Pia urung pikir panjang lagi untuk menemukan tempat tinggal seseorang dari informasi teman dekat target. Sepasang tungkai jenjang berselimut dress ringan bergeser dari ambang pintu mobil. Perempuan mapan itu melenggang tenang pada pelataran sebuah bangunan besar berlantai tiga. Bangunan yang tersusun dari kumpulan ruangan-ruangan berukuran sedang.
Bangunan yang terdiri dari puluhan kamar berdiri berdampingan dengan sebuah rumah sederhana berlantai dua. Seonggok papan nama yang berdiri menjaga halaman depan menjelaskan tentang pemiliknya.
Pia mengampiri rumah bertingkat yang masih benderang. Seorang wanita dewasa paruh baya bersantai pada kursi malas serambi rumah. Tangan kanannya menggenggam cangkir minuman hangat. Sementara bibirnya bergoyang mengunyah kue kering dengan lahap.
Sang ibu paruh baya mempersilakan tamu tak dikenal setelah membalas sapaan. Pia mendaratkan tulang duduknya pada kursi malas kayu jati di hadapan sang wanita paruh baya. Sebuah meja persegi berhias pot tanaman asli memisahkan keduanya.
Ibu pemilik rumah mengibaskan anyaman bambu tipis bercat dua warna. "Ada yang bisa saya bantu, Nona? Apa kamu berniat mengontrak kamar? Kebanyakan karyawan kantoran tinggal di sini."
Pia menggeleng anggun. "Saya hanya mencari teman saya bernama Sri. Dia kerja di Pavo Muticus Resto."
Sang pemilik usaha kontrakan memutar matanya berusaha mengingat-ingat. "Memang ada keperluan apa?"
Pia meletakkan kantong kertas pada permukaan meja. "Saya hanya ingin mengembalikan mukena yang saya pinjam."
Pemilik kontrakaan menggeser posisi duduknya sembari mengibaskan anyaman bambu di genggamannya. "Maaf, tapi sudah hampir satu bulan dia tidak tinggal di sini."
Mata Pia melebar. "Pindah kemana, Bu?"
Pemilik kontrakan berbalut daster panjang menggeleng. "Aku juga tidak tahu, Nona! Kepindahannnya mendadak karena dia menikah tiba-tiba."
Pia menggigit tepi bibirnya. "Tiba-tiba? Apa ada sesuatu yang darurat?"
Pemilik kontrakan melipat lengannya. "Sri gadis baik. Aku yakin dia tidak melakukan hal yang terlarang. Hanya saja aku dengar-dengar orang tuanya mempunyai hutang di renteneir. Dia terpaksa menjadi penjaminnya karena orang tuanya bangkrut."
Kedua tangan Pia saling meremas cemas. "Jadi Sri menikah untuk melunasi hutang?"
Ibu bos kontrakan mendesah panjang. "Kabar-kabar liar yang saya dengar begitu. Namun tidak ada yang tahu siapa suaminya."
***
Sepasang tangan Sri menggengam erat pembatas balkon lantai dua. Sepasang daun pintu kamarnya saling berjauhan menciptakan celah. Haliastur yang asyik menorehkan warna pada buku gambar tampak dari satu sisi ranjang besar.
Tubuh Sri berputar setengah lingkaran. "Mas Hal, segera kembali ke kamarmu, ya! Mas Hal harus segera tidur, sudah jam sepuluh malam."
Haliastur bangkit dari pembaringan. Dia cekatan merapikan peralatan mewarnai yang berserakan pada permukaan bed cover. Hal menyimpan rapi peralatan sekolahnya pada meja yang berdiri berdampingan dengan ranjang sebelum menghampiri kakak ipar.
Haliastur tegak di sisi Sri. "Aku mau menemani Kak Jasmine saja." Putus bocah berbalut piama motif kartun super hero.
Sri menggeleng pelan. "Mas Hal besok masuk pagi. Nanti terlambat ke sekolah, lho!"
Pipi Hal menggembung. "Tapi Kak Jasmine kok juga belum tidur?"
Sri membelai helai lembut Hal. "Kak Jasmine nunggu Kak Arch pulang. Kasihan Kak Arch kalau ditinggal tidur. Bisa-bisa ngambek!"
