Chereads / AKU KABUR KAU KEPUNG / Chapter 25 - Sri Istri Orang

Chapter 25 - Sri Istri Orang

Malam yang mengenyahkan rasa kantuk telah tiba. Leo gelisah pada permukaan keras pembaringan kamar sewanya. Pemuda itu salah satu sosok yang mampu terpejam walau hanya beralaskan tikar. Namun entah mengapa malam menjelang pernikahan Sri meningkatkan cemas dalam benaknya.

Saat fajar tiba, Leo bergegas mengambil wudhu dan menunaikan ibadah sunnah rawatib dan wajib shubuh masing-masing dua rakaat. Seusai menyegarkan seluruh fisik dengan aliran air, pemuda itu merapikan diri.

Leo melintasi ambang pintu kamar kos sempitnya sebelum memutar gagang kunci. Dia bersiap mengendarai motor bebek lama dengan pelindung kepala setelah mengucap doa. Hari yang teramat istimewa hingga setiap langkah Leo diiringan kalimat sakral. Dia hanya mengharap kekuatan batin jika menemukan sang sabahat benar-benar bersanding di pelaminan.

Kebiasaan Leo yang hanya melantunkan dzikir seusai sholat fardhu kini hatinya tak berjeda untuk bergumam. Semakin memendek jarak kampung Luhur Guardi, semakin pendek pula alunan detak jantungnya.

Denyutan panjang menyerang pelipisnya ketika sepeda motor bebek itu terdiam di pelataran sebuah rumah klasik. Sepasang janur kuning yang cantik melengkung manja pada pekarangan depan searah daun pintu utama. Tenda biru telah berdiri kokoh melindungi semua undangan dari sengatan surya.

Seluruh daun pintu jati rumah klasih terbuka lebar menampakkan puluhan kerabat yang duduk berdesakan beralas tikar.

Beberapa orang berbusana daerah bernuansa pastel berlalu lalang hilir mudik melintasi pintu belakang.

Leo menuntun tergesa sepeda motornya memasuki barisan kendaraan yang terparkir di satu sisi pekarangan. Setelah meletakkan pelindung kepala pada kaca spion, Leo memacu tungkainya.

Leo mengayun sepasang tumit di antara tamu undangan yang hilir mudik mengisi kursi tamu yang telah berbaris rapi di bawah lindungan tenda.

Leo menyeruak pintu utama. Tubuhnya membungkuk sopan di sela-sela barisan kerabat pengantin yang bersila.

Sepasang mata cerah Leo menangkap penampakan pria tinggi berbalut jas hitam duduk bersila dan bersisian dengan seorang gadis langsing berkebaya. Seorang pria tua berpeci tampak berhadapan dan menggenggam erat tangan sang pria berjas gelap.

Leo menghampiri meja ijab kabul. Pemuda itu bersimpuh di antara dua pria beda usia yang saling berjabat.

"Tunggu, pernikahan paksaan itu tidak diijinkan." Cegah Leo.

Sang mempela pria melerai jemarinya. Lehernya berputar pada sumber suara penjeda.

Mata mempelai pria melebar. "Tuan Muda Leopard? Apa yang anda lakukan di rumah saya?"

Leo berpaling pada mempelai pria. "Pak Adi? Anda Pak Adi supir sekaligus pengawal pribadi ayah, bukan? Jadi Luhur Guardi itu nama lengkap anda?"

Sang pria rambut kapas berpeci hanya mampu menatap dialog dua pemuda di hadapannya.

Supir pribadi Juan mengangguk. "Iya, benar sekali, Tuan Muda!"

Gigi Leo bergemeletuk. "Jadi anda juga yang akan menikahi Sri?"

Pak Adi mengangguk. "Benar, calon istri saya adalah Sri."

Leo meraih kerah kemeja dalam balutan jas hitam. "Kenapa bapak tega menikahi Sri? Jasmine Sri Puspasari itu sahabat kampus dan cinta pertama saya!"

Pak Adi menarik napas. "Tenang, Tuan Muda! Sepertinya anda salah paham. Calon istri saya bukan mahasiswi, dia seorang pengajar taman kanak-kanak. Namanya Sri Handayani."

Paras sang mempelai wanita yang terselimuti selendang putih menengadah. Sang mempelai wanita menoleh pada Leo. Dua pasang mata beda jenis saling berbenturan.

Bibir Leo membulat. "Dia bukan jasmine Sri." gumamnya.

