Chereads / DEVIL SON [MILEAPO FANFICTION] / Chapter 9 - BAB 9: THE CRUEL PRINCE

Chapter 9 - BAB 9: THE CRUEL PRINCE

"Feifei, a sincere white dragon ...."

***

"BUAHAHAHAHAHAHAHAHA!!"

Di rumah sang kakak ipar, Apo malah ditertawakan hingga Jeje nyaris terjungkal. Pasalnya, petunjuk teka-teki si Gumiho jelas sekali. Mana ada kontrak Mile dan Bible bisa batal? Mile saja sudah 2 tahun hidup karena makan jiwa Bible. Jadi, takkan bisa diganggu gugat apapun caranya.

"Begini ya, Adik Iparku Tersayang ...." kata Jeje. Dia menjelaskan sambil mengusapi muka kotor Apo dengan handuk. "Iblis bisa menimpa kontrak dengan kontrak, asal miliknya sendiri. Contoh yang pernah Mile lakukan padamu. Pertama penyelamatan, kedua perkawinan.

Tapi, kontrak kami tidak bisa dihapuskan oleh iblis lain. Astaga ... ckckckck ... kalau sejak awal bisa, malah sembarangan semua aturan kami. Tidak damaiiii!!"

"Ha ha ha, begitu," tawa Apo yang duduk menurut di depan Jeje.

"Iya, dasar," kata Jeje. "Lebih baik setelah ini kau belajar lebih banyak soal kami. Biar tidak mudah ditipu lagi, paham?"

"Oke."

"Tapi jangan mengeluh karena bukunya banyak sekali. Modul kuliahmu saja bukan apa-apa," kata Jeje. "Ada yang membahas kekuatan, silsilah keluarga, privillege, wilayah, jabatan, bahasa, dan lain sebagainya."

"Oh ... aku akan berusaha," kata Apo dengan senyum manisnya.

Mile memang menyuruh Jeje mengecek ulang tubuh istrinya begitu sampai. Siapa tahu ada luka-luka yang masih tertinggal, atau tidak sembuh seketika seperti bayangan. Apo juga dilarang Jeje mandi langsung. Dia hanya dilap dengan handuk hangat, sementara Mile duduk di pojokan untuk mengawasi.

Sang adik memang belum bisa diajak bicara banyak. Jeje tahu Mile masih kesal kepadanya, tapi tetap berusaha tenang. Di lain pihak, Apo malah melakukan sesuatu agar Mile tersenyum. Dia memang tetap berada di tempat, tapi ekspresinya berubah-ubah. Kadang manyun, kadang senyum, kadang membuat matanya berputar ... tapi Mile malah beranjak pergi.

"Phi Jeje, kutunggu nanti di depan. Aku mau bicara sebentar."

"Eeeh?" Apo pun kaget karena usahanya tidak berhasil. "Mile, kenapa? Tidak senang dapat bunganya?"

Mile tidak menjawab dan keluar langsung.

Jeje pun mempercepat proses pembuatan obat dari bunga ungu itu. Dia membentuknya seperti sirup, lalu menyuruh Apo meminumnya segera. "Tak apa, pasti adikku sedang memikirkan sesuatu. Kau di sini saja jangan ikut. Pembicaraan kami mungkin tidak bagus kalau kau dengar."

"Baiklah," kata Apo sambil mengembalikan gelas yang sudah kosong.

Jeje kemudian menyentuh perutnya. "Permisi sebentar, ya. Biar kuperiksa dulu," katanya. Di sana Apo bisa lihat cahaya menyala, lalu hilang setelah Jeje melepaskan. "Bagus. Semua normal. Katup sfingter-nya sudah kembali menutup, dan lambungmu seperti baru. Selamat! Kau sembuh. Tapi lebih jaga hidup sehat mulai sekarang. Karena adikku auto stress kalau kau sakit."

"Hu-um, Phi."

Jeje pun menemui Mile setelah itu. Dia membiarkan Apo temu kangen dengan Cattawin, disusul Shigeo yang ikutan mendekat. "Guk! Guk! Auauauauauauauau ... guk! Guk! Guk! Auauauauauau." Dia melolong senang karena si pemilik menjemput.

