Chereads / AKU KABUR KAU KEPUNG / Chapter 21 - Perlahan Berubah

Chapter 21 - Perlahan Berubah

Sri meremas ponsel dalam genggamannya. Tubuhnya jatuh terduduk pada tepi ranjang kayu gaya klasik. Sepasang mata pekat memandang hampa udara pengap dalam kamar itu. Irama jantungnya kian meninggi. Firasat tak nyaman berhamburan silih berganti. Bahkan derap langkah kaki yang menghampiri tak mampu menyentuh gendang telinga.

Sri melonjak kaget karena tepukan halus pada bahunya. Sri berpaling pada paras teduh seorang wanita tua dengan gurat kewibawaan usia.

Suara wanita berusia senja itu bergetar cemas. "Kamu baik-baik saja, Sri?"

Sri membelai dadanya yang berguncang kemudian mengangguk pelan menenangkan sang ibu kandung dari ibunya.

Jemari nenek menyinggung rambut Sri lembut. "Apa ada yang kamu pikirkan?"

Sri mendesah panjang. "Kakak laki-laki murid belajar privat saya kelihatannya sedang tidak begitu baik. Dia tinggal sendiri hanya bersama adik bungsunya yang berusia sepuluh tahun. Asisten rumah tangga sudah pulang sore hari. Sri khawatir terjadi sesuatu." Tutur Sri menjelaskan.

Bibir nenek melengkung manis. "Kamu bisa menjenguknya sebentar besok pagi. Nenek tidak apa-apa mengurus kakek sendiri. Lagipula darah tinggi kakek sudah ditangani dokter dan hanya menjalani rawat jalan di rumah."

Mata Sri berbinar menatap neneknya. "Besok sebelum subuh Sri akan mempersiapkan makanan untuk kakek nenek dan menata apa saja kebutuhan kakek agar nenek tidak lelah nantinya. Setelah subuh Sri akan berangkat ke kota dan akan segera kembali jika sudah mengetahui kondisinya."

Nenek mengangguk setuju. "Sekarang kamu tidur agar tidak terlambat bangun."

Sri bergumam lega.

Keesokan pagi fisik Arch semakin diluar kendali diri. Suhu badan meninggi. Kening berdenyut nyeri. Kepala bagai tertindih beban berkali-kali. Lendir menggelitik hidung hingga tenggorokan. Cairan kental itu seolah menggaruk lehernya dan mendesak mulut berguncang terbatuk-batuk.

Dokter pribadi telah tuntas memeriksa pasien langganan. Arch didiagnosa influenza. Mungkin nutrusi yang masuk dalam darah tak seimbang menyebabkan daya tahan tubuh menurun. Sehingga virus mudah menyerang pertahanan tubuhnya kapan saja.

Dokter permisi undur diri setelah pekerjaannya selesai dan menyerahkan obat lengkap pada asisten rumah tangga yang memdampingi dokter dalam kamar majikan.

Arch terlalu tak berdaya walaupun hanya untuk begerak. Seluruh tubuhnya terasa lunglai remuk redam.

Bi Ayuk membimbing langkah dokter menuruni tangga dan menyertainya menuju pintu utama. Seusai kepergian sang dokter, Bi Ayuk kembali menaiki tangga dengan menggenggam nampan berisi makanan dan obat-obatan.

Bi Ayuk meletakkan makanan dan obat pada nakas yang bersisian dengan ranjang majikan. Bi Ayuk permisi kembali munuju dapur setelah membantu Arch duduk dan bersandar pada pembaringan.

Arch memaksa bibir getirnya melahap semangkuk bubur ayam buatan asisten rumah tangga. Mulutnya tetap terpaksa bergoyang melumat seluruh sarapan. Arch butuh waktu tidak cepat untuk menguras isi mangkuk. Kemudian menelan beberapa tablet dan kapsul dengan batuan air.

Tubuh Arch kembali merosot dan berbaring pada ranjang. Sepasang kelopak mata Arch turun menyambut kantuk hebat yang tiba-tiba mengurung kesadarannya. Arch mendengkur halus dalam buaian hangat pembaringan.

Dua jam Arch bahagia dalam lelapnya. Kelopak mata cerah nan tajam itu perlahan membuka. Keterkejutan hampir saja menggulingkan tubuh Arch menyentuh lantai ketika menyadari sebuah sosok berdiri dan tersenyum hangat di hadapannya.

Sang gadis mendesah lega. "Syukurlah Arch, kamu sudah membaik. Aku sangat khawatir pada keadaanmu."

Arch membuang muka. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Sri meletakkan tubuhnya pada satu-satunya kursi si belakang punggungnya. "Aku khawatir mendengar suaramu kemarin. Seperti tidak baik-baik saja. Aku hanya ingin memastikan keadaanmu."

Arch memijit pelipisnya. "Silakan pulang! Tidak ada yang membutuhkanmu di sini."

Sri menunduk."Maaf, jika aku menyusahkan dengan menyampaikan ijin tidak mengajar secara mendadak. Kakekku dikabarkan sakit sehingga aku harus menemani nenek menjaga kakek. Rumah mereka berjarak tiga kabupaten dari kota ini."

Arch berupaya bangkit dan menyinggungkan punggung pada ranjang dengan masih mempertahankan paras datar. "Aku tidak butuh penjelasan. Kalau sudah selesai silahkan keluar! Jangan menunjukkan wajahmu di hadapanku lagi!"

Sri menengadah. Sepasang mata gelap berkaca-kaca menatap Arch.

"Tunggu apa lagi! Cepat keluar dari kamarku!" Gertak Arch parau.

Sri belum putus asa. "Apa salahku, Arch?"

Arch memghirup napas panjang. "Aku ingin istirahat dan tak ingin diganggu. Sekali lagi aku peringatkan. Silakan keluar!"

Sri menunduk. Kepalanya mengangguk dalam. Langkah kakinya menapak arah belakang perlahan hingga melintasi ambang pintu kamar.

"Saya permisi, Pak Arch!" pamit Sri santun.

Arch tetap setiap membuang muka. Kedua tangannya terkepal pada dua sisi tubuhnya. Rahangnya mengeras marah. Tatapannya selalu mengelak dari sosok Sri.

"Kamu masih bisa mengajar Haliastur tapi jangan muncul di hadapanku." Pesan Arch dingin.

Sri membungkuk sebelum berlalu. "Baik, Pak Arch! Saya paham. Saya permisi. Wassalamu'alaykum."

Arch bergumam membalas salam. Kepalanya menunduk resah. Bibirnya menggeram hendak mengeluarkan sumpah serapah. Namun masih mampu dikendalikan.

Sri tak lagi tampak di ambang pintu. Bunyi derap kakinya yang menuruni tangga semakin menyamar di telinga Arch.

***

Sri termenung pada ruang tunggu terbuka calon penumpang di terminal bus pusat kota. Dia bersandar lelah pada bangku panjang. Kedua matanya memanas. Ledakan air mata berdesakan di pelupuknya.

Sri tersedu bersama air asin yang menganak sungai di sepanjang pipi hingga dagu. Lengannya saling bertumpu mendekap ransel ukuran sedang yang penuh perbekalan.

Gadis berbalut kaos lengan panjang dan celana panjang plisket terisak seorang diri di tengah hiruk pikuk calon penumpang yang berlalu lalang. Perasaannya begitu nyeri hingga ulu hati. Sri berpikir selama ini yang berdenyut dalam dada hanyalah sebuah rasa suka tapi tanpa disadari akar cinta telah tertancap begitu dalam di jantungnya.

Jadwal keberangkatan bus jurusan kabupaten tempat tinggal orang tua dari ibu Sri masih satu jam lagi. Sri tak ingin berlarut-larut dalam lamunan hampa. Bayang Arch akan terus menerobos dan menyayat hatinya.

Sri beranjak dan mulai melangkah meninggalkan terminal bus pusat lalu mencari mini market terdekat. Sri mendesah lega ketika menjamah udara dingin mini market. Sejenak penat lenyap bertukar dengan aroma segar pengharum ruangan.

Sri sengaja menghabiskan waktu luangnya mengelilingi rak demi rak dalam mini market. Langkahnya tertahan pada rak makanan dan minuman ringan. Jemari kanan dan kiri Sri meraih satu botol teh dan satu kemasan kripik kentang.

Jejak Sri kembali melintasi pintu utama mini market setelah menyelesaikan pembayaran.

Lengkahnya membatu ketika retinanya menangkap sosok pemuda yang tengah menata sepeda motornya di depan serambi mini market.

Sang pemuda yang masih berpelindung kepala terperangah.

