Usai menyapa ramah, Apo melakukan sesi kenalan singkat cukup asyik. Dia langsung membuka kegiatan masak memasak dadakan. Sebagai leader dan koki gadungan, mungkin hasil baking-annya tidak perfect karena kadang masih gosong. Namun Apo selalu percaya diri. Yang jelek akan dibuang, dan yang bagus akan langsung dipisahkan. Apo memastikan yang nanti dimakan oke, setidaknya seperti kualitas pabrik. Dia tahu bahan mana saja yang harus diadon, berapa lama oven harus dinyalakan, dan kapan harus Apo mengambil hasilnya. Petinggi panti ikut membantu kegiatan itu, terbiasa bekerja sama, membuat Apo bisa menciptakan suasana ruangan yang menyenangkan. Sambil mengurus roti-roti dia bercanda dengan mereka, anak-anak sering menyelinap ke dalam dapur untuk mencari perhatiannya. Mereka minta dielus, dan diberi secuil icipan roti. Apo pun membagikannya, sambil menasihati sedikit saja.
"Nanti dapat bagian lagi yaaa, sabar dulu," katanya sambil mencubit pipi. "Tidak lama kok. Habis ini dibungkus semua. Kalian fokus bikin roti bulat-bulat saja."
"Okeeeee, Tuan Nattarylie!"
"Thank you!"
"Sama-sama."
Mereka pun keluar dalam apron-apron mungil. Lalu membentuk roti sendiri yang bentuknya rupa-rupa. Ada yang lonjong seperti sosis, ada yang bulat seperti bakso, ada yang bolong seperti donat, ada juga yang dikepal sembarangan, dan masih banyak lainnya. Apo sengaja menyediakan adonan kering untuk mereka. Biar ikutan membuat roti, walau hasilnya banyak yang jelek.
Orang dewasa baru membuat roti betulan. Semuanya bahu membahu menghasilkan produk yang pantas ditumpuk rapi.
Ada yang memakai cream, cokelat, selai, meses, keju, kacang mede, atau serbuk kacang versi ditumbuk. Kemasan-kemasan itu selesai pukul 4 sore. Semua dibagikan. Setiap ubun kepala bocah juga mendapat usapan Apo saat mengulurkan sekotak.
Total ada 769 anak dengan range antara bayi hingga 15 tahun. Diantaranya sangat mungil dan menabrak peluk kaki Apo tiba-tiba.
"Kakak!" kata bocah cantik sekitar 3 tahun itu.
"Ehh, ada apa?" Apo pun menunduk dan mengelus kepalanya yang dihiasi bando. "Kau belum dapat roti, ya? Ketinggalan?"
"Hehe ...."
Deretan gigi-gigi mungilnya terlihat.
"Kemana saja tadi? Main?"
Apo memberikan sekotak untuknya.
"Main."
"Wkwk, pantas telat. Kalau begitu ini rotinya untukmu," kata Apo. "Kalau bisa dihabiskan ya. Biar kau cepetan besar."
"Heum, makasih ....."
"Oke."
"Casey ... senang ... hari ini ...." kata si bocah sebelum pergi. Dia lari-lari penuh semangat ke meja besar di ujung. Tempat itu dipenuhi kawan-kawannya yang duduk melingkar. Tanpa sadar Apo pun senyum penuh kepuasan. Keringat dan usahanya seharian ini serasa terbayar lunas.
"Tuan Natta suka anak kecil ya?" tanya seorang petugas bernama Reina. Dia tiba-tiba datang, padahal tadi di dapur. Dalam gendongannya ada bayi mungil yang mengedot susu botol.
"Iya, sangat. Tapi saya tidak punya adik," kata Apo. "Mereka semua lucu sekali~" Dipencetnya pipi bayi merah itu.
"Ha ha ha, kapan-kapan dong punya baby Anda sendiri," kata Reina sambil berkedip menggoda. "Kalau sudah menikah nanti, saya tebak pasti lebih lucu lagi."
"Ha ha ha ...." tawa Apo, yang kurang nyambung dengan pembahasan karena terlalu lelah seharian.
