Benak Sri melayang menebus alam tak kasat mata bertabur analisa, pendekatan teori dan kemungkinan tentang kenyataan setelah Leo tak tampak lagi di serambi restoran. Ada beberapa kejanggalan dalam gerak-gerik sang sahabat sebelum dia berlalu. Namun Sri belum mampu menemukan bagian mana yang mencurigakan.
Desahan napas bimbang menjelma jeritan kecil ketika jemari kanan seorang wanita menepuk bahu Sri. Sri terperanjat. Tubuhnya berputar setengah lingkaran menghadap sang supervisor restoran.
Sri mengangguk sopan pada Bu Grenadine.
Wanita separuh baya berbalut setelan kerja sagera membalas anggukan Sri. "Sri, ayo bergegas menyambut pelanggan yang ingin mencoba menu sarapan baru kita. Sudah banyak yang berdatangan!"
Sri membungkuk sudut siku-siku. "Laksanakan, Bu!"
Sri bergegas menyambut dua wanita karir berbalut kemeja dan celana bahan panjang di ambang pintu utama. Dua pasang iris gelap mereka beredar menjelajahi sudut ruangan.
Sri menyapa ramah dan membimbing mereka menuju meja kosong. Sri menghampiri meja yang terletak dua langkah dari meja pelanggan cantik yang menawan hati Faruk. Kedua karyawati manis mengikuti langkah sang pelayan ramah.
Sri menyeret dua bangku. "Silakan, kak!"
Kedua karyawati mengangguk sumringah. Mereka mendaratkan tulang duduk saling berhadapan.
Sri mengulurkan dua buku menu. "Silakan, Kak! Ada menu sarapan baru di restoran kami. Menu sarapan tradisonal dari jawa timur. Lontong pecel sayur. Ada diskon untuk masa promosi satu minggu kedepan."
Kedua karyawati menelusuri satu per satu lembar tebal buku menu.
"Untuk menu sarapan ala barat kami memiliki menu baru yaitu Continental Breakfast disamping menu andalan kami English Breakfast dan American Breakfast." Papar Sri kemudian.
Suara lembut mendadak menyentil gendang telinga Sri. "Permisi, Mbak Pelayan!"
Kepala Sri berotasi mencari sumber suara. Matanya beredar setengah lingkaran hingga tertahan pada sosok cantik di balik punggung salah satu pelanggan di hadapan Sri.
Sri mengusik fokus dua karyawati pada buku menu. "Maaf, Kak! Ada tamu yang memanggil saya, saya ijin menemui beliau sebentar sementara kakak memilih menu."
Seorang karyawati berambut gelung menoleh. "Silakan, Mbak!"
Sri mengangguk dan berterima kasih. Kurang dari lima langkah Sri berada pada meja pelanggan cantik idola rekannya, Faruk.
Sri menyapa, "Selamat pagi, Kak! Ada yang bisa saya bantu?"
Bibir Sang wanita cantik melengkung tipis. "Maaf, Mbak! Saya merepotkan. Saya lupa memesan susu jahe panas pada pelayan sebelumnya."
Sri mengangguk kemudian menyeret captain order dan pena dari saku celemek gaya yang melapisi seragamnya. Beberapa gesekan terselesaikan hanya dalam hitungan detik.
Sri mengulang pesanan tambahan. "Pesanan tambahan kakak satu susu jahe panas. Ada lagi yang bisa saya bantu?"
Sang wanita elegan menjulurkan ibu jarinya. "Cukup," balasnya singkat.
Sri membungkuk. "Baik, Kak! Saya permisi."
Sang wanita setengah beranjak sebelum kembali duduk. "Tunggu!"
Sri mengurungkan niat berbalik badan. "Iya, Kak! Apa yang bisa saya bantu?"
Dagu Sang wanita bertumpu pada sepasang tangan yang saling terjalin. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Sri tersenyum canggung. "Saya rasa tidak, Kak!"
Wanita cantik termenung sejenak sembari mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada permukaan meja. Sesaat kemudia dia meraih gawai yang tergeletak di dekat jarinya. Bibirnya melengkung tipis setelah beberapa kali telunjuknya berselancar pada layar.
