Chereads / AKU KABUR KAU KEPUNG / Chapter 43 - Dicegah Tak Goyah

Chapter 43 - Dicegah Tak Goyah

Telapak tangan kiri Sri menggenggam dan menyinggungkan kain lap pada meja restoran. Sementara telapak sebelahnya menembakkan botol cairan pembersih pada permukaan meja berlapis kaca. Bangunan yang padat pelanggan sedikit menguras energi Sri sore ini. Jingga pada angkasa seolah mengundang gelak tawa meluber dalam ruangan yang lega.

Baru saja Sri memboyong satu nampan besar peralatan makan kotor menuju tempat cuci piring dalam dapur, dia harus bergegas kembali menuju beberapa meja menyambut dan membagikan menu pada pelanggan baru. Sementara para pelanggan sedikit menyita waktu saat menentukan makanan, Sri permisi menghampiri meja kotor yang telah ditinggalkan pelanggan. Kemudian merapikan peralatan makan kotor serta menggosok permukaan kaca meja hingga bersinar.

Bunyi ketukan sepatu wanita menghampiri ambang pintu utama resto. Sri melirik sekilas ujung tungkai berbalut sepatu tinggi dan gaun midi sebelum memanggil rekannya yang tengah mencatat pilihan menu pada meja tak jauh dari Sri.

Faruk berpaling ringan pada isyarat jari sang rekan kerja. Dia mengangguk mengerti. Dia bergegas memangkas jarak dengan pelanggan cantik yang tengah memantau situasi resto dari ambang pintu setelah menyelesaikan goresan tinta pada catatan menu pelanggan di meja.

Faruk memindahtangankan catatan pesanan pada salah satu rekannya yang menuju dapur sesaat sebelum menyapa sang perempuan cantik.

Hati Faruk kembali bergetar pada tatap muka keduakalinya.

Faruk mengulum senyum girang. "Silakan, Nona! Saya tunjukkan meja yang masih kosong di salah satu sudut yang nyaman."

Sang perempuan menawan berhelai sepinggang mengangguk sebelum mengikuti langkah sang pelayan.

Sang pemilik usaha kerap menginjak lantai restonya setiap sore hari. Sosoknya tiba di serambi resto setelah meninggalkan tunggangan roda empat pada lahan parkir. Pria muda dengan lengan kemeja tersingsing, menebar sapaan pada setiap karyawan yang berpapasan muka dengannya.

Langkah Pak Belcher memangkas jarak dengan Faruk. Dia menepuk bahu Faruk sambil lalu. Namun suara lembut seorang pelanggan wanita menahan langkahnya.

Belcher bergeming. Parasnya menoleh pada sumber suara.

Bibir perempuan anggun melengkung sumringah. "Anda? Anda bukannya suami dari salah satu karyawan di sini?" Sapanya basa-basi.

Faruk menganga. Matanya bergeser pada penampakan sang atasan yang masih belum bereaksi.

Belcher memutar tubuhnya setengah lingkaran. "Maaf, maksud Anda?" Tanyanya tetap tenang.

Sang wanita anggun menyinggungkan dua telapak tangannya. "Saya bertemu anda dan istri anda di pujasera kota hari minggu kemarin."

Belcher menaikkan sebelah alisnya. Otaknya memproses detik demi detik kenangan pada hari libur itu. Sementara Faruk hanya mampu mengoper tatapannya dari sang wanita menuju sang atasan.

Belcher menepuk bahu sang karyawan. "Faruk, kamu layani pelanggan yang lain saja. Saya masih ada perlu dengan nona ini."

Faruk menjulurkan telapak tangannya setinggi kening. "Laksanakan, Pak Belcher!" Jawabnya sebelum bergegas menyambut pelanggan yang baru menginjakkan kaki di serambi resto.

Belcher memicingkan mata. "Ya, saya telah mengingat Anda. Tapi ada yang perlu saya luruskan di sini."

Sang perempun dewasa mengernyit. "Apa itu?"

Belcher mendesah pelan. "Gadis yang bersama saya di pujasera memang karyawan di sini tapi bukan istri saya."

Sang nona muda melirik pergerakan Sri yang tengah menyajikan pesanan pada salah satu meja. "Lalu untuk apa anda berada di tempat kerja gadis itu?"

