Sekretaris kantor Arch mendorong daun pintu kaca ruang kerja pimpinan setelah mendapat persetujuan. Wanita setengah baya berpengalaman itu mempersilakan pemuda dua puluhan menemui atasannya. Sang pemuda mengangguk santun dan berterima kasih pada sang sekretaris sebelum menginjak lantai ruang pimpinan.
Sang sekretaris berlalu menyisakan sang atasan yang tengah sibuk menggores tinta pada tumpukan map dan seorang pemuda beransel gelap.
Sang pimpinan meletakkan penanya lalu menengadah pada seorang tamu di hadapannya. Lengannya terjulur mempersilakan tamu menempati kursi di depan meja pimpinan.
Sang pimpinan menaikkan sebelah alisnya.
Sang tamu melirik penunjuk waktu di pergelangannya. "Sudah jam istirahat siang, kan?"
Pria dewasa berbalut jas gelap mengangguk. "Apa ada sesuatu yang penting?"
Sang pemuda mendaratkan sepasang lengan pada meja kerja pimpinan. "Arch, apakah kamu sudah mendapat informasi tentang calon istri Juan?"
Arch menggeleng dalam desah panjang. "Banyak pekerjaan sehingga aku tidak bisa terlalu memikirkannya. Namun aku masih terus berusaha mencari jalan."
Sang pemuda menghirup napas panjang kemudian menahan dalam dada. "Sebenarnya...." Leo menahan kalimatnya yang penuh keraguan.
Arch menaikkan sebelah alis tebalnya. "Apa kamu memperoleh informasi yang penting?"
Leo mengangkat ringan sepasang bahu tegapnya. "Aku hanya berpikir sepertinya kita melewatkan sesuatu."
"Apa?" Tanya Arch mulai tertarik.
Leo memejamkan sepasang kelopak mata. "Satu-satunya perempuan yang selama ini berkeliaran di dekat kita."
Arch menggigit tepi bibir bawahnya. Gundah kembali menggelayuti benaknya. Bukannya dia tak menyadari keberadaan magnet kuat dalam perempuan itu yang selalu berotasi dalam kehidupannya, Leo dan anggota keluarga lain. Arch hanya gamang menatap kenyataan. Dia memilih untuk mengabaikannya.
"Kamu sadar kan, Arch? Selama ini kita tak pernah melihat wanita yang berada dalam jangkauan ayah. Tidak ada yang dekat secara fisik dan batin dengan ayah." Papar Leo menggebu-gebu.
Arch menjulurkan telapak kanannya disertai anggukan. "Aku paham, Le! Tapi kita harus mencari bukti."
Leo menggeleng cepat. "Itu terlalu lama, Arch! Bagaimanapun caranya kita harus menggagalkan sebelum hari pernikahan. Jika dugaanku benar, aku tidak akan membiarkan dia bersama pria lain. Meskipun keluargaku sendiri."
Arch memijit pelipisnya. "Kamu pasti memiliki perasaan padanya?"
Leo menyeringai. "Aku? Bukan hanya aku! Lihat siapa yang sedang bertanya padaku! Perasaan apa yang dia pendam?"
Arch tersenyum remeh. "Aku tidak mungkin menyukai gadis ingusan seumuranmu Leo!"
Leo membelai dagunya seolah berpikir. "Tapi kenapa selama ini kamu kelihatan memperhatikannya?"
Arch beranjak dari singgasana pimpinan perusahaan. "Perhatian padanya? Jangan becanda! Aku tidak pernah melakukan apapun untuknya."
Leo terbahak meremehkan sembari mengulurkan telapak tangannya. "Oke, aku percaya! Kita sepakat! Itu artinya aku tidak punya saingan!"
Arch menatap datar telapak tangan sang adik. Telapak tangannya ragu menyambut uluran tangan Leo.
Leo menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Tidak rela?"
Arch menyinggungkan kulit telapak tangannya pada tangan Leo yang kemudian menggenggamnya erat.
Arch membebaskan tangannya. "Ini bukan hal penting."
Leo beranjak dan menyamai tinggi sang kakak. "Aku hanya memastikan."
Arch mengangguk beberapa kali. "Baiklah, akan lebih bermanfaat jika kita memastikan kecurigaanmu. Siapa yang akan menikah dengannya dan benarkah itu ayah kita?"
Leo menatap sejurus sang kakak. "Kita bisa mendapatkan informasi dari mana?"
Arch menghampiri jendela kantornya. Pandangannya menerawang jalanan padat kendaraan dari balik kaca bening ruangannya.
Leo mengikuti dari balik punggung kakaknya.