Wanita cantik itu memamerkan layar gawainya pada Sri. "Ini seperti mirip wajah mbak, ya?" Tebaknya.
Sri menjulurkan kepalanya. Sepasang mata bulat menyipit dan mencerna apa yang terpantul pada retina. Sri menelan ludah kelu menyadari gambar sejoli yang duduk berdampingan dalam angkot.
Sri menahan napas. "Darimana kakak bisa dapat foto itu?" Tanyanya gemetar.
Wanita cantik membelai gawainya. "Foto ini sudah viral di sosial media meskipun baru diunggah satu hari yang lalu. Semua netizen berkomentar positif tentang keromantisan pengantin baru. Tapi sayang wajah si pria tidak begitu tampak."
Sri menunduk. "Itu benar saya, Kak! Tapi saya tidak pernah mengambil gambar dan mengunggahnya di sosial media."
Sang wanita cantik menekuri layar gawainya dengan telunjuk berdansa. "Sepertinya pengunggah memang orang lain. Diunggah oleh akun bernama Konten Kreator Romantis."
Sri hanya tersenyum canggung. Entah akan menanggapi bagaimana.
Sang wanita cantik melirik Sri. "Suamimu kerja dimana? Apa di restoran ini juga?"
Sri mengulum bibirnya. Pertanyaan sang pelanggan serumit kalimat intelejen yang tengah menggali teka-teki. Desiran pembuluh darah Sri seolah memberi sinyal firasat.
Sri menggeleng. "Bukan, Kak! Suami saya karyawan swasta biasa."
***
Juan Monarch menunda kepulangan. Dia masih harus memeras otak dan peluh menyelesaikan beberapa hambatan yang tengah dihadapi salah satu perusahaan yang ada di luar pulau. Juan belum memberikan jawaban pasti perihal jadwal kepulangannya pada Leo. Anak tengah itu hanya mampu mendesah panjang setelah memberikan kabar abu-abu pada kakaknya.
Arch dan Sri yang tak sudi hanya bergeming menunggu kemunculan sang ayah berinisiatif menantang bahaya. Pasangan pengantin baru itu menghabiskan malam panjang dalam balutan serba hitam. Sabtu malam yang seharusnya asyik untuk berkencan berubah mencekam.
Pasangan muda belum satu bulan mengarungi lautan rumah tangga berhasil mengelabuhi petugas keamanan kawasan perumahan elit. Mereka mengendap-endap sepanjang pekarangan belakang perumahan megah itu hingga tiba pada bangunan target yang dioperasikan sebagai kantor kecil.
Punggung Arch dan Sri menyinggung dinding belakang bangunan target mereka. Mereka terengah-engah melepas lelah.
Sri melirik penampilan sang suami yang sepanjang malam mengusik benaknya. Pria tinggi besar itu berbalut kaos lengan panjang jersey dan celana panjang gelap berbahan jeans premium. Otot tubuhnya yang kokoh semakin tercetak gagah. Rambut bergelombang yang berserakan memenuhi dahi teraliri peluh yang deras.
Arch mengenakan penutup kepala senada pakaiannya. Sepasang mata cerah gemerlap di antara gelap.
Paras terselubung hitam menoleh. "Sri, ada apa?" Tanya Arch heran mendapati dua mata bulat sang istri menyorotnya.
Sri melempar pandangan pada rumput pendek di bawah alas kakinya. Gadis itu berbalut celana legging rok sebatas lutut, kaos panjang hitam dan kerudung senada. Tas pinggang mungil melingkari perutnya.
Sri menggeleng dalam tundukan kepalanya. "Hanya saja kamu yakin kita akan melakukannya?"
Arch mengangguk tegas.
Sri menggaruk kepala berbalut bergo jersey premium. "Apa tidak lebih baik kita bertanya pada para karyawan besok lusa? Kita audit secara terbuka."
Arch memikul ransel medium pada punggungnya. "Saat mereka tahu kita melakukan audit kantor, yang merasa punya kesalahan akan menyembunyikannya ketika kita sibuk."
