Chereads / AKU KABUR KAU KEPUNG / Chapter 41 - Jangan Muncul Lagi Ya....

Chapter 41 - Jangan Muncul Lagi Ya....

Sang petugas informasi tercenung beberapa saat masih dengan menggenggam gagang telepan pada lubang telinga. Dia mengguyur tenggorokannya yang kering dengan ludah panas. Perlahan, jemarinya kembali meletakkan gagang telepon pada habitatnya. Bayangan mengerikan tentang pemutusan kontrak tiba-tiba menghantuinya.

Gadis petugas informasi bergegas menjauhi meja kerjanya dan menyusuri keberadaan Nyonya Muda Monarch sebenarnya yang berbalut hijab.

Sementara Sri menahan langkahnya di hadapan dua pasang pintu lift yang tertutup. Langkahnya bergeser ke kiri setelah sudut matanya menangkap tanda lift turun yang menyala.

Sri kembali memulai langkahnya ketika pintu lift bergeser beberapa detik kemudian. Namun pria yang menghuni dalam lift sebelumnya justru menahan pergerakan Sri. Pria dewasa itu menggiring langkah gadis berhijab menjauhi lift.

Sri menengadah setalah sepasang mata bulatnya mengamati ujung kaki berbalut sepatu pantofel pria hingga helaian pendek tebal yang bergelombang.

Senyum Sri melengkung ceria. "Arch, bukannya kamu masih ada rapat?"

Arch menggeleng dalam senyumannya. "Alhamdulillah, rapatnya selesai dalam waktu kurang dari satu jam dengan lancar dan memuaskan."

Bibir Sri berucap syukur kemudian. "Pekerjaan Arch semakin diberi kemudahan akhir-akhir ini."

Arch mengulum senyum. "Iya, aku merasa semenjak menikah semuanya terasa begitu ringan." Sahutnya tulus tanpa sadar.

Bibir Sri menganga. "Benar begitukah?"

Arch menyembunyikan semburat merah muda pipinya. "Emang aku ngomong apa?"

Sri menggaruk ujung hijabnya "Baru saja ngomong kok sudah lupa, sih? Kebanyakan nonton berita politik, nih!"

Arch mengacak ubun-ubun Sri yang berbalut hijab. "Kamu kenapa kemari? Bukannya ada kuliah pagi?" Pertanyaan pengalihan isu.

Sri mengulurkan benda persegi bersusun pada tangan kanannya. "Bekal kamu ketinggalan. Jadi aku kemari dahulu sebelum ke kampus. Karena sedang jam kerja dan sekolah, jadi angkot semua penuh. Aku harus menunggu sedikit lebih lama untuk bisa sampai di sini."

Jemari Arch menyambut takjub. "Astagfirullah, maaf aku lupa tidak membawanya tadi."

Petugas informasi menangkap penampakan gadis berhijab dari balik dinding terdekat dari lift. Sepasang matanya menyaksikan percakapan dua sejoli yang begitu berbunga. Keyakinan gadis informasi semakin kuat. Nona cantik berhijab memang terhubung ikatan resmi dengan sang pemilik perusahaan. Lalu siapa wanita dewasa bak model internasional yang ditemui sebelumnya?

Arch meraih jemari kanan Sri. "Aku antar ke kampus!"

Sri berusaha mengurai dekapan tangan Arch tapi sang suami semakin mempererat. "Jangan, di kampus akan terjadi huru-hara jika mereka melihatmu!"

Arch menggeleng. "Aku pastikan tidak akan keluar dari mobil. Orang-orang di kampus tidak akan memperhatikanku."

Lengkungan lembut bibir Sri terbit. "Arch, aku tidak apa-apa pergi ke kampus sendiri. Kampusku sudah dekat dari sini, kan? Kamu masih dalam jam kerja. Mereka membutuhkanmu!"

Bunyi sepasang langkah kaki tanpa jeda menghampiri sepasang suami istri. Sosok pemuda yang baru saja menginjak lantai lorong lift, menekan punggung sejoli di hadapannya.

Lengan kanan pemuda awal dua puluhan itu merentang pada arah pintu utama lobi gedung. "Tunggu apa lagi? Kalian harus segera pergi dari sini kalau Sri tidak ingin terlambat masuk kelas. "

Sri mengernyitkan keningnya. "Ini bocil kenapa sudah ada di sini?" Celetuknya.