"Aku sudah memikirkan lama tapi belum bertindak. Kurasa sekarang saatnya kita beraksi." Papar Arch.
Leo masih setia menjadi pendengar dan menunggu rencana yang telah lama tertanam dalam benak sang kakak.
Arch memutar setengah lingkaran tubuhnya yang berbalut jas rapi. "Aku akan mencari data di Kantor Urusan Agama terdekat. Kamu coba lacak lewat pencarian online tentang beberapa Weding Organizer, katering dan gedung-gedung pernikahan megah di kota ini."
Senyum lebar mengembang di paras Leo. Dia mengangguk mantap. Ibu jarinya terulur yakin.
"Coba selidikilah satu per satu dan jangan gegabah. Aku akan membantumu jika aku telah menemukan data dari KUA. Jika sesuai prediksi kita, kita akan bekerja lebih keras." Lanjut Arch serius.
Leo tak mampu merangkai kata menjadi kalimat sempurna. Kepalanya hanya dapat mengangguk cepat.
"Tanyakan tanggal pernikahan mereka. Sehingga kita bisa bertindak sebelum hari pernikahan. Entah siapapun mempelai wanitanya tidak ada bedanya termasuk gadis pujaanmu itu!" Kata Arch panjang lebar mengarahkan.
Leo menepuk bahu tegap Arch. Pemuda itu menganggukkan kepala optimis. Paras si anak tengah yang semula resah kini mulai cerah.
Arch menyorot dua iris cerah Leo. "Tapi jika kenyataan tidak sesuai analisa kita...." Arch menutup mulutnya sebelum kalimat sempurna.
Leo menelan ludah. "Maksudmu...."
"Jika perempuan itu ternyata bukan dia..." lanjut Arch masih dengan kalimat ambigu tak lengkap.
Suara Leo menurun lemah. "Bagaimana jika Ayah dan dia tidak menikah ... Calon istri ayah adalah orang lain dan dia ternyata menikah dengan pria yang tidak kita kenal...."
Arch mendesah panjang. "Tetap akan menjadi pekerjaan berat buat kita. Aku pasti akan menggagalkan pernikahan ayah. Untuk pernikahan dia, aku tak bisa berbuat apa-apa. Karena aku tidak memiliki hubunganku apa-apa dengannya." Timpalnya dengan nada suara putus asa.
Leo mencengkeram bahu Arch. "Aku yang akan mengacaukan pernikahannya. Aku yakin pernikahan itu pasti bukan kemauannya."
Tangan Arch menyinggung tangan sang adik yang ada di bahunya disertai anggukan pelan.
"Kalau benar pernikahan itu antara ayah dan dia. Bagaimanapun caranya aku akan menggantikan posisi ayah. Aku yang akan menikahinya." Tegas Leo.
Telapak tangan Arch menyingkir dari genggaman Leo pada bahu Arch. Entah mengapa tangannya bergetar tiba-tiba. Ada ketakutan menghentak sendi-sendi tangannya. Si putra sulung memutuskan menyusun langkah menuju pintu kaca utama ruang kerjanya.
Leo mengikuti sang kakak dari balik punggungnya. "Arch," panggilnya pelan.
Arch hanya menjawab dengan hening kata. Namun langkahnya tak juga terjeda hingga melintasi pintu ruangan dan lorong kantor yang tak begitu panjang. Derap dua pasang langkah pria sedarah itu menjelajahi deretan meja-meja para staff yang diabaikan sejenak oleh pemiliknya untuk istirahat siang.
"Arch!" Panggil Leo kedua kalinya.
Arch masih setia menapak lantai berkilau kantornya menuju lift. "Sebelum sore aku harus bergegas mendapatkan informasi."
"Sekarang?" Tanya Leo heran.
Arch menutup langkah di depan pintu lift yang tebuka. "Secepatnya segera jalankan misi sebelum pernikahan terjadi."
***
Arch melantunkan salam sopan ketika melintasi pintu utama Kantor Urusan Agama. Jarum penunjuk waktu telah bergeser pada angka dua belas dan satu. Istirahat siang para pegawai telah usai. Mereka tampak telah memenuhi ruang-ruang kerja kembali.
Seorang pria setengah baya menyambut kehadiran Arch dengan balasan salam dan sapa santun. Bapak bersongkok gelap itu mempersilakan Arch menempati bangku kosong di depan meja kerjanya.
Pria setengah baya menyapa dengan lengkungan bibir ramah. "Selamat siang, Mas! Ada yang bisa saya bantu?"