Sri melipat lengannya sebatas perut. "Tapi kita seperti pencuri. Lalu bagaimana dengan CCTV di bangunan ini?"
Arch membelai ujung kepala Sri. "Kita memang pencuri. Pencuri data. CCTV sudah ditangani orang kepercayaanku. Hanya satu masalah kita."
Sri menggigit bibirnya dalam debar. Dia menaikkan kedua alisnya. Bertanya tanpa suara.
Bibir Arch menghampiri paras Sri. "Penjaga malam bangunan ini yang bisa muncul kapan saja. Untuk saat ini dia sedang terlena dengan kopi dan obrolan di warung luar kompleks."
Sri mengangguk walau masih ragu. Jemari kanan segera menaikkan penutup wajah yang menggantung pada leher.
Arch mengambil lima langkah ke sisi hingga bersua dengan pintu belakang. Jemarinya menyeret satu ikat kumpulan benda runcing berbahan logam dari saku celana.
Mata Sri melebar di balik penutup wajah. "Kamu memiliki benda-benda semacam itu?" Bisiknya bertanya.
Mata Arch menyipit. "Sudah lama aku tidak menggunakannya."
Sri menelan ludah. "Jadi kamu mantan kriminal?" Tanyanya polos.
Arch mendesah cepat. "Bukan juga kali, Sri! Mana ada kriminal setampan aku. Hanya saja saat masih sekolah dulu aku sering kabur karena Ayah selalu memaksakan kehendaknya."
Sri terperanjat hingga hampir terjungkal. "Jadi kita sebelas dua belas," celetuknya tak percaya.
Jemari kanan Arch menyelipkan sebatang tembaga pendek pada lubang kunci. "Kalau sudah paham sebaiknya jangan berpikir untuk bisa kabur dariku. Aku lebih suhu dari kamu."
Bibir Sri mengerucut runcing karena merasa tersinggung.
Telunjuk dan ibu jari Arch bergotong-royong menggoyangkan batang tembaga pada lubang kunci hingga bunyi khas terdengar bersama senyum di balik penutup.
Arch mendorong perlahan daun pintu belakang hingga tampak sebuah lorong pendek dalam remang. Tungkai Arch melintasi ambang pintu diikuti Sri yang menggengam ujung kaos Arch. Sri kembali merapatkan daun pintu pada gawangnya atas arahan Arch.
Lirikan Sri beredar pada sudut-sudut kelam lorong pendek yang dilewati. "Arch, tujuan kita ada di ruangan sebelah mana?"
Arch mendesis. "Aku pernah beberapa kali datang ke sini ketika jam kantor buka. Jadi sedikit banyak aku hapal meskipun dalam gelap."
Sri mengangguk paham.
Dua pasang retina membelalak setelah menyelesaikan perjalanan pada koridor pendek. Lensa mata mereka menangkap deretan meja karyawan lengkap seperangkat komputer yang berjajar pada sebuah ruangan luas. Beberapa filling cabinet berbaris di sudut ruangan.
Arch menepuk lembut bahu Sri. "Sekarang tugas kita mencari surat keputusan perubahan bunga pinjaman yang kemungkinan disimpan pada beberapa filling cabinet di ruangan ini. Kita dokumentasikan untuk mengetahui tanggal pembuatan kebijakan baru. Jika salah satu sudah menemukan diharap saling memberikan informasi."
Sri mengangkat telapak tangannya setinggi pelipis sebelum menghampiri lemari besi penyimpanan terdekat.
Arch meraih benda berbentuk silinder kecil pada kantung samping ranselnya. Satu kali menyentuh tombol utama benda mungil itu benderang. Arch menghampiri filling cabinet terdekat. Tangan kanannya yang gesit meneliti satu per satu laci-laci filling cabinet yang bersusun horizontal.
Sri merogoh alat penerang dalam tas pinggangnya. Langkahnya menghampiri filling cabinet pada sudut dinding setelah sorot alat penerang menyala.
Sri menarik laci atas gemetar. Jemari-jemarinya yang bergetar memeriksa satu per satu tumpukan cetakan-cetakan penting pada permukaan kertas folio polos.