Pak Adi mengangguk. "Benar, mana mungkin Nona Jasmine yang cantik, cerdas dan mandiri mau menikahi saya. Walaupun saya tidak menolak kalau itu benar terjadi."

Sang mempelai wanita menggembungkan pipinya. Telunjuk dan ibu jarinya memelintir pinggang sang calon suami.

Pak adi berbisik manja. "Bercanda, sayang!"

Sang mempelai wanita melempar wajah kesal.

Leo kembali berpaling pada Pak Adi. "Lalu mengapa nama Luhur Guardi yang melakukan pembayaran gaun atas Nama Jasmine Sri Puspasari?"

Air wajah Pak Adi berbeda. "Karena memang saya yang membayar untuk gaun pernikahan Nona Jasmine Sri."

Mata Leo menyipit menyelelidik. "Untuk apa bapak membayar jika bukan calon mempelai anda?"

Pak Adi mendesah pasrah. "Saya yang membayarkan dengan menggunakan uang Tuan Juan Monarch."

Leo mempererat cengkeraman jemarinya. "Jadi ayah menyuruh anda untuk menghilangkan jejaknya? Ternyata benar kecurigaan Arch, calon istri ayah adalah Jasmine Sri. Ayah tidak bisa dibiarkan!"

Pak Adi menggeleng. "Tunggu, Tuan Muda!"

Leo melerai cengkeraman perlahan. "Maafkan saya sudah mengganggu acara sakral Pak Adi. Saya benar-benar menyesal telah salah menduga. Tuan Besar Juan Monarch telah sukses mengelabuhi putra-putranya."

Leo beranjak. Namun lengannya ditahan jemari Pak Adi.

"Saya mohon jangan halangi saya, Pak!" Tegas Leo.

Leo mengibaskan lengan kemeja polosnya. "Saya harus segera pulang dan mencegah ayah sebelum pernikahan terjadi."

Pak Adi kembali menahan langkah Leo. "Saya mohon jangan gegabah, Tuan Muda Leo! Anda sebaiknya tidak mencari di rumah karena ijab kabul dilaksanakan di tempat lain."

Leo melotot. "Apa maksud Pak Adi?"

Pak Adi beranjak setinggi Leo. "Saya mohon jangan salah paham pada Tuan Besar."

Leo menggeleng. "Salah paham bagaimana? Sudah jelas pasti Juan menikahi Sri karena hutang orang tua Sri. Tolong beritahu saya dimana pernikahan itu?"

Pak Adi menunduk lesu. "Tapi saya minta Tuan Muda datang baik-baik jangan mengacaukan rencana Tuan Besar Juan."

"Saya ikhlas jika Sri menikahi pria lain yang pantas untuknya jika dia tidak mencintai saya. Tapi bukan dengan ayah saya." Sanggah Leo.

Kedua tangan Pak Adi menepuk bahu Leo. "Jika Tuan Muda mampu menjaga emosi, saya akan memberitahukannya."

Leo menarik napas lalu menghempaskan perlahan. "Baik, saya tidak akan membuat masalah."

"Ijab kabul diselenggarakan di hotel bintang lima pusat kota." Terang Pak Adi.

***

Arch melangkah gagah sepanjang lobi sebuah hotel taraf internasional pusat kota. Hotel tempat pertemuan dengan klien terhormat perusahaan keluarga Monarch. Pria dewasa itu berbalut setelan jas mewah gelap lengkap dengan sepatu mengkilat.

Sang pria tampan menggerakan tungkai hingga memasuki restoran hotel. Pagi yang mendebarkan. Seperti dugaan Arch. Hari pernikahan sang ayah sengaja diselenggarakan ketika pertemuannya dengan klien dijadwalkan. Namun jejak kedua mempelai tak mampu terendus sang anak. Dada Arch bergemuruh bagai guncangan dalam perut bumi yang siap melampiaskan amarah pada khilaf manusia.

Gerak teratur alat gerak bawah Arch diiringi tatapan memuja para kaum hawa sepanjang perlintasannya hingga alas kakinya tertahan pada ruangan khusus yang telah dipesan.

Arch menangkap penampakan pasangan suami istri beserta sekretaris mereka. Ketiga orang penting yang berbalut busana mewah tengah duduk santun menanti.

Arch menyapa dengan salam hangat. Mereka membalas salam dengan antusias. Merekapun saling memperkenalkan diri.

