Chapter 6 - KITTY PO 2

Begitu Apo dan Masu keluar, Mile justru bingung harus mengawali dari mana dulu. Mereka adalah kaum remaja dengan pemikiran modern, mana mungkin mudah yakin dengan fakta yang bodong. Mile pun mengajak keduanya jalan dulu. Setidaknya santai jika sambil berbicara.

"Jadi, tadi ada apa ya?" tanya Apo. "Soalnya aku tidak punya kembaran. Anak tunggal malah. Om mungkin hanya melihat orang yang mirip."

Mile tak bisa melepaskan fokus dari si remaja manis. "Hm, bisa jadi. Tapi aku benar-benar bertemu lelaki yang mirip dirimu 16 tahun lalu."

"Ha?" Masu sampai berhenti menyedot frappe. "Ngayal ya? Om ini aneh-aneh saja."

"Iya, mungkin ngayal. Tapi kalian harus melihat gambaranku dulu," kata Mile sambil membuka ponselnya. "Di hapeku cuma beberapa, tapi di rumah ada lebih banyak dalam buku sketsa. Style-nya realis, kok. Kalian akan melihatnya seperti foto."

"Oh," desah Apo.

"Coba lihat."

"Mana lihat." Masu ikut-ikutan melongok. Apo dan dia menilik koleksi itu. Cuma 6, tapi perkataan Mile benar. Lelaki di dalam gambar persis Apo, bahkan namanya sama. Padahal tanggal jepretannya Apo sudah naik SMA, mustahil mukanya masih seimut itu.

Mile akhirnya menjelaskan dia mulai menggambar sejak SMP, tepatnya saat lelaki dalam gambarannya meninggal. Apo pun menghitung time-lap-nya bertepatan dengan dia lahir. Karena usianya sekarang sudah 15. Hei, jangan bilang ....

"Oke, Bung. Aku tidak ikut-ikutan soal ini. Reinkarnasi itu rasanya bodoh. Kita cuma menemukannya dalam cerita, paham?" kata Masu coba mengingatkan.

Apo maunya juga begitu, tapi rasa penasarannya lebih besar. Apalagi untuk remaja seumurannya. Dia pun bilang ingin melihat gambaran Mile lebih banyak, setidaknya rasa ingin tahu ini harus dipuaskan dulu. "Kalau boleh, sih?" katanya. "Aku baru percaya jika Om punya buku gambarnya."

Ya, bagaimana ya. Coba bayangan saja. Kalau Mile memang berbohong, Apo pikir effort-nya takkan sebesar itu. Apalagi ini gambar loh. Kalau foto mungkin bisa dijepret langsung, jadi Apo bisa coba mengingat kapan dan dimana dia melakukan suatu hal.

"Sungguh? Tapi aku tidak sedang bawa mobil," kata Mile. "I mean, rumahku cukup jauh dari sini. Tadi niat jalan-jalan saja. Mana tahu ada kalian lewat. Aku harus ambil bukunya dulu."

Masu pun menyenggol pinggang Apo. "Sssh, Om-om ini rasanya makin meresahkan, tahu. Jangan lah, Po. Nanti bisa ada apa-apa," bisiknya. "Ayo balik, waktu istirahatnya mepet."

"Ya, terserah Om-nya mau bagaimana," kata Apo. "Besok Minggu sekolahku libur sih. Bisa kok kalau ketemu untuk gambarnya. Tapi sekarang aku masih sekolah."

Mile pun ingin tertawa sangking gemasnya. Remaja ini benar-benar tunas ranum. Dia mungil. Mile rasa tidak boleh merusak kehidupan sekolahnya. "Oke, kalau begitu boleh minta nomormu?" pintanya, lalu segera memperbaiki perkataan. "Ah, bebas kok. Yang tentukan kau saja tempat dan waktunya. Bawa teman lebih banyak pun tidak masalah. Aku tahu aku memang mencurigakan."

Masu langsung memicing mendengar omongan barusan. "Ahli juga, Om-om ini. Aku jadi makin curiga," batinnya. "Ya jelas. Pasti kami bawa banyak teman betulan. Ya kan Po?" katanya. "Karena itu Om nantinya harus jajanin bocah kelaparan--"

"Hush, Masuuu ...." kata Apo sambil menginjak kaki sahabatnya.

"Apa sih. Ya kan biar lebih aman, Po," kata Masu. "Minimal top-up game lah. Om-om biasanya kan punya uang banyak."

Mile justru tersenyum mendengar obrolan mereka. Dia senang disodori kode WhatsApp Apo, tanpa tahu remaja itu menahan merinding.

"Kalau begitu, oke. Ini QR-nya, Om."

"Thank you."

"Nanti ku-chat kalau sudah pulang."

"Ya."

"Permisi ...."

Apo pun tersenyum kikuk, lalu pergi dengan sahabatnya. Dia digandeng cepat-cepat oleh Masu, yang makin aneh saja omongannya. "Ih, Po ... Po ... kalau aku sih ogah ya. Ya ampun. Mau seganteng apa kek--jangan-jangan si Om tadi malah duda pedofil? Bisa-bisanya ca-em ke kita dadakan."

