Liam memasuki sebuah ruangan di salah satu rumah sakit. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah seorang gadis yang tengah duduk di atas tempat tidur rumah sakit. Gadis itu nampak bosan sembari menatap keluar jendela.
Liam menaruh satu bungkus nasi goreng diatas nakas dan langsung duduk di sofa. Gadis yang sedang melamun itu nampak tidak terganggu dengan kehadiran Liam, kakaknya.
"Nasinya dimakan. Gue tau, lo nggak bakal mau makan makanan rumah sakit."
Gadis itu berdecak kesal. "Salah lo juga pake acara bawa gue ke rumah sakit."
Liam mengangkat bahu acuh, "Siapa suruh lo sakit."
Gadis itu menghiraukan Liam dan langsung memakan nasi goreng yang di bawa Liam.
"Oh iya Sil, gue bawain hp lo. Dari tadi ribut banget, si Agam nelponin lo mulu." Kata Liam menyodorkan ponsel milik adiknya.
"Biarin aja." Sahut Silla tanpa menerima ponselnya.
Liam menarik kembali tangannya, "Oke. Gue pinjam hp lo. Gue lupa bawa hp."
Silla melirik malas kakaknya, "Terserah."
Asilla Elliemma. Gadis sempurna yang berusia 14 tahun. Namun, kalimat sempurna hanya berlaku bagi orang-orang yang tidak tau lebih dalam tentang Silla. Nyatanya, Silla hanya manusia biasa yang memiliki penyakit mematikan. Tidak ada yang mengetahuinya terkecuali Liam, sang kakak dan kedua orangtuanya. Namun, kedua orangtua mereka seakan tidak peduli dan mengacuhkan kedua anak yang 'tidak di harapkan' itu. Silla memang terlihat cuek dan tidak peduli dengan Liam. Namun, dari lubuk hati yang terdalam Silla sangat menyayangi Liam.
Liam masih asik memainkan ponsel Silla, sesekali ia membaca chat Silla bersama teman-temannya. Silla tidak mempermasalahkan hal itu.
"Oh iya. Kata dokter, lo boleh pulang hari ini."
Silla berdehem singkat, "Ya udah. Ayo pulang."
"Habisin dulu, baru pulang. Kalo nggak habis, nggak jadi pulang."
Silla berdecak kesal dan memakan nasi gorengnya kembali. Liam memasukkan beberapa barang dan pakaian milik Silla ke dalam sebuah ransel.
Setelah selesai beres-beres, Liam memanggil salah satu suster dan memintanya untuk melepaskan jarum infus dari tangan Silla.
Mereka berdua berjalan beriringan keluar dari rumah sakit. Liam menatap Silla yang menatap lurus ke depan.
"Nggak ada yang sakit kan? Kalo masih sakit, biar gue gendong atau balik ke ruangan aja."
"I'm fine."
Liam mengangguk dan kembali menatap ke depan.
Setelah 10 menit menempuh perjalanan menuju rumah, akhirnya dua bersaudara itu sampai di rumah mereka yang terlihat mewah namun sepi.
Liam memasuki kamar Silla dan menaruh ransel yang berisikan barang milik Silla. Sedangkan Silla sedang duduk di sofa ruang tengah sembari menonton TV.
Liam memasuki kamarnya dan mengambil boneka koala berwarna biru yang masih terbungkus rapi. Boneka itu nampak lembut dan masih baru.
Liam menghampiri Silla dan menaruh boneka itu di pangkuan Silla. Silla sontak menatap boneka itu berbinar.
"Buat lo. Anggap aja hadiah dari gue karena lo udah berjuang melawan penyakit itu sejauh ini demi gue." Kata Liam pede.
Silla mendengus dan langsung memeluk boneka yang sudah ia pisahkan dari plastiknya.
"Lembut banget." Gumam Silla.
"Suka?" tanya Liam tersenyum senang.
Silla menatap Liam dan mengangguk sembari tersenyum. "Gue suka."
"Syukurlah."
Namun, kebahagiaan sederhana itu tidak berlangsung lama dikala suara bariton ayah mereka mengganggu.
"Di kasih boneka jelek gitu aja senang. Gampangan banget."
Liam menatap tajam pria berkepala 4 itu. Di sebelah pria tadi, seorang wanita berpakaian terbuka sedang bergelayut manja. Wanita itu bukan ibu mereka, namun selingkuhan ayahnya.
Jika kalian bertanya dimana ibu mereka, maka jawabannya sedang bersama suami barunya.
Ayah dan Ibu mereka menikah karena perjodohan. Padahal, masing-masing dari mereka memiliki pasangan. Lebih parahnya lagi, orang tua ayah dan ibu mereka ingin memiliki 2 cucu. Dengan terpaksa, mereka menurutinya. Dan hadirlah dua anak yang tidak di harapkan orang tuanya, Liam dan Silla. Setelah keinginan kedua orang tuanya terpenuhi, mereka bercerai dan kembali kepada pasangannya masing-masing. Ayah mereka dengan terpaksa harus menampung Liam dan Silla di rumahnya.
"Sudahlah, sayang. Bukankah kita sebentar lagi take-off. Ayo kita pergi."
Pria tadi tersenyum dan mencium kening wanita itu. "Ya udah. Ayok."
Kedua orang itu langsung pergi dari sana tanpa berpamitan. Silla menatap kepergian kedua orang itu sendu. Apakah ayahnya tidak khawatir dengan keadaannya? Padahal dirinya baru saja keluar dari rumah sakit.
Liam yang paham perasaan adiknya langsung mengacak rambut Silla hingga wajah masam Silla membuatnya terkekeh.
"Jangan pedulikan omongannya. Meskipun tua bangka itu nggak peduli sama lo, masih ada gue. Gue tau, tua bangka itu pasti syirik karena gue bisa dekat sama bidadari nyasar."
Silla memukul lengan Liam. "Ngeselin lo!" Namun tak urung, senyum terbit di bibir pucatnya.
Liam terkekeh dan merapikan kembali rambut Silla.
"Udah malam. Minum obatnya, terus tidur."
Silla mengangguk patuh. "Selamat malam, Abang."
Liam mengangguk dan tersenyum tulus, "Selamat malam juga cantik."
Silla mengecup singkat dan cepat pipi Liam. Kemudian, ia langsung berlari dengan boneka koala di pelukannya. Liam mematung. Sebanyak apapun kecupan yang ia dapatkan dari pacar-pacarnya, hanya kecupan singkat Silla yang mampu membuat hatinya menghangat.
Liam tersenyum sendu. "Seburuk apapun kehidupan gue, gue sangat bersyukur punya adek kayak lo, Silla. Cepat sembuh cantik."
≠≈≠≈≠≈≠≈≠≈≠≈≠≈♢≠≈≠≈≠≈≠≈≠≈≠≈≠≈