Chapter 38 - TKC 32

Asli: Istana Buckingham

Di Fanfic TKC: Istana Pusat

______________

NB: sebutan inti sengaja gak gw tulis sesuai fakta, karena Istana Buckingham khusus generasi Windsor di Inggris. Sementara Mile gw kasih nama lengkap Alexandre Edouard (darah Polandia-Perancis. Salah satu cicit King Hendry III).

SESAMPAINYA di Istana Pusat, Apo baru sadar tidak dibawa pulang ke rumahnya sendiri. Dia terbengong cukup lama menatap Raja Millerius turun dari kuda, lantas mengulurkan tangan kepadanya. Sang dominan setia menunggu hingga Apo mau turun. Di sekitar ternyata ada puluhan prajurit yang menunggu, guna mengawal mereka di kanan kiri jalan sejak belum memasuki gerbang utama.

Apo lihat Ayahanda dan Ibunda Raja Millerius muncul dari balkon lantai 4. Masing-masing menatap mereka dalam diam dan tanpa ekspresi.

"Gila, ngeri-nya sudah seperti di-mos kakak-kakak OSIS saja," batin Apo. "Mereka sedang menilaiku atau bagaimana? Lebih baik aku tidak macam-macam." lalu menyusul Raja Millerius. "Yang Mulia, kenapa kita kemari?" tanyanya. "Saya harus pulang jam segini. Nanti dicari Ayah dan Ibu."

"Tidak akan."

"Eh?"

"Aku justru mengundang mereka datang sekalian malam ini, tenang saja. Semua di bawah kendali," kata Raja Millerius seraya masuk ke dalam. "Kalian harus bertemu Ayah dan Bunda."

Jantung Apo pun serasa digebuk kencang.

"Tunggu, kenapa?" protes Apo, namun kaki tetap mengekori langkah sang raja dari belakang. "Maksud saya, kok sekarang? Yang Mulia, saya belum persiapan dan berantakan sekali."

"Jangan memusingkan hal-hal semacam itu." Raja Millerius membawa Apo melewati barisan dayang, butler, prajurit, dan beberapa pejabat yang kebetulan sedang bertugas di tempat itu. "Orang-orangku akan mengurus detailnya nanti. Mandi, dandan, ganti baju, dan perintilannya. Lagipula kau cantik kapan pun itu, Natta. Tenang saja."

Bedebah?!

Apo bingung mau gelisah atau salting dulu.

Apa-apaan sih, anjir! Yang barusan asli lebay banget.

Suasana nanti pasti canggung. Apalagi mukaku bengkak semua. Dasar bocil satu ini. Malu tahu.

"Saya rasa pendapat Anda terlalu subjektif, Yang Mulia. Tidak sepatutnya kami didatangkan sepihak dadakan," kata Apo. "Kami benar-benar butuh waktu."

"Waktu?"

"Iya, kan setidaknya ada gambaran harus apa dulu."

"Tidak perlu," kata Raja Millerius. "Cukup diam dan perhatikan obrolan yang lebih tua. Kau hanya boleh menjawab jika ada yang bertanya padamu."

Hah?!

"Tapi--"

"Nattarylie."

Suara Raja Millerius meninggi.

"...."

Sial. Menakutkan juga kalau si bocil sudah begini.

"M-Maksud saya, seharusnya kita tidak perlu buru-buru. Masih banyak kesempatan untuk pertemuan keluarga kan? Toh ujiannya baru di sesi 8. Kenapa Anda panik sekali?"

"Memang," sahut Raja Millerius marah. "Tapi kesan sangat penting, Natta. Dan kau sudah menghancurkannya."

"...."

"Bodoh."

"...."

"Padahal seharian momen yang sangat krusial."

"...."

"Ada Ayah, Bunda, beberapa menteri, bahkan asisten mereka ikut menilai."

"...."

"Aku ingin meyakini aku tak salah berharap padamu."

Sang dominan masih mengomel hingga sampai tujuan, yakni kamar megah dengan pintu setinggi 7 meter. Yang membuka saja 4 orang prajurit. Kemungkinan sangat berat karena proses menggesernya pelan-lahan.

Apo lihat di dalamnya masih dibatasi beberapa sekat. Namun saat masuk, kata "privat" luntur oleh keberadaan 8 dayang yang berbaris rapi. Mereka menyambut Apo dengan banyak barang persiapan. Ada koper, tas lencana, kotak make-up, dan masih banyak lainnya. Apo pun ditinggal dengan batas waktu 30 menit saja. Raja Millerius serius saat mengintruksikan terkait wardrobe. Mau tak mau Apo segera diseret untuk mandi tanpa perlawanan lagi.

"Aku tak peduli mau bagaimana. Dia harus siap 15 menit sebelum aku naik ke singgasana."

"Baik, Yang Mulia."

"Pastikan kedua orangtuanya pun masuk di saat yang sama. Karena itu sambut dan arahkan kelanjutannya."

"Baik."

"Aku tak menoleransi kesalahan sekecil apapun kali ini."

Dominan itu langsung pergi dengan iring-iringan yang sigap berbaris dari belakang. Sebab aturan istana tak bisa ditawar dalam acara formal seperti ini. Sejak coronation ceremony, Raja Millerius wajib rapi dengan pakaian khusus berwarna hitam, juga jubah merah kebesaran yang bertakhtakan batu mulia. Mahkotanya pun harus dikenakan di atas jam 8 malam. Saat itulah dunia bisa jungkir balik di bawah kakinya.

Pada tangan kanan ada tongkat kerajaan yang menandakan kekuasannya.

Pada tangan kiri ada bola suci berhiaskan salib yang melambangkan otoritas Tuhan atas Britania Raya, Skotlandia, dan Irlandia.

Di balik singgasana megah berwarna merah yang dia duduki, terdapat Royal Standart berhiaskan tiga singa emas, singa merah, dan harpa pertanda menyatunya 3 kepemimpinan. Tiada senyum lagi jika Raja Millerius sudah hadir dan berada di atas sana.

"God Save The King!" teriak para prajurit serentak. Mereka selalu berjaga di tempat tersebut. Semua tertata rapi dalam seragam merah, celana hitam, senjata laras panjang, pedang, dan tatapan mata lurus ke depan.

Mereka yang hadir sudah berdiri sejak sosok itu datang, yakni ajudan inti, beberapa tangan kanan, juga Ayahanda dan Ibunda Raja Millerius sendiri. Masing-masing baru duduk setelah sang dominan duduk. Kondisi ruangan benar-benar sunyi hingga 3 orang yang dinanti masuk dari ambang pintu.

Jujur, Apo gemetar ketika melangkah. Apalagi dalam pengaturan barisan dia lah yang harus di depan. Phillip dan Phelipe mengawal satu meter di belakangnya. Mereka tepat di kanan kiri, dengan raut sama tegang akibat tersihir suasana. Namun, nasihat Raja Millerius ternyata betulan manjur. Dengan diam dia merasa aman, walaupun hanya sementara.

"Anjing! Kalau begini baru terasa kita memang beda kasta," batin Apo miris. "Ternyata dia betulan seorang raja."

Sangking terbiusnya, Apo nge-blank dan lupa masalah yang dia tangisi sore tadi.

Lelaki carrier itu tak menyangka pernah berciuman--bahkan lebih--dengan enigma manusia, yang didewakan di seberang sana.

Glek--oke, paling tidak jangan pipis di celana, Apo. Malu-maluin!

Namun misal sampai kejadian, Apo bersumpah akan minum racun langsung agar mati dalam kondisi berdiri.

"Baik, semua orang yang kupanggil sepertinya sudah hadir tepat waktu. Kuapresiasi," kata Raja Millerius mengawali. "Mungkin beberapa ada yang terkejut karena tiba-tiba, tapi dari sudut pandangku ini sudah kupikirkan sejak lama. Semoga mengerti."

Semua orang diam mendengarkan dengan khidmad tanpa tapi.

"Aku paham, mengenai batas-batas etiket dalam bangsa kita, karena itu sehubungan dengan ujian calon ratu berbasis kenegaraan, setiap sesi selalu diberlakukan secara netral tanpa adanya berat sebelah. Ini berkaitan dengan sejarah yang tertulis di masa depan, namun ketahuilah aku memiliki beberapa pandangan yang tidak kalian tahu," kata Raja Millerius tenang. Apo tak bisa melepaskan mata sedetik pun dari yang mulia agung. Sangking formalnya, Apo merasa sedang mengahadapi spesies lain. "Adalah tentang Nattarylie J Livingstone, juga merembetnya berbagai kabar dan desas-desus di luar tentang dirinya. Aku di sini, secara sadar dan dengan tanpa pengaruh dari siapa pun, mengatakan bahwa dia masih bersih sebagai seorang carrier terhormat, layak, dan memiliki potensi besar seperti kandidat yang lain. Maka dari itu tak ada yang dibenarkan jika mengganggu gugatnya dari posisi persaingan selanjutnya, atau mencekal Nattarylie di tengah jalan karena alasan yang tidak valid."

Apo tidak tahu apakah spekulasinya benar atau tidak, tapi kemungkinan yang menahan napas sepanjang speech bukanlah hanya dirinya.

"Demikan alasanku mengundang Deputi Gubernur Phillip J Livingstone, istrinya Phelipe J Livingstone, putera mereka Nattarylie J Livingstone, dan kalian sebagai saksi atas perkataanku malam ini," sambung Raja Millerius mulai sensitif. "Aku pun bisa menjamin hasil pemeriksaan dokter kerajaan nanti tak ada masalah, sehingga lusa pagi bisa diresmikan dengan konfirmasi klinis."