"Mile, ada apa," kata Jeje. Dia duduk di sebelah sang adik dan berfokus mendengarkan. "Kau sepertinya agak terguncang setelah pulang. Apo pasti khawatir meski dia tidak banyak tanya."

Mile menghela napas panjang. "Ya, aku lengah. Aku lupa caranya bertarung seperti kata mereka."

"Ho, para tetua ladang itu maksudmu," kata Jeje. "Benar sih, aku tidak memungkiri. Tapi wajar kok kalau kau kalah dari mereka. Bagaimana pun dua-duanya dari generasi ayah kita."

"Cih, jangan menghibur karena senior mana," kata Mile. Dia melampiaskan frustasi dengan menenggak sekaleng soda. "Phi kan paham aku di posisi apa. Tapi kemampuanku tidak ada perkembangan, dan keahlianku masih seperti dulu."

"Hmmmh, terus maumu itu sebenarnya apa? Berguru?" kata Jeje. "Atau masuk lagi saja ke tempat militer. Yang Mulia pasti mau menerima."

"Cih, mau ditaruh mana nama baikku." Mile mendengus. "Lagipula tidak bagus meninggalkan istriku. Aku tetap ingin stay di wilayah manusia."

Jeje pun menggelengkan kepala saja. "Begini, Mile. Kita semua sudah damai. Jadi, kau tidak harus memaksakan diri seperti itu," katanya. "Tapi bagus juga kalau mau upgrade kemampuan. Siapa tahu suatu hari ada perkara yang datang. Aku pasti mendukungmu."

"Hm."

"Tapi, kenapa ambisius sekali? Kau sedang ingin kejar sesuatu?" tanya Jeje penasaran.

"Feifei," jawab Mile. "Aku ingin mengumpulkan 3 pecahan jiwanya menjadi satu."

DEG

"Oh ...." desah Jeje. "Aku paham. Aku juga pernah dengar soal dia, tapi lupa di buku apa. Sepertinya ibuku pernah membacakannya."

"Benarkah?"

"Yeah, bukankah itu naga putih yang ...." Jeje pun mencocokkan ceritanya dengan Mile. Dia menyebut "Ibuku" karena mereka memang beda silsilah. Hanya saja satu ayah yang dulu menjadi panglima tunggal.

"Hohoho, Andai aku punya jiwa romantisme sepertimu," kata Jeje. Dia kagum karena Mile berencana memohonkan keabadian untuk Apo. "Pasti istriku beruntung sekali."

Mile hanya terkekeh kesal mendengar kakaknya berkata seperti itu. Sebab dia tahu Jeje hanya sedang membual, apalagi pacarnya sudah bertambah lagi sekarang. "Sudahlah, aku lega," katanya. "Kami pulang dulu sekarang."

"Hm."

"Terima kasih sudah menjaga Apo."

"Yaaaa," kata Jeje. Walau dia tetap menggoda sang adik yang nyaris menyusul Apo. "Padahal kupikir kau akan menggamparku saat ketemu. Ha ha ha ha ha."

Plakh!

"Shit. Enyah kau, Phi." Mile pun mengabulkan ekspektasi Jeje, lalu tenggelam di balik pintu.

Seminggu setelah dinyatakan sembuh, Apo pun sering bangun pagi untuk lari berkeliling rumah. Dia ditemani Cattawin dan Shigeo yang entah kenapa ikutan aktif, sementara Mile membaca buku di teras. Entah apa yang dibaca suaminya. Apo tidak paham aksara di dalam sana, yang pasti dia senang karena Mile membawakan buku-buku iblis berbahasa Inggris.

Apo juga mulai belajar tentang mereka, walau menurutnya tetap seperti membaca dongeng. Dia mencicil topiknya satu per satu, dan kadang diselingi dengan hobi-hobi lain.

Nonton TV, membaca novel, scroll sosial media, menggambar digital, masak dari contoh tutorial, lalu keluar untuk belanja dan liburan sesekali. Hmm, kehidupan yang sungguh terlalu baik. Apo sampai kangen rasanya bekerja, atau kuliah walau masa pendidikannya telah berlalu.

