Arch sengaja berdiam diri dalam masjid hingga seluruh jamaah berlalu. Beberapa kali lirikan mata cerah menyusuri sudut hingga sudut. Tubuhnya beranjak ketika tak ada makhluk bergerak selain raganya.
Arch melangkah tergesa menuju ruangan khusus jamaah putri yang hanya terisi udara kosong. Pandangannya beredar menjelajahi setiap sudutnya berharap menemukan sesosok perempuan separuh baya.
Arch menahan niatnya menemui sang wanita paruh baya saat subuh tadi karena keberadaan gadis itu. Beberapa hari terakhir Arch terbangun tengah malam untuk bersujud dan berdzikir hingga kumandang fajar. Saat alas kakinya menginjak pelataran masjid agung, sepasang mata cerah menangkap sosok mungil bermukena yang giat menjaga kebersihan lingkungan.
Arch membulatkan tekad setelah shalat berjamaah dhuhur ini. Setelah beberapa saat mengamati, bibir Arch melengkung indah. Sekelebat wanita bergamis dan kerudung gelap melintasi serambi sisi jamaah putri.
Arch setengah berlari menghampiri sang wanita. "Bu Jamilah," panggilnya.
Bu Jamilah menahan langkahnya sebelum menuruni serambi masjid. Bu Jamilah memutar lehernya searah sumber suara.
Bu Jamilah mengangguk membalas lambaian lengan Arch.
Arch menyatukan telapak tangan di depan dada. "Assalamu'alaykum, Bu Jamilah. Apa saya boleh meminta waktu sebentar?"
Bu Jamilah mengangguk pelan. "Wa'alaykumsalam. In sya Allah Nak Arch. Kira-kira apa yang bisa saya bantu?"
Arch menghisap udara sepuasnya kemudian menghempaskan perlahan. "Saya ingin menanyakan tentang Sri."
Mimik wajah Bu Jamilah sedikit berubah walau dibalut senyum. Bu Jamilah mengangguk pelan.
"Maaf, apa ibu tahu tentang pernikahan Sri?" Tanya Arch hati-hati.
Bu Jamilah yang kepayahan berbohong hanya mengangguk.
Arch menggigit tepi bibirnya. "Apa ibu tahu dimana, kapan dan dengan siapa?"
Kedua tangan Bu Jamilah saling meremas. "Besok lusa pernikahannya akan di adakan. Tapi saya tidak bisa memberitahukan lokasi dan siapa calonnya."
Dada Arch berdenyut nyeri. Hari pernikahan Sri sesuai ramalannya. Apakah juga sesuai tebakannya juga siapa calon mempelai prianya?
Arch menekan kemeja koko putihnya bagian dada. "Apa Bu Jamilah tidak bisa memberitahukan kepada saya?"
Bu Jamilah menunduk. "Maafkan Ibu, Nak Arch. Ibu hanya tidak ingin terjadi sesuatu."
Arch harus melengkungkan tubuhnya untuk menatap wajah Bu Jamilah yang berbadan sedang. "Maksud Ibu apa dengan terjadi sesuatu?"
Bu Jamilah menyinggungkan kedua telapak tangannya kemudian undur diri. "Maaf, Nak Arch. Saya permisi karena masih banyak pekerjaan di gudang masjid."
Arch mendesah kecewa dalam anggukan.
"Wassalamu'alaykum," salam Bu Jamilah sambil berlalu.
Arch menelan ludah kelu. "Wa'alaykumsalam."
Arch hanya terpaku menyaksikan penampakan Bu Jamilah yang semakin menyamar dalam lensa matanya sebelum kemudian berbelok arah pekarangan belakang masjid.
Arch semakin heran akan semesta di sekitarnya. Mengapa semua makhluk hidup bernyawa seolah menyembunyikan rencana pernikahan Sri. Bahkan Bu Jamilah enggan buka suara tentang masalah yang sama. Siapakah sebenarnya pria yang akan mempersunting Sri? Nama sang ayah masih menjadi kandidat target utama orang dalam pantauan Arch.
***
Leo menarik tergesa laptop dari dalam ransel kuliahnya. Dia meletakkan badan laptop pada permukaan bangku taman kampusnya. Pagi baru saja menyapa dunia. Jingga masih tersisa di angkasa. Makhluk bernyawa belum membuka kelopak matanya. Namun Leo telah menginjakkan kaki pada rumput basah kampus berkawan embun dingin.
Setelah layar laptop menyala, dunia luar yang mustahil terjangkau dalam sekejap mata kini hadir memenuhi retinanya.
Jemari-jemari lentik Leo berdansa mencipta sebaris kata hingga sebuah ulasan tentang data diri seorang pria memenuhi layarnya.
Sepasang bola mata Leo bergulir mengikuti aliran kata pada layar. "Luhur Guardi," gumamnya.