Si manis pun berjengit dengan telinga memerah. Dia baru sadar yang dibahas secara blak-blakan (dan sok sopan) di tempat ini adalah keperawanannya. Mungkin semua orang sempat meragukan dan bertanya-tanya apakah Raja Millerius sudah berbuat sejauh itu. Dia sampai buang muka, tidak sanggup menatap sang dominan lagi karena terlalu malu. Wajah Apo menunduk dalam, padahal kalau boleh memilih dia tak mau bereaksi begitu. Tapi kenapa sih!!! Astaga ... tubuhnya benar-benar menggambarkan carrier murni yang masih tersegel, tanpa dibuat-buat sama sekali bahkan tanpa adanya rencana.

"Baik, dariku sampai situ saja. Namun apakah ada pertanyaan?" tanya Raja Millerius, seraya menatap juru tulis yang mempersiapkan konfirmasi resmi kerajaan di dalam gulungan perkamen. "Aku membebaskan diskusi terbuka sekarang, tapi untuk persoalan yang barusan. Semua sudah dirangkum di dalam sini."

"Ada."

Tiba-tiba Ibunda Raja Millerius membuka suara.

"Bagaimana, Ibu?"

"Itu kan pernyataan dari Anda, Yang Mulia. Kalau Nattarylie bagaimana? Aku ingin dengar langsung dari dia."

"Anu--"

Apo langsung dipelototi Raja Millerius karena terlalu impulsif.

Anjir ya! Lupa total! Sabar sedikit, Apo. Typo ngomong se-sret saja kau bisa dihempas dari sini.

"Ehem, saya juga, Yang Mulia," kata Apo, mulai bisa kontrol diri. "Saya bersaksi dan sejalan dengan Yang Mulia Raja. D-Dan ... terkait dengan pemeriksaan medis atau yang sejenis, saya siap menjalani setiap prosedur."

Beh, mana suaraku ketahuan bingungnya! Anjing!

Ayahanda Raja Millerius pun menyipitkan mata. "Baiklah," katanya, meski curiga tak habis-habis. "Jika begitu jawaban bisa diterima. Tapi ingat, Nak. Malam ini kami berdua pun mau hadir untuk menghormati Yang Mulia Raja. Tidak kurang, tidak lebih. Karena itu jaga dirimu lebih baik mulai sekarang," pesannya. "Jangan sampai aku dengar lagi, seorang Nattarylie menghina anakku dengan kata-kata kotor, makian, atau yang sejenis. Kau kan tidak tahu seberapa serius kami menimbang dan memilih diantara 10 kandidat, yang sebelumnya ratusan orang."

Apo benar-benar ingin pipis di celana.

Anjayyyyy, gila! Keceplosanku bahkan sampai merembet ke pemerintahan!!

Siapa yang sangka bisa begini jadinya?

"Baik, Yang Mulia."

"Tambahan dariku lagi," sang Ibunda sudah bicara padahal Apo belum selesai mencerna seluruh topik barusan. "Yang Mulia boleh saja menyukaimu karena itu hak-haknya. Tapi ingat, Nak. Bangsa kita tetap membutuhkan ratu yang mumpuni. Bukan yang kalah bersaing karena terlambat, absen sehari karena menangis, tidak fokus karena masalah pribadi, apalagi melarikan diri dari kewajiban di depan mata. Nol besar!" tegasnya. "Kau boleh 18 tahun dan bermanja di luar konteks profesional. Namun saat titel "ratu"-mu nanti dipanggil negara, kau pun harus siap dan siaga menanganinya. Paham?"

BRENGSEK! AKU BENAR-BENAR DIKULITI SAMPAI HABIS!!

MEMANG BOLEH SE-TERANG BENDERANG INI?!

Ayah Phillip, please ... tolong jangan marah kepadaku setelah pulang. Ya Tuhan ....

"Baik, Yang Mulia. Saya usahakan tak terjadi lagi."

"Ya."

"Kami juga mohon maaf selaku orangtuanya. Semoga bisa diterima," kata Phelipe segera maju untuk membela si bayi kesayangan.

"Dari saya pun begitu, Yang Mulia. Kedepannya Natta akan kami pandu lebih lagi," kata Phillip ikut maju. "Maaf atas ketidaknyamanan yang dia lakukan selama ini."

"Hm," sahut Ayahanda Raja Millerius.

Pertemuan pun diakhiri pada jam 9. Apo, Phillip, dan Phelipe dipersilahkan pulang dengan kereta kerajaan sebagai tanda undangan tersebut dilakukan atas pikiran yang waras. Yang tidak Phelipe sangka adalah Apo pingsan begitu masuk ke dalam. Phillip bahkan ikutan syok karena pahanya ditimpa beban berat mendadak.

"Astaga! Sayang, Natta? Hei ...."

"Aduh, bayiiii?! Cantiiiik? Coba Ibu lihat dulu wajahnya? Sayang ...."

Keduanya kompak menata tubuh Apo agar bersandar di dada Phillip. Di lain pihak Phelipe terus menepuk-nepuk pipi si bayi yang baru menggemparkan seluruh daratan Inggris.