Chereads / AKU KABUR KAU KEPUNG / Chapter 28 - Sohib Jadi Ipar

Chapter 28 - Sohib Jadi Ipar

Sri menunduk menekuri trotoar sepanjang jalan utama menuju kos tempat tinggalnya. Selepas maghrib berjamaah tadi Arch menyanggupi mengantar sang istri ke sana. Arch melangkah santai mengiringinya. Perjalanan dua sejoli dalam malam bernaung kerlip pelita jalan. Sri masih menutup suara sepanjang setengah perjalanan. Sementara Arch bersenandung lirih.

Arch berbalut kaos lengan panjang dan celana cargo. Topi produksi perusahan perlengkapan naik gunung melindungi kepalanya. Sri berbalut bergo gelap dan pakaian terusan bermotif bunga cerah.

Arch melirik Sri. "Apa sudah hampir sampai?" Tanyanya membuka percakapan.

Sri berpaling pada Arch. "Belum."

Arch melempar pandangan ke arah depan. "Lumayan jauh juga, ya! Harusnya kita bawa mobil tadi."

Sri menahan langkah tiba-tiba. "Jangan!" Sergahnya cepat.

Sepasang tungkai Arch menunda gerakan selanjutnya. "Memang kenapa?"

Sri menggaruk kepalanya. "Tidak kenapa-kenapa. Aku hanya tidak ingin memancing perhatian."

Arch menghirup udara malam yang lembab. "Sebenarnya apa alasan kamu mengendap-endap dan turun dari balkon lantai dua?" Tanya Arch meminta jawaban.

Sri menunduk menyembunyikan sepasang pipi yang merona.

Paras Arch menjorok pada Sri. Sesaat dia asyik mencermati kondisi wajah Sri sebelum terkikik geli.

Sri melempar tatapan kesal pada Arch. "Apanya yang lucu?" Protesnya.

Telunjuk Arch menyinggung ujung hidung Sri. "Kamu!"

Sri mengerucutkan bibirnya.

Arch mempersempit celah dengan Sri. "Sekarang aku tahu apa alasan kamu kabur. Pasti kamu sedang memikirkan malam pertama, kan? Kecil-kecil otaknya mesum terus berencana kabur deh!"

Sri melotot geram. Ibu jari dan telunjuk kanannya bersatu padu menyerang lengan atas Arch. Arch memekik kesakitan. Dia besusah payah mengelak. Namun serangan Sri semakin membabi buta.

Arch berjingkat-jingkat dalam lebar tawa. Dia selalu berhasil menghindar setelah menderita satu pelintiran di lengan.

Arch membekuk kedua tangan Sri. "Marah berarti benar!" Ledeknya.

Lengan Sri bergerak gusar. Dia mencoba membebaskan diri. Namun Arch justru menyentak tubuh mungil Sri hingga mereka tak bercelah.

Keduanya saling beradu pandangan. Iris cerah melawan iris gelap. Arch kesulitan menahan tawa. Pria tampan itu tak mampu merahasiakan rasa nyaman yang datang. Sementara Sri kesusahan mengambil napas. Dia tak sanggup mencegah dadanya yang siap meletup.

Arch menyeringai. "Kamu pikir aku sebringas itu? Pernikahan ini terjadi karena paksaan dan sangat mendadak. Aku sama sekali tidak terpikir hal itu. Tapi tingkahmu yang aneh dan detak jantungmu yang berisik memberikan jawabannya."

Sri yang merona menjulurkan lidah. "Kamu terlalu percaya diri." Celetuknya.

Arch mengangguk. "Ya, karena aku terlalu tampan sehingga aku terlalu percaya diri."

Sri menggembungkan pipinya.

Arch menciptakan pergerakan tiba-tiba mempertemukan permukaan bibir mereka. "Hukuman untuk bocah yang pikirannya mesum. Dasar, kecil-kecil otak ngeres." Desahnya meledek.

Sri terperanjat. Sekali lagi jantungnya dalam kondisi darurat. Semoga katahanan tubuhnya mencegahnya berbaring di ranjang ICU. Sri berharap kesehatan alat pemompa darahnya tidak perlu penanganan intensif dari spesialis.

