Chereads / AKU KABUR KAU KEPUNG / Chapter 38 - Mulai Bertunas

Chapter 38 - Mulai Bertunas

Arch berbisik pada sosok mungil yang bersembunyi dalam dekapannya. "Jangan panik! Aku ada di sini!" Ucapnya menenangkan.

Otak Sri mulai melandai tapi jantungnya beranjak kegirangan. Alat pemompa darah itu begitu antusias bekerja hingga mengacaukan irama peredaran darah. Bunyi detak yang berisik berselaras desir terdengar kian kencang bagai berpadu dalam satu harmoni merah jambu. Sri hanya berharap telinga Arch tak menangkap sesuatu yang memalukan dari hatinya.

Arch perlahan mengambil langkah ke belakang. Gerakan tungkainya yang hati-hati menyesuaikan kebingungan gadis dalam pelukannya. Langkah Arch tertahan dinding ruangan. Punggungnya menyinggung dinginnya tembok bata lalu perlahan menyambut lantai. Sri mengikuti pergerakan sang suami. Kini mereka melipat kaki bersisian pada permukaan dingin keramik.

Gagang pintu kembali digerakkan dari luar. "Masih terkunci berarti aman. Hanya pintu belakang yang tidak terkunci. Apa mungkin aku lupa menguncinya sewaktu keluar, ya?" Gumam sebuah suara serak pria berumur.

Kedua pasutri masih bergeming menggelangsar lantai.

Bunyi langkah kaki berat terdengar menjauh. "Sebaiknya aku berjaga sambil tiduran di teras saja kalau begitu." Gumamnya.

Beberapa saat pasutri itu menahan napas hingga hening kembali menyapa. Bunyi serangga malam terdengat nyaring kemudian. Akhirnya mereka mampu mengempaskan napas lega saat tak ada lagi gerakan makhluk bernyawa selain keduanya dan serangga.

"Alhamdulillah," bisik keduanya satu nada.

Arch menepuk bahu Sri. "Kita segera mengumpulkan bukti lalu pergi dari sini saat suasana aman."

Sri memandang sang suami dalam remang sebelum mengangguk patuh.

***

Pandangan Leo beredar acak ke setiap sudut lantai paling atas salah satu mall terbesar di kota. Barisan gerai-gerai penjual makanan cepat saji dalam food court mall menyediakan berbagai pilihan mulai harga merakyat hingga membuat kantong sekarat. Bangku-bangku berwarna pastel yang berderet sepanjang gerai belum dipadati pengunjung pagi ini.

Leo bebas tugas dari ekspedisi hari minggu ini. Pemuda tampan tinggi menjulang itu berbalut sweater leher tinggi dan celana jeans pudar. Sepatu sporty bertali melindungi sepasang kakinya.

Leo berpenampilan layaknya keturunan keluarga Monarch dilengkapi penutup sebagian parasnya. Langkah gagah sepasang tungkainya memantul berirama pada lantai. Gawai mahal tergenggam pada telapak kanan.

Leo berusaha menepati janji pada identitas asing yang meninggalkan pesan pada percakapan akun sosial medianya. Pelaku meminta Leo menerima undangan kopi darat darinya. Leo yang semula mengabaikan berbalik sepakat karena sebaris kata-kata ancaman.

Alas kakinya melintasi bangku demi bangku. Sesekali sudut matanya melirik sebaris kalimat pada percakapan pribadi akun sosial media. Langkahnya terhenti pada bangku paling ujung di depan gerai ayam goreng tradisional khas jawa. Terlihat seorang perempuan semampai bertubuh indah duduk santai. Sebuah buku pengembangan diri menutupi parasnya.

Sepasang mata Leo meneliti penampilan sang perempuan berbalut atasan wanita bahan ceruti berlapis furing dan celana panjang bahan yang ramping. Warna atasan sage yang melekat pada tubuh sang wanita mampu menghapus keraguan Leo untuk melempar sapaan.

Sang perempuan menutup buku tebal lalu meletakkannya pada permukaan meja.

Paras setara bidadari sang wanita yang hanya tersapu tata rias ringan sukses mengejutkan jantung Leo. Perempuan berambut tergerai itu mempersilakan sang pemuda menempatkan diri di hadapannya. Leo menolak tanpa kata. Dia masih setia bergeming pada pijakannya.

