Bola api jagad raya sedang berada pada atmosfir katulistiwa. Sengatan panasnya berhasil mengosongkan jalan menengah pada sebuah kawasan mewah. Sebuah mobil mungil megah merah menyala singgah di depan pintu pagar istana Tuan Besar Monarch. Seorang perempuan dewasa berkelas melintasi pintu pengemudi setelah mendorong dari dalam. Perempuan berhelai panjang itu sangat menawan dalam balutan gaun biru bahan katun sepanjang lutut. Sepatu bertungkak tinggi begitu selaras dengan kakinya yang jenjang.
Salah satu petugas keamanan bertubuh tinggi yang tengah berjaga bergegas mendorong pagar selebar tubuh orang dewasa. Dia melemparkan senyum sapaan dan mempersilakan sang tamu melintasi pagar.
Seorang petugas keamanan bertubuh pendek lain menghampiri mereka di depan pos keamanan.
Petugas tinggi memandang sang tamu. "Selamat siang, Nona! Ada yang bisa saya bantu atau ada janji bertemu dengan salah satu dari anggota keluarga ini?"
Sang perempuan cantik menyibak helai lurus rambutnya. "Saya belum buat janji tapi saya ingin bertemu dengan Tuan Danaus Monarch."
Petugas bertubuh pendek mendekat satu langkah. "Maafkan saya lancang, jika berkenan nona dapat memperkenalkan diri."
Perempuan beriris cokelat muda itu berkedip dalam anggukan. "Perkenalkan, saya Shopiana putri Tuan Besar Adam Surya Wijaya. Saya kenalan para putra Monarch. Mereka akrab memanggil saya Pia."
Kedua petugas keamanan mengangguk kompak. "Lalu ada keperluaan apa Nona Pia mencari Tuan Muda Danaus monarch?"
Pia merapikan ujung gaunnya. "Saya baru beberapa hari tiba di Indonesia. Saya hanya ingin mencari keberadaan kekasih saya. Dia...."
Bunyi debam langkah lebar seorang pria terdengar tergesa-gesa. Munculnya sosok itu mampu menghambat inti pembicaraan sang tamu. Salah satu putra keluarga Monarch tegak di antara tiga manusia yang tengah terbungkam
Putra tengah keluarga Monarch menepuk bahu dua petugas keamanan. "Bapak-bapak, kalian silakan kembali bekerja! Saya yang akan berbicara dengan Nona Pia."
Dua petugas keamanan saling melempar tatapan dan mengedikkan bahu mereka. Mereka berpaling pada sang putra majikan sebelum mengangguk patuh. Mereka berangsur menghampiri pos penjagaan.
Leo mendesah panjang. "Buat apa anda kemari, Nona Pia? Anda dan keluarga saya sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi!"
Pia mengulum bibirnya. "Leo, beri aku kesempatan sekali lagi! Bantu aku berbicara dengan seluruh anggota keluargamu!"
Rahang Leo mengeras. "Anda sendiri yang menolak lamaran itu dan mempermalukan keluarga Monarch di hadapan para tamu. Padahal sebelumnya anda sendiri yang menyetujui menjadi pasangan tapi anehnya menolak pernikahan."
Kedua tangan Pia saling terjalin. "Aku akui aku salah. Aku menolak bukan karena pria lain tapi karena pendidikan. Sekarang aku sudah menyelesaikan tesis dan kembali. Aku pasti akan menerima lamaran itu."
Telunjuk Leo mengarah pada pagar besi. "Saya masih ada kesibukan. Silakan anda melanjutkan kegiatan anda yang tertunda!"
Pia memilih mengalah dalam anggukan. "Baik! Saya akan pergi tapi saya tidak akan menyerah menemui keberadaannya."
Leo menahan geram dengan mengepalkan kedua tangannya.
***
Selepas mobil mungil megah milik Pia melaju meninggalkan depan pagar istana Monarch, langkah Leo bergegas menghampiri taman belakang. Leo menarik sebuah benda pipih dari saku celana jeans yang melindungi sepasang tungkainya.
Sambungan komunikasi terjalin setelah beberapa kali telunjuk Leo membelai layar gawai. "Ci, kamu pulang kerja jam berapa?" Tanya Leo tanpa kalimat sapaan.
Terdengar suara mendengus dari seberang. "Kenapa? Sepertinya ada yang gawat? Hari minggu aku hanya kerja setengah hari. Aku sudah di lobi mall sekarang."