Sri terkesiap untuk kesekian kalinya mendengar bisikan Arch yang mendesah. Dia menggoyangkan kepala sebelum menyusul Arch yang kabur.

Sri mengacungkan kepalan tangannya. "Awas kamu, Arch! Aku tidak akan pernah melepaskanmu!" Ancamnya.

Arch sengaja memperlambat aksi melarikan diri agar Sri dapat menggapainya. "Kamu benar, Sri! Jangan pernah lepaskan pria tampan seperti aku!"

Dua pengantin paksaan saling memburu satu sama lain dalam gemuruh tawa bahagia. Hati Sri yang dongkol menghayati kebersamaan mereka dalam canda tawa. Hingga tak terasa mereka tiba di lokasi kontrakan para karyawan.

Sri meraih lengan kekar Arch sebelum menyeretnya menghampiri kamarnya. Sri mengaitkan kunci kemudian memutar sekali. Dia mendesak pintu perlahan diiringi salam.

Sri mempersilakan Arch melintasi ambang pintu. Mereka segera bahu-membahu mengemas barang-barang Sri yang hanya beberapa saja.

Sri menyeka aliran pada pelipisnya. "Arch, aku mau membeli teh hangat di depan, ya!" Pamitnya.

Arch yang sedang menyusun buku modul kuliah dalam kardus menoleh sejenak. Ibu jari kanannya terjulur tegas.

Sri melenggang menjauhi pintu kamar kosnya. Dia kembali menekuri jalan yang telah dilewati untuk menemui jalan raya. Bayangan penjual minuman tepi jalan terpantul pada retinanya. Dia hanya membutuhkan sepuluh langkah menghampirinya dari tempatnya berpijak.

Sri mengulurkan uang untuk dua cup besar teh hangat yang diterima. Sri undur diri setelah mengucapkan penghargaan pada pelayanan ramah penjual.

Sri tegak di tepi jalan. Matanya menatap riang dua minuman sejenis dalam genggamannya. Bayangan Arch melintasi benaknya. Arch yang garang di awal pertemuan mereka ternyata seorang pria jahil, usil dan gemar menggoda.

Sri tersenyum seorang diri merasakan denyutan sumbang jantungnya yang telah menjadi biasa. Terbiasa jatuh pada Arch.

Bunyi langkah berat menyita perhatian Sri sejenak. Dia menengadah pada sosok tinggi yang menahan langkah di hadapannya. Sosok pria muda berbalut setelan jas dan kaos leher tinggi di dalamnya.

Bibir sang pria muda melengkung ramah. "Maaf, kamu salah satu karyawan di Pavo Muticus Resto, kan?" Sapanya.

Sri mengangguk pelan. Matanya mengamati pahatan paras lembut yang santun. Pria berkelopak sayu, berkulit pucat, berhidung ramping dan bibir tipis.

Bibir Sri membulat. "Anda Tuan Belcher Pavo? Tuan Muda pemilik Pavo Muticus Resto?" Tebak Sri.

Pemuda bernama Belcher membenarkan tebakannya. "Maaf, kita memang belum pernah bersapa sebelumnya tapi saya mengenal wajah-wajah karyawan saya. Mungkin karena saya hanya sekali sepekan berkunjung ke resto sehingga tidak begitu akrab dengan mereka."

Malam ini pertama kalinya Sri bertegur sapa dengan atasannya. Dia hanya mengingat paras sang pemilik resto dari foto keluarga yang terpancang pada dinding ruangan supervisor. Ibu Grenadine pasti memaparkan sosok-sosok dalam bingkai kepada karyawan baru.

Sri sedikit terkejut sang bos mengingat dirinya meskipun kerudung telah menutup raganya sejak hari ini.

"Maaf, saya lupa siapa namamu? Hari ini kamu ijin cuti, kan? Laporannya saya terima via email dari Bu Grenadine." Tanya sang bos resto.

Sri mengangguk. "Saya Sri. Saya cuti hari ini dan hari minggu, Pak Belcher!"

Belcher tampak mengangguk beberapa kali. "Besok kamu masuk kerja, kan? Saya sangat berharap seluruh karyawan masuk kerja karena resto kita dapat pesanan besar untuk acara pernikahan megah salah satu orang penting negeri ini."