"Mile, aku bosan," kata Apo setelah muncul dari dalam kolam renang. Dia mengusap muka dari air dan berkedip-kedip, lalu menerima segelas susu dari sang suami. "Kapan kita akan mencari Feifei-nya? Kupikir dulu kau bersemangat."

Mile malah meraih dagu Apo untuk mengusap bibir bawahnya. Di sana ada susu yang tertinggal. Dan itu membuatnya tertarik mengecup ibu jari yang terasa manis. Cup. "Sementara lupakan saja. Aku butuh jeda agar kejadian di ladang tidak terulang," katanya. "Kau juga harus kuasai isi buku-buku kami. Jadi semangat untukmu juga."

"Ho, oke."

"Lagipula kenapa tiba-tiba jadi senang? Apa kau sudah siap mengandung bayinya?"

Apo pun refleks nyengir. "Entah ya, mungkin karena penasaran juga. Bagaimana sih rasanya membawa baby? Aku sudah membaca buku dongeng yang pernah kau ceritakan," katanya.

"Oh, ya?"

"Hu-um, bahkan yang versi "Prekuel"," kata Apo. "Ternyata si iblis mirip denganmu. Dia dingin dan cuek sekali. Tapi mungkin lebih kejam lagi."

"Hm? Sekejam apa memangnya?" tanya Mile penasaran.

"Dikatakan membunuh ribuan makhluk? Iblis itu sampai dijuluki "The Cruel Prince" waktu umur 160, tapi berubah waktu bertemu dengan kekasihnya." (*)

(*) Inget pembagian umur iblis kan? 100-an itu masih bocil banget di kalangan mereka.

"Hm, baru ribuan?"

"Eh?"

"Di tanganku mungkin lebih dari itu."

Apo pun menahan napas sejenak. "Serius? Maksudku, kan dia masih 160 tahun."

"Aku dulu preman cilik sebelum masuk militer," kata Mile. "Dan, ya. Seharusnya tidak perlu kuceritakan detailnya. Dunia iblis banyak rupa-rupa."

Apo pun tertawa saja. "Ahaha, iya. Kalau begitu kau versi "Jahat Man". Ha ha ha ha .... "

Mile pun menyeringai terhibur. "Oke, lanjutkan saja ceritamu."

Apo pun bilang kalau dia kagum dengan perubahan karakter si iblis. Dia jadi tertarik mengikuti beberapa seri lain yang ditulis dari cabang buku itu, bahkan kisah dari beberapa anak mereka. Ada yang memiliki kemampuan aneh, unik, dan ada juga yang biasa tapi kreatif saat menghadapi masalah.

"Walau aku kagum ada versi modern-nya," kata Apo. "Maksudku, cetakan bahasa Inggris."

"Maksudmu?"

"Berarti ada yang paham bahasa iblis dan manusia sekaligus kan?" kata Apo. "Atau justru iblis sendiri yang membuka usaha buku-buku ini. Aku paham sih kalau dia melakukannya. Toh kisah kalian lebih seperti dongeng. Mana tahu yang membaca hanya menganggap khayalan."

"Yeah, jadi kau ingin mengeluarkan bayi yang hebat juga, begitu?"

Apo tertawa kecil. "Memang bisa? Salah-salah waktu keluar jadi manusia biasa," katanya. Lalu menunjukkan Mile hasil belajar gambar digital-nya. "Hohohoho. Bagus tidak? Aku ingin membuatnya jadi stiker laptop."

Mile pun menerima pen display ukuran 13 inch itu dari tangan Apo. Sedetik, dua detik ... sang iblis kini tertawa karena judul yang tertulis di pojokan gambar: "This is ours. Devil Baby Meow Meow." Lalu ditambahi emot kucing serta tandatangan.

"Bagus, buat saja. Nanti kubelikan kamvas dan layar ultrawide sekalian," kata Mile. "Biar kau lebih mudah saat proses render dan lain-lain."

"Wow, benar, ya? Aku dengar karya-karya digi yang seperti ini bagus kalau dibuat merchandise," kata Apo. Dia sudah sangat bersemangat, apalagi diajak keluar Mile pada sore harinya. Banyak sekali pilihan yang bisa dia ambil di swalayan. Dan karena Apo sudah nyaman dengan satu merek, dia tinggal mencari spek yang lebih tinggi.

