tadi sudah tidak terlalu cerah. Setelah tiga puluh menit berlalu, Indra mengepalkan tangannya dan memukul bel keras-keras. Berkali-kali.

Terus menerus. Tapi tidak ada satu orangpun yang keluar.

"Ha!" Indra berteriak keras karena rasa nervous'nya sejak pagi seolah tidak berarti.

Tentu saja hari ini saat dia mulai berani menghadapi kenyataan dan mencari kebenaran, keadaan membuat semuanya jadi seperti lelucon. Seperti hidupnya selama ini yang menjadi lawakan bagi orang lain.

Rasa sebal, malu, capek, lapar dan frustasi karena tidak ada usahanya yang berhasil membuat wajah Indra terasa makin panas. Darahnya yang berpacu kencang dan mendesir-desir terdengar sampai ke telinganya, menutupi suara lain.

Angin dingin yang kencang dan tetesan gerimis menusuk menambah kesal dirinya sampai akhirnya perasaan itu tidak terbendung lagi dan mulai membuat matanya buram. Pandangannya yang berkaca-kaca dipenuhi air mata itupun akhirnya luber seiring dengan turunnya hujan yang semakin deras.

Indra merasa kehilangan lagi untuk kesekian kalinya siang itu.

Sampai kapan cobaan ini akan berakhir.

Apa kesalahan yang dilakukannya sehingga hidup terasa begitu berat.

Apa salah Indra pada mereka sehingga dirinya harus melalui jalan yang penuh rintangan.

Pertanyaan demi pertanyaan keluar dari benaknya diiringi isak tangisnya yang pecah. Semua rasa sedih yang dipendamnya selama bertahun-tahun turut mengalir tanpa henti. Kebencian dan amarah yang tidak tahu harus dibawa kemana itu melesak merobek dadanya.

Dia tidak peduli lagi, tidak akan ada yang melihat atau mendengar di tengah hujan deras dengan angin kencang dan petir menyambar. Entah sudah berapa kali kepalan tangannya menggedor-gedor pintu yang tetap tak bergeming, sampai tangannya terasa tebal.

Begitu larutnya Indra dalam pikirannya sehingga dia tidak mendengar sebuah mobil yang bergerak mendekat. Matanya yang dipenuhi air mata tidak menangkap cahaya lampu sorot yang menyinari tubuh yang membelakangi jalan.

"Ya Ampun, Mas, sedang apa disini?" Tanya suara pria sambil menarik lengan Indra yang setengah terduduk dan dalam keadaan basah kuyup.

Indra menengok keatas, ke arah pria itu. Orang itu Gaska, yang memberikan kartu nama dan bisa menjawab sebagian pertanyaan yang selama ini menyesakkan dadanya.

"Saya..." Suara Indra sengau dan serak setelah menangis entah berapa lama.

Dengan setengah berteriak, Indra spontan menjawab, "Saya Mau Jadi ART!!!"