Leo meninggalkan lobi kampus disusul sang tangan kanan. Devran, Si pucat pasi beriris jernih menyamai langkah sang bos. Dia merelakan pagi tenang dengan menginjak kampus hanya demi permintaan si anak tengah Monarch. Jadwal mata kuliah siang Devran akan terasa begitu terhampar panjang karena kedatangan lebih awal.
Devran melirik sang bos. "Bos libur kerja hari ini?" Tanyanya cepat disertai napas yang memburu.
Langkah lebar Leo sedikit merepotkan sang tangan kanan. Devran kepayahan menyeimbangkan gerakan dengan sang rekan.
Leo mengangguki pertanyaan Devran tanpa menoleh. "Aku minta tolong, antarkan aku ke kantor Arch. Motorku ada di sana."
Devran menjulurkan ibu jarinya. "Siap selalu, Bos!" Sahutnya patuh.
Leo menepuk bahu sang anak buah pelan dalam langkahnya menghampiri lahan parkir roda empat.
"Bos, saya mendapat informasi saat perjalanan ke kampus tadi." Kata Devran membuka percakapan baru.
Leo membiarkan alat gerak bawahnya melaju konstan. "Apa?" Tanya Leo singkat.
Gerak tungkai Devran gagal menyamai sang bos lagi karena harus menapaki celah sempit antar mobil yang sepele menurut Leo. "Orang kenalan saya melihat Nona Cantik Masa Lalu mendatangi kantor pusat tuan besar."
Leo menahan langkahnya tiba-tiba hingga hampir membuat Devran merasakan kerasnya permukaan pelataran parkir. Tubuh Leo berputar setengah lingkaran menghadap Devran.
"Kapan?" Tanya Leo lagi.
Devran yang masih mencari titik imbang badannya harus begelut merangkai jawaban. "Saat saya menuju kampus untuk menemui Anda, Bos!"
Rahang Leo mengeras. "Dia tak menyerah mencari keberadaan Arch."
Devran mengernyitkan kening. "Apa perempuan cantik itu berbahaya, Bos? Sepertinya dia perempuan yang anggun, lembut dan baik."
Tatapan Leo setajam mata elang menghujam sang anak buah. "Bukan masalah dia berbahaya atau tidak. Aku hanya tidak ingin dia bertemu lagi dengan Arch. Hal itu bisa merusak rumah tangga Arch dan Sri."
Devran menepuk bahu Leo. "Maaf ya, Bos! Saya tidak bermaksud menggurui. Misalkan kalian berdiskusi dan menjelaskan yang sebenarnya bagaimana? Kalau sebenarnya Kak Arch udah menikah."
Pandangan Leo turun pada ujung sepatu sneaker dua warnanya. "Perempuan itu cerdas. Dia akan terus mencari informasi. Kenyataan perjodohan Arch dan Sri pasti diketahui juga."
Devran mengangguk. "Bos benar. Jika dia mengetahui pernikahan itu paksaan, dia akan seenaknya masuk dalam kehidupan kakak bos dan Mbak Sri."
Lengan Leo menjulur pada kendaraan roda empat baris ketiga dari tempatnya berdiri. "Ayo, kamu yang bawa mobil!"
Devran mengangguk tanpa melempar pertanyaan lanjutan. Langkah keduanya yang berniat menghampiri mobi pribadi Leo, tertahan teriakan seorang gadis. Gadis cantik berbalut kemeja katun dan celana ramping denim tiba-tiba mendekap lengan Leo. Entah dari sudut bumi bagian mana sosok itu muncul
Leo terperanjat. "Murni?"
Bibir Murni melengkung manja. "Aku ikut mobil kamu, ya?"
Leo melerai dekapan tangan Murni. "Emang kamu mau kemana?"
Murni menaikkan sepasang bahunya. "Ga mau kemana-mana, sih! Pengen dianter pulang aja, deh!"
Leo melirik Devran yang hanya mendapat balasan keheranan dari sang tangan kanan. Sang tangan kanan muda menaikkan sepasang bahunya.
Leo mengedarkan pandangan sejauh bayangan yang mampu dibentuk retinanya. Dia menangkap siluet seseorang tengah santai menunggangi sepeda motor matic merah. Seseorang yang tengah dinaungi bayangan barisan pohon-pohon besar jalur roda dua kampus.
Bibir Leo melengkung misterius. "Boleh, ikut saja mobilku!"
Devran menaikkan sebelah alisnya masih dengan rasa heran yang belum menguap. Dia berusaha memuntahkan pendapat tapi tak menemui kesempatan. Hingga Devran menangkap gerakan jemari Leo yang menggengam pergelangan tangan Murni sebelum meletakkan pada telapak tangan sang anak buah.