"Tunggu di sana!" Teriak Leo pada gawai yang menempel di pendengarannya. "Aku akan menjemputmu!"
"Apa?" Jerit terkejut suara gadis lawan bicara. "Astaga mau apa lagi, tutup kendi?"
Leo menggeram. "Sudah berani meledekku, ya? Aku butuh bantuanmu segera. Kamu ingat perempuan yang kita temui di mall tadi pagi? Dia tak berhenti menggangguku dan keluargaku. Nanti aku paparkan detail permasalahannya. Tenang saja ada uang lelahnya."
Gadis di seberang mendesah pasrah. "Aku dengar dia berbicara tentang lamaran. Jangan-jangan kamu menggelembungkan perutnya?" Tebaknya menyindir.
Leo mendesis tak terima. "Jangan sembarangan! Asal kau tahu aku ini laki-laki baik-baik!" Bantahnya.
Suara gadis di seberang meninggi. "Lalu mengapa dia membahas lamaran dua tahun la...." bibir Suci bungkam tanpa menyelesaikan pertanyaan.
Hening menjadi jeda di antara dua manusia yang tengah menggenggam gawai masing-masing pada lokasi berlainan.
Terdengar bunyi saliva tertelan dari seberang gawai Leo. "Tidak mungkin! Ini bukan tentang dirimu, Le. Bocah ingusan yang baru saja menyesaikan SMA saat itu mustahil...."
Leo membenarkan terkaan Suci. "Maka dari itu aku butuh bantuanmu!"
Suci menyetujui tanpa ragu.
Leo mengakhiri percakapan gawai dengan salam. Telunjuknya kembali berlenggak-lenggok pada layar gawai menelusuri sebuah nomor lain. Nada sambung menyentil gendang telinga Leo. Dua nada sambung berlalu diganti sebuah salam keselamatan dari pemilik nomor di seberang.
Leo membalas salam cepat. "Arch, kamu ada di mana? Bersama Sri?" Tanyanya menolak sabar.
Riuh suara banyak orang terdengar menenggelamkan suara sang pemilik gawai di seberang. "Iya, kami baru saja selesai shalat jamaah di masjid agung. Ada apa, Le? Apa ada sesuatu yang penting?"
Leo mendesah lelah. "Kak Arch, ada yang tidak bisa aku katakan melalui telepon. Aku mohon kabarkan keberadaanmu jika sudah pindah lokasi. Percayalah padaku jika tak ingin masa lalu menghancurkan kedamaian keluarga Monarch."
Suara Arch di seberang menyetujui arahan sang adik meskipun masih bimbang dengan tanda tanya yang mengelilingi kepalanya.
***
Arch duduk termenung mamandangi layar gawai redup di serambi Masjid Agung. Sri melangkah pelan menjauhi ruangan jamaah putri untuk menghampiri sang suami. Satu tepukan mampu mengguncang alat pemompa darah Arch.
Arch melonjak terkejut. Parasnya menoleh sebagian ke balik punggung. Tampak sosok cantik berbalut kerudung tengah menyeringai jahil.
Arch menggenggam lengan sang gadis lalu meminta duduk di sisinya.
Sri melirik sebelah tangan Arch yang masih menggenggam gawai. "Apa ada masalah?"
Arch menggeleng ragu. "Aku sendiri tidak tahu mengapa Leo tiba-tiba menghubungiku dan seolah ingin memantau keberadaanku."
Sri menepuk punggung Arch. "Mungkin Leo sedang mengkhawatirkanmu. Bagaimana kalau kita pulang saja? Kita lanjutkan penyelidikan minggu depan."
Arch mendesah lelah. "Bagaimana kalau kita ambil sampel nasabah sedikit saja untuk kecamatan selanjutnya?" Tanyanya mencoba mencari jalan tengah.
Sri menepuk bahu Arch pelan. "Jika Arch baik-baik saja aku setuju."
Arch menghela napas. "Sebelum itu kita makan siang dulu di pujasera taman kota."
Sri mengangguk semangat.
***
Arch mengabarkan keberadaannya pada sang adik tengah. Leo bergegas melesat gesit menghampiri Suci pada depan pintu utama mall sebelum sepeda motornya berbalik arah menuju taman kota. Pemuda tinggi itu tampak gagah menunggangi motor besar khas laki-laki dengan pelindung kepala gelap.
Leo menahan laju motornya. Lengannya mengulurkan pelindung kepala mungil pada gadis yang telah seperempat jam menantinya.
Suci menyambut pemberian Leo.
Leo memutar lehernya seperempat lingkaran ke belakang punggungnya. Suci yang masih berbalut pakaian seragam kerja toko buku memahami isyarat Leo. Tubuhnya segera menempati bangku penumpang yang sempit setelah memasang pelindung kepala.
Suci tersentak ketika gas ditarik cepat oleh sang pengemudi. Mulutnya tak sanggup menahan jeritan.
Suci menampar punggung lebar Leo dengan jemari lentiknya. "Pelan-pelan, bungkus odol!" Protesnya.
Leo menarik kaca pelindung kepalanya dengan tawa menggelegar. "Eh, menghina lagi? Kita naik BMW Race bukan odong-odong!"
Suci menjulurkan lidahnya kesal.
Leo masih terbahak dalam konsentrasinya menghadapi jalan raya. Dia memacu motornya melebihi kecepatan awal berkendara hingga Suci terpaksa menggengam ujung jaket kulit sang pengendara.
Kepala Suci mendekati bahu sang pengemudi. "Apa mungkin seseorang yang sudah hilang kontak selama dua tahun masih bisa mengetahui keberadaan keluargamu?"
Suci menangkap gerakan anggukan kepala Leo yang tetap asyik menjelajahi jalan raya.
"Semua ini karena keberadaan media sosial. Aku bahkan dua kali melihat video Arch dan Sri yang diunggah orang random di jalan. Para netizen jadi ketagihan menanti video kedekatan mereka berikutnya. Beruntung Arch cerdas. Parasnya yang berkamuflase tak tampak di video!" Papar Leo setengah berteriak di antara kebisingan kota.
Suci hanya membalas kebisuan. Pandangannya tak beranjak dari sepasang bahu lebar yang berada dalam jangkauannya.
***
Leo dan Suci mengendap-endap sepanjang lahan parkir sepeda motor setelah menata BMW Race dalam barisan tengah. Leo yang melangkah lebih dahulu meraih jemari Suci di balik punggungnya.
Suci mendelik heran di balik jantungnya yang menari-nari kegirangan. "Kamu pikir aku jompo pakai gandengan segala?" Tanyanya ketus tapi salah tingkah.
Leo menahan langkahnya. Dia memalingkan parasnya sejenak sambil mendesis dan memberi isyarat tetap hening.
Leo kembali melanjutkan laju sepasang tungkainya bersama seorang gadis dalam genggamannya.
Dahi Suci mengernyit penasaran dengan jalur telapak kaki sang kawan yang justru menambah jarak dengan pintu utama pujasera taman kota.
Suci menahan langkahnya. Leo yang terhambat berpaling pada gadis yang berjalan setelahnya.
Telunjuk kiri Suci mengarah pada pintu pujasera. Pemandangan sepasang pengantin baru yang mereka kenal tampak jelas dari sudut mereka berdua.
Leo memutar bola matanya. "Kita itu mau memantau bukan bersenang-senang pesan makanan."
Suci melirik lahan parkir roda empat yang hanya berjarak beberapa langkah dari mereka. "Lalu mengapa kita menuju tempat parkir mobil?"
Leo mengeratkan genggaman tangannya sebelum kembali melanjutkan langkah. "Kau akan tahu nanti."
Suci terpaksa mengikuti punggung lebar di hadapannya dengan sejuta tanda tanya. Mereka menelusuri luasnya lahan parkir khusus roda empat hingga bayangan sebuah mobil mungil merah terpantul pada retina mereka dari kejauhan. Mobil mewah yang baru saja menempatkan diri pada celah antara dua mobil hitam.
Leo memandang Suci sejurus. "Ci, perempuan itu sudah datang. Aku akan menghubungi Arch dan menjauhkannya dari pujasera. Sementara kamu menemani Sri!"
Suci mengangkat ibu jarinya setinggi kepala.
Keduanya mengayunkan langkah lebar menuju pintu utama pujasera. Ayunan dua pasang tungkai berlabuh pada meja paling sudut yang bebas dari perhatian pengunjung lain. Namun memiliki sisi strategis untuk seorang mata-mata.
Suci menyipitkan mata pada pasutri yang asyik menyantap makan siang mereka. Sementara Leo tengah menanti lenyapnya nada sambung pada gawainya.
Calon lawan bicara di seberang menekan layar hijau setelah meletakkan alat makan. "Ada apa lagi, Le?" Tanya sang kakak heran setelah mengucap salam.
