MENDEKATI pukul 1 pagi, Apo terbangun karena tidurnya terlalu awal. Lelaki carrier itu merasakan lemas sekujur tubuh akibat kelelahan mental. Bingung merambati otaknya begitu sadar mengenakan piama putih. Di atas nakas terdapat map berisi berkas pemeriksaan medis dua lembar. Entah kapan terjadinya, dan siapa yang mengganti baju si manis, yang pasti pernyataan resmi dokter kerajaan mengatakan keperawanan Apo aman, tidak seperti kabar-kabar buruk yang menyebar di luar sana. Kening Apo mengerut membayangkan apa yang dokter itu lakukan sebelum pergi. Imajinasi Apo tidak sanggup jika diminta me-recreate bagaimana proses pengecekan. Apo kira malah dilakukan besok. Tapi ya sudahlah. Bodoh amat, Apo tidak mau membebani dirinya lebih banyak.
"Lagian sudah selesai. Ngapain juga aku pikirin, Bedebah ...." batin Apo sambil meletakkan map tersebut. Dia kembali rebahan di atas ranjang. Sesekali gelimbungan kesana kemari hingga guling jatuh dan selimut menjadi berantakan. "Hahhhh, istri ...." desahnya heran. "Kok istri sih? Kontol ... geli banget. Mana ditindih berat sekali. Para dominan sadar tidak kalau badannya otot semua?" omelnya kesal. "Segala menduduki perut dan pinggulku. Anjing ya, untung tidak sampai patah jadi dua. Goblok memang."
Perlahan Apo menarik selimut ke batas bahu. Matanya meredup mengakui tak ada pilihan yang lebih bagus daripada menjadi istri Raja Millerius saat ini. "Ha ha ha, jika diingat aku memang terlahir tanpa privilege sih sejak awal," batinnya. "Terus, kenapa harus milih-milih? Setidaknya di sini kan masih mendingan. Ada kasur empuk, baju bagus, makanan enak, orangtua lengkap, dan calon suami (?) yang bucinnya di luar Nurul ...."
Lelaki carrier itu merona, tapi perasannya sulit terlepas. Jujur dia memang ingin bertemu Raja Millerius lagi. Mungkin karena sang dominan se-effort itu dalam membela namanya. Jika tidak, takkan ada pertemuan anggota kerajaan dengan surat pernyataan resmi. Apo ingin berteriak kesetanan sangking sebalnya dengan keributan dalam hidupnya.
"Sistem, kau dimana?" tanya Apo, yang lama-lama kesepian.
[Iya, Tuan Nattarylie?]
[Saya di sini]
"Bisa tidak kau tunjukkan jalan menuju kamar Yang Mulia? Aku mau ikutan ke sana."
[Eh? Bagaimana?]
"Tidur." Apo menarik selimut demi menutupi rona pipi yang merembet. Kesal rasanya melihat pemandangan itu membias di cermin kamar. Apo ingin membuangnya jauh-jauh besok pagi. "Aku cuma mau dekat dengan dia kok. Tidak ngapa-ngapain. Mungkin karena Yang Mulia doang yang perhatiannya tumpah-tumpah?" Dadanya berdebar sendiri kala menjelaskan. "Anu, bukan berarti Ayah dan Ibu tidak sih. Mereka berdua baik. Sayang sama aku juga."
[....]
"Tapi kadang aku mikir, yang Ayah pedulikan sebenarnya harkat dan martabat keluarga. Jika tidak, mana mungkin aku dimarahi terus, atau yang barusan negatif thinking-ku saja."
[....]
"Terus Ibu ...." lanjut Apo. "Aku ingin menghabiskan banyak waktu dengan dia, tapi kalau kebablasan bagaimana?" Dia memukuli kepala sendiri. "Aduh, Apo. Stop. Ayah bisa syok kalau aku sering membayangkan nen sama Ibu. Bisa "The End" kali ya hidupku kalau kejadian? Gak dulu deh. Skip. Nyawa masih tetap paling penting. Astaga ...."

[....]
"Mana Yang Mulia tadi sok keren sekali. Aku kan kepingin mengeong terus jadinya," kata Apo sambil berguling tak jelas. "AH! BUKAN GITU SIH! Maksudku, jubah dia kelihatan hangat banget! Ha ha ha ha! Tidak salah dong kalau mau cobain masuk sana?" Apo makin cringe dengan dirinya sendiri. "IH YA TUHAN! Aku kenapa sih, anjaaayyyy. Apoooooo!! Sudah gila ya? Tolol ah! Sintingnya terverifikasi! Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!" Dia berteriak tidak terkendali. Sistem sampai heran dengan kelakuan ajaibnya. Ratusan emot terus keluar padahal bukan karena error. Si layar melayang mencoba paham apa yang sedang terjadi. Namun tidak mendapatkan titik temu
[Tuan Natta Anda sebenarnya kenapaaaa ...???!]
Bantal yang tersisa Apo lempar sembarangan.
"Diam! Mana kutahu kenapa! Hiiiiiih ... kau nanya gitu aku makin kepikiran, Jancuk!! Aku benar-benar ingin ketemu dengannyaaaaaa. Hmmmgh ...."
[]
Lelaki carrier itu pun menangis. Berharap dipeluk terus kalau sedang tidak enak. Apo suka dikejar-kejar kala dirinya merapuh. Paling menyenangkan misuh-misuh bersama orang yang mau stay tanpa protes betapa kasarnya dia. Si manis menyebut nama Raja Millerius tanpa sadar. Andai ada fitur pintu Doraemon dia pasti melompat ke sana sekarang. "Hiks ... Yang Mulia, hiks, hiks--kangen ...."
Jemarinya meremas seprai.
"Kok jauh banget sih, kesal ... hiks ... mana ada prajurit segala. Hiks, hiks ...."
Apo meringkuk dan menenggelamkan wajah ke dalam kasur.
"Mau--hnngh ... disayang di sini .... mau ...."
Ubunnya mendusel-dusel seperti bocah.
"Mau--hiks ... sama-sama pokoknya, hiks ... jangan makan sama orang lain lagi, umn--tidak--hiks hiks ... suka... hiks, Apo marah ...."
Pukul 2 lebih Apo tertidur lagi dengan sendirinya. Para dayang dan Phelipe terbengong-bengong melihat kondisi kamar keesokan pagi. Apo mirip bola bulu yang meringkuk bulat di tengah ranjang raksasanya. Dia kedinginan, sehingga Phelipe minta selimut baru untuk ditangkupkan.
"Pantas dia tidak bangun-bangun. Orang habis rewel lagi ...." gumam Phelipe sambil mengecupi kening si bayi. "Eh, tapi sesi-9 diundur lusa kan? Perasaan kemarin ada pengumuman ulang. Dengar-dengar Yang Mulia belum keluar sama Tuan Gavin."
"Iya, Nyonya," sahut seorang dayang senior.
"Hmmm, ya sudah biar tetap tidur. Sarapan Natta dipindah kemari saja. Tak perlu laporan ke suamiku. Biar aku sendiri yang menjelaskan."
"Baik."
Mereka pun pergi usai melaksanakan perintah. Phelipe tata rambut Apo dengan jari, lalu dibelai dengan telaten. Si bayi bangun tidak lama kemudian. Apo terbelalak, tapi rikuh karena mata dan bibir bengkak semua. "Hah--Ibu ...."
"Ssshhhh."
Phelipe menaruh telunjuk di depan bibir. Senyumnya muncul bagai dewi khayangan yang baru terbang ke bumi. Hiasan rambutnya berupa bandana bunga-bunga yang melingkar melalui kepangan mengembang. Apo kagum, tapi pikirannya tak bermaksud menafsui lagi.
"Ibu, kok--"
"Mmh, mmh ... bayi kenapa, Cantik? Jangan dipendam terus dong. Nanti malah kesusahan sendiri," sela Phelipe. "Bukankah Ibu selalu tanya sama kamu. Ada apa? Kenapa? Bagaimana? Sejak kapan? Dan masih banyak lainnya ...." Dia mengecup di kening lagi. "Tapi saat curhat kamu tidak pernah tuntas. Tengok sekarang? Tidurmu mulai terganggu ...."
"Hmmmnn."
Apo pun membuang muka dan menggigit bibir. Dia benci dipojokkan, tapi di sisi lain lega ada yang peduli.
"Apaaaa, hmm?" tanya Phelipe ulang. Dia terus membelai rambut Apo sayang. Si manis auto membayangkan wanita yang dibunuh Ibu Nara juga selembut ini orangnya.
"Bu, Natta boleh minta maaf dulu?" kata Apo. "Sering ngecewain ini dan itu soalnya. Sering nakal. Ayah bahkan ikut kerepotan."