Rahang Leo mengeras. "Jadi Anda yang meminta saya kemari. Apa yang Anda inginkan, Nona Pia atau lengkapnya Nona Shopiana Damar Sadana?" Tanyanya bernada beku dan tanpa basa-basi.

Sang perempuan tersenyum tipis. "Ada apa denganmu, Leo? Santai sedikit. Lama kita tidak bersua tapi kamu seperti sedang melihat saingan bisnis."

Leo menahan napas. "Jika tidak ada yang penting saya akan segera pergi."

Shopiana beranjak tergesa. Dia segera meraih pergelangan tangan Leo dan memaksanya duduk.

Leo mengalah dan mendaratkan tubuhnya pada bangku seberang Pia dalam posisi tidak nyaman.

Kesepuluh jemari Shopiana saling terjalin. "Aku tidak akan berlama-lama." Umumnya kemudian.

Sudut bibir Leo terangkat. "Bagus"

Pia, perempuan dewasa berkulit salju memangkas sedikit jarak dengan lawan bicara. "Katakanlah yang sebenarnya. Apakah sudah ada gadis lain?"

Paras Leo mengambil sedikit gerakan ke belakang. "Jika iya, itu sudah tidak menjadi urusan anda lagi."

Pia menggigit bibir bawahnya. "Apakah sudah sejauh itu?"

Leo mengangguk sekali.

Lensa mata Pia mulai berkaca-kaca. "Apakah sudah tidak ada cinta lagi untukku?" Tanya sang gadis bermain drama dan sukses mengaduk lambung Leo.

Leo memijit pelipisnya. "Nona Pia, itu semua sudah menjadi masa lalu setelah anda menolak lamaran keluarga saya."

Pia meraih jemari Leo yang merebah pada permukaan meja. "Tidak adakah penantian untuk saya?"

Tangan Leo mengelak cepat disertai desahan kasar. "Penantian apa maksud Anda? Anda sudah jelas menolak lamaran itu dua tahun yang lalu dan memilih melanjutkan tesis ke luar negeri."

Pia mengangguk kalah. "Memang semua salah saya. Tapi siapa gadis yang kurang ajar dan seenaknya memasuki hati priaku?"

Leo mengepalkan kedua tangannya lalu beranjak. "Saya pamit."

Pia mengikuti pergerakan Leo. "Tunggu! Aku tidak yakin jika cinta itu sudah hilang. Aku akan mencari tahu kondisi sebenarnya dan mengambil hakku!"

Leo mencengkeram lengan ramping Pia. "Dengar! Aku tidak akan membiarkanmu menggangguku dan keluargaku!" Ujarnya memperingatkan.

Leo menghempas Lengan Pia sebelum mengentak sepatu ketsnya menjauhi deretan gerai makanan. Langkahnya terselimuti amarah yang membara. Dia segera menghilang di balik pintu lift yang tertutup untuk diluncurkan menuju lantai satu.

Leo meninggalkan pintu lift yang bercelah dan menginjak lantai satu tanpa tahu ada langkah lebar yang menguntit dari belakang.

Jantung Leo yang memompa cepat membuat emosinya semakin meningkat. Satu yang ada dalam benaknya hanyalah segera menghilang dari gedung menjulang pusat perbelanjaan. Hingga tanpa rencana langkahnya menghambat laju seorang gadis yang berpapasan di depan pintu lobi utama.

Sang gadis berseragam kerja tersungkur setelah terpental dari tubuh Leo yang tinggi. Leo meminta maaf dan mengungkapkan penyesalan. Lengannya terulur memberi pertolongan pada sang gadis.

Sang gadis menyambut telapak tangan sang pemuda lalu kembali beranjak tegak.

Leo menyatukan telapak tanganya dalam kepala tertunduk. "Sekali lagi saya minta maaf!" Sesalnya

Mata sang gadis membelalak. "Leo?"

Leo membuka mata saat suara yang akrab di benaknya akhir-akhir ini menyentil gendang telinga. "Suci?"

Suci mengernyit. "Apa yang kamu lakukan disini? Mall baru buka dan kamu sudah tergesa-gesa akan keluar?"

Leo mengabaikan pertanyaan Suci dengan melempar pertanyaan lain. "Kamu sendiri sudah rapi hari minggu pagi?"

Suci menggaruk rambutnya yang terikat rapi. "Aku ada jadwal kerja di cabang toko buku dalam mall ini."

Leo menaikkan sebelah alisanya dalam anggukan. "Begitu, jadi kapan kamu mau melunasi hutang padaku?"

Suci melipat lengannya. "Ngaco, hutang apa?"

Leo menahan senyumnya. "Hutang cerita seperti saat malam itu. Kamu yang hampir kabur ketika melihatku"

Suci menggembungkan pipinya kesal. Sepasang pipi mulus merona cantik.

Sebuah suara merdu mengalun menyentak percakapan keduanya. Mereka menoleh pada sumber suara bidadari yang semakin menghampiri. Entah mengapa amarah Leo yang reda seketika kembali merangkak menembus ubun-ubun.

Leo dan Suci saling melempar pandangan.

Pia meraih lengan Leo. "Leo, kenapa kamu pergi begitu saja? Pembahasan kita belum selesai mengenai lamaran dua tahun lalu!"

Mimik wajah Suci turun. Ekspresi terkejut berubah sendu.

Telunjuk Leo terjulur. "Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi! Aku peringatkan jangan ganggu aku dan keluargaku lagi!"

Pia tak menyerah. Dia berusaha meraih lengan Leo. Namun kedua tangan cekatan Leo mendekap bahu Suci sebagai perisai. Pemuda tengil itu bergegas melesat jauh saat pergerakan Pia terhalang tubuh Suci.

Leo lenyap dari pandangan setelah melintasi pintu kaca lobi mall.

Pia mengepalkan tangan geram. "Kabur lagi!" Celetuknya.

Suci hanya mengerutkan dahi tak mengerti.

Pia melempar tatapan pada gadis muda sambil mendengus kesal. "Kamu ini siapa kok bisa bersama Leo?"

Suci malas memberi tanggapan. Dia mengambil beberapa langkah mundur sebelum melarikan diri sekuat iman. Dia enggan menyelam dalam masalah orang. Leo yang tampak tunggang-langgang seolah memberi kesan untuk menjauhi sang bidadari menawan dari negeri seberang.

Suci semakin memacu sepasang tungkainya. Teori kepala Suci memberikan gambaran tentang alaram peringatan akan tibanya suatu hal yang besar.

***

Arch dan Sri duduk berhadapan pada sebuah meja warung soto ayam pinggir trotoar pagi ini. Warung kaki lima yang baru saja selesai menata meja. Tamu pertamanya hanyalah mereka berdua.

Hari merah yang damai. Bi Ayuk libur datang ke rumah keluarga Arch. Sang kepala keluarga melarang satu-satunya anggotanya untuk bergerilya di dapur. Dia memberi agenda luar rumah untuk Sri pahami. Jadwal penyelidikan.

Sri berbalut setelan senada berwarna gelap berbahan cotton combed premium. Kerudung segiempat bertabur bunga sakura menutup mahkotanya. Sementara sang tampan hanya mengenakan kaos putih tulang lengan panjang dan celana cargo panjang krem. Tak tertinggal topi senada celana dan kaca mata kamuflase.

Sri bergumam doa sebelum menyesap kuah kental soto ayam khas jawa.

Arch melirik Sri setelah meneguk minuman jeruk hangat. "Aku punya sesuatu untukmu."

Sri menengadah. Sepasang kelopak mata naik turun.

Arch menarik sebuah amplop tanggung dari saku celana cargo.

Bola mata Sri mengikuti pergerakan sang suami.

Arch mengulurkan amplop ke hadapan Sri.

Sri hanya bergeming bingung.

Arch yang sumbu kesabarannya pendek segera menyelipkan amolop dalam genggaman Sri. "Ada kartu debit dan kredit untukmu." Bisiknya.

Sri kembali meletakkan amplop di hadapan Arch. "Aku geli dengan tukang kredit. Apalagi kartunya."

Arch menggeleng heran. "Apanya yang membuatmu geli?"

Sri meneguk sedikit minuman jeruk panas. "Kalau sudah ada kartu debit mengapa aku juga harus membawa kartu kredit? Aku tidak mau berhutang lagi seperti keluargaku. Aku yang apes. Dikejar-kejar preman lalu dipaksa menikah."

Arch memicing tersinggung. "Jadi menikah denganku itu sebuah kesialan untukmu?"

Sri menggaruk kepalanya yang berbalut kerudung. "Kalau kondisinya sudah jadi istri orang bukankah apes namanya kalau dipaksa nikah lagi?"

Arch memejamkan kedua matanya. "Jangan kamu samakan kartu kredit dengan kredit modal usaha, Sri. Apalagi kredit renterneir."

Sri mengangguk pelan.

Arch kembali menggeser amplop berisi dua kartu sakti mendekati Sri. "Kamu simpan keduanya sampai aku mengajukan penutupan kartu kredit ke bank."

Sri setia bergeming memandang amplop tanggung di depan matanya.

Arch menampar dahinya pelan. Tubuhnya setengah beranjak setelah kembali menggenggam amplop putih. Tangannya menerobos celah tas mungil wanita pada sisi Sri setelah menarik ritsletingnya.

Tangan Sri berusaha menggapai barang pribadinya namun gagal. Arch mengamankan barang khas wanita itu di balik tubuhnya.

Pipi Sri menggembung kesal. "Kembalikan Arch!" Tuntutnya.

Arch menaikkan sebelah alisnya. "Nanti!"

Paras Sri tertekuk jengkel. Dia meraih satu suap nasi soto. Dia mengunyah kasar makanan yang telah singgah di mulutnya.

Arch menahan senyumnya sebelum kembali membasahi rongga mulut dengan kesegaran perasan jeruk.

Sri menelan kunyahan yang telah lumat. "Sebenarnya hubungan kita itu bagaimana, ya?" Tanyanya tiba-tiba.

Dahi Arch mengernyit. "Bukannya kita suami istri?"

Sri menunduk. "Paksaan!" Sahutnya cepat

Arch menyapu rambutnya mundur. "Aku mencoba menerima kenyataan yang sedang aku jalani. Aku berusaha menjadi suami dan laki-laki yang bertanggung jawab. Itulah alasannya aku memberimu dua kartu dalam amplop."

Sri menaikkan kedua bahunya.

Arch menjulurkan lehernya menghampiri paras Sri. "Aku telah mengisi lima puluh juta untukmu dan lima puluh juta untuk keperluan rumah termasuk gaji asisten rumah tangga serta tukang kebun lepas." Bisiknya.

Sri membekap bibirnya. "Astaghfirullah!"

Arch menyentil hidung Sri. "Alhamdulillah!" Koreksinya.

Sri mengaduh sembari menggosok hidungnya. "Itu biaya hidup untuk satu tahun kedepan?" Tanyanya melirihkan suara.

Ujung hidung Arch menyinggung ujung hidung Sri. "Satu bulan! Bulan depan akan aku kirim lagi seratus juta."

Punggung Sri bergerak mundur. Matanya membelalak terkejut. Jantungnya naik turun.

Arch mendesah panjang. "Kenapa? Kurang?"

Benak Sri semakin terguncang. Dia hanya menatap hampa seperti orang gila.

Arch memelintir dagunya. "Kalau begitu besok aku kirim kekurangannya. Dan mulai bulan depan aku tranfer dua kali lipat!"

Sri membungkam bibir Arch. "Stop! Jangan bicara lagi!" Cegahnya.

Arch meraih tangan Sri dari bibirnya."Apa-apaan kamu, Sri? Masih kurang lagi? Kalau begitu tiga kali...."

Sri membingkai kedua sisi paras indah Arch dengan telapak tangannya. "Berhenti bicara!" Tukasnya.

Tangan Arch mendekap punggung tangan Sri pada dua tulang pipinya. "Kenapa?" Tanyanya lembut.

Sri menjulurkan dua jari di antara tiga jari yang menutup. "Kamu tidak sakit, kan? Dua ratus juta setiap bulan? Lalu aku akan mengangsur dengan apa?"

Arch beranjak sebelum menggapai tangan Sri untuk bangkit dari duduknya. "Kamu pikir aku renteneir?"

Sri menyeringai.

Telunjuk Arch yang bandel tiba-tiba menyerang pinggang Sri dari luar pakaiannya. Sri mencoba mengelak namun frustasi. Gadis itu hanya mampu menahan geli dan meredam tawanya yang nyaris membelah angkasa pagi.

***