"Woi! Kemana lo brengsek?! Keluar!"
Suara teriakan segerombolan laki-laki itu perlahan menjauh dan menghilang. Tanpa mereka ketahui, orang yang mereka cari sedang berada di gang sempit dan gelap, tidak jauh dari sana.
Di samping tempat pembuangan sampah yang masih kosong, terdapat dua remaja berbeda gender. Mereka adalah Ares dan Athena yang sedang bersembunyi. Ares mendekap erat tubuh mungil Athena agar tidak ketahuan. Sesekali, Ares mengintip untuk melihat situasi. Berbanding terbalik dengan Athena yang terdiam berusaha menenangkan diri. Posisi mereka saat ini sangat-sangat tidak baik untuk jantung Athena.
Ares menghela nafas lega. "Sudah aman."
"Res. Kalo udah aman, bisa lepasin gue?"
Ares yang baru sadar itu dengan cepat melepas dekapannya. "Sorry, Na."
Athena berdiri dan membersihkan roknya yang sedikit kotor. "Gak papa. Ayo pulang. Ceritanya di jalan aja."
Ares mengangguk canggung dan berjalan beriringan dengan Athena. Mereka memilih melalui jalan yang sedikit ramai, meskipun itu adalah jalan memutar.
"Jadi?"
Ares berdehem singkat. "Kemarin, Liam minjam motor sama jaket gue buat jemput pacarnya. Entah pacar yang ke berapa. Waktu itu, motor Liam lagi di perbaiki. Terus pas dijalan, Liam bertengkar dengan pacarnya. Mereka bertengkar dimotor, meresahkan emang. Dan Liam nggak sengaja kesenggol motor yang lagi parkir. Karena panik, Liam langsung pergi aja sama pacarnya. Menurut cerita Liam gitu. Motor gue juga sedikit lecet, jadi Liam bawa motor gue ke bengkel. Sialan banget si Liam."
"Jadi, gara-gara Lo hari ini make jaket yang di pake Liam kemarin, lo yang kena imbasnya?"
Ares mengangguk kesal. Athena menghela nafas panjang. Apes sekali. Tanpa mereka sadari, mereka sudah sampai di rumah Athena.
"Udah sampai. Makasih ya, Res."
Ares tersenyum dan mengacak rambut Athena. Wajah Athena memerah. Athena dengan cepat mengeluarkan ponselnya dari saku dan memesan ojek online untuk Ares.
"Lo pulang pakai ojek. Udah gue pesenin. Tapi bayar sendiri."
"Iya iya."
Tidak berapa lama, ojek yang di pesannya datang. Ares berpamitan dan langsung pulang. Athena menghela nafas lega.
Athena memasuki rumah dan langsung di sambut dengan cap lima jari di pipinya. Athena menatap sang pelaku yang juga sedang menatapnya berang.
Feby, pelaku yang memukulnya itu menyodorkan layar handphone yang menampilkan foto dua insan sedang bercumbu. Athena melebarkan matanya. Itu dirinya? Kapan? Perasaan, Athena tidak pernah melakukan itu. Dan lagi, Athena tidak mengenal laki-laki yang berada di foto itu.
"Apa ini, hah?! Jelaskan! Percuma saya membesarkan kamu! Dasar anak nggak tau diri!"
"Itu bukan aku. Itu editan!"
"Nggak mungkin Nasya berbohong! Jelas-jelas itu kamu!"
"Nasya?"
"Rubah sialan!"
"Kamu harus di beri pelajaran." Dingin Ferry yang sedari tadi menatap Athena tajam.
Ferry menyeret Athena menuju gudang di bawah tangga. Athena memberontak berusaha melepaskan cengkraman Ferry. Namun, tenaganya tidak sebanding dengan Ferry.
Ferry menghempas Athena dengan kasar. Pria itu mengambil rotan yang berada di pojok ruangan dengan tatapan datarnya. Athena yang sebelumnya memiliki tenaga untuk memberontak itu mendadak lemas. Perasaan takut tiba-tiba menggerogoti Athena. Ini, bukan perasaan Alea, namun ini perasaan Athena yang asli.
Ferry tanpa beban memukulkan rotan itu ke tubuh Athena. Ekspresinya nampak biasa saja dan seperti sudah terbiasa dengan jeritan Athena.
Nasya dan Feby menyaksikan itu semua, tanpa ada niat membantu. Malah, mereka terlihat menikmatinya. Theo sedang tidak berada di rumah saat ini.