Arch membalas seyum tipis. "Saya ingin mendapatkan informasi tentang salah satu keluarga saya."
"Insya Allah, saya akan memberikan informasi sesuai kemampuan saya." Sahut pria setenga baya itu.
Tatapan mata Arch menajam. "Apakah atas nama Juan Monarch mendaftar pernikahan di sini, Pak?"
"Saya lihat data terlebih dahulu." Jawab pegawai pria itu.
Pria paruh baya segera menekan beberapa tombol papan ketik pada komputer yang berdiri di tepi meja kerjanya.
Hanya hitungan detik Arch menunggu sang pegawai untuk mendapatkan anggukan pelan.
Sebuah batu raksasa bagai menghantam keseimbangan jantung Arch. Bibirnya hampir menyeringai nyeri tapi tertahan kesabaran.
Arch menumpukan dua lengannya pada permukaan meja. "Apa boleh saya tahu siapa calon mempelai wanitanya?"
Pegawai paruh baya melirik layar monitor sekali lagi melalui sudut matanya kemudian menggeleng lemah.
Arch mendesah panjang.
"Saya meminta maaf tidak bisa membantu karena harus memegang amanah dari Saudara Juan Monarch." sesal sang pegawai.
Bibir Arch melengkung tipis. "Saya paham, Pak!"
"Apa masih ada yang bisa saya bantu, Mas?"
Arch mengangguk cepat. "Atas nama Jasmine Sri apakah juga mendaftar menikah di KUA ini, Pak?"
Bapak pegawai berbalut seragam krem kembali menelusuri layar monitor. Hanya beberapa detik berlalu bagai berabad-abad Arch menanti. Bukan lagi seukuran batu kali, tapi juga seolah sebuah gunung kapur nyaris roboh di atas kepalanya.
Benar saja, gunung kapur dalam benak Arch runtuh setelah mendapat balasan anggukan dari bapak pegawai.
Arch terpaku. Lututnya seolah terbelit rantai jangkar kapal kargo. Tidak hanya bergeming tetapi juga dunianya seolah membatu.
Kening bapak pegawai mengernyit mendapati kekosongan mata pemuda di hadapannya. Bapak pegawai melambai di depan lensa mata sang pemuda hingga kembali tersadar.
"Ada apa, Mas?" Tanya bapak pegawai khawatir.
Arch menggeleng. "Tidak ada, Pak. Saya hanya sedang berpikir sebentar. Kalau boleh tahu siapa calon suami dari Nona Jasmine Sri?"
Bapak Pegawai melepas lensa mata tua yang bertengger pada pangkal hidung kemudian mendaratkan pada permukaan papan ketik komputer. Bapak pegawai kembali menggeleng pelan.
Arch mengangguk-angguk mengerti. "Apakah Saudari Jasmine Sri akan menikah dengan Saudara Juan Monarch?"
Bapak pegawai kembali berhadapan dengan sinar layar monitor tanpa lensa kacanya. "Siapa ... Mo ... Mon?"
"Juan Monarch." Ulang Arch.
Sepasang mata tanpa lensa bergeser menatap Arch. "Bukan. Calon istri Jasmine Sri bukan Juan Monarch. Tapi kami tetap tidak bisa memberitahukan siapa pria itu."
"Kira-kira akad nikah kapan akan digelar?"
Bapak pegawai menjalin kesepuluh jari-jarinya. "Dalam waktu kurang dari satu bulan."
Arch tersenyum getir. "Baik, Pak! Terima kasih atas informasi yang bapak sampaikan."
"Maaf, Mas! Kalau saya boleh tahu nama Mas siapa dan apa hubungan Mas dengan Juan Monarch?" Tanya Bapak pegawai menyelidik.
Arch mengulurkan tangan. "Saya Arch. Saya kerabat jauh Juan Monarch. Saya mendengar Juan akan menyelenggarakan resepsi pernikahan hanya saja dia sulit dihubungi karena kesibukannya. Saya juga akan melakukan perjalanan ke timur tengah. Saya takut jika saya tidak bisa menghadiri acara penting tersebut."
Bapak pegawai menyambut uluran tangan Arch disertai anggukan maklum. "Coba Mas Arch menemui putranya, saya yakin dia bisa memberikan informasi yang jelas."
Arch menelan ludah kelu. Dalam hati tertawa meremehkan diri sendiri karena sang ayah yang bengal akan menyusupkan anggota keluarga baru dalam data kartu keluarga. Bagaimana mungkin dia akan mendapatkan semua pemaparan yang diinginkan dari sang ayah, sedangkan dirinya antusias memberontak akan kehadiran pengganti sang ibu.