Sri mengangguk yakin. "Iya, Pak Belcher. Besok saya masuk siang."

Jemari Belcher Pavo saling terjalin. "Saya masih ada sedikit urusan dengan klien di cafe dekat sini. Saya pamit undur diri. Jangan lupa untuk besok!"

Sri kembali menyanggupi. Matanya mengekor sang bos yang tengah melenggang menjauhinya.

***

Leopard Adnando Monarch, putra tengah keluarga Monarch. Satu-satunya putra Monarch yang dianugerahi nama tengah. Pemuda sederhana dengan nasib anak raja. Pemuda tampan yang tengah meratapi konsekuensi dari jatuh cinta. Patah arang sebelum sempat berjuang mati-matian. Dia kalah oleh istilah kuno bernama perjodohan.

Leo sedikit menggeser kebiasaan lamanya. Kumal menjelma rapi meskipun gaya hidup tetap bersahaja. Semerbak aroma maskulin tertinggal ketika sosoknya melintas. Beberapa gadis kekinian yang pernah merendahkannya, kini terkesima sihirnya.

Leo menyapa beberapa kawan kampus ketika berpapasan di koridor lantai dua. Pandangannya sesekali beredar dari satu sudut ke sudut lain. Sepasang matanya bergerak gelisah akan keberadaan seseorang.

Leo mengurungkan niat menggengam gagang pintu ruang dosen. Pintu bergerak dari dalam. Leo mengambil satu langkah ke belakang untuk memberi ruang. Tampaklah perempuan berhelai terurai muncul dari balik ruang dosen.

Sang gadis cantik menaikkan alisnya. "Mau apa kesini?" Tanyanya ingin tahu.

Leo mendesah cepat. "Jangan tanya jika sudah mengetahui ini adalah ruang dosen."

Si gadis menyibak rambutnya yang harum. "Formal sekali hari ini. Penampilan keren tapi wajah kusut. Pasti kamu sudah menemukan siapa suaminya Sri?"

Leo menggeser tubuh sang rekan kampus. "Suci, aku harus segera menemui Pak irvine hari ini."

Suci bersikeras mempertahankan kedudukannya. "Ini masih terlalu pagi. Pak Irvine belum ada. Mungkin beliau akan datang satu jam lagi."

Leo mendesah panjang. Tubuhnya berbalik setengah limgkaran dan menjauhi sang kawan.

Suci yang cantik dengan dress motif bunga sepanjang lutut menyusul Leo. "Leo, kamu mau kemana? Kamu belum bercerita tentang Sri."

Tungkai Leo tetap mengayun. "Buat apa? Toh juga tidak ada hubungannya denganmu!" Balasnya datar.

Derap langkah sepatu flat Suci besusah payah menyamai kecepatan Leo. "Apa kamu bilang dengan tidak ada hubungannya denganku? Ingat, kamu sudah melibatkan aku ketika di butik baju pengantin."

Leo menahan langkahnya mendadak. Dia memutar punggungnya. Suci yang sulit mengendalikan langkah hampir berbenturan dengan tubuh Leo. Tangan Leo mencegah sang kawan terjengkang.

Leo menghampiri bangku koridor terdekat. Suci mengekor di balik punggung Leo. Mereka mendaratkan tubuh pada bangku panjang di depan ruang praktikum komputer yang lengang.

Leo membungkam. Kepalanya tertunduk menghadap lantai.

Suci melirik Leo hati-hati. "Jadi siapa suami Sri? Apa benar pria bernama Luhur Guardi?"

Leo menarik napas."Iya, istri Luhur Guardi bernama Sri." Jawabnya.

Suci Melotot.

"Sri Handayani." Lanjut Leo kalem.

Suci membenturkan punggungnya pada dinding. "Berarti Sri tidak jadi menikah saat ini?" Tebaknya.

Leo memainkan bibirnya bosan. Beberapa saat hening melintasi keduanya.

Suci mengguncang lengan temannya. "Leo?"

Leo menegakkan punggungnya. "Dia sudah menikah!"

Suci kembali mengguncang lengan Leo untuk mendapat informasi secepat gosip tetangga. Dia enggan satu detikpun terbelenggu rasa penasaran.