Leo menaikkan sebelah alisnya. "Apa? Disarankan bercermin sebelum menghina. Sesama bocil dilarang saling mendahului!"

Sri memutar bola matanya. "Dikira bis kejar setoran kali." Celetuknya sewot.

Mata Arch melotot pada sang adik. "Sebenarnya ada masalah apa sampai bagian informasi memberitahukan jika kamu menungguku di ruang kerja sejak pagi tadi? Kamu masuk kelas pagi juga, kan?"

Pertanyaan Arch bagai lemparan belati tajam menembus jantung Leo. Memori anak tengah Monarch kembali berputar pada beberapa saat sebelum dia menemui kakak dan iparnya. Ketika itu sudut mata Leo menangkap sosok perempuan masa lalu tengah menanti dalam mini bar di pojok lantai pertama. Pemuda itu berusaha penuh agar berlalu tanpa deru supaya perempuan cantik itu tak merasakan aura sang pria muda.

Leo masih tenggelam dalam putaran teori pendekatan dalam benaknya. Bagaimanapun metodenya, kakak dan kakak iparnya harus segera enyah dari lantai gedung ini sebelum Pia menemukan mereka.

Arch memilin lengan sang adik yang berbalut kemeja denim panjang. Pria dewasa itu berniat baik untuk menarik Leo dari alam lamunan tapi dengan metode yang payah. Bibir Leo mengaduh gelagapan.

Leo meringis menahan nyeri. "Arch, aku hanya ingin menyampaikan sesuatu tapi bisa ditunda nanti saja, kok."

Arch mengurut pelipisnya. Jemari kanannya mencengkeram pergelangan sang istri sementara jemari yang lain menyeret lengan sang adik setelah dia menyerahkan kotak bekal pada petugas kebersihan. Arch meminta tolong pada karyawan kebersihan itu untuk meletakkan bekal makan siang pada ruang kerjanya.

Arch mendesah kesal. "Kalian lama. Biar aku saja yang mengantar kalian. Sepeda motor Leo biar saja di parkiran kantor."

Mata Sri dan Leo membelalak kaget. Mereka hanya mampu saling lirik melintasi bahu sang pewaris pertama keluarga Monarch. Arch bergegas membimbing cepat langkah dua manusia dalam genggamannya meninggalkan lobi gedung.

Petugas informasi yang masih menyaksikan drama layar nyata dari balik dinding mendesah panjang selepas ketiganya berlalu. Namun jantungnya kembali bertalu ketika merasakan tamparan pelan pada bahunya.

Sang petugas informasi berpaling setengah lingkaran. Sepasang kelopak matanya membola menangkap penampakan seorang bidadari jelita.

Sang wanita melirik jam pada pergelangan kirinya. "Mbak, rapat Pak Danaus Monarch sampai kapan, ya? Apa belum juga selesai?"

Petugas informasi menyinggungkan dua telapak tangannya di depan dada. "Maaf, Nona! Pak Danaus segera meninggalkan tempat setelah rapat selesai karena ada urusan penting dan mendadak."

Sepasang bahu sang perempuan turun dalam desah napas kecewa.

***

Telapak kaki berbalut sepatu datar menapak turun tangga menuju lantai pertama dengan perlahan. Sang gadis tak ingin tergesa karena teman-teman satu angkatannya berebut jalan di hadapannya. Para spesies kelaparan itu tak lagi mampu bersabar akan bunyi lambung yang telah berasam.

Anak tangga terakhir telah dipijak Sri. Namun dia bergeming memandang rekan-rekan perkuliahan pagi yang bersorak girang menuju kantin kampus. Tungkainya yang akan kembali melangkah mendadak urung karena bunyi gesekan sepasang benda logam.

Kepala Sri menjulur sembarang arah hingga tertahan pada spandrel. Ruangan kosong yang ada karena keberadaan tangga menuju lantai dua terlihat dihuni sementara oleh gadis cantik yang tengah asyik seorang diri.

Sri mengulum senyum. Dia menghampiri gadis bertunik sepanjang lutut dan legging gelap. Sri mengamati apa yang menyita perhatian sang kawan hingga tak menyadari kehadirannya.

