BRAKH!
Sampai rumah, Mile pun uring-uringan. Entah kenapa, sekarang tiap tindakan Apo berpengaruh padanya. Padahal lelaki itu hanya sosok yang tidak terlalu istimewa, tapi anehnya bisa membuat Mile menentukan sesuatu?
"Sudah menemukan motivasi untuk belajar serius, huh?" tanya sang Ayah yang berdiri di ambang pintu kamar entah sejak kapan. Lelaki itu pun tersenyum menyeringai saat Mile menoleh, apalagi anak tunggalnya dalam mode membuka buku.
"Ah, Pa ...."
Ayah Mile kemudian menyentakkan dagu. "Apapun itu, semangat, ya. Pa dukung kamu kalau mau jadi lebih baik. Jangan lupa istirahat saja kalau selesai mengerjakan tugas."
Merasa sedikit tertangkap basah, Mile pun mengangguk pelan. "Oke."
"Sip, kalau begitu Pa pergi dulu. Mau tidur siang," katanya. "Dah."
"Hm."
Begitu sang Ayah menutup pintu kembali, Mile pun mulai menyusun banyak hal. Dimulai dari menu belajarnya yang diperiksa sekali lagi, kemudian jadwal privatnya yang ternyata padat sekali, kemudian formulir untuk perkiraan pendidikan selanjutnya.
Well, Mile belum mengisinya sejak diberikan sekolahan bulan lalu. Namun, kini dia sudah bisa memenuhi semuanya. "Oke, sekarang tujuanku adalah Universitas Chulalongkorn. Aku benar-benar harus masuk sini. Titik." (*)
(*) Chulalongkorn University: Ibaratnya kayak UI/UGM/ITB/IPB. Universitas ini terbaik di Thailand dan nomor 208 kalau di-rank seluruh negara di dunia.
Keesokan harinya, Apo mendapatkan spam dari Mile . Dia dimintai seporsi makanan untuk sarapan, tapi yang dikirim Mile adalah bom stiker kucing bertuliskan "Give Me The Food Meoooowwww!" sampai ratusan. Apo pun pusing dengan hal itu, tapi untungnya kuliah sedang libur.
[Apo: Iya nanti kubuatkan. Untuk makan siang saja ya. Aku repot kalau pagi. Mau beres-beres kamar dulu. Pasti kukirimkan sekalian. Sekarang tulis saja alamat rumahmu. Nanti kutitipkan dengan para pelayan]
[Mile: Tidak. Kau saja yang kirim alamatmu. Aku yang akan ke sana. Tidak nyaman di rumahku]
Apo pun mengerutkan kening. Bukankah rumah orang kaya besar dan mewah? Kenapa kata Mile tidak nyaman?
[Apo: Baiklah. Terserah. Tapi jangan protes kalau rumahku sempit, ya. Sini saja]
Setelah mengirimkan alamatnya, Mile malah tidak membalas apapun. Aneh sekali bocah satu itu. Apa dia ramai juga kalau sedang mengirim pesan kepada temannya? Apo jadi penasaran.
"Ah, terserahlah. Aku beres-beres dulu," kata Apo. Dia pun meletakkan ponsel, lantas mulai merapikan rumah. Walau setelah habis 20 menit mendadak ada suara mobil di halamannya.
DEG
"Hei, siapa?" Apo pun refleks membuka tirai jendela. Dan betapa kagetnya dia, Mile dengan setelan santai turun dari mobil yang disetirnya sendiri (padahal Apo yakin Mile belum punya SIM) kemudian melompat turun ke depan pintu rumahnya.
Tok tok tok!
"Phi! Aku mau minta makan!" kata Mile sambil tersenyum lebar. Dia sengaja datang meski baru sarapan, sehingga Apo membukakan pintu meski rupanya masih berantakan.
Oh Tuhan! Apo bahkan belum sempat mandi!
CKELK!
"Oh, Mile...." kata Apo sambil mengusap keringat di keningnya. "Ya ampun, kau ini. Pagi sekali sih. Apa tidak ada kegiatan samasekali?"
"Tidak lah. Kan aku orang kaya," tawa Mile dengan nada bercanda. "Jadi, mana mungkin sibuk. Aku bangun saja sudah ada sarapan."
"Oh, sombong sekali kau ini," kata Apo jengkel.
Bukannya tersinggung, Mile malah langsung melangkah masuk. "Ya, sangat. Sekarang beritahu mana yang belum bersih. Kubantu mumpung aku tidak tahu harus apa."
DEG
"Apa katamu barusan?" kaget Apo.
"Kenapa? Aneh ya?" kata Mile yang langsung merapikan majalah-majalah di atas meja tanpa permisi lagi. "Semakin cepat selesai kan kau bisa masak buatku makin cepat juga."
Apo buru-buru menyambar tumpukan majalah itu. "Tunggu, Mile. Tidak usah. Jangan repot-repot begini. Aku tidak mau dituding orangtuamu."
Mile malah merebutnya kembali. "Apa sih? Orangtuaku saja mendukung selama aku jadi lebih baik."
DEG
"Apa?"
Sadar dirinya keceplosan, Mile pun mengalihkan topik. "Pokoknya bagian sini biar aku yang bersihkan. Kau lanjutkan saja mencucinya-hmm, baumu sekarang deterjen."
"Iya aku kan memang tadi mencuci baju."
"Baiklah. Jangan pikirkan nanti rapi atau tidak. Pasti bersih kok. Aku jago kalau pekerjaan kering."
"Ya ampun, aku tak mengerti lagi." Apo pun menggeleng heran. "Terserahlah. Pokoknya ini maumu sendiri ya. Aku tidak ikut-ikutan."
"Hm."
Begitu masuk ke kamar mandi lagi, Apo pun memasukkan semua baju kotor yang tersisa ke dalam mesin cuci. Namun, bukannya senang, dia justru gelisah.
Mile kenapa aneh sih? Pertama bertemu dia menolong dan usil minta uang. Pas bertemu lagi dia memalak tiket tapi tidak jadi. Dan sekarang menagih makanan sambil bersih-bersih rumahnya.
Apo tidak mau tahu. Dia harus bertanya kepada Build karena kemarin ketahuan mereka berteman juga!
[Apo: Build, boleh aku bertanya sesuatu padamu?]
[Build : Iya, Phi? Ada apa kok mendadak?]
[Apo: Kau bilang, Mile sering bermain di rumahmu. Tapi, apa dia suka bersih-bersih juga?]
Di seberang sana, Build yang sedang meracik minuman untuk dirinya dan Bible pun mengerutkan kening.
[Build : Tidak kok. Mana mau bocah nakal itu. Dia kan pemalas sekali. Disuruh ikut privat ala orang kaya saja suka kabur]
[Apo: Oh, kalau begitu terima kasih ya. Thanks sudah mau kuganggu]
Build pun buru-buru membalas sebelum Apo meletakkan ponselnya.
[Build : Phi, tahu tidak? Mile itu suka padamu. Baru saja kemarin pacarku curhat dia tertarik pada orang bernama "Apo", jadi kuberitahu saja sekarang daripada kau kaget. Soalnya dia masih remaja dan hampir lulus sekolah. Tapi, kalau tidak suka balik padanya hanya karena dia lelaki, tahan saja boleh? Setidaknya sampai dia berhasil masuk universitas. Setelah itu terserah Phi mau apa. Sebenarnya aku cukup senang bocah pemalas itu berubah banyak karenamu. Buktinya? Tangan yang tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah itu mau beres-beres barangmu. Sudah ya, begitu saja. Kalau ada apa-apa tak masalah curhat padaku]
DEG
Jantung Apo pun terasa melompat dari rusuknya karena membaca balasan panjang kali lebar itu. Seketika telapak tangannya mendingin, dan dia tidak berani keluar untuk beberapa detik.
Hei, yang benar saja? Mile menyukainya? Ini lebih gila daripada kejutan-kejutan sebelumnya.
Sejujurnya, Apo tidak merasa hubungan lelaki dengan lelaki aneh kok. Buktinya dia biasa saja melihat Build pacaran dengan Bible. Tapi, heran saja seorang seperti Mile sejauh ini memandangnya.
Apa sih yang Mile lihat dari Apo? Mungkin anak nakal itu sedang kurang kerjaan saja.
"Ini, makan siang untukmu. Aku buatkan porsi besar sebagai terima kasih sudah membantu juga," kata Apo. Dia meletakkan senampan makan siang mewah untuk Mile , meski dalam hati miris isi kulkasnya habis.
"Wah, terima kasih," kata Mile . Pukul 1 siang, remaja lelaki itu menyantap makan siangnya satu meja dengan Apo dan merasai bumbu di dalamya. "Hmm ... lezat."
"Seriusan?"
"Ya, sangat. Aku suka caramu memasak."
Apo tidak mau terbang ke langit. Karena bisa jadi Mile mengatakannya hanya karena suka dirinya. Bukan karena memang makanannya enak.
"Oh, baguslah. Kalau begitu habiskan. Setelah ini pulang dan jangan temui aku lagi. Kan balas budiku sudah selesai."
Mile malah meletakkan sendoknya. "Oh, tidak bisa," katanya. Lalu tersenyum lebar. "Pokoknya begitu, Phi. Tapi, jangan tanya kenapa."
Tanpa sadar, Apo pun berdebar pelan. Hei, apa bocah ini serius?
Mile lantas menjilat bibir. "Akan kuhabiskan dulu makanannya sebelum pulang."
Mile tidak menunggu lama. Usai dari rumah Apo, dia bertemu Bible yang katanya mau membantu untuk mendekati Apo. Apalagi sekarang dia sudah tidak punya alasan untuk mendatangi lelaki itu.
"Ini, buku coret coretanku. Baca saja kalau mau. Yang pasti, aku benar-benar bisa dapatkan Phi Build setelah semuanya."