"Apa aku boleh ambil dua?" tanya Apo. "Satunya mau kutaruh di perpustakaan, satunya lagi di kamar. Jadi, kalau lagi baca buku, aku akan langsung menggambar jika ada ilustrasi yang mau kubuat."

"Tentu saja, pilihlah."

"Oke, hehehe."

Walau Mile tidak setuju soal display yang ditaruh di kamar. Sang suami lebih memilih memisahkan studio khusus Apo. Dan membiarkan kamar tetap jadi tempat privasi mereka.

"Woahahah. Iya-iya, maaf. Aku terlalu asyik dengan yang satu ini karena sudah kau larang bekerja, he he he," kata Apo saat mereka pulang. Lelaki itu bahkan memeluk dua box display-nya erat karena terlalu senang. Dia tidak mau menaruh keduanya di bagasi, padahal Mile sudah sempat menawari. "Siapa tahu nanti aku jadi komikus, kan? Shia! Mantan dosen malah jadi komikus. LOL ... apa kau tidak ingin menertawakan nasibku?"

"Menertawakan? Untuk apa memangnya?" kata Mile. Yang awalnya fokus menyetir, mendadak mata lelaki itu menatap begitu dalam. "Kau kan paling manis waktu senang. Jadi lakukan saja selama tidak sering keluar rumah."

Tidak sering keluar rumah ....

Dulu, Apo mungkin tersinggung kalau mendengar larangan seperti itu, tapi sekarang dia malah menyukai keposesifan Mile Phakphum. "Oke ...." katanya. "Tapi Mile, apa kau tidak ingin bertemu orangtuaku?"

DEG

"Apa?"

Apo malah menggeleng segan. "Tidak, siapa tahu kalau kau mau menghadap ke makam mereka," katanya. "Lalu sepupuku yang bernama Namtan, suaminya Chen, kemudian anak pertama mereka Mai. Mnnn ... mereka mana tahu aku sudah punya suami? Mungkin kita harus mengulang pestanya kalau sampai di negaraku."

Sraaaaaakkkkhhh!

Mile sampai menghentikan mobilnya karena terlalu syok. Oh, astaga. Mereka benar-benar melupakan hal penting tersebut. Kenapa tidak terpikirkan samasekali? Mungkin karena Mile adalah iblis yang tidak butuh selebrasi saat menikah, jadi dia tidak memikirkan pihak Apo samasekali.

Hahhh ... apapun itu, yang pasti harus segera diperbaiki.

"Oh, tentu saja," kata Mile. "Tapi kita bersama baru sekitar 4 bulan kan? Semoga mereka tidak penasaran kau dibawa pergi kemana selama ini."

"Ha ha ha ha ha, aku juga sebenarnya lupa total kok," kata Apo. "Sampai mulai main ponsel lagi. Dan, ya ampun .... sepupuku melakukan spam sampai mengira aku meninggal."

"...."

"Tapi mau menyusul juga susah, Mile. Mereka tidak tahu aku dimana. Jadi aku, um ... kemarin minta maaf baru bisa menghubungi."

Kepala Mile pun berdenyut-denyut, tapi kemudian membelai pipi Apo perlahan dengan ibu jari. "Aku juga benar-benar minta maaf," katanya. "Karena budaya dan aturan kita beda, kadang aku melakukan hal yang tidak seperti maumu."

Mendengar itu, seketika Apo pun melupakan display di pangkuannya.

Brugh!

"Iya, iya. Sayangku, Mile-ku ...." kata Apo. Dia tak peduli box itu terjepit dashboard, yang pasti memeluk Mile adalah hal yang paling dia inginkan sekarang. "Jangan terlalu pikirkan itu. Bagaimana kalau kita cepat pulang sekarang?" tawarnya.

"Tunggu, apa ke Huahin langsung?" tanya Mile ragu, sebab sunset sudah menghilang, dan hari mulai berganti malam.

Apo pun menggeleng pelan. "No, ke rumah," katanya. "Kan aku ingin memberi hadiah juga, bagaimana? Mau?"

DEG

Brrrrrrrmmmmmmmm!!

Seketika, roda mobil pun melesat angin dari tempat itu.