"Anda mau coba gendong?" tawar Reina.
"Eh? Boleh ya?"
"Boleeeeeeh lah, tentu saja."
Apo pun menerima bayi itu saat diulurkan. Posisinya ditata dulu oleh Reina, termasuk botol susu yang harus dipegang Apo dengan tangan kiri agar stabil ketika dihisap. "Wow ...." desahnya kagum. Ditatapnya wajah si bayi yang makin semangat menyedot, padahal dia terpejam dan Apo tidak melakukan apa-apa. Jemarinya terlalu mini hingga membuat Apo menangis. Dia tidak tahu, kenapa terus membayangkan diri sendiri versi newborn kala melihatnya. "Kau benar-benar cantik sekali ... hmmm ...." pujinya.
"Xixixi, iya kan?" kata Reina. "Tapi dia laki-laki loh, Tuan. Mungkin nanti jadi carrier dibandingkan dominan. Soalnya cantik seperti yang Anda bilang. Belum tahu juga besarnya akan bagaimana."
"Hoo ... ya ampun. Kau laki-laki rupanya." Apo gemas mengesuni pipi tipis itu. "Tapi kenapa di sini? Apa benar-benar ditaruh panti langsung padahal baru saja lahir?" tanyanya.
Reina pun menghela napas panjang. "Iya, begitulah. Mungkin anak orang tidak mampu, Tuan. Atau orangtuanya belum menikah. Seminggu lalu ditinggalkan begitu saja di teras. Sudah biasa begini sih sejak berdiri. Kami pasti akan rawat," jelasnya. "Di belakang masih ada 6 bayi loh. Ini yang paling muda dan baru."
Oh, anjir!
Brengsek, aku tidak kuat!
Makhluk harum sepertimu bisa-bisanya ditinggal ....
Tendang saja kontol bapakmu kalau ketemu nantinya.
Apo ingin mengatakan sesuatu, tapi muka manisnya sudah keburu banjir dan basah semua. Dia terus menciumi pipi bayi, yang malang seperti dia. Meski tak meraung, Apo sudah membuat siapa pun menoleh.
"Hiks, hiks ... baby ...." isaknya nyaris tak terdengar. "Hiks, hiks ... baby harus kuat terus ya, semoga bertemu dengan banyak orang baik. Hmmm ...." Dia suka sekali dengan aroma kulit baru itu.
Pulang pukul 5 Apo bahkan turun lagi, padahal keretanya sudah keluar dari gerbang. Dia gendong ulang bayi tadi dan bertahan hingga pukul 6. Apo menunggu bantuan uang dari Keluarga Livingstone, seperti yang dia suruh kepada prajurit. Bodoh amat siapa yang menang challenge dia tidak hadir ke sesi pengumuman.
"Ini, ya. Semoga cukup untuk semuanya. Terima kasih untuk hari ini ...." kata Apo kepada kepala panti. Dia memberikan sekotak harta karun, yang isinya entah apa. Mungkin emas atau perak, karena beratnya tak seperti uang Poundsterling.
"Kami yang harus berterima kasih, Tuan Natta. Semoga lancar kedepannya. Kami pasti mendukung Anda terus dari kejauhan."
"Siap, sama-sama ...."
Lelaki carrier itu menciumi 6 bayi yang lainnya juga. Begitu puas pamit ulang dengan sebuah lambaian tangan. Apo rasa, tiada pengalaman yang lebih baik selama 7 level ini, dia merasa kuat setelah tahu ada banyak nyawa lain yang bernasib sama, dengan jalan takdir masing-masing. "Dadah ...." bisiknya diantara barisan prajurit berkuda.
Tidak berteriak.
Tidak tinggi.
Tidak juga terlalu lembut seperti bangsawan asli.
Apo hanya menjadi diri sendiri di tempat tersebut, meski kedatangan kereta lain yang menjemputnya tidak pernah muncul dalam ekspetasi.
"BERI SALAM KEPADA YANG MULIA RAJA! PRIIIIIIIITTTTTTT!!!!"