Arch mendaratkan tubuhnya pada tempat duduk kosong setelah dipersilakan. Mereka berbasa-basi sejenak sebelum sang klien terpesona penampilan Arch.

Klien Arch memiliki nama Rudy Newland. Pasangan hidup seorang Rudy merupakan pengusaha butik berdarah biru. Tuan Rudy memanggil sang belahan jiwa, Rita Beloved.

"Penampilan anda terlihat semakin berkilau, Tuan Arch. Seperti seorang pewaris tahta." Puji Tuan Rudy

Bibir Arch melengkung kecil. "Terima kasih, Tuan Rudy. Tapi sebenarnya bukan saya yang berkilau melainkan apa yang melekat pada badan saya."

Kedua pasutri tersenyum ceria dan saling pandang mesra. "Anda melebih-lebihkan Tuan Arch." Sahut Nyonya Rita merendah.

Pandangan Arch tak beralih dari aura kasih sayang yang begitu kuat dari pasangan yang telah berumur di hadapannya. Mereka hampir mendekati setengah abad. Namun kehangatannya bagai remaja puber yang baru merekah. Tiba-tiba bayangan mungil berkelebat memenuhi benak pewaris Monarch.

Arch menekan sudut matanya yang sedikit memanas.

Tuan Rudy menepuk bahu Arch. "Apa ada masalah, Tuan Arch?" Tanyanya sedikit cemas.

Arch menggeleng pelan. "Saya hanya teringat seseorang ketika melihat kebahagian kalian."

Nyonya Rita mengulum senyum. "Kekasih Anda?"

Arch menggeleng. "Bukan, saya tidak memiliki seorang kekasih. Dia hanya gadis sederhana yang bekerja keras untuk menyambung hidup. Dia sering berada di sekitar saya tanpa sengaja. Mungkin sebentar lagi saya akan kehilangan." Paparnya serak.

Dua sejoli saling melempar pandangan. Sementara sang asisten yang hanya akan mengeluarkan suara ketika kondisi penting, mengerutkan keningnya.

Arch menggeleng pelan. "Maaf, saya bercerita masalah pribadi. Mari kita lanjutkan mengenai pembahasan kerja sama kita."

Tuan Rudi tersenyum teduh. "Saya setuju bekerjasama dengan perusahaan keluarga Monarch."

Kedua mata jernih Arch melebar ketika Tuan Rudy meraih dan menjabat tangannya erat.

Dahi Arch berkerut heran. "Saya bahkan belum mengatakan apa-apa."

Tuan Rudy mengurai jemarinya. "Cukup kami mendengar bagaimana sosok wanita idaman anda telah menjelaskan pola pikir anda."

Arch menunduk sendu. "Saya minta maaf. Saya tidak bermaksud...."

Kedua tangan Tuan Rudy menepuk bahu Arch bangga. Dia menarik sebuah kotak gelap dari balik jasnya. Kemudian mengulurkan ke hadapan Arch sebelum menarik penutupnya.

Bibir Arch bergetar. "Mawar putih?"

Tuan Rudy meraih kelopak mawar tanpa tangkai sebelum menyematkan pada dada jas Arch.

Arch tak mampu berkata-kata. Dia masih setia bergeming. Kedua bola matanya bergulir pada dua sejoli di hadapannya.

Kedua jemari Nyonya Rita membelai pipinya yang merona. "Bunga itu adalah pasangan jas yang anda kenakan."

Kata pasangan sanggup menarik kenangan Arch pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Jas mewah yang melekat pada tubuhnya diciptakan memiliki pasangan sebuah gaun anggun. Pakaian seorang putri yang pernah melekat pada tubuh mungil gadis itu.

Arch resah pada sesuatu tak kasat mata yang menyerang jantungnya. Gadis muda itu kembali menari-nari dalam memori. Kata suka masih sulit dicerna. Jatuh hati merupakan frase yang terlalu dini. Lalu apa istilah yang tepat untuk hati yang terluka jika dia bersama pria lainnya?

Energi Arch mendadak menguap. Kekuataanya seolah lenyap. Tubuhnya tiada daya lagi untuk bangkit. Punggung tegap itu menyerah pada lelah hingga menyinggung sandaran tempat duduk.

Tuan Rudy, istri beserta sekretaris mereka beranjak. "Apa anda ingin bertemu gaun pengantin pasangan jas yang anda kenakan?" Sindir Nyonya Rita halus.

Arch tersentak. "Pernikahan ayah?"

