SAY IT WITH COFFE
[Katakanlah dengan kopi]
***
PAGI itu, Apo memajang hasil jepretannya satu per satu di dinding, padahal biasanya hanya jadi koleksi di kamera saja. Dia menghiasi polaroid-polaroid itu dengan lampu tumblr, lalu nyengir karena puas dengan hasilnya.
"Cantik," kata Apo. Wajah seorang lelaki tampan dia belai perlahan pada salah satu foto. "Dia tampan sekali, aku harus bertemu dengannya lagi kapan-kapan."
Sejak kecil, Apo punya hobi membaca buku dan memotret pemandangan perpustakaan yang dia kunjungi. Orang-orang di dalamnya, suasana tenang saat mereka bertemu ... dan masih banyak lagi. Kalau buku-buku di satu perpustakaan sudah dia selesaikan, Apo akan bermain ke perpustakaan lain. Kadang di luar distrik, kadang di luar kota, tapi Apo hanya mengoleksi satu judul yang paling dia sukai.
Tulisan yang di cover itu timbul, yakni "Ice Coffee Aesthetics". Sebuah karya sastra jaman dahulu yang menceritakan tentang hal-hal vintage plus sejarahnya. Dan Apo tidak bosan membaca setiap seri-nya berkali-kali. Padahal ada 200 seri. Dan tiap seri berisi 100 halaman, tapi mau bagaimana jika belum menemukan buku favorit lainnya?
Apo bahkan menyisihkan uang khusus untuk mengoleksi semuanya.
Suatu hari, dia jelajah ke perpustakaan Kalasin. Dan setelah menghabiskan 2 buku, Apo dijejeri seorang lelaki tampan. Hm, awalnya Apo biasa saja. Karena lelaki itu jelas bukan orang tampan pertama yang dia temui di perpustakaan. Namun, setelah melihat buku yang dibawa, Apo langsung menjerit gaduh.
"Woaaaahhh!! Itu kan yang seri 72! Iya kan? Kau baca " Ice Coffe Aesthetics" juga?!"
Kelewat senang, orang-orang di perpustakaan pun sampai menoleh dan membuat desisan yang sama. "Ssshhhhh ... tenang."
Apo pun nyengir dan menutup mulutnya. "Maaf," katanya. Lalu lelaki itu menggeleng kecil.
"Iya, aku baru sampai seri 72."
Kali ini Apo memelankan suaranya. "Tapi akan menamatkan semuanya kan?"
"Hm, karena aku suka hal-hal vintage."
"Wah ... sama. Baru kali ini menemukan yang sehobi, boleh kenalan?" Apo mengulurkan tangannya. Lelaki itu pun mengangguk dan menyambut jabatan darinya.
"Aku Mile."
"Aku Apo." Apo mengguncang jabatan itu dengan wajah paling cerah seharian. "Senang berkenalan denganmu~"
Mereka pun berbincang-bincang banyak hari itu. Karena kecocokan dan pengetahuan serupa, Apo sampai tidak sadar dia menjajah waktu membaca Mile sampai sore hari. Mile pun tidak jadi melanjutkan seri ke 73 langsung, tapi dia mendengarkan ocehan Apo dengan senyuman. Ah, menawan sekali lelaki itu. Apo pun gemas dan memancingnya terus bercerita, bahkan berani meminta fotonya. Ckrek. Ckrek. Ckrek. Ckrek.
Sayang, ketika Apo dimintai nomor ponsel, dia menggeleng tak punya. "Ah, aku tidak punya benda yang seperti itu. Hehehe. Ini kamera saja pemberian bibiku. Sudah lawas, tapi kalau penting sekali aku pakai telepon kabel di kota," katanya tanpa sungkan.
Apo mengakui dia memang bukan orang yang berada. Namun, kalau untuk menjelajah perpustakaan, dia akan mengorbankan banyak hal. Tak apa meski hanya naik bis atau kereta, Apo akan tetap melakukan hobi itu terus-menerus.
Well, dulu waktu kecil Apo sering melakukannya sepulang sekolah. Tapi semakin jauh daerahnya, dan semakin dewasa dia, Apo hanya bisa pada akhir pekan. Dia merasa harus rajin mengerjakan tugas dan mendapatkan nilai bagus agar pasca lulus bisa dapat beasiswa kuliah.
"Oh, begitu."
"Iya, hehe. Maaf ya."
Mile malah tersenyum lebih lebar. Senyum yang indah sekali, sampai-sampai Apo menjulikinya "The Killing Smile" karena selalu tertular cara Mile berekspresi.
Niatnya, Apo ingin bilang tak masalah kalau Mile memberikan nomor, meski Apo tidak akan menghubungi. Sayang, lelaki itu mendadak ditelpon seseorang.
"Iya, Phi?" kata Mile. "Oh, baiklah. aku sudah selesai kok. Aku bisa pulang sekarang."
"Eh, sudah mau pulang?" tanya Apo.
"Iya, lagipula sudah jam 5 sore," kata Mile sambil menilik arlojinya. "Kau juga jangan lupa pulang."
DEG
Apo pun berdebar karena belakang kepalanya diusap lembut sebelum Mile berjalan pergi. Padahal, tadinya dia hanya memandang lelaki itu sebagai kakak karena umurnya 2 tahun lebih tua. Tapi, tapi, hei ... apa salahnya kalau Apo jadi lebih terpesona?
"Phi Mile ...." kata Apo. Dia sadar kalau suka setelah Mile berjalan turun ke lantai satu, tapi ketika mengejar Apo tidak sanggup memanggil namanya.
Tap tap tap tap tap tap tap!
Langkah Apo terhenti sendiri. Lelaki itu sia-sia terengah karena Mile masuk mobil maserati super mengkilat, lalu pergi dan berlalu.
Oh, jarak mereka sejauh itu ternyata.
"Ya, ampun. Di luar dugaan sekali," kata Apo. Lalu mundur dan duduk di kursi. "Kukira penampilannya biasa-biasa. Ahh, tidak jadi." Dia menggaruk rambut meski tidak gatal.
Kini, Apo hanya bisa memandangi foto Mile yang dipajangnya di dinding. Niat hati ingin menyerah, tapi rasanya susah menemukan yang selera dan gayanya sama seperti Mile.
Apo pun memberanikan diri untuk kembali lagi ke perpustakaan Kalasin pada pekan berikutnya. Namun, tidak sampai mendekati Mile. Padahal lelaki yang suka tersenyum itu juga datang lagi. Kali ini membaca seri ke 83.
"Ini kopi untuk Anda," kata seorang penjaga perpustakaan tiba-tiba.
Apo pun mengintip dari balik rak-rak seperti pencuri. Dan dia memakai buku untuk menutupi separuh wajah.
"Wah ... dia ternyata suka pesan minuman yang seperti itu. Kenapa aku baru tahu sekarang? Dulu rasanya tidak ada minuman di meja kami. Apa ini fasilitas baru? Perpustakaan Kalasin memang keren," batin Apo.
Pengintaian berikut-berikutnya ternyata juga begitu. Apo melihat Mile memesan kopi yang sama, juga model cangkir yang sama. Dia jadi penasaran apakah bisa menarik perhatian lelaki itu, lalu mendatangi kafe yang baru berdiri di pojok perpustakaan.
"Bi, boleh aku menggantikanmu sebentar?" kata Apo dengan kerlingan yang genit. "Pweaaseee .... aku akan dekorasi kopi khusus yang buat lelaki itu."
"Eh, kenapa? Itu cowokmu?" Si bibi malah menunjuk cowok berkacamata ala kutubuku di belakang Mile.
"Aih, bukan. Yang depannya lagi. Yang tampan." Apo nyengir dengan gigi-gigi cantik yang terlihat. "Bukan cowokku sih, tapi calon. Hahaha. Aku hanya ingin mengerjainya kok. Siapa tahu bonus dapat dia."
Si bibi malah geleng-geleng kepala. "Ada-ada saja. Beliau itu Tuan Muda kami, Tuan Mile. Pemilik perpustakaan besar ini. Beliau di sini sambil mengembangkan banyak cabang bisnis juga di bidang lain," katanya. Langsung membuat Apo menelan ludah kesulitan. "Tapi coba saja kalau bisa. Ha ha. Kudoakan saja, Nak. Tuan Mile itu ramah tapi sangat pemilih."
Deg ... deg ... deg ... deg ....
"Yang benar saja? Shia!" batin Apo. Namun, daripada menyia-nyiakan kesempatan, Apo pun mencoba mengutak-atik kopi Mile yang berbusa. Dia menambahkan ini itu pada topping-nya, lalu baru dibawa oleh pelayan perpustakaan.
Satu ... dua ... tiga ...
"Silahkan, Tuan. Ini kopi Anda ...."
Hitungan Apo pun tepat seperti perkiraannya. Dia sembunyi di balik rak paling dekat dengan punya Mile, lalu memantau ekspresi lucu di wajahnya melalui celah-celah buku.
"Kucing? Kenapa mendadak seperti ini? Aku tidak menyuruh kalian merubah dekorasinya."
DEG
"Gawat, apa dia benci kucing? Padahal semua orang suka hewan imut itu! Ah, aku salah langkah kalau cari perhatian pakai cara ini. Pergi sajalah ...."
"He he. Iya, tapi tadi ada seseorang yang izin permisi merubahnya. Dia bilang suka dengan Anda."
DEG
"Aduh, matilah!"
Apo pun berjinjit-jinjit untuk pergi, tapi Mile menoleh ke sekelilingnya dengan selidik.
"Siapa? Apa dia masih di sini?"
Apo pun mempercepat langkah sampai menabrak seorang gadis, tapi langsung kabur lewat pintu belakang.
Brakh!
"Aduh!"
"Anu, maaf-maaf. Maaf sekali, ya. Tapi aku sedang buru-buru!" kata Apo. Lantas memburu parkiran dan sembunyi diantara kendaraan.
Apo yakin, Mile tidak keluar karena pasti waktunya lebih berharga daripada mengejar penguntit tidak jelas sepertinya. Karena itulah, Apo melakukan hal yang lebih baik pada pekan berikutnya.
"He he he, kali ini aku pasti tidak ketahuan," kata Apo sembari bercermin. Dia bahkan rela merayu sepupunya untuk meminjamkan wig kesayangan. Lalu berniat menarik perhatian Mile dengan cara yang lain.
Atau paling tidak, Apo bisa menaruh memo kecil yang dia persiapkan untuk sang Tuan Muda Kalasin. Isinya? Tentu saja ciri-ciri Apo.
[Kamera, "Ice Coffee Aesthetics" jilid 73", kopi kucing đ±]
Lalu di bawahnya puisi singkat.
Your heart is kind
And my heart is truly in your hands
From the first words we say together
I will love you forever
Apa alasan Apo memberikan puisi itu? Indah saja. Katanya Guugle memang puisi ampuh untuk membuat orang tersanjung. Dia pun mencomot asal salah satu yang paling disuka, karena tidak bisa membuatnya sendiri.
Namun, ketika Apo baru masuk ke perpustakaan, wajahnya retak seperti batu patung. Sebab sebelum dia beraksi, meja-meja para pembaca kini dihiasi cangkir kopi yang dihias kucing semuanya.
DEG
"H-Hei, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Halo, Nona ... apa Anda berkenan minum kopi juga?" tanya seorang pelayan perpustakaan.
Sumpah ini fasilitas baru lagi? Bukankah kemarin yang ingin saja yang memesan? Kenapa sekarang selalu ditawari tiap ada orang datang?
Pelayan yang bertugas juga bertambah jadi 5 orang.
"Ah, tidak. Anu, aku hanya ingin membaca."
"Ini gratis kok. Dalam rangka ulang tahun perusahaan Tuan Muda kami. Mulai besok baru bayar. Feel free, Miss. Silahkan duduk di tempat yang masih tersedia."
"Ah, oke. Terima kasih ...."
Sangking gugup dan bingungnya Apo dengan situasi itu, dia pun menabrak siswa SMA sekarang. Dia pun malu sekali, lalu duduk di pojokan perpustakaan tanpa tahu memo-nya jatuh ke lantai. Lengkap kertas puisi, lengkap notebook mungil sekepalan tangan, juga memo berhiaskan dekorasi pulpen.
Pelayan yang menemukan sampai mengerutkan kening, lalu mengumumkannya lewat speaker pengunjung.
"Mohon perhatian sebentar? Apa di sini ada yang bernama Apo Nattapol Wattanagitipat? Jika iya, notebook Anda ada di tempat kami. Anda boleh mengambilnya sebelum pulang."
DEG
Apo pun refleks meraba-raba tumpukan bukunya, juga totebag sampai kepalang malu karena dilihati orang-orang di sekitar.
"SHIA! AKU KENAPA LANGSUNG MENGECEK SEPERTI ITU?! BODOH! BODOH!" rutuk Apo dalam hati. Dia menutupi muka dengan buku, apalagi Mile menoleh padanya yang berdandan wanita. "Lagipula, namaku itu Nattawin. Nattapol ... Nattapol matamu. Darimana namaku jadi begitu?"
Apo pun didatangi si pelayan daripada lama, lalu dia nyengir ketika benda-benda itu dikembalikan.
"He he. Thanks, ya. Maaf, aku tadi tidak sadar," kata Apo dengan suara yang dihaluskan. Dia menurunkan buku dari wajah secara perlahan-lahan, lalu menerimanya segan.
"Iya, tidak masalah, Nona," kata si pelayan sembari tersenyum lebar. Apo pun mengangguk padanya, tapi buru-buru keluar lagi sebelum misi terlaksana. Kepalang basah, ya Tuhan. Niat Apo kan cukup memberikan misteri kepada Mile tanpa ketahuan dia yang memberi. Malah seperti ini.
Deg ... deg ... deg ... deg ... deg ....
"Pulang, pulang, pulang!" batin Apo sembari melangkah cepat. Dia mendekap buku-buku yang dibawa lebih erat, walau dari dilihat dari mana pun dia memang seperti gadis tulen. Atau lebih tepatnya gadis dengan style tomboy karena bercelana jeans yang membentuk pinggang.
Wig panjangnya mengayun-ayun, dan Apo langsung melambaikan tangan kepada taksi walau sampai rumah pasti menyesali isi dompetnya yang akan berkurang banyak.
"Tunggu, Apo!"
DEG
Apo tersentak karena tangannya mendadak diraih dari belakang. Itu Mile. Dia pun menoleh dan berpandangan lama dengan lelaki itu, sampai-sampai si sopir gemas bertanya jadi pakai taksi atau tidak.
ïżŒ
"Tidak, jalan saja. Nanti biar kuantarkan dia," kata Mile. Si sopir pun mengangguk pelan.
"Aih, tunggu--"
"Kau yang menaruh kucing di kopi-ku bukan?" tanya Mile. Lelaki itu tidak peduli taksi yang dipesan Apo sudah berlalu.
"...apa? Hah?"
"Aku sudah menjawabnya sejak keesokan hari hingga sekarang. Pakai kopi kucing juga. Apa kau tidak melihatnya?"
Apo pun merona sampai tidak bisa lama-lama digenggam Mile. Srath! "Aku ... sumpah bingung. Serius Phi Mile mengenaliku siapa?"
Mile mendadak tersenyum cerah. "Tentu saja. Cuma satu Apo Nattawin Wattanagitipat yang pernah kutemui sampai sekarang," katanya. "Bukankah kau menaruh namamu di solatip kamera? Bilangmu biar jadi pengaman dan penanda sekaligus."
DEG
"Kenapa dia ingat hal sepele seperti itu? Sial, manis sekali. Apa aku boleh berharap?"
Mile malah menggandengnya pergi. "Sudah, ayo ikut dulu. Ceritanya nanti saja. Dan jangan menyamar lagi, aku sudah tahu sekarang," katanya. Apo pun terseok-seok mengikuti langkah sang Tuan muda.
Deg ... deg ... deg ... deg ... deg ....
"T-Tunggu, Phi Mile? Tunggu dulu, tunggu, aku mau dibawa kemana?"
Mile malah tertawa pelan di depan sana. "Nanti kau akan tahu sendiri."