Sri menelan ludah karena penampakan menggiurkan nasi goreng spesial. "Wah, enak nih!"

Gadis bersurai sepanjang punggung berpaling pada sosok yang mendaratkan tulang duduknya pada permukaan lantai.

"Baru sarapan, ya?" Tanya Sri basa-basi.

Sang rekan kampus mengangguk. Dia menyelesaikan kunyahan dalam rongga mulut kemudian meletakkan sendok makan.

Sri menarik resleting tas punggungnya. "Biar aku temenin makan bekal, Ci."

Suci menaikkan sebelah alisnya. "Tumben belum sarapan? Apa asisten di rumah kamu kabur karena repot punya majikan tambahan?" Candanya

Sri meraih kotak bekal berpenutup transparan dalam kantong tasnya. "Jangan sembarangan, Ci! Bi Ayuk itu karyawan kepercayaan Arch. Aku tadi sudah masak sendiri dan sarapan. Ini sebenarnya bekal untuk siang."

Suci melongo. "Kok mau makan lagi? Waktu dhuhur masih lama, Sri."

Sri menekan kaitan penutup kotak bekal. "Entah kenapa aku lapar lagi setelah melihat kamu makan."

Suci tersenyum kecil dalam paras sendu. "Terima kasih, kamu masih mau menemaniku di sini."

Lengan Sri menyinggung pinggang Suci. "Kamu kenapa sih hari ini jadi melankolis? Tumben juga bawa bekal. Biasanya nongkrong di cafe atau kantin kampus bersama Murni."

Suci menenggak air putih dari botol minumnya. "Aku ingin hidup sederhana saja seperti kamu, Sri. Kamu mulai masih menjadi putri sultan kerajaan kuliner lalu terpuruk dan bangkrut hingga telah menjadi istri dari pengusaha yang jauh lebih kaya raya. Kamu selalu bersahaja."

Sri membelai bahu Suci. "Apa ada masalah yang serius?" Tebak Suci.

Suci menahan napas lalu mengangguk pelan. "Perusahaan ayah mulai goncang mungkin akibat pengaruh krisis global dan konflik di timur tengah. Permintaan pasar luar negeri menurun. Ayah terpaksa merumahkan sebagian karyawan dan bersusah payah mengangsur pinjaman di bank."

Sri mengurungkan niatnya menyumpal mulut dengan udang asam manis. "Astaghfirullah, Ci! Aku turut prihatin."

Suci memainkan sendok pada kuning telur. "Aku masih bersyukur perusahaan ayah tidak sampai pailit. Karena itu aku memilih kerja sampingan untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari."

Sri meletakkan sendok dan kotak bekal pada permukaan lantai sebelum memeluk Suci singkat. "Kamu gadis cerdas, baik dan kuat. Apapun yang sedang terjadi, kehidupan harus terus berjalan. Semua hal pasti akan berangsur membaik."

Suci membalas pelukan Sri. "Terima kasih, Sri. Aku masih menyelidiki apakah ayah juga meminjam dana dari Juan Monarch."

Sri mengernyit heran. "Kenapa? Mau bantu membayar angsuran?"

Suci menahan tawanya. "Maksudku mungkin saja aku bisa diusulkan menjadi calon pendamping anak Juan Monarch untuk melunasi hutang."

Mata Sri membelalak. "Apa? Kamu berniat menjadi istri kedua Danaus Monarch."

Suci memelintir pipi bulat Sri. "Memangnya putra keluarga Monarch cuma Danaus tersayangmu?" Sindirnya.

Sri menyingkirkan telunjuk dan jempol usil Suci dengan kesal. "Jadi kamu ngebet banget pengin dijodohkan dengan Leo? Perusahaan ayahmu masih bertahan jadi aku yakin masih mampu bayar hutang."

Suci terkikik menyaksikan air muka Sri. "Meskipun pembayaran angsuran ayah lancar, aku tetap akan memaksa dijodohkan dengan Leo."

Sri memukul keningnya. "Segila itu kamu pada Si Tukang Usil. Tapi kenyataannya belum tentu ayahmu meminjam dana pada ayah mertuaku, kan?"

Suci menunduk. "Kalau gitu kapan-kapan aku minta ayah untuk pinjam uang ke Keluarga Monarch!"

***

Sri melangkah tergesa menghampiri mobil gelap yang menanti di ujung luar pintu gerbang kampus. Waktu masih jauh dari pertengahan hari. Namun Arch telah berlalu dari tempat kerjanya sementara. Pria itu menghampiri sang istri untuk melanjutkan rencana penyelidikan permasalahan pembayaran pinjaman nasabah.

Sri menyinggungkan kepalan tangannya pada jendela gelap bangku penumpang depan. Sesaat kemudian gadis itu telah meninggalkan udara panas kampus dan melaju bersama sang suami.

Sri melirik Arch yang masih rapi dengan setelan jas dan kemeja kerjanya. "Maaf, lama nunggu ya, Arch?"

Pandangan Arch setia pada medan jalan raya yang akan dilintasi setelah menikung dari jalan kampus. "Lumayanlah ga lama-lama banget. Paling hanya dua kali periode pemilu saja."

Sri berpaling cepat pada Arch. "Waduh satu dekade dong, ibarat kalau kita punya anak udah masuk SD dia...."

Sebelah sudut bibir Arch terangkat. "Kamu ingin punya anak?" Tanyanya misterius.

Sri menganga lebar. Entah akan memberi balasan apa. Sepasang retinanya tak berjeda memandang sebelah sisi paras Arch. Tatapan pria itu bahkan tak berpaling dari pesona jala raya yang selalu padat. Paras tampan itu memerah menahan tawa.

Sudut mata Sri menangkap siluet tiga preman master tagih melalui kaca pengemudi di sisi Arch. Sri meminta Arch menepikan kendaraan roda empatnya.

Badan Arch menjulur memangkas jarak dengan Sri setelah ban mobil tak lagi berputar. "Kenapa? Ingin membahas masalah anak?"

Telunjuk Sri mengarah pada jendela pengemudi. "Iya, anak ... anak buah Ayahmu ada di seberang jalan. Ayo, segera putar balik! Kita bawa sekalian mereka ke kantor kredit ayahmu!"

Arch tersentak. "Apa?"

Sri mengguncang lengan Arch. "Ayo, Arch! Cepat kamu putar balik. The three mas-mas khentir itu ada di sekitar pemukiman elit."

Arch terheran-heran. Dia melempar wajah beberapa kali pada jendela pengemudi yang telah terbuka. Matanya menangkap sekelebat perawakan preman asuhan ayahnya.

"Ayo, Arch!" Desak Sri.

Arch mengangguk cepat dan kembali menaikkan kaca pengemudi. Dia mengendalikan roda empatnya menembus arus yang berlawanan untuk menggapai seberang jalan. Tak buang waktu lama menelusuri bahu jalanan seberang, Arch menangkap tiga jagoan kandang yang hampir mendorong pintu pagar sebuah rumah besar.

Arch menurunkan kaca pengemudi sebelum meneriakkan nama ketiganya. Preman penggila asesoris, preman penjinjing catatan administrasi dan preman berotot hanya bisa tunduk pada keinginan putra pertama bos besar. Mereka berangsur memasuki bangku penumpang belakang satu per satu.

Arch bergegas menapaki jalur menuju kantor perkreditan milik sang ayah.

Juan Monarch telah kembali dari perjalanan bisnis luar pulau. Sosoknya tengah duduk berwibawa pada ruang pertemuan dikelilingi para staff kantor. Pasangan suami istri baru memasuki ruangan setelah dipersilakan. Tiga preman kredit menyusul di balik punggung mereka.

Tatapan Juan beredar pada setiap penampilan preman bayarannya. "Kalian bersama putraku?"

Ketiga preman hanya mengangguk dalam tunduk.

Arch melipat lengannya. "Karena merekalah Arch tahu jika bunga belum dihapuskan sesuai instruksi ayah selaku pemilik. Mereka bertiga membawa bukti pembayaran untuk nasabah dengan rincian bunga di dalamnya. Saya tidak tahu siapa yang salah. Mari kita cari sekarang juga!"

Juan menyetujui usul sang pewaris utama.

Arch menyipit curiga pada semua makhluk bernyawa dalam kantor riba itu tak terkeculi sang ayah. Tatapan Arch yang setajam predator cakrawala berhasil mengerdilkan nyali semua karyawan perkreditan di tempat itu.

***