Tuan Rudy tersenyum tipis. "Silakan ikuti kami!"

Arch beranjak kemudian mengekor para kliennya yang berangsur meninggalkan meja pertemuan.

***

Seorang penghulu sepuh berpeci dan jas gelap duduk gelisah di depan dekorasi pernikahan putih tulang berhias mawar-mawar segar. Pandangannya mengembara sejauh dinding pembatas ruangan yang telah terisi tamu undangan sebagian.

Penglihatan Pak Penghulu yang berhelai selembut kapas itu meneliti satu per satu pria penting yang duduk sopan tak jauh darinya.

Jemari Pak Penghulu menyinggung lengan panjang kemeja batik seorang pria gagah setengah abad. "Pak, apa calon mempelai wanita sudah siap?" Tanyanya memastikan.

Sang pria tinggi besar mengangguk mantap. "Mempelai wanita sudah siap. Dia berada di ruangan sebelah bersama kerabat-kerabat perempuan dan penata rias."

"Lalu bapak kandung dari mempelai wanita?" Tanya pak penghulu kemudian.

Pria berbalut batik mengulurkan telunjuknya. "Beliau Bapak Jimin Lee yang berada di sebelah kanan Pak Penghulu!"

Pak Penghulu menjabat tangan Jimin Lee erat. Jimin Lee mengangguk sopan.

Pak penghulu memicingkan kedua matanya dari balik lensa. Parasnya searah dengan dua pria dewasa yang duduk tenang di sisi pria berbalut batik.

"Saksi?" Tanya Pak Penghulu tanpa basa-basi.

Kedua pria mengangguk kompak. "Kami kerabat dari mempelai pria dan wanita." Sahut mereka.

Pandangan Pak Penghulu turun. Jemari kanannya mengamati susunan dokumen pada permukaan meja kaca jati. Sesaat kemudian kepalanya mengangguk-angguk pelan setelah menyelesaikan penjelajahan pada beberapa berkas.

Pak penghulu menarik bingkai lensa mata. "Lalu kemana calon mempelai pria?"

Pria berkemeja batik berbisik, "Sebentar lagi datang, Pak Penghulu."

"Jangan terlalu lama karena saya juga ada jadwal di tempat lain." Sahut Pak Penghulu memperingatkan.

Pria berbatik mengangguk pelan serta memamerkan ibu jarinya. Lehernya menjulur. Sepasang mata pria berbatik bergulir mengamati pintu masuk balai riung yang lengang. Semua tamu undangan ijab kabul telah hadir mengisi bangku-bangku yang telah tersedia.

Pria berbatik beranjak cemas. Beberapa kali ekor matanya melirik jarum jam berlapis berlian di pergelangan tangannya. Hingga muncul langkah percaya diri pasangan suami istri beserta sekretaris yang membimbing seorang pemuda di balik punggung mereka.

Ketika pasutri melintasi pintu utama balai riung, dua pria berbalut serba hitam bergegas mengawal sang pemuda dari dua sisi tubuhnya. Mereka telah bersiap di ambang pintu sebelumnya. Mereka bertubuh kekar, berpigmen penuh dan berparas tegas. Sepasang lensa normal sekelam jelaga melekat pada pangkal hidung mereka. Mereka menggiring sang pemuda mengikuti langkah mereka. Sementara pasutri beserta sekretaris menghampiri kursi tamu yang masih tersedia.

Pria berbatik menghampiri Pak Penghulu kembali. "Calon pengantin pria sudah tiba." Katanya mengabarkan.

Pak penghulu mengangguk. "Baik, bisa kita mulai sekarang."

Sementara itu ruangan kecil yang bersebelahan dengan balai riung penuh awan kelabu yang menggantung di langit-langit. Seorang gadis berbalut serba putih dengan gemilang berlian meneteskan butir-butir kristal tak berjeda sejak pertama mendapat sentuhan kuas.

Penata rias bersusah payah menghibur tapi kondisi hati sang gadis masih mendung enggan menjadi cerah. Beruntung teknologi mutakhir alat kecantikan mampu menyihir sang gadis tanpa harus memperbarui riasan meskipun isak tangis tak jua terkikis.

Beberapa perempuan kerabat dan tetangga dekat calon mempelai pria tak mampu berkata-kata. Mereka hanya bergeming dalam rahasia gundah hati. Hanya lantunan harapan hangat yang mengiringi batin masing-masing. Asa untuk kebaikan masa depan.