Phelipe justru terkekeh. "Iya, terus?"
"T-Terus ... apa, ya ...." Apo mengucek matanya yang masih lengket. "Kalau Natta terima perasaan Yang Mulia apa tidak jahat?" katanya. "Soalnya kan, banyak yang berusaha keras selain Natta. Mereka kelihatan serius banget, Bu. Ada yang sering memelototiku. Ada juga yang marah-marah karena kuajak jalan. Katanya aku sombong setelah menang sesi malah pamer kepadanya. Padahal aku cuma ingin berbagi reward. Hmmh."
Belaian Phelipe memelan. "Ya Tuhan, kau ini terbuat dari apa sebenarnya? Kenapa memikirkan orang lain selama ini? Kalau suka ya sudah abaikan saja, aduh ...." Wanita itu ingin marah tapi tidak bisa. "Cantik, dengar. Kau harus memperhatikan orang sekitarmu mulai sekarang. Karena yang tulus jumlahnya tak terlalu banyak. Jangan disia-siakan."
"...."
Tai, memang selama ini aku pernah menyia-nyiakan?
"Mau Ayah, Ibu, Yang Mulia, dayang, prajurit, kusir kereta, atau siapa pun itu ...." lanjut Phelipe. "Jika mereka serius sayang sama kamu. Just make a time, ok? Luangkan waktu buat mereka. Mau berupa makan bersama, menyapa, jalan-jalan, mengobrol singkat, atau cuma saling senyum pas ketemu."
"...."
"Intinya yang seperti ini berharga. Tetap pertahankan. Jangan lupa give and take dengan mereka," kata Phelipe. "Misal Ayah ngasih hadiah, kau kembalikan dengan sun di pipi. Ada koki masak lezat kau kembalikan dengan berterima kasih. Ha ha ha, tidak harus besar, Sayang. Tidak harus sama-sama berupa hadiah juga. Yang penting perasaanmu nanti tersampaikan."
Apo pun mengangguk pelan.
"Oke, Bu."
"Jadi?"
"J-Jadi?"
Phelipe mengadu hidung dengan si bayi.
"Sekarang mau serius ujian? Biar bisa ngasih sayang juga buat Yang Mulia," katanya. "Biar sama-sama terus. Kan bertemunya makin mudah kalau kamu jadi ratu, hm? Setidaknya boleh pergi kemana-mana, meski bertugas ini dan itu."
"Eh?"
"Kalau selir kan, susah. Sudah perginya dibatasi. Tidak bisa ketemu raja, atau siapa pun melebihi yang ditentukan. Tinggalnya harus di Istana Noble Consort. Tugasnya banyak, bahkan jika ratu tidak mau bisa dilempar padanya."
Anjing! Kenapa tidak ada yang menjelaskannya selama ini? Andai aku tahu begitu sejak awal--
"S-Serius, Bu?"
"Iya, dong. Selir kan tugasnya mewakili ratu. Baik di ranjang atau bernegara. Misal kau tidak kuat bisa dialihkan semuanya. Terserah Cantik mau bagaimana. Kau berkuasa," kata Phelipe. "Karenanya jumlah selir tidak cuma satu, yakni pertama: Kepala Selir. Ini jabatan saja yang tinggi. Padahal dia paling repot se-istana. Tak hanya membantu ratu, tapi juga mengomando ratusan selir di bawah dia. Jika kau lebih payah, nanti bisa dihujat mereka. Amit-amit, jangan sampai ... oke?"
Apo merasakan kepanikan menyerbu perutnya. Apalagi membayangkan rakyat Inggris akan tunduk kepadanya juga.
Brengsek! Telat banget!
Aku selama ini ngapain?!
Mana Yang Mulia, sangking putus asanya ingin mengangkatku menjadi Kepala Selir. Mungkin menurutnya, paling tidak lumayan kali ya --kalau aku-- ditaruh di sana. Sudi siapa?! Cuih!
"Oke ...."
Senyum Phelipe semakin cerah.
"Bagus," katanya sambil memeluk si bayi. "Berarti sekarang kita adalah tim. Ada Ayah, Ibu, dan kamu harus bekerja sama selalu."
"Umn."
Apo pun berdebar kencang. Untuk pertama kali pandangannya mulai berubah ke setiap level yang ada di depan mata.