Hal memainkan bibirnya disertai anggukan. Dia berangsur merentangkan jarak dengan kakak ipar. Langkahnya menghampiri ruangan yang bersisian dengan kamar Sri. Hal melambai ringan sebelum merapatkan pintu kaca.
Sri membalas lambaian Hal.
Sri mendesah panjang. Sudut matanya kembali melirik penunjuk waktu pada pergelangan tangannya. Punggung mungil itu bersandar pada pilar balkon. Pandangannya tak mampu bergeser dari pagar luar.
Sri menghembuskan karbondioksida pada telapak tangan. "Arch, kamu pulang kapan?" Gumamnya sendiri sembari menggosok telapak tangan.
Suara tawa kecil seorang pemuda mendadak menegakkan bulu roma Sri. Gadis itu berpaling pada debam langkah kaki dari sisi kiri.
Sri melotot pada adik kandung sang suami. "Adik Leo, itu bukan lelucon yang bisa dipraktekkan tengah malam!"
Leo menahan langkahnya di hadapan Sri. "Kangen, ya?" Goda si anak tengah.
Sri melempar pandangannya acak untuk menyamarkan rona meriah yang mendadak nongkrong pada permukaan kulit wajahnya. Dia akan lebih lama menahan malu jika pemuda berbalut kaos oblong dan training panjang itu menangkap basah kegugupannya.
Lengkungan wajah Sri terbit ketika gendang telinganya menangkap sayup-sayup bunyi mesin roda empat. Retina Sri menangkap bayangan sedan gelap dari luar pagar.
Leo hanya menahan senyum menyaksikan mimik wajah Sri yang berubah-ubah.
Sri merapikan kerudungnya sebelum berlalu dengan lambaian tangan. Namun deheman Leo mampu membekukan langkah Sri di ambang pintu kamar.
Sri menoleh. Sebelah alisnya terangkat.
Leo tak kuasa menahan tawanya. "Cie ... cie ... Yang lagi jatuh cinta...."
Sri mengernyit heran. "Memangnya salah jatuh cinta pada suami sendiri?"
Leo berpura-pura mendekap detak jantungnya seolah tersentuh. "Oh, aku patah hati!" Candanya.
"Dasar adik durhaka!" Cibir Sri kesal.
Sri mulai kembali memacu tungkainya melintasi kamar untuk membelai pembatas tangga lantai dua. Telapak kakinya menginjak satu per satu anak tangga menuju lantai pertama.
Sementara itu Arch baru saja membebaskan diri dari ruangan roda empat menuju udara malam yang lembap. Suara mesin mobil lain yang terdengar mendekat mendadak lenyap. Pengemudi mobil cantik merah benderang memposisikan kendaraannya tepat di belakang mobil gelap Arch.
Suara mesin asing tak mampu menggugah perhatian Arch. Dia mengabaikan keberadaan mobil tak dikenal itu. Dia hanya menebak kemungkinan tamu dari salah satu tetangga dekat. Dia melangkah santai menuju pintu pagar besi yang masih merapat. Namun bunyi ketukan sepatu tinggi wanita menghapus jarak mereka. Seorang perempuan jelita menambah laju langkah hingga menggapai lengan pria berbalut jas kerja dari balik punggung.
Arch menepis rengkuhan pada lengan kanannya. Raganya berbalik arah. Matanya menyipit malas ketika bayangan peran masa lalu terpantul pada retina.
Jangankan berdebat, bersuara saja Arch enggan. Raganya terasa remuk redam berpacu dengan realita kerja lebih dari satu hari. Pria itu hanya melengos dan berlalu. Namun panggilan suara anggun berhasil membekukan langkahnya.
Sang perempuan mengambil beberapa langkah di balik punggung Arch. "Arch, beberapa hari ini aku mencarimu. Kita tidak bertemu dalam waktu yang lama."
Arch setia bergeming hingga sebuah sentuhan hampir mendarat pada punggung jasnya. Pria dewasa itu menghindar sebelum kepalanya naik pitam.
Kedua tangan Arch terkepal. "Sudah malam! Pulang!" Perintahnya tegas.
Di sisi lain Leo terperanjat ketika kendaraan roda empat asing berhenti tepat di belakang mobil pribadi sang kakak. Suara lantangnya meneriakkan nama sang kakak ipar tapi nihil. Sri telah berada di bawah dan tengah melintasi serambi pintu utama.
Leo tergesa menghampiri tangga lantai dua sebelum berlari kecil searah gravitasi. Langkahnya semakin terpacu saat retinanya menangkap bayangan sosok berhijab di depan pos keamanan.
Tungkai Leo tetap berayun cepat. "Sri, tunggu! Jangan keluar pagar sendirian!"
Paras Sri berpaling sesaat. "Pagarnya dikunci! Aku mau membangunkan petugas keamanan yang sedang berjaga!"
Dialog berisik kakak adik ipar sukses mengusik mimpi indah dua petugas jaga yang terlentang pada pos keamanan. Salah satu dari mereka beranjak ketika Sri mengabarkan kedatangan sang suami.
Sri tanpa sabar menyeruak pintu pagar yang telah terbebas dari belenggu rantai. Tubuh mungil itu menghampiri sang suami dengan berlari.
Lengan Sri melambai ringan. "Arch!"
Sepasang bola mata Arch melebar.
Paras berseri Sri seolah menyibak gelap dan memancar terang. Aura Arch yang penuh amarah perlahan sumringah. Dia memberi balasan lambaian tangan.
Perempuan masa lalu melangkah mundur ketika sang pria mantap menjemput hari depan. Perempuan cantik belum genap tiga puluh itu mengendap-endap dalam kelam. Raganya segera bersembunyi di balik pintu roda empat yang rapat. Sepasang iris jelita menyipit tajam dari balik kaca pada paras gadis yang mustahil dilupakan.
Arch dan Sri beriringan melintasi pintu pagar. "Kamu menungguku?" Tanya Arch lembut.
Sri menggeleng cepat. "Tidak juga," sahutnya salah tingkah.
Arch tak kuasa menahan bahagia dalam bibirnya. "Kangen, ya?" Godanya.
Sri menahan langkahnya di depan pos keamanan. Arch pun mengerem langkahnya. Tangannya yang menggenggam kontak mobil terjulur pada seorang petugas keamanan. Petugas keamanan keluarga ayahnya meraih kontak mobil sebelum berlari keluar pagar.
Arch menunduk sebatas telinga Sri. "Kalau kangen tidak perlu gengsi." Bisiknya.
Sri melotot. "Lagian siapa yang kangen?" Sangkalnya.
Paras keduanya hanya berbatas hembusan napas. "Aku," sahut Arch cepat.
Sri membeku sementara Arch sibuk menahan tawanya yang siap meledak.
Sri menelan ludah. "Sudah makan?" Tanyanya mengalihkan topik.
"Belum." Jawab Arch singkat.
Sri melirik sang suami. "Jam sepuluh malam belum makan malam?"
Arch menaikkan kedua alisn tebalnya. "Yap!"
Pandangan Sri turun pada sepasang sandal rumah yang menopang kakinya. "Kalau malam-malam makan mie, bagaimana menurutmu?"
Arch membelai dagunya. "Kalau mie buataan sendiri diracik dengan bumbu segar mungkin bisa ditoleransi."
Sri menengadah. "Aku baru saja selesai memasak mie goreng seafod."
Arch mengulum senyum. "Menarik! Ayo, kita habiskan!" Semangat Arch kembali penuh.
Sri mengangguk sepakat.
Jemari Arch meraih tangan Sri. "Kalau seperti ini setiap hari lama-lama aku bisa lupa kalau ada yang namanya restoran."
Sri melirik tangannya dalam genggaman Arch. "Memangnya kenapa?"
Arch menepuk penggung tangan Sri. "Karena restorannya pindah ke rumah."
Cekikikan tiba-tiba dalam kegelapan sanggup menegakkan bulu roma pasangan suami istri. Dua pasang retina hanya saling bertukar lirikan.
"Ternyata orang jatuh cinta dan orang gila itu tidak ada bedanya. Sama-sama suka senyum-senyum sendiri." Celetuk suara kegelapan menggoda.
Arch dan Sri menoleh pada sumber suara yang tersembunyi di balik barisan pohon palm kenari robusta pekarangan depan.
"Ya, ampun bocah! Kenapa sembunyi di semak-semak?" Tanya Arch keheranan.
Lengkungan bibir Leo semakin lebar. "Kak, aku bahagia melihat kalian bahagia. Semoga Allah selalu melindungi kalian. Aku harap kalian saling menjaga kepercayaan apapun yang terjadi."
***