"Sakit, Pah! Ampun!"
Ferry tetap tidak menghiraukan Athena dan malah semakin kencang memukulkan rotan itu ke tubuh Athena.
Setelah puas mengayunkan rotan, Ferry melempar asal rotan itu dan mengajak Feby pergi meninggalkan Athena yang sedang meringkuk menahan rasa sakit di tubuhnya. Tubuhnya serasa remuk.
Nasya menatap Athena dengan tatapan puas. Athena semakin menanamkan benih kebencian kepada gadis sialan itu.
"Bye-bye, kakak."
"Lo bukan adek gue. Camkan itu." Desis Athena.
Nasya terkekeh, "Gue suka wajah kesiksa dan putus asa lo. Apalagi, yang waktu itu."
"Pergi lo." Sinis Athena.
Nasya terkekeh, "Baik-baik."
Nasya pergi dari sana dengan senyum puas tercetak jelas di bibirnya. Athena berusaha berdiri dengan sisa tenaganya. Tubuhnya sangat susah untuk di gerakkan. Bahkan, ia berjalan saja harus berpegangan pada dinding. Athena mengambil tasnya yang tergeletak dan menyeretnya menaiki tangga.
Akhirnya, perjuangannya menaiki tangga membuahkan hasil. Athena langsung menaruh tasnya di dekat kasur dan membaringkan tubuhnya di kasur dengan perlahan.
Athena yang sudah tidak memiliki tenaga itu langsung memejamkan matanya dan akhirnya tertidur.
°•°•°•
Seorang pria sedang menyeret rotan tipis dan mendekati gadis kecil yang masih berusia 5 tahun itu. Gadis kecil itu meringkuk di lantai dengan sabuk yang tergeletak di dekatnya.
Ia menangis dan meminta ampun. Namun, pria itu seakan tuli dan mengayunkan rotan di tangannya tanpa menghiraukan luka yang beberapa menit lalu ia buat. Di matanya, semua luka itu adalah lukisan indah yang ia buat sendiri.
"Eon, tolongin aku."
Tiba-tiba, semuanya menjadi gelap dan tergantikan dengan seorang gadis yang tengah mempertahankan pakaiannya yang sudah robek di mana-mana. Di depannya, 3 orang pria sedang menatap lapar pada tubuhnya.
Gadis itu berusaha berlari keluar dari hutan yang tidak ia ketahui ini. Air matanya sedari tadi tidak berhenti keluar.
"Theo, tolongin gue."
Tiba-tiba, semuanya kembali menjadi gelap dan tergantikan dengan sebuah ruangan serba putih. Disana, seorang gadis remaja sedang menatap wanita yang sedang berbaring lemah di atas brankar.
Gadis itu menggenggam tangan wanita yang sedang menatapnya sendu. Ia menggenggam erat tangan wanita yang telah melahirkannya itu. Tubuhnya bergetar dan setitik air mata mengenai tangan wanita tadi.
"Anak bunda nggak boleh nangis." Kata wanita tadi lemah sembari mengelus lembut pipi anak gadisnya.
"Habisnya, bunda ngekhawatirin sih. Kalau ada yang sakit, bunda bilang sama Alea. Nanti Alea hajar penyakitnya biar nggak nyakitin bunda lagi."
Wanita itu terkekeh lemah dan mencium puncak kepala Alea, anak gadisnya.
"Bunda sayang Alea. Bunda bangga sama kamu. Senakal apapun kamu, kamu tetap anak bunda. Tapi, kalo bunda udah nggak ada, Alea jadi anak yang baik, ya?"
Alea menatap bundanya dengan mata yang tidak berhentinya mengeluarkan air mata.
"Bunda ngomong apa sih? Bunda pasti sehat dan liat Alea sampai sukses!"
Wanita tadi tersenyum lemah dan mengelus lembut pipi Alea. "Alea anak yang baik." Perkataannya melemah.
Bersamaan dengan itu, layar monitor menampilkan garis lurus dan tangan wanita tadi melemah. Alea refleks berdiri dan berteriak memanggil suster. Suster beserta dokter datang dan berusaha mengembalikan detak jantung wanita lemah di sana. Namun, semuanya sia-sia.
Alea menangis terisak dan menggenggam tangan bundanya.
"Bun. Bunda! Bunda nggak boleh tinggalin Alea!"
Alea menunduk dan mencium tangan wanita tadi lemah.
"Alea sendirian, Bun."
==============♢=============