Belcher mengikuti pandangan nona cantik. "Saya pemilik resto ini dan gadis itu karyawan saya. Hari minggu kemarin saya tidak sengaja bertemu dia di pujasera dan hanya menyapa sebentar."

Sang nona muda mengulurkan telapaknya disertai paras yang sedikit mendung. "Saya minta maaf, Pak...."

Pemilik Resto menjabat singkat. "Saya Belcher."

"Saya Pia," lanjut sang nona memperkenalkan diri.

Pia menyelipkan tepi rambut pada belakang telinga. "Sebenarnya saya hanya penasaran tentang foto viral yang beredar. Foto itu diambil oleh netizen acak dan diupload di sosial media. Pasangan suami istri dalam foto itu salah satunya karyawan anda. Namun wajah suaminya tidak tampak jelas. Saya pikir anda suaminya."

Belcher tersenyum tipis dalam gelengan tegas.

Pia mengulum bibirnya. "Apa Anda tahu siapa suaminya?"

Belcher memicingkan matanya. Pertanyaan sederhana Pia yang sanggup membangun curiga pada telinga sang bos.

Belcher menggeleng kecil. "Maaf, saya tidak punya urusan dengan privasi karyawan saya. Hanya saat salah satu keluarga mereka ada yang mendapat halangan, barulah saya memberi santunan. Itu saja."

Pia mengangguk beberapa kali. "Baik, saya paham."

Belcher mengulurkan lengan pada sebuah meja di sudut yang berhadapan dengan pemandangan taman resto. "Silakan! Karyawan saya akan memberikan pelayan terbaik."

***

Belcher merapatkan pintu ruang kerjanya dalam perusahaan ekspedisi. Dia tak mendapatkan keberadaan salah satu karyawan ekspedisinya hingga malam menjelang. Ternyata kenyataan libur mingguan menampar ingatannya. Anak ingusan dua puluhan itu sedang tidak dalam tugas berkeliling di jalanan.

Sebuah benda pipih panjang menyala setelah menerima beberapa gesekan. "Tuan Muda Monarch?" Sapanya kaku.

Terdengar tawa renyah di seberang gawai Belcher. "Pak Bos jangan memanggil aku begitu, dong!"

Belcher mendengus cepat. "Kenyataannya kalau di rumah kamu itu salah satu pewaris keluarga Monarch, Leo."

Pria muda di seberang Belcher meringis. "Iya, Pak Bos! Ngomong-ngomong ada masalah apa Pak Bos menghubungi saya?"

Belcher berdehem. "Ada seorang pelanggan perempuan yang mencurigakan tadi sore. Singkatnya sepertinya dia ingin mengetahui perihal suami Sri. Semua itu karena sebuah foto viral di sosial media yang entah apa."

Leo memekik hingga Belcher harus memberi jarak pada gawainya. "Siapa namanya, Pak Bos?"

Belcher menggeram. "Kalau kamu berteriak lagi, aku tutup sambungannya!"

Suara Leo bergetar. "Maaf, Pak Bos!"

"Perempuan itu bilang namanya...." ujar Belcher memberi jeda sebelum menuntaskan kalimatnya. "Pia!"

Tangan Leo semakin gemetar. "Astaghfirullah, kira-kira siapa saja di resto yang tahu tentang suami Sri, Pak Bos?"

Belcher berdecak. "Aku dan salah satu karyawati resto namanya Ningsih. Lainnya hanya tau jika Sri sudah menikah. Kamu kenal dengan Pia?"

Suara mengeluh mengalun dari seberang disertai kecemasan. "Sulit dijelaskan, Pak Bos! Pak Bos, tolong kirimi saya nomor ponsell Ningsih sekarang!"

Belcher mengangguk cepat. "Baik, tunggu sebentar!"

***

Gadis ramping sawo matang berhelai lurus sepanjang punggung melangkah seorang diri menjauhi pelataran resto usai menunaikan ibadah maghrib. Jadwal teman baik Sri selesai tugas resto setelah matahari terbenam. Ningsih menyewa hunian kecil sepuluh menit dari resto tempatnya bekerja. Dia sering melangkahkan kaki untuk menghemat anggaran biaya bahan bakar.