Suara terompet dan lonceng kuda menyusul di belakang peluit nyaring.
Apo syok tak karuan karena kereta agung Raja Millerius benar-benar muncul diantara gelapnya malam. Ada tiga kelompok iring-iringan yang mengawal perjalanan itu. Satu di depan, satu di belakang. Satunya lagi menyebar di sekitar kereta untuk perlindungan samping.
ANYING! APA YANG SEBENARNYA TERJADI?!
Si manis mundur-mundur di depan pintu keretanya sendiri. Dia merona hebat dengan jantung jungkir balik saat wajah tampan itu melintas di antara belokan jalan. Batang dan dahan pepohonan masih memisahkan mereka, tapi tidak lagi 2 menit setelahnya. Banyak hal yang tidak bisa Apo deskripsikan saat itu, dia hanya berdiri kaku sangking terkejutnya dengan situasi.
Pemandangan prajurit beda seragam yang membelah tampak epik bagi seluruh mata di panti. Mereka berbisik-bisik dengan berbagai prasangka, tapi diam total saat Raja Millerius turun. Raut dinginnya berubah kalem saat menoleh ke Apo. Seorang ajudan buru-buru menghampiri dengan perkamen berisi perintah agar Apo bergabung dengan mereka.
"Eh? S-Saya?"
Apo menunjuk hidungnya sendiri.
"Benar, Tuan Nattarylie. Mari kami pandu, biar pasukan Anda pulang bersama asisten saya saja."
"Oh ... mn, oke?" Sekilas Apo balas menatap Raja Millerius dari kejauhan. "Tapi, betul tidak apa-apa kan? Maksud saya, bagaimana dengan pengumuman sesi? Tadinya kan ...."
"Anda yang terpilih, Tuan Nattarylie. Selamat atas kerja kerasnya," jelas ajudan tersebut. "Hasil laporan mengatakan Anda peserta terbaik, hanya saja Yang Mulia khawatir Anda belum kembali sampai sekarang. Ini hampir pukul 7 malam, jika Anda lupa. Mohon kerja samanya karena waktu kita begitu terbatas."
"Baiklah, baiklah. Maaf." Apo pun mengangguk sebelum berjalan mengekor. Dia tersenyum gugup tapi obrolan tidak berhenti begitu saja. "Sebenarnya tak ada masalah kok di sini. Jangan takut. Semua lancar dan tanpa halangan. Saya hanya ... umn ... sangat menikmati waktu bersama mereka. He he."
Raja Millerius pun mengulurkan tangan saat Apo sudah bisa dijangkau. Apo sendiri memberikan tangan perlahan-lahan tanpa pikir panjang. Mata mereka bertemu intens, walaupun tanpa bicara. Si manis dipersilahkan masuk terlebih dahulu, sementara sang raja menyusul naik.
Satu menit.
Dua menit.
Kereta pergi lagi setelah ajudan kerajaan mengomando perjalanan tersebut. Suara iringan mereka terlalu khidmad karena bergerak anteng, tak seperti sebelumnya.
Apo sendiri penasaran kenapa jemarinya tak dilepaskan di dalam sana. Saat dia menoleh, Raja Millerius justru mengecup punggung tangannya sambil terpejam.
Anjing--?!
"Hah? Kenapa--"
"Nattarylie, aku tidak mau tahu," sela Raja Millerius cepat. "Kau itu ... harus tetap berusaha keras kedepannya. Karena aku tidak ingin kursi ratuku diduduki oleh orang lain," katanya. "Harus kau, Natta. Harus dirimu," tegasnya tanpa bantahan. "Karena di beberapa sesi tidak masuk wewenangku. Kau pun harus mengambil hati para dewan, perdana menteri, pihak parlemen, belum lagi Ayah dan Bunda juga--hm, karena mereka di balik tes-tes itu, walau tidak semuanya."
"...."
"Aku benar-benar tak ingin meletakkanmu di tempat selir, Natta. Kalau bisa," kata Raja Millerius sambil menatapnya dalam. "Maka jangan tunjukkan padaku hasil akhir yang aku sendiri takut melihatnya."