Leo bergegas mengayun langkah seribu melintasi celah-celah sempit antar mobil yang berjajar di lahan parkir. Telinganya mendengar sayup-sayup namanya diteriakkan. Namun langkahnya enggan berputar arah belakang.
Devran masih menggenggam lengan sang kakak kelas. "Mbak Murni, biar saya antar pulang! Saya kan sudah pernah mengantar Mbak Murni malam itu."
Murni mengibaskan lengannya dari genggaman Devran. Dia hanya melirik tajam sang adik tingkat.
Devran menjentikkan jarinya. "Sebelum aku antar pulang, kita mampir beli jajanan viral. Mbak Murni mau, kan?"
Murni setia melirik Devran dari ujung sepatu hingga helai rambutnya. Bahkan gadis cantik itu menahan kedipan mata. Devran, pemuda yang tak ada cela.
Sementara itu Leo semakin meningkatkan laju tungkainya. Dia mendahului antrian sepeda motor mahasiwa yang beriringan meninggalkan gerbang kampus. Lengannya sigap mencengkeram behel motor matic milik seseorang yang dikenalnya.
Pemilik motor mengurungkan niatnya melanjutkan laju. Beban pada jok belakang yang tiba-tiba muncul mengacaukan keseimbangan kakinya.
Paras berpelindung menoleh. "Siapa di
belakang?" Teriaknya.
Sang penumpang tak diundang menepuk bahu pengendara. "Ci, ayo gas yang cepat!"
Sang pengemudi mendorong naik kaca pelindung. "Orang gila, ngapain di situ?"
Leo mendorong punggung Suci yang berbalut jaket gelap. "Ayo, cepat pergi dari sini! Terserah ke mana saja daripada tertangkap temanmu yang bucin parah."
Suci dilanda kebingungan dan ketidakpahaman. Namun tubuh tinggi Leo telah mendarat nyaman di jok penumpang. Suci terpaksa kembali melajukan sepeda motornya karena protes para pengendara yang antri kepanasan di belakangnya. Mereka ingin segera berlalu dari jalur kampus.
Suci menunggangi motor bekasnya santai. "Sebenarnya ada masalah apa?" Teriaknya bertanya.
Suara bising jalanan membuat Leo pun meningkatkan volume pita suara. "Akhir-akhir ini Si Murni suka tiba-tiba muncul dan minta tebengan."
"Lah? Kan memang temen satu angkatan dan jurusan. Apa salahnya?" Sahut Suci bingung.
"Salahnya itu dia tergila-gila sama Leopard! Bisa-bisanya aku ditaksir spesies semacam itu." Jawabnya penuh percaya diri.
"Lamar aja lamar! Gitu aja kok repot!" Celetuk Suci sekenanya.
Leo menoyor pelindung kepala Suci. "Bocah ngawur!"
***
Arch telah memposisikan raga pada salah satu bangku ruang pertemuan dengan meja oval melingkar. Celah di hadapannya telah terisi beberapa karyawan kantor kredit, ayahnya dan seorang kepala kantor cabang. Sri menempati sisi kanan Arch diikuti kegundahan tiga preman tukang tagih yang hanya tertunduk di tempat masing-masing.
Salinan bukti-bukti fisik cetakan yang telah dikumpulkan dan dirangkai sesuai waktu transaksi, berbaris rapi di hadapan sang pemilik perusahaan. Kurang dari sepuluh menit sang tuan besar menemukan permasalah fatal dalam kantor kredit miliknya.
Juan Monarch menegakkan punggungnya. Kedua lengan berbalut kemeja dan jas, terlipat pada permukaan meja. Sepasang mata tajam membidik satu per satu orang-orang yang dipekerjakannya dari pendapatan bunga.
Juan menarik napas. "Jadi ... siapa yang akan berjiwa ksatria mengakui kesalahannya di sini?"
Kondisi ruang rapat semakin senyap selepas pertanyaan tuan besar berlalu.
Juan memicing pada deretan makhluk yang membisu. "Baik, jika kalian tidak ada yang membuka mulut. Polisi yang akan memaksa kalian bicara!"
"Tunggu, Tuan Besar!" Cegah suara berat seorang pria paruh baya yang berputra dua remaja.
Juan menyeringai. "Baik, saya akan memaparkan tentang kejadian pertama saat hari turunnya surat keputusan penghapusan bunga pinjaman. Saya memaklumi jika hari itu pembayaran bunga masih dilakukan dikarenakan karyawan dan penagih belum mengetahui aturan baru."
Semua pasang telinga menyimak tanpa terkecuali.