"Arch, cepat pergi ke toilet. Aku ingin membahas sesuatu yang penting panjang lebar!" Jawab Leo terburu-buru hingga khilaf mengabaikan balasan salam.
Terdengar suara Arch mendesah panjang di seberang gawai. "Kita bicara nanti malam di rumah ayah, oke? Aku sedang makan di luar. Wassalamu'alaykum."
Jantung Leo hampir lupa berdetak saat lawan bicara enggan melanjutkan sambungan komunikasi gawai. Tangan Leo yang kesal hampir mencampakkan gawainya di bawah meja jika saja Suci tak menghalangi.
Leo mengacak surainya hingga berantakan. "Gawat, Arch tidak mau pergi dari sana. Bagaimana kalau Si Pia menemukannya?"
Suci menepuk beberapa kali bahu Leo. "Tenang! Coba sekarang kamu perhatian meja kakak-kakakmu!" Pintanya.
Leo melempar pandangan pada pasutri yang kembali melanjutkan santap siang di sela-sela nyaring dering gawai Arch. Tampak Arch kembali bergegas menerima sambungan komunikasi. Tiba-tiba mimik wajah dan tutur kata Arch menjelma formal serta sopan. Dia meminta ijin sang istri untuk melayani pembicaraan penting di taman belakang pujasera.
Leo dan Suci saling bertukar pandangan. Mereka mendesah lega setelah berucap syukur.
Leo menepuk puncak kepala Suci. "Sekarang gilirammu! Aku benar-benar mengandalkanmu!" Pintanya.
Suci menjulurkan dua ibu jarinya.
Langkah percaya diri Suci yang hampir diayunkan, tertahan oleh bayangan sosok pria yang tiba-tiba menghampiri Sri. Pria itu berbalut celana cargo dan jaket denim kekinian.
Suci memelintir lengan kaos panjanh Leo. "Le, siapa lagi itu?" Tanyanya panik.
Leo berpaling pada sosok Sri yang kini tak lagi berdiam seorang diri. Seorang pria muda duduk di seberang Sri. Meja kayu menjadi pembatas antara Sri dan pria yang bukan suaminya.
Leo menyelimuti parasnya dengan kedua telapak tangannya. "Itu Pak Belcher, bosku! Kenapa harus bertemu dia juga, sih?"
***
Sri terperangah pada penampakan sosok pria yang selama ini membayar upah kerjanya. Sosok pemuda berkulit pucat itu menyapa dan mendaratkan tulang duduknya tanpa diminta.
Sendok dalam genggaman Sri terlepas tanpa sengaja. "Pak Belcher sedang apa di sini?" Tanyanya terkejut.
Belcher bertopang dagu. "Aku selesai makan siang bersama klien. Aku lihat kamu jadi aku berniat menyapa saja."
Sri menggigit bibirnya canggung.
Sepasang mata Belcher menelusuri sajian yang telah berkurang sebagian. "Kamu bersama Pak Arch?"
Sri mengangguk pelan. "Arch sedang membahas masalah penting di telepon. Dia di taman belakang pujasera."
Belcher tersenyum tipis menanggapi.
Sapaan suara mendayu seorang wanita menjeda percakapan mereka. Keduanya berpaling pada sosok berkilau berambut panjang. Helai demi helai menari tertiup kipas elektrik.
Wanita cantik melambai gemulai. "Mbak berkerudung yang kerja di resto, kan? Kita baru saja bertemu kemarin."
Sri mengangguk pelan.
Sang wanita melirik pria menawan yang duduk di hadapan Sri. "Jadi ini suami kamu yang ada di video itu, ya? Wah, ternyata ganteng banget. Sayangnya di video viral tidak terlihat wajahnya."
Sri dan Belcher saling melempar lirikan.
Belcher menjulurkan lehernya menghampiri Sri. "Video apaan?" Bisiknya.
Sri hanya mampu memejamkan mata dalam gelengan kepala.
Wanita berbalut terusan sepanjang lutut itu menyatukan sepasang telapak tangan. "Saya minta maaf sempet berpikir kalau suami kamu kenalan lamaku."
Sri dan Belcher kembali saling melirik tak paham. Mereka tak memiliki petunjuk tentang pembahasan sang wanita asing yang terlampau ramah.
Sang bidadari asing menepuk bahu Sri dan Belcher. "Semoga pernikahan kalian langgeng dunia akhirat. Amin."
Sri dan Belcher masih terpaku dalam proses tukar pandangan sambil menyeringai cemas.
***