Mile pun mengerutkan kening, tapi dia tetap menerimanya. "Oke thanks. Aku akan membacanya di rumah."
"Kau serius juga rupanya."
Mile menggeplak kepala Bible dengan buku itu.
PLAKHHH!
"Jangan berpikir kau saja yang bisa dapat pacar manis," kata Mile kesal. "Aku akan menyusul. Lihat saja. Walau dia memang sedikit teguh daripada yang lain."
"Baiklah. Semangat." Bible lantas menepuk bahunya. "Kalau begitu aku pulang, ya. Jangan mengeluh dengan tulisanku yang jelek. Aku tidak pakar cinta atau apa. Dah."
"Hm."
Di rumah, Mile sungguh-sungguh membaca semua halaman dalam buku jelek itu. Dia menyelesaikan tugas dengan cepat, kemudian menyerap semua informasi yang Bible berikan.
"Ho, jadi yang lebih tua itu tidak suka kalau waktu me time-nya diganggu," gumam Mile dengan mengangguk-angguk. "Terus, mereka suka act of service daripada apapun, tapi jangan posesif karena punya banyak kesibukan." Remaja lelaki itu pun menggaruk-garuk kepala. "Rumit sekali kedengarannya. Tapi, bagus juga. Aku mungkin lebih baik tidur saja."
Di lain tempat, Apo justru kepikiran dengan pesan dari Build . Dia membaca itu berkali-kali, lalu memikirkan Mile yang tengah mengejar dirinya.
"Tahan setidaknya sampai dia masuk universitas, ya," gumam Apo. "Tapi bagus juga begitu. Walau rasanya agak aneh."
Apo memang tidak pernah pacaran karena terlalu sibuk dengan kehidupannya sejak orangtua meninggal. Namun, bukan berarti dia tak pernah punya gebetan. Apo pernah suka Davikah. Hanya saja, sekarang hubungan mereka jadi sahabat saja sudah bagus. Toh, apa yang bisa dilakukan kalau mereka pacaran? Tidak ada.
Faktanya Davikah sibuk dengan kehidupan sendiri, sementara dirinya juga.
"Well, aku mau lihat usahanya," kata Apo dengan dengusan tersenyum.
Pagi buta, Apo pun terkejut karena Davikah menjerit lagi dengan gaya lebay-nya.
"APOOOOOOOO! GAWAAAAT!"
Davikah bilang, kali ini toko kue-nya akan dibuatkan sponsorship salah satu teman wanita yang pernah menyewa mereka. Ah, pasti ini kerjaan Mile. Karena wanita ini ibu Mile, sementara backing penyewaan adalah acara ulang tahun anak kecilnya.
Apo tidak mau kaget. Karena dia langsung menelpon Mile begitu dimintai bantuan Davikah lagi.
"Halo, Mile. Ini pasti ulahmu. Iya kan? Mengaku saja."
Mile malah tersenyum. "Hehehe, memang kenapa kalau iya?" katanya percaya diri. "Apa Phi akan datang? Kali ini tidak perlu buru-buru. Jadi, aku bisa membantu kalau ada sesuatu."
"Kau memasak kue? Tidak perlu. Kau bilang hanya jago untuk pekerjaan kering." Apo lantas mendengus. "Lagipula, aku bukan karyawan resmi mereka. Jadi, maaf. Aku tidak bisa membantu kali ini."
DEG
"Tunggu, kenapa, Phi?"
"Aku ada penelitian outdoor di beberapa rumah sakit," kata Apo. Lelaki yang memasuki jurusan farmasi itu mengetuk-ngetuk keyboard laptopnya. "Jadi, begitulah. Makasih sudah memberikan pekerjaan lagi untuk sahabatku. Dah ya."
DEG
Debar jantung Mile pun balap-balapan dengan perkataannya. "Tunggu, tunggu. Hei, jangan tutup dulu."
"Kenapa?"
"Phi mau penelitian di rumah sakit apa saja? Dan kapan?"
Apo pun mengerutkan kening. "Apa kau akan ikut kalau aku ke sana?"
"Tidak kok. Buat apa. Hanya ingin tahu saja."
"Janji?" Apo sungguh curiga. "Nanti kau mengganggu kalau aku datang."
"Tidak. Aku janji," kata Mile . "Lagipula aku punya tugas sendiri. Buat apa mengikuti Phi."
Apo pun menghela napas panjang sebelum mengatakan apapun yang Mile mau. Dia menutup sambungan telepon dengan garukan kepala bingung, tapi cukup terkesan juga.
Mile benar-benar berjuang sejauh itu! Namun, Apo penasaran apa Mile sadar dia tidak kaget dengan fakta Mile yang berusaha mendekatinya.
"Ah, ya sudahlah. Buat apa juga kupikirkan," desah Apo dengan memberesi meja belajarnya. "Selamat malam, Milenakal. Aku mau tidur dulu."