Leo berpaling pada Suci. "Kakakku. Dia menikahi kakak kandungku."

Suci membelalak. "Nah, berarti benar bestie kamu itu halu. Untung saja aku tidak menceritakan padamu apa yang dia katakan."

Alis tebal Leo meninggi sebelah. "Apa maksudmu dengan halu?"

Suci melipat lengannya. "Iya, dia bilang calon suaminya itu Juan Monarch. Pengusaha nasional, duda tampan dan kaya raya itu. Apa tidak halusinasi namanya?"

Leo mengernyitkan dahinya. Otaknya berproses untuk beberapa detik sebelum data-data nyata terkumpul.

Suci terkekeh. "Aku pikir kehidupan ternyata drama sinetron bertema cinta sang adik ditikung kakak sendiri."

Leo menggigit bibir bawahnya. "Mereka dijodohkan."

Suci menjentikkan dua jarinya. "Benar, mereka dijodohkan oleh Tuhan." Sahutnya.

Leo memijit pelipisnya. "Ayahku yang memaksa mereka menikah."

Suci melonjak kaget. "Wow, setahuku istilah perjodohan biasanya digunakan untuk kalangan atas. Ternyata ada juga ya perjodohan di lingkungan kaum mendang-mending?"

Leo beranjak dalam helaan napas lelah. Dia berlalu begitu saja tanpa kata. Suci kembali menyusul langkah sang pria hingga tangga menuju lantai dasar.

Leo menahan langkahnya di ujung tangga ketika beberapa mahasiswi melintasinya. Mereka mendiskusikan hal serius di sela-sela langkah mereka.

"Apa? Danaus Monarch menikah? Pria tampan, mapan dan menawan putra dari duda terdepan itu?" Tanya seorang gadis berambut pendek terkejut.

Teman-temannya mengangguki. "Pernikahan mereka dadakan dan belum diketahui siapa istri Danaus Monarch. Itulah yang membuat para pecintanya geram." Jawab salah satu mewakili.

Langkah beberapa gadis itu mengarah pada koridor lantai ruang praktikum. Sosok mereka mulai menjauh tapi gelegar percakapan pedas masih mampu ditangkap gendang telinga dua makhluk di ujung tangga. Nada bicara sekelompok gadis itu terdengar merendahkan istri sang pria idola yang entah siapa.

"Danaus Fanbase yang ada di salah satu aplikasi sosmed akan membuat perhitungan dengan istri Danaus besok di acara resepsi besar mereka." Papar sebuah suara cempreng memberi informasi.

Suara besar lain menimpali dengan tanya, "Apa di antara kalian ada yang berniat ikut serta rencana membahayakan itu?"

Hening mengikuti pertanyaan terakhir.

Beberapa saat kemudian seorang dari mereka menyatakan menolak karena terlalu berisiko dan beberapa yang lain masih ragu. Belum ada yang lantang menyuarakan sepakat dengan rencana durjana itu.

Suci mengernyit menyaksikan Leo membatu. "Kenapa?"

Leo mulai menuruni tangga selangkah demi selangkah masih diikuti Suci di balik punggungnya. Leo mengabaikan pertanyaan singkat Suci.

Suci mempercepat langkah setelah meninggalkan anak tangga. Dia berusaha mengimbangi langkah lebar Leo hingga melintasi lobi kampus.

Leo menuruni serambi kampus yang bersusun. Langkahnya mengarah pada taman kampus yang bersebelahan dengan lahan parkir.

Leo mendaratkan tubunya pada permukaan bangku. Suci masih setia menapaki jejak Leo dan duduk di sisinya.

Leo berpaling pada Suci. "Jadi Danaus Monarch punya klub penggermar yang semenakutkan itu?" Tanya Leo tiba-tiba.

Suci mengangguk.

Leo mengepalkan tangan kanannya geram. "Bagaimana caranya agar bisa mengetahui apa rencana para penggemar itu?"

Suci melotot heran. "Kamu berminat pada Danaus Monarch?" Tanyanya menjawab pertanyaan.

Leo menggeleng tegas. "Ini bukan tentang Danaus Monarch. Ini tentang keselamatan seