Chapter 37 - TKC 31

ADA untungnya menjadi seorang bangsawan. Apo memiliki plakat dan bros berlambang Keluarga Livingstone yang berfungsi seperti lencana polisi. Jika ditunjukkan ke penjaga gerbang mana pun pasti dibuka. Akses leluasa bisa Apo dapat demi menyembunyikan keresahannya dari dunia.

Ya, walau di awal-awal seperti buronan kriminal. Apo berlindung di balik gudang penyimpanan salah seorang penduduk agar terhindar dari kejaran prajurit. Dia harus rela keluar dari sana dengan tubuh beraroma susu, keju, dan mentega hasil fermentasi. Saat sudah aman, Apo membiarkan dirinya melaju bersama angin. Kemana pun jalan setapak mengarah, dia ikuti, dan belok tanpa peduli akan bisa kembali pulang atau tidak. Isi otaknya terlalu rumit untuk memikirkan hari lain. Apo hanya ingin kepanikan hari ini tidak membuat jantungnya berhenti. Lelaki carrier itu mimisan di tengah perjalanan, bukan karena melihat dada wanita desa, melainkan stress yang mendera setelah dibutakan momen terjangkalnya dunia.

"Seseorang, siapa pun. Phi Aye ...." desah Apo setelah merasa cukup jauh. Dia beristirahat dan mengikat kuda di bawah pohon dekat danau, tapi rumah penduduknya jarang sekali. Bisa dikatakan sebagai kawasan yang terbelakang, anti-sosial, dan hanya bertahan lewat kehidupan bercocok tanam. Namun, yang seperti itu justru bisa membuatnya yakin duduk merenungi diri. "Aku butuh bicara dengan kalian, bukan orang-orang palsu di tempat ini, mau pulang ...." Dia masih tak bisa menangis, entah kenapa.

Ah, semisal permohonan Apo terkabul, bagaimana ya kondisi dunia nyata sekarang? Apa perputaran waktunya sama? Lebih cepat? Lebih lambat? Atau challenge kerajaan justru seperti tak pernah terjadi? Apo pun memberanikan diri bertanya ke sistem. Ternyata jawabannya adalah setara. Selama 24 jam di dalam game, berarti 24 jam juga di sana. Kalau pun tak bisa bangun hari ini, Apo ingin menitipkan pesan untuk sang Ibu, tapi sistem bilang hanya muncul untuk mendampingi player.

[Maaf, Tuan Nattarylie. Permintaan kali ini juga tak bisa kami kabulkan]

[Kami ulangi lagi, kemampuan ini terbatas dengan tingkat kecerdasan AI dalam mesin--]

"YA PAKEK CARA APA LAH! YANG PENTING BISA!!" bentak Apo. "Mengirim orang untuk mempekerjakan Ibu dan mengatur donasi kesehatan untuk biaya RS saja mampu, kenapa sekedar pesan malah menolaknya? Developer kalian bisa lakukan hal yang sama!"

Emot sistem pun tampak sangat kebingungan.

[Oke, kami usahakan. Tapi bilangnya nanti bagaimana? Anda ingat kejadian tersebut di alam mimpi?]

[Anda kan koma, Tuan Nattarylie. Kami mustahil bilang orang itu utusan sebuah game virtual, karena segala hal dalam universe ini dirahasiakan dari selain player]

"ALASAN YA ANJING! Pura-pura kan bisa, Tolol. Datangi dia di tempat kerjanya. Ngaku jadi temanku kek, apa kek," kata Apo. "Pokoknya cukup tanyakan siapa yang dia bunuh jaman muda dulu, sebutkan ciri-cirinya. Pertama: pasangan suami-istri dengan anak kecil satu, masih balita. Kedua: peristiwa itu di ruang tamu yang minimalis. Aku tidak mau tahu!" tegasnya.

[Baiklah, akan dilaksanakan sesuai permintaan Anda]

[Mohon ditunggu kelanjutan kabarnya, Tuan. Kami akan mengatur pengiriman orang dulu]

[Catatan: segala resiko yang mengikuti di belakang bukan tanggung jawab kami. Itu sudah di luar kuasa developer game dan sejenis]

"YA! TERSERAH! PERGI SAJA!" usir Apo. "Pokoknya jangan di sini sekarang, aku malas melihatmu!!" Dia lempar layar sistem menggunakan batu sekepalan tangan. Lelaki carrier itu duduk kembali dan terpikir untuk meminum racun jika spekulasinya nanti dibenarkan.

Sangking sakitnya Apo ingin semua hal cepat berakhir. Namun, sebagian dirinya justru menolak itu terjadi. Apo ingin hidup di game terus jika tak ada alasan untuk dirinya kembali, tapi Apo tidak tahu apa dia mampu berjuang mulai sekarang.

Apo merasa mengambang-ngambang tak tentu arah. Padahal ada begitu banyak yang Apo dapat di tempat ini, tapi tak seorang pun mampu meyakinkannya.

"HIAAAAAA!! LEBIH CEPAAAAAATT!"

Tidak, hingga suara berisik kuda lari dari belakang begitu mengagetkannya. Apo pun menoleh, takut kuda miliknya yang melepaskan diri.

"Hah? Yang Mulia?"

Apo langsung berdiri melihat lelaki agung itu menyusul dari kejauhan. Dia sendirian menggunakan baju kerajaan yang dibalut jubah hitam super besar. Warna fabriknya merah darah, seperti sunset yang baru muncul di balik pepohonan. Apo yakin pemandangan tersebut nyata karena tutup kepala Raja Millerius melorot diterpa angin kencang.

Kenapa beliau ada di sini?

Darimana tahu?

Terus bagaimana dengan challenge tadi siang?

Aku mustahil menang karena tidak terdaftar.

"Nattarylie."

Raja Millerius segera turun begitu kuda hitamnya berhenti. Dia mendekat dengan langkah buru-buru, lalu mengguncang bahu si manis. Tatapannya separuh marah, separuh lagi cemas akan kondisi Apo sekarang. Semisal tega, dominan itu pasti sudah menggamparnya sejak awal.

"Apa--"

"JANGAN MAIN-MAIN TERUS, BISA TIDAK?!" bentak Raja Millerius jengkel. "Kau ... seharusnya bisa lebih dari itu. Aku yakin, tapi kenapa sering begini? Tadi malah yang terparah. Apa kau ada masalah? Beritahu saja biar kubantu menyelesaikannya!!"

Kali ini Apo tidak takut menghadapi Raja Millerius. Dia mati rasa.

"Anda takkan pernah bisa. Anda lemah."

"Apa katamu?" kaget Raja Millerius. "Kau--"

"Anda Raja Inggris tapi ada sesuatu yang di luar kuasa Anda, Yang Mulia. Anda takkan pernah bisa membantuku. Jangan coba-coba," tegas Apo tanpa ekspresi. Dia membuat Raja Millerius berpikir keras, namun tidak menemukan jawaban sama sekali.  ".... atau semua hal terasa semakin sulit."

"Natta ...."

Apo pun tersenyum tipis, tapi hatinya justru melemah. Seharian tak bisa menangis membuat dadanya sesak. Apo benci mengakui, tapi kehadiran sosok ini bisa meruntuhkan segala pertahanannya.

Setitik dua titik air mata Apo mulai berjatuhan turun. Dia tak bergerak, hingga Raja Millerius menariknya ke pelukan yang menguatkan.

"Hiks, sakit ...."

"Astaga, ya Tuhan--!! Aku di sini, Natta. Aku di sini ...."

Sang dominan mengusap belakang kepalanya sayang.

"Sakit, banget, anjing!! Hiks ... goblok, ya sial ... hiks ... huhu .... hiks, pengen mati aja, hiks, damn it--tolol banget aku dibohongi ... hiks ... selama itu, hiks ... bocil ... aku harus ngapain sekarang .... hiks ...." keluh Apo, sambil meremas punggung sang raja. Kakinya lemas hingga Raja Millerius berusaha menopangnya terus menerus. Sang dominan (untuk kedua kalinya) bingung dengan omongan Apo, tapi tidak ambil pusing. Seperti dulu, lelaki itu hanya menjadi pendengar yang baik. Dia biarkan Apo memaki-maki dengan bahasa slang yang datangnya entah darimana. "Hiks ... tai ... hiks ...." Dia bahkan meler, tapi bodoh amat dengan rupanya sekarang. Apo hanya mengusapnya sesekali. Lebih dari itu dia fokus untuk melegakan suasana hati. "Upruk kotor ... anying, mana hidupnya awet sekali. Hiks ... Ayah ... Ibu ... si geblek tidak mati-mati ... hiks ...."

Raja Millerius berakhir membopong Apo, karena kelamaan curhat hal-hal random yang tak masuk ke otaknya. Susah payah dia menyuruh si kuda menunduk dulu agar memudahkan proses naik ke punggung. Dia takkan menyesal jika beberapa pihak mempertanyakan kenapa jadwal sesi besok mundur. Termasuk reward Gavin tadi sore agar dilakukan dua hari lagi.

Sang dominan memang tidak berkuasa atas 100% pemerintahan, tapi dia tetap berhak atas dirinya sendiri. Siapa pun masih menghormati kehidupan privasinya, walau desas-desus Apo berpotensi menjadi selir (yang sudah menyebar) agak menyakiti telinga.

Kata mereka, "Oh, sudah kelihatan sih. Yang Mulia suka carrier yang itu. Cantik memang. Siapa yang tidak tertarik? Tuan Natta punya wajah manis nan menawan apapun yang dilakukan. Jarang-jarang ada yang seperti itu."

"Setuju. Mana postur badannya bagus sekali."

"Tapi payah."

"Benar."

"Sering kalah hingga hari ini."

"Ha ha ha, dengar-dengar partai pendukungnya agak goyah sih sekarang."

"Hah? Yang benar?"

"Iya, kan reputasi mereka semakin jelek setiap harinya."

"Tidak heran sih, yang namanya selir tetap saja selir."

"Setuju."

"Selir hanyalah pelacur raja."

"Aku tidak suka kau disebut begitu," gumam Raja Millerius saat memacu kudanya pulang. Dengan lengan kiri dia memeluk Apo erat-erat. Mata tidak melepaskan fokus ke jalanan hingga matahari tenggelam berganti salju.