Panggilan lirih Arch sanggup membuat Sri terperanjat hingga menyinggung filling cabinet. Bunyi besi beradu tembok memecah keheningan malam.
Arch membelalak. Dia menyambar satu bundel berkas pada laci tengah lalu tergopoh-gopoh menghampiri Sri.
Mata cerah Arch resah bagai kilauan retina predator langit yang berjaga. "Kamu baik-baik saja?"
Sri mengangguk pelan.
Arch menjulurkan bundel berkas. "Aku sudah menemukannya!"
Mata berbinar Sri yang belum genap lima detik bahagia menjelma ketakutan saat tertangkap bunyi alas kaki nun jauh di luar.
Arch terbelalak. "Ada yang mendekati bangunan! Ayo, ikut aku!" Pintanya menuntut.
Tangan kanan Arch meraih pergelangan Sri. Dia membimbing cepat langkah keduanya menuju ruangan tertutup yang berdampingan dengan ruangan karyawan.
Arch kembali mengeluarkan pusaka saktinya yang dalam beberapa detik mampu membuat celah lebar pada pintu. Mereka bergegas melintasi ambang pintu dan menginjak ruangan sempit yang dihuni beberapa lemari arsip besi dan filling cabinet.
Arch kembali merapatkan pintu ruangan dan memutar lubang kunci dengan peralatan jeniusnya.
"Kenapa dikunci lagi?" Bisik Sri heran.
Arch menepuk puncak kepala Sri. "Percaya padaku." Sahutnya menenangkan.
Tubuh Arch merosot ke lantai sebelum melipat tungkainya pada permukaan keramik dingin. Sri meniru pergerakan sang suami.
Arch memahami tiap halaman dalam bundel berkas yang ada di genggamannya hanya bermodal penerangan satu arah. Sri mengikis jarak dengan sang suami hingga lengan mereka tak bercelah.
Arch mendesah panjang. "Surat ini dibuat dua minggu yang lalu. Suku bunga telah dirubah menjadi nol persen. Berarti ayah menepati kata-katanya."
Sri membelai dagu berselimut penutup wajah. "Tapi mengapa tiga preman tukang tagih masih membawa kuitansi pembayaran dengan mencantumkan bunga?"
Arch hanya bergeming dengan dahi berkerut.
"Kira-kira di mana ya kita bisa melihat siapa saja nasabah ayah dan bukti kuitansi pembayaran yang diarsipkan kantor?" Gumam Sri melanjutkan.
Arch menjentikkan jarinya. "Kita cari bukti kas transaksi di kasir yang pastinya di simpan di ruangan ini."
Sri mengangguk menyetujui.
"Mulai dari tanggal surat keterangan perubahan suku bunga ini dibuat hingga hari kerja terakhir dalam sepekan ini." Lanjut Arch.
Sri mengulum bibirnya. "Kalau menurutku sepertinya hari SK itu dibuat belum ada perubahan pembayaran bunga. Kemungkinan pekerja lapangan belum mengetahui informasi terkini."
Arch mengangguk paham. "Ayo, kita cari bukti kas transaksi mulai tanggal H plus satu hingga jumat kemarin."
Mata Sri beredar. "Mau dicari di sebelah mana? Ini memang ruangan apa?"
Arch menghampiri salah satu lemari arsip. "Ruang penyimpanan berkas, arsip dan agunan."
Sri melotot. "Apa? Jadi surat-surat berharga bukti kepemilikan barang-barang nasabah ada di sini?" Tanyanya hampir memekik.
Arch menyinggungkan telunjuk pada permukaan bibirnya. "Kamu mendengar sesuatu?" Tanyanya lirih.
Pasutri itu bergeming sejenak. Langkah pelan alas kaki dari kejauhan semakin nyata mengetuk gendang telinga. Bunyi debam menghilang tiba-tiba berganti gesekan gagang pintu ruang penyimpanan berkas yang naik turun.
Arch mendekap bibir Sri yang hampir memekik dalam pelukannya. Jantung Sri hampir melorot dari rongga dada. Aroma Arch dalam pendingin yang menusuk tulang masih sanggup menggelitik pernapasan.
"Jangan panik!" Pinta Arch.
***