"Sri," gumam sang pemuda belum yakin dengan penglihatannya.

Sri menahan napas panik. Alas kaki Sri bergerak mundur.

Tangan Sang pemuda mengambil keputusan tepat dengan mencengkeram lengan Sri. Sri memberontak. Lengannya mengelak sekuat tenaga hingga terbebas.

Sri memacu langkahnya. Dia tunggang langgang tak tentu tujuan. Sang pemuda mendecih kesal karena sang gadis melarikan diri darinya.

Sang pemuda bergegas menyusul Sri. Tubuhnya melesat secepat kilat meskipun pelindung masih melekat pada kepalanya. Kedua pemuda pemudi itu saling adu kecepatan kaki pada serambi deretan toko dekat terminal.

"Sri, tunggu!" Teriak sang pemuda di antara napasnya yang tak teratur.

Sri membisu. Meningkatnya kecepatan kaki sebagai jawaban atas penolakan. Namun Sri harus menyerah pada energi besar sang pemuda yang mampu meraih tas ransel Sri.

Sang pemuda menyentak lengannya hingga punggung Sri mengecup sisi luar tembok salah satu toko.

Sri mengaduh. Sementara raga leo mengunci pergerakan Sri dengan cekatan. Dua lengan kekar menjadi batas dua sisi tubuh Sri setelah mencampakkan pelindung kepala.

Dua tangan mungil Sri mendorong dada si pemuda. "Leo lepaskan aku!"

Leo menggeleng. "Kecuali kamu berjanji akan bicara baik-baik denganku."

Sri menelan ludah. "Iya, aku akan bicara baik-baik dan tidak akan kabur lagi."

Leo mendesah panjang. Raganya mengambil satu langkah ke belakang.

Sri menunduk dalam.

Leo melipat lengannya di depan dada. "Jadi apa kamu bisa menjelaskan mengapa melarikan diri dariku?"

Sri masih bergeming dalam tundukan.

Leo tertawa kecil. "Kamu pasti tahu jika aku mengetahui permasalahanmu."

Sri masih menyembunyikan suaranya.

Leo mengguncang sepasang bahu Sri. "Ayolah, Sri! Kapan aku tidak pernah membantumu?"

Sri menengadah. Namun pancaran mata gadis itu masih enggan membalas kontak mata Leo.

"Aku tahu rencana pernikahanmu pasti hanyalah paksaan, kan?" Tanya Leo meminta penjelasan.

Mata Sri membelalak lebar. Tenggorokannya semakin tercekat. Jantungnya seolah diremas kuat-kuat. Paru-parunya seakan menyempit. Sri memaksa tubuhnya tetap tegak menghadapi masalah yang menyerang kembali. Jika Leo mendapatkan semua informasi, maka kekacauan akan menggelegar.

"Katakan siapa pria itu?" Tuntut Leo tak menyerah meskipun hanya mendapat balasan kebisuan.

Entah terisi energi dari mana, Sri sanggup melempar pandangan pada Leo. Mereka saling pandang datar beberap detik.

"Baiklah, kalau kamu tidak mau memberi tahu. Aku sudah bisa memperkirakan siapa pria itu. Tidak ada yang lain selain bos renterneir yang memberi pinjaman untuk orang tuamu." Tebak Leo.

Sri melahap udara penuh polusi di sekitarnya lalu melepaskannya perlahan. "Dugaamu tepat." Kata Sri menanggapi.

"Aku akan membantumu melunasinya," lanjut Leo cepat.

Sri menggeleng cepat. "Maaf, Leo! Semua tidak semudah yang kau kira. Aku tidak ingin melibatkanmu dengan jumlah uang yang begitu besar."

Leo bertolak pinggang. "Sri, apa kamu lupa kalau aku anak tengah dari Juan Monarch. Berapapun aku bisa menyediakannya."

Sri terdiam. Bibirnya tiba-tiba kaku tak mampu berkata.

Leo meraih jemari Sri. "Jangan menikah dengan orang lain. Menikahlah denganku dan aku akan melunasinya!"

Sri melepaskan lengannya. "Jadi bantuan yang kamu tawarkan itu bersyarat?"

Leo mendesah. "Bukan begitu, Sri! Untuk mengeluarkan dana besar, aku harus mendapat persetujuan ayah. Jadi menikah akan menjadi alasan yang tepat."

Sri menggeleng. "Lebih baik kamu batalkan rencanamu karena menikah bukan untuk main-main dengan alasan yang tidak masuk akal."

Leo mencengkeram bahu Sri dengan tatapan murka. "Apa? Kamu pikir semua yang aku katakan main-main? Apa kamu tidak pernah sadar apa yang aku rasakan selama ini padamu, Sri?"

Sri menelusuri retina Leo. Dia hanya menemukan kesungguhan.

Leo kembali mengguncang ringan bahu Sri. "Kenapa diam, Sri? Apa kamu baru sadar jika aku memcintaimu lebih dari teman?"

Mata lebar Sri membelalak. "Jangan becanda, Leo!"

Leo menggeleng tegas. "Aku tidak pernah seserius ini dalam hidupku."

Sri mundur dan melepaskan lengan Leo. Punggungnya membentur dinding dan merosot terduduk. Lengannya memeluk lutut dan menunduk.

Leo yang panik menepuk bahu Sri. "Sri!" Panggilnya.

"Leo, kamu jangan membuat masalahku yang rumit semakin rumit." Gumam Sri.

Leo merendahkan tubuhnya menyamai Sri. "Astagfirullah, Sri! Bagaimana mungkin niat baikku semakin memperkeruh masalahmu?"

Leo kembali beranjak tegak menyesuaikan pergerakan Sri yang mendadak.

Sri mencengkeram kedua ujung rambutnya. "Aku harus segera pergi! Sebentar lagi bus yang akan aku tumpangi berangkat!"

Sri mulai menapakkan kakinya menuju arah terminal tapi Leo lagi-lagi menahan lengannya. "Kamu mau ke mana?"

Paras Sri sendu. "Aku harus segera kembali ke rumah kakek nenek. Aku membantu nenek merawat kakek yang sedang sakit dari hari kemarin."

Leo terperanjat. "Ayo, aku antar kamu ke terminal bus!" Tawar Leo.

Tak jauh dari tempat percakapan keduanya, tampak sebuah sedan berukuran panjang yang berhenti di tepi jalan. Kaca jendela bagian penumpang turun sebagian. Seorang pria tampan mendesah berat. Guratan usia matang terpahat pada setiap sudut wajahnya. Seiring berwibawa usia semakin auranya menebar pesona.

Tatapan sepasang mata cerah sang pria dewasa tak beralih dari dua orang di seberang jalan.

Paras sang pria sedikit menurun. "Maafkan aku, Leo! Untuk saat ini belum waktunya kamu memikirkan rumah tangga. Bukannya ayah pilih kasih tetapi gadis itu bukan untukmu."

***

Arch mencoba kembali terpenjam setelah kepergian Sri. Namun jantung dan benak enggan untuk rehat. Entah mengapa irama jantung tidak lagi teratur dan otaknya mengembara entah kemana.

Arch cemas akan suatu firasat yang tak dimengerti. Setelah kedatangan dokter, menelan sarapan dan obat serta terlelap sejenak, tubuhnya terasa lebih ringan.

Arch mampu bangkit dari ranjang tanpa terhuyung. Langkahnya menjauhi kamar pribadi kemudian menuruni anak tangga hati-hati.

Dia menghampiri satu-satunya pengurus rumah yang tengah mengepel lantai serambi belakang.

"Bi Ayuk!" Panggil Arch menghampiri.

Gerakan lengan Bi Ayu tertahan. Leher wanita setengah abad itu meneloh ke balik punggungnya.

Mata Bi Ayuk melebar. "Mas Arch kenapa turun? Istirahat saja di kamar! Makanannya Bibi antar ke atas."

Arch tersenyum tipis. "Alhamdulillah, setelah minum obat sudah lebih baik."

Senyum lega Bi Ayuk disertai belaian dada. "Tapi Mas Arch harus istirahat lebih banyak."

Arch mengangguk. "Ngomong-ngomong Sri mana?"

Bi Ayu mengernyitkan kening. "Lho? Mbak Jasmine tidak berpamitan pada Mas Arch? Dia sudah pergi setengah jam yang lalu ke terminal pusat kota untuk menunggu jadwal keberangkatan bus ke arah desa tempat tinggal kakek neneknya."

Arch mengulum bibirnya. "Dia pamit pada saya hanya saja saya mengira dia masih ngobrol dengan Bi Ayu di bawah."

***