Pedestrian manis itu melenggang santai sambil sesekali melirik barisan pedagang jajanan kaki lima yang menggiurkan. Langkahnya harus tertahan ketika getaran tanpa jeda terasa dari dalam tas slempangnya.

Ningsih meraba isi dalam tasnya. Dia bergegas menyentuh layar hijau setelah menggenggam benda pipih dari tasnya. Nomor asing muncul pada layar menabur benih pertanyaan.

"Halo, siapa ini?" Tanya Ningsih dingin.

"Aku...." Balasan belum diungkapkan tapi jaringan komunikasi telah dilenyapkan.

Ningsih tanpa sengaja menggesek layar merah ketika tepukan tiba-tiba membuat organ pemompa darahnya terperanjat. Senyuman sesosok perempuan anggun berbalut gaun menyapa ramah.

Ningsih mengernyit. "Maaf, mbak siapa?"

Sang perempuan cantik mengulurkan tangannya yang menggenggam kantong kertas. "Saya pelanggan resto tempat Mbak kerja. Saya tadi pinjam mukena sama teman kamu yang berhijab. Waktu saya mau mengembalikan, saya tidak tahu dia kemana."

Ningsih meraih kantong kertas. "Biar saya kembalikan besok pada teman saya."

Sang wanita menyingkirkan tangannya dari Ningsih. "Maaf, biar saya sendiri saja yang mengembalikannya. Saya tidak ingin merepotkan kamu. Mbak tahu rumahnya?"

Ningsih mengangguk pelan.

***

Leo melotot ketika sambungan komunikasi tiba-tiba mati. Lengannya yang emosi hampir saja menolak gawai puluhan juta itu menuju luar angkasa. Beruntung sang putra bungsu yang budiman meraih lengan sang kakak.

Hal memelintir lengan sang kakak kedua. "Kak, kalau rusak nanti beli lagi. Itu namanya pemborosan. Orang boros temannya setan."

Leo menghalau jemari mungil yang usil. "Bocah sok tahu! Emang teman setan namanya apa?" Pancingnya.

Haliastur menggeleng disertai bahu yang terangkat. "Mungkin ketan!"

Leo menyeringai. "Maksud kamu kakak ini mirip ketan?"

Haliastur yang tampan berbalut pakaian olah raga meringis geli. Sebuah sarung raket beserta penghuninya nyaman di balik punggungnya.

Leo memandang gedung olah raga di hadapannya. "Kamu latihan bulu tangkis dapat ilmu apaan, sih? Kok tiba-tiba kepikiran temannya setan itu ketan? Ga nyambung bocil!"

Hal hanya menjulurkan lidahnya usil. Leo terenyak mendapati layar gawainya bergetar. Nama sang kakak yang tercetak pada layar menarik perhatiannya.

"Ya, Arch!" Jawab Leo bosan.

Hening tanpa balas menjadi jeda sejenak.

Terdengar suara berisik banyak orang membahas sesuatu di seberang. "Arch, kok malah bengong?"

Suara sang kakak berdeham. "Maaf, Leo! Tiba-tiba ada yang menanyakan tentang laporan padaku. Aku hari ini lembur. Aku minta tolong kamu mampir ke tempat kerja Sri sekarang setelah menjemput Hal. Aku tidak bisa menemuinya."

Leo terdiam sejenak. Kebimbangannya sementara terselesaikan. Berdasarkan analisanya, menunda bom waktu lebih baik untuk saat ini sambil memikirkan cara untuk memotong kabel berwarna. Jika Pia sukses mengetahui tempat tinggal Sri, belum tentu dia mengetahui siapa pendamping Sri.

Leo akui Pia memang cerdas. Kata hatinya hanya sedikit menemui galat. Buktinya langkah jeniusnya tepat mengorek informasi tentang Sri meskipun Leo mengutuk itu.

"Halo, Leo!" Panggil beberapa kali suara di seberang cemas.

Leo mengangguk meskipun Arch tak mampu menyaksikan gerakannya. "Ya, aku akan ke tempat kerja Sri. Kamu pulang ke rumah ayah saja, ya? Nanti Sri dan Hal sekalian aku antar ke rumah ayah."

Arch mendesah panjang. "Oke, terima kasih My Bro!"

***