"Kejanggalan selanjutnya," sambung Juan setelah mengambil oksigen sejenak. "Jika diperiksa dari bukti kas transaksi harian kasir, hari berikutnya sudah tidak ada pembayaran untuk bunga. Hal itu sesuai dengan aturan terbaru. Tetapi mengapa...."
Semua melonjak kaget ketika kepalan tangan Juan beradu dengan meja. "Mengapa nasabah masih membayar berikut bunganya? Sedangkan pada bukti kas transaksi yang ada di kantor hanya pokok pinjaman yang masuk. Kalian kemanakan uang pembayaran bunga dari nasabah?"
Semua karyawan perkreditan tak kuasa menegakkan kepala. Mereka tertunduk dengan tubuh gemetar.
Juan beranjak murka. "Kalian tahu? Saya ingin mengakhiri bisnis perkreditan ini dengan menyelesaikan semua hutang nasabah tanpa bunga. Bagaimana kalian bisa tega memakan uang nasabah?"
Juan melirik pimpinan cabang perkreditan yang masih menahan gemetar tubuhnya. "Bapak Danda, anda bisa jelaskan?"
Sri dan Arch saling melempar tatapan tegang.
Sang pimpinan cabang beranjak perlahan dari bangkunya. Kedua tangan pria paruh baya berhelai kapas itu menggenggam tepi meja untuk menjaga keseimbangan otak dan tubuhnya.
Pak Danda menunduk. "Saya meminta maaf sebesar-besarnya, Pak Juan! Memang semua ini adalah ide saya. Saya dan rekan-rekan panik ketika mendengar kabar burung jika kantor perkreditan ini akan ditutup. Sedangkan kami masih butuh pekerjaan."
Juan menggeleng. "Hal itu bukan alasan untuk mengambil hak orang lain."
Pak Danda menggeleng cepat. "Saya dan rekan-rekan tidak mengambil kelebihan pembayaran bunga nasabah sepeserpun. Kami menyimpannya dengan tetap mencatat administrasi yang sesuai. Kami hanya ingin mengulur waktu agar pinjaman para nasabah tidak segera lunas."
Juan menyisir mundur helaian gelap di kepala. "Astaghfirullah, kalian telah dzalim pada nasabah. Kantor ini memang akan ditutup tapi tidak dalam waktu dekat. Kita harus mengawal pembayaran nasabah hingga lunas tanpa bunga. Saya sudah memikirkan nasib kalian selanjutnya. Mana mungkin saya akan membuang kalian begitu saja?"
Semua karyawan beserta tukang tagih serempak beranjak dan membungkuk sudut siki-siku sebagai bentuk penyesalan.
"Kami meminta maaf atas kebodohan kami! Saya akan menunjukkan uang kelebihan pembayaran bunga kepada anda lengkap dengan bukti pembayaran pinjaman salinan dari nasabah." Tutur Pak Danda bernada rendah dengan getar penyesalan.
Juan mendesah panjang. "Baik, saya pertimbangkan kalian jika perkataan kalian dapat dipertanggungjawabkan. Saya minta kalian secepat mungkin menghitung pembayaran masing-masing nasabah dengan memindahkan pembayaran bunga menjadi pokok. Jika pembayaran sudah melebihi pokok yang nasabah pinjam, harus segera dikembalikan!"
Seluruh karyawan dan tukang tagih mengangguk patuh tanpa bantahan. Mereka menghaturkan banyak penghargaan untuk kemurahan hati sang bos besar.
"Setelah satu per satu perhitungan pembayaran selesai, laporkan pada saya! Saya akan mengkoreksi dan menyetujui sebelum diinformasikan kepada nasabah." Lanjut Juan menambahkan.
Semua punggung pekerja kembali melakukan gerakan sudut sembilan puluh derajat disertai anggukan.
***
Suci menepikan sepeda motor matic pada pelataran deretan ruko setelah menikung dari gerbang jalan utama universitas. Dia melenyapkan suara mesin motor dengan sekali memelintir kontak.
Parasnya berpaling pada pemuda di belakangnya. "Hei, jomblo patah hati! Sebenarnya tujuanmu itu kemana, sih? Kalau ga jelas turun saja di sini!"
Leo menjulurkan lidahnya. "Eh, si otw miskin menghina raja minyak! Sudah, pokoknya jalan aja!" Balasnya tak mau kalah
Suci menoyor kepala Leo. "Enak banget kamu ngomong! Kamu mau bayarin denda gara-gara ga pakai helem?"
Leo beranjak dari bangku penumpang. Jemari kanannya merampas kemudi motor matic rekan kampusnya.
Dagu Leo berayun pada arah jok penumpang. Suci yang paham perintah Leo hanya melotot tak sepakat.
Suci mendengus. "Ini anak ngeyel, ya? Kita bisa didenda meskipun kamu duduk di depan!"