***
Dua jarum penunjuk waktu telah melewati angka sembilan malam hari. Arch mendorong pintu kemudi mobil gelapnya. Langkahnya terhuyung melintasi daun pintu yang terbuka lebar hingga harus mencengkeram apapun sebagai penyeimbang.
Asiaten rumah tangga yang telah tuntas menyatukan kembali gerbang besi dengan pengait, berlari kecil menghampiri sang majikan.
Bi Ayuk meraih tas kerja dalam genggaman kanan Arch. "Tuan Muda baik-baik saja?"
Arch mengerjapkan kelopak matanya berulang-ulang kemudian mengangguk.
"Saya bantu masuk dalam rumah, Tuan Muda?" Tawar Bi Ayuk khawatir.
Arch menolak halus dan menghargai simpati sang asisten. Dia meminta Bi Ayuk segera berlindung dari dingin malam dalam rumah sang majikan kemudian meletakkan tas kerjanya dalam ruangan pribadi Arch. Arch mengekor dengan langkah letih di belakang.
Arch tertatih dalam gerak tungkainya. Dia merayap dari satu benda menuju benda berikutnya untuk menjaga tegak badannya. Hari ini seolah atap dunia rubuh menerpa tubuh sang pria. Pekerjaan yang tanpa mengenal batas dan kenyataan tanpa peduli toleransi memporak-porandakan harinya.
Pria dewasa itu menahan langkah pada pangkal anak tangga ketika sang asisten rumah tangga menyelesaikan langkah menuruni anak tangga terakhir.
Bi Ayuk semakin panik. "Tuan Muda yakin baik-baik saja?"
Arch mengangguk lemah.
"Tas Mas Arch sudah saya letakkan di meja kamar. Mas Hal sudah tidur. Tadi Mbak Jasmine tidak datang jadi saya yang menemani Mas Hal mengerjakan pekerjaan rumah. Meskipun saya tidak bisa membantu." papar Bi Ayuk memberi laporan.
Arch gusar. "Jasmine tidak mengajar?"
Bi Ayuk mengangguk.
Arch mendesah pasrah.
Bi Ayuk memandang Arch prihatin. "Saya akan membawakan makan malam ke kamar Mas Arch."
Bibir Arch melengkung tipis. "Terima kasih, Bi Ayuk. Jika sudah selesai segeralah pulang atau beristirahat."
Bi Ayu bergerak gelisah. "Tapi Mas Arch kelihatan sedang kurang baik."
Arch menepuk bahu wanita yang memiliki banyak anak itu. "Tenang, Bi. Saya hanya capek dan belum makan sejak siang karena pekerjaan yang banyak. Saya mau ke kamar dulu."
Bi Ayuk menunduk. "Baik, Tuan Muda Arch. Saya akan segera menyusul membawakan makan malam."
Arch tertatih menapaki setiap anak tangga hingga menginjak lantai dua. Pria itu menghampiri pintu kamar pribadinya. Dia mendorong daun pintu dengan susah payah hingga bergeser.
Arch mendesah lega ketika mendaratkan tulang duduknya pada pembaringan. Sesaat kemudian ketukan daun pintu mengusik lamunan Arch. Suaranya memerintahkan si pengetuk pintu segera menghampirinya.
Bi Ayuk bergegas meletakkan nampan pada nakas di sisi ranjang sang majikan kemudian pamit undur diri.
Arch meraih ponsel dalam saku jas kerjanya. Ada belasan panggilan tak terjawab dari satu nomor yang sama pada layar ponselnya.
Arch menggigit bibirnya sebelum menghubungi kembali deretan angka yang telah tersimpan beberapa bulan lalu.
Arch membalas salam dari suara gadis di saluran seberang.
"Ada apa?" Tanya Arch datar.
Suara gadis di seberang menjawab, "Maaf, Arch! Aku tidak bisa mengajar untuk beberapa hari karena ada hal penting yang harus diselesikan."
"Ya," sahut Arch tak peduli.
Terdengar desahan lelah di seberang ponsel Arch. "Apa kamu marah padaku, Arch?"
Denyutan pada pelipis Arch kembali menyerang hingga telunjuknya harus mengurut perlahan. Keringat menganak sungai membasahi parasnya. Ponsel dalam genggamannya tanpa sadar meluncur dan membentur kerasnya lantai. Gelitik dalam tenggorokan merangsang batuk tak berjeda.
Suara panik gadis di seberang memanggil-manggil pemilik ponsel. Namun Arch masih bersusah payah membendung rasa tak nyaman yang menyerang raganya.
***