Penata rias muda memberikan selembar tisue untuk kesekian kalinya. "Nona, saya mohon berhentilah menangis. Saya yakin akan ada hal baik setelah ini." Hiburnya.

Sang gadis menerima uluran tangan penata rias tergesa. "Maaf, saya menyusahkan anda." Balasnya terisak yang hanya mendapat balasan gelengan kepala dari penata rias.

Jemari sang gadis yang berhias mahendi menyapu bekas air pada kedua tulang pipinya.

Ponsel wanita muda penata rias yang berada pada permukaan meja, bergetar. Jemarinya menyambar tergesa. Sekali usap jaringan komunikasi terhubung. Wanita muda yang berbalut gaun perpaduan satin dan tile itu tak banyak bercakap. Dia hanya menjawab suara di seberang dengan dua kata singkat.

Penata rias memandang sang calon pengantin wanita setelah menyelesaikan percakapan ponselnya. "Alhamdulillah, ijab kabul telah selesai dengan lancar. Mari kami antar menemui suami anda di balai riung."

Penata rias dan asistennya memandu tubuh sang mempelai wanita beranjak diikuti para wanita berbalut kebaya serupa kerabat dan tetangga mempelai pria.

Penata rias sedikit memberikan sentuhan pada bibir sang mempelai kemudian menata susunan gaun agar mekar bak permaisuri taman bunga. Penata rias mendekap lengan sang mempelai sebelum membimbing langkahnya perlahan menuju pintu yang menghubungkan ruangan.

Asisten penata rias telah bersiap di ambang pintu setelah mendorong daun pintu.

Para tamu undangan telah berdiri tegak memberikan penghormatan pada kedua mempelai yang akan dipersatukan.

Sang mempelai wanita melangkah gemulai dalam rundungan duka lara. Parasnya menunduk meratapi lantai granit yang dipijaknya hingga melintasi pintu penghubung balai riung.

Langkah penata rias tertahan diikuti sang mempelai wanita yang enggan memandang depan.

Seorang pria dewasa setengah abad berbalut batik lengan panjang telah menanti di depan singgasana pelaminan.

Suara berat mengalun. "Jasmine Sri Puspasari selamat datang di keluarga Monarch."

Sri masih setia memandang lantai. Kedua tangannya mengepal geram. Suara pria dewasa yang mengalun telah terekam dalam kenangan otaknya. Suara pria yang mengikatnya karena hutang piutang.

"Jasmine Sri, silakan temui suamimu!" Pinta suata berat itu lagi.

Sri mengangkat parasnya perlahan hingga menengadah. Pria dewasa setengah abad di hadapannya berbalut batik motif fauna lengan panjang, celana bahan hitam dan songkok tinggi.

Dahi Sri mengernyit. "Maksud, Anda?"

Sang pria menahan senyum. "Bukan panggilan Anda tapi Ayah. Ayah Juan!"

"Benar anakku, mari temuilah suamimu!" Pinta suara pria berumur lain mendukung ajakan Juan Monarch.

Sri berpaling pada suara pria kedua. Suara yang bahkan telah tertanam dalam kenangannya sejak belum menyambut dunia.

Bibir Sri membola. "Ayah...."

Wanita yang berdiri di sisi sang ayah mengumbar senyum haru. Wanita berbalut kebaya anggun berkilau mutiara.

Bibir Sri bergetar. "Ibu...."

Juan menggeser kedudukannya. "Silakan temui suamimu, putriku."

Jimin dan Jinten mengambil beberapa langkah mundur sehingga menampakkan sosok pria muda berpostur tinggi dalam balutan jas mewah. Sekuntum mawar suci tersemat di dada. Pria muda itu tegap penuh percaya diri. Paras gagah berpahat mata tajam, hidung tinggi dan rahang tegas.

Sepasang bola mata gelap Sri enggan berkedip. Retinanya tak lelah membidik sosok yang mengikis jarak perlahan. Jantung Sri seolah akan terjun bebas ketika hanya hembusan napas yang menjadi pembatas keduanya. Hidung runcing dan mungil Sri bahkan hampir menyentuh sang mempelai Pria.

Tangan sang mempelai pria terulur membelai ujung kain penutup kepala Sri. "Aku suka kerudungmu, Cantik! Tetaplah seperti ini!"

Bibir Sri bergetar menumpahkan isak yang kembali melanda. Kali ini bukan nestapa melainkan lega.

"Danaus Monarch," lirih Sri.

***