Leo menggerakkan telapak tangannya. "Halah, cuma denda gini! Kalau perlu aku traktir denda orang seluruh indonesia!" Ucapnya congkak.
Suci menaikkan sebelah sudut bibirnya. "Ih, sumbang!" Celetknya.
"Sombong!" Koreksi Leo tepat pada lubang telinga Suci yang masih terbungkus pelindung.
Leo mendorong Suci mundur pelan. "Begini saja, deh! Aku sewa kalian berdua!" Usulnya.
Suci mengernyit heran. "Kami berdua? Maksudnya?"
Leo menepuk ringan jok pengemudi disertai anggukan pelan. "Ya, kamu sekaligus tungganganmu ini!"
Suci berkacak pinggang. "Kamu pikir aku gadis apaan? Sok mau nyewa segala."
Leo bergegas mendaratkan tubuhnya pada jok pengemudi. "Heran, kamu jadi galak banget melebihi biasanya! Pokoknya tugasmu seperti biasanya menjadi asisten penyelidikan. Aku bayar dua kali lipat dari biasanya per item."
Suci melotot garang. Jemarinya menghantam punggung lebar Leo beberapa kali.
Leo berpaling pada makhluk di balik punggungnya. "Sudah, ga usah berisik!"
Suci merenggut helaian tebal di atas kepala Leo. "Helm!"
Leo mengibaskan kepalanya. "Tenang aja, deh! Aku tahu jalan tikus. Nanti kalau ada tukang helm pinggir jalan bisa beli sekalian."
Suci mendesah kesal. "Terserah!"
Sepeda motor bekas Suci yang lebih seru dari odong-odong balita cemong, akhirnya menginjak lahan parkir gedung perusahaan milik ayah Leo. Suci hanya mampu menyeka peluh yang membanjiri parasnya. Perjalanan melintasi jalan-jalan tikus andalan Leo, tak ubahnya bagai populasi kehidupan yang bertahan di tengah gempa. Benar-benar menguras energi dan emosi. Bagaimana bisa pemuda gila itu memaksimalkan kecepatan pada jalan sempit hingga memporak-porandakan barisan jemuran di sepanjang jalan.
Suci meninggalkan jok penumpang dengan sempoyongan. "Kamu bener-bener gila! Meleset sedikit kamu bisa nyungsep di selokan, tahu?"
Leo beranjak dari jok pengemudi setelah mengaitkan pelindung kepala pada kaca spion. "Buktinya tidak terjadi apa-apa!"
Suci menampar dahinya. "Lalu merusak barang-barang milik warga kampung apa namanya?" Peotes Suci tak menyerah.
Leo meraih ujung jaket Suci sebelum memaksa melangkah bersamanya. "Aku sudah telepon orang suruhanku untuk membayar ganti rugi saat mampir beli helm tadi."
Suci menggembungkan pipinya kesal.Tubuhnya berusaha mengelak tapi terpaksa pasrah pada genggaman erat sang rekan kampus. Suci menyerah pada emosi yang tak berdasar. Dia melangkah seirama laju tungkai Leo. Pandangan mata cantiknya tak bergeser dari tangan kuat yang masih menarik ujung jaketnya.
Debaran sial itu kembali meningkatkan suhu emosi Suci.
Leo mengurai jemarinya dari ujung jaket Suci setelah tiba di meja resepsionis. Seorang pria muda tampan tinggi gagah beranjak dari bangkunya.
Senyum benderang terbit di parasnya. "Mas Leo, selamat datang! Ada yang bisa saya bantu? Sementara ini Tuan Besar tidak sedang berada di tempat."
Leo mengangguk ringan. "Saya hanya ingin menanyakan apakah ada seorang wanita cantik bertubuh tinggi menanyakan sesuatu di sini sebelum saya datang?"
Sang resepsionis bertanda pengenal di dada tampak termenung sejenak.
Suci dan Leo saling melempar lirikan selama penantian.
Sang resepsionis mengangguk kemudian. "Beliau bernama Shopiana. Beliau ingin bertemu Tuan Besar Juan dan Tuan Muda Danaus. Tapi keduanya sedang tidak berada di gedung ini."
"Dia tanya apa lagi?" Sambar Leo tak mampu menahan sabar.
Sang resepsionis mengulum bibirnya. "Beliau juga menanyakan di mana bisa menemui Tuan Muda Danaus Monarch."
"Lalu apa jawabmu?" Tanya Leo lagi lebih cepat.
"Saya memberitahukan alamat...." jawaban santun resepsionis pria yang belum lengkap disela teriakan kaget sang putra tengah pemilik perusahaan.
Leo menggeleng. "Tidak mungkin kamu memberitahukan alamat rumah pribadi kakakku pada sembarang orang!"
***