"Ha ha ...."

"APA SIH?! Kok malah ketawa-ketiwi. Po, please. Kalau memang dideketin Om-om ambil uangnya saja. Aih males kali pacaran sama cowok setua Bapak--"

"Ha ha ha, aku cuma mau lihat gambarannya kok. Soalnya bagus," kata Apo. "Senang sekali digambar sebanyak itu, ya kan? Berasa punya fans dadakan."

"Ye ...."

Masu pun mendorong sahabatnya. Apo terbahak, tanpa tahu Mile masih memperhatikan polah tingkah mereka di tempat. "Apa itu benar-benar dirimu, Po?" batinnya. "Kau jadi kecil sekali ...."

***

Pukul 2 siang Apo pun pulang sambil memanggul tas besarnya. Benda itu penuh buku dan raket, sebab Apo menggemari bulu tangkis. Dia menggoes sepeda dengan santai, tapi berhenti di sebuah taman untuk mengecek ponselnya dulu. Apo melihat foto profil Mile, yang dia akui memang 'Bapak-bapak' sekali. Untung tubuh remajanya termasuk tinggi. Saat dipeluk tadi tak terlalu menjulang.

Ya, tadi jinjit-jinjit sedikit lah. Mile juga pengertian mau membungkuk, tapi rasanya hebat sekali. Apa benar dia reinkarnasi? Lucu kalau iya karena umurnya separuh pria ini.

"Hmm, nama kontaknya kuganti saja. Hihihihi ...." tawa Apo usil. Dari 'XXXX' sangking gugupnya saat menyimpan, jadi 'Om-om Suka Senyum' karena belum tahu namanya. Dia juga heran kenapa tadi belum bertanya, termasuk alasan Mile menggambar wajahnya.

"Jangan-jangan omongan Masu ada benarnya?" batin Apo gelisah. Dia pun berpikir membawa pasukan betulan, tapi sopan tidak sih begitu ke yang lebih tua? Hmm ....

[Om-om Suka Senyum: Halo, Po. Sudah pulang sekolah, belum? Jadi soal tadi bagaimana? Sudah tahu kapan dan dimana belum? Sebentar kufotokan buku-buku gambarnya]

Tiba-tiba pesan Mile masuk. Tidak hanya satu. Sebab ada banyak jepretan menyusul ke dalam. Dilihat dari sudut pemotretannya pun kelihatan Mile orang kaya. Karena itu merupakan ruang khusus seni. Ada banyak kanvas kertas di sana. Buku sketasa bertumpuk, dan wajahnya ada di mana-mana. Mile membuka beberapa buku untuk mengirimkan bukti. Tapi tentu ada lembaran lain yang belum terlihat. Apo jadi makin penasaran. Dia kagum. Apalagi kelihatan sekali ada perbedaan goresan. Yang lama tinta bulpennya sudah memudar, sementara yang baru lebih hitam dan jelas. Apo rasa Mile tidak berbohong, hanya saja dia membenarkan kata-kata Masu.

[Apo: Masu, besok anak-anak BT mau diajak tidak? Kalau iya, hari senin aku saja lah yang piket di GOR 😅 Ingin traktir juga belum punya uang. Gambarnya keren, tapi aku jadi agak takut]

Masu pun membalas secepat kilat.

[Masu: WTF?! Seriusan kau meladeni belio itu, Po? Aih. Ya sudah, info saja. Nanti piketnya kubantu-bantu]

[Masu: Harusnya tak perlu piket segala, Po. Taruhan. Kalau si Om mau jajanin kita, perjanjian ini batal, oke? Anak-anak pasti tak keberatan]

[Apo: Oke 😃]

Apo pun segera membalas Mile, tapi telapak tangannya berkeringat juga usai mengirim pesannya.

[Apo: Di sini, Om. Jam 9. Tapi aku bawa banyak teman betulan 😄 sorry]

[Apo: --share loc-- ]

Di seberang sana Mile pun terdiam sejenak. Dia geleng-geleng. Lalu minta konfirmasi.

[Om-om Suka Senyum: Temanmu semuanya berapa, Po? Jumlah saja. Nanti kubelanjakan sesuatu dulu]

[Om-om Suka Senyum: Tenang saja. Tidak ada racunnya kok. Dari supermarket saja. Kemasan pabrik]

Apo pun langsung nyengir membaca chat barusan. "Yes! Tidak jadi piket GOR betulan!" batinnya senang.

[Apo: Sebelumnya makasih, Om. Jumlah anak-anak BT adalah 11. Tambah aku dan Masu jadi 13 😃 Sampai jumpa]

Di seberang sana, gigi Mile pun serasa kering karena kebanyakan senyum. Pria itu mengelus lembut layar ponselnya. Lalu memandang keluar jendela. Di halaman belakang kuburan si kucing masih terawat. Namun, hari ini Mile serasa ingin berkunjung lagi. "Ha ha, kalau itu memang dirimu, Po. Mau tidak kau dekat denganku seperti dulu ...."