Data pada halaman situs pencarian memaparkan tentang seorang pria lajang bernama Luhur Guardi yang telah memasuki tiga puluh lima tahun hidupnya. Dia seorang pelatih salah satu cabang olang raga bela diri di kota ini. Dia lahir dan berdomisili di perkampungan pinggiran kota. Bahkan alamat perkampungannya begitu lengkap. Namun cetakan parasnya sama sekali tak dapat ditemukan di jejaring sosial. Tak ada riwayat unggahan gambar pribadinya.
Leo memijat pangkal hidungnya. " Luhur Guardi berusia tiga puluh lima tahun dan belum menikah. Apa benar dia yang akan menikahi Sri?" Tanyanya bermonolog.
Kedua jemari tangan Leo saling terjalin. "Luhur pernah menjuarai beberapa turnamen bela diri tingkat provinsi. Profesinya bukan bergerak dalam bidang keuangan. Lalu mengapa dia bisa menjadi calon suami Sri? Ada masalah apa keluarga Sri dengan Luhur Guardi?" Ucap Leo bermonolog kembali.
Leo menampar layar laptop kesal. "Apa mereka sudah berpacaran sebelum kenal denganku?"
Leo menjambak dua sisi rambutnya frustasi. "Aku tidak bisa terus menduga-duga seperti ini. Sri juga tak mau buka mulut. Satu-satunya cara untuk saat ini dengan mengunjungi tempat tinggal Luhur Guardi. Pria itu pasti mau buka mulut."
Leo menutup layar laptop setelah mematikannya. Dia bergegas menyimpan kembali barang elektronik tersebut dalam ransel kemudian beranjak menghampiri parkir sepeda motor yang mulai ramai penghuni.
Kelas Leo masih tengah hari nanti akan dimulai. Pemuda itu hanya memanfaatkan fasilitas internet bebas bayar dari kampus di area universitas. Pekerjaan mengantar paket juga akan ditangani setelah jam kampus
Leo memacu sepeda motor bebeknya menuju alamat yang telah dilacak dari map online. Sekitar tiga puluh menit berlalu bersama bahan bakar yang kian menyusut. Akhirnya sang anak tengah tiba di sebuah desa domisili pria bernama Luhur Guardi. Butuh sepuluh menit berkeliling gang untuk menemukan sebuah rumah berpekarangan luas dan berarsitektur klasik sederhana.
Rumah bergaya tradisional itu ramai oleh riuh rendah anak-anak yang berkejaran di pekarangan. Beberapa orang dewasa tampak berlalu lalang keluar masuk pintu belakang dengan memanggul karung berisi bahan makanan mentah.
Leo menepuk bahu seorang ibu yang tengah menjinjing sebuah keranjang berisi sayuran hijau.
"Assalamu'alaykum, Bu!" Sapa Leo ramah.
Sang ibu berkerudung menoleh. "Wa'alaykumsalam, Mas! Ada yang bisa saya bantu, Mas?"
"Apakah benar ini tempat tinggal Pak Luhur Guardi?" Tanya Leo dengan telunjuk mengarah pada bangunan di hadapannya.
Ibu berkerudung mengangguk. "Benar, Mas Luhur Guardi tinggal di sini. Saya salah satu kerabatnya. Ada keperluan apa?"
Leo menggaruk rambutnya. "Sebenarnya saya ingin meminta Mas Luhur untuk menjadi pengajar bela diri privat saya. Apa Mas Luhur ada di rumah."
Ibu berkerudung menggeleng pelan. "Mas Luhur kerja di pusat kota sebagai pengawal orang besar. Dia jarang di rumah karena memang orang tuanya sudah tidak ada. Karena besok hari pernikahannya, sore ini dia akan pulang."
Mata Leo melebar. "Jadi besok Mas Luhur akan menikah? Kalau begitu rencana saya akan saya sampaikan lain waktu saja."
Ibu berkerudung mengangguk setuju.
"Kalau boleh tahu calon istri Mas Luhur siapa, Bu?" Bisik Leo memulai gibah.
Ibu berkerudung menurunkan suaranya. "Bukan asli kampung sini, Mas. Kalau tidak salah namanya Sri asalnya dari pusat kota."
Lutut Leo gemetar mendengar panggilan sang sahabat diucapkan. "Nama panjangnya siapa, Bu?"
Jemari ibu berkerudung melambai-lambai. "Kalau itu saya kurang tahu, Mas."
Leo mengangguk. "Terima kasih atas informasinya, Bu. Lain waktu saya akan kemarin untuk menemui Mas Luhur."
Ibu berkerudung tersenyum mengangguk.
Tubuh Leo berbalik. Gemetar lututnya masih terasa bahkan menjalar hingga telapak tangan dan kaki. Dia tak menduga mendengar langsung tentang hari pernikahan Sri lebih mengerikan dari bertemu dosen pembimbing.
***
Arch bergeming di atas balkon lantai dua rumahnya. Sepasang iris cerah menatap senja yang hanya sekejap menyapa sebelum gelap melahapnya. Berulang kali Arch menghirup udara di sekitarnya lalu menghempaskannya perlahan.
Matanya tak bergeser dari layar datar dalam genggamannya. Seolah menanti calon lawan bicara menghubunginya. Benar saja, sesaat kemudian layar ponsel Arch memancarkan cahaya putih tanpa dering. Telunjuknya segera menggeser ikon telepon berwarna hijau.
Arch menahan napas. "Ya, halo."
Suara di seberang saluran terdengar lirih. "Halo, Pak Arch! Hari ini Pak Juan Monarch menghubungi kantor dan menggunakan jasa saya dan dua rekan saya untuk memperbaiki AC di beberapa ruangan di rumahnya."
Paras Arch menegang. "Lalu apa kalian menemukan sesuatu yang berbeda?"
"Siang hingga sore kami bekerja di rumah Tuan Juan, kami tidak melihat hal aneh. Para karyawan rumah Tuan Juan bergerak sesuai tanggung jawab masing-masing." Jawab penelepon di seberang.
Arch menarik napas. "Apakah ada kegiatan yang tidak seperti biasanya? Misalkan para asisten rumah mempersiapkan ruangan untuk pesta atau para juru masak sedang menimbun bahan makanan untuk jumlah banyak orang?"
Jeda beberapa detik sebelum orang di seberang membalas. "Sepertinya tidak ada ruangan yang ditata berbeda dari biasanya. Juru masak juga membuat makanan yang jumlahnya sesuai penghuni yang tinggal di sana."
"Apa tidak seperti akan diadakan pesta pernikahan besok? Mungkin dekorasi meja ijab kabul? Atau meja sajian untuk tamu?" Desak Arch.
"Tidak ada, Tuan Arch. Bahkan Tuan Juan tidak ada di tempat saat tim kami tiba. Kemungkinan sedang sibuk di kantor." Jawabnya tetap bersabar dengan berondongan tanya dari Arch.
Arch mendesah panjang. "Apa juga tidak ada bisik-bisik karyawan tentang pesta pernikahan?"
Terdengar suara napas berembus dari seberang. "Maaf, Tuan Arch! Tapi kami tidak mendapatkan informasi apapun selain kegiatan harian para karyawan rumah Tuan Juan."
Arch menggigit bibirnya. "Baiklah, terima kasih banyak atas kerja samanya."
"Baik, Pak!" Jawab orang di seberang mengakhiri percakapan.
Arch mencengkeram ponselnya erat. Kepalanya menunduk dan menyinggung pembatas balkon. Letupan nyeri bergemuruh dalam dada membuatnya sulit bernapas lega. Bahkan sampai detik ini dia tetap buta akan informasi pernikahan ayahnya. Dia hanya mengikuti intuisi saja. Juan Monarch besok diramalkannya akan mengakhiri status duda meskipun fakta belum digenggamnya.
Sementara di sudut kamar salah satu hotel bintang lima, seorang gadis meringkuk meratapi nasibnya esok pagi. Masa depannya akan segera terjerat rantai seorang duda berusia matang.
Sang gadis menatap layar ponselnya. Nama seorang pria tampil memenuhi layar pesan.
Sang gadis menggigit bibirnya. "Arch," lirihnya sendu.
Beberapa kali dua ibu jarinya menyentuh deretan huruf hingga terangkai kata. Namun beberapa kali pula jemari yang lain mengurungkan niatnya.
Sri pasrah. Dia mendaratkan punggungnya pada pembaringan.
Juan menyediakan kamar terbaik dalam hotel bintang lima untuk menginap semalam calon mempelai wanita sebelum ijab kabul. Gaun terbaik pun telah menemani Sri dalam ruangan mewah itu. Asesoris dan alat rias pengantin juga telah tersedia. Sri hanya menanti perias profesional yang akan datang esok selepas fajar.
Seorang gadis dan seorang pemuda terlelap hingga tengah malam tiba dalam ruangan sunyi mereka masing-masing. Mereka terjaga pada waktu sama dalam kamar yang berbeda. Mereka bergegas mengambil wudhu dalam kamar kecil yang berlainan untuk membasuh bagian-bagian tubuh tertentu sebelum sujud panjang dalam isakan.
Sang pemuda memohon dengan kerendahan hatinya pada Sang Pencipta. Dia hanya berkawan jas mewah terbaru yang akan dikenakan dalam pertemuan penting dengan klien pagi ini.
Sang gadis terisak dalam pintanya pada Sang Maha Kuasa. Gaun mewah menjadi saksi bisu air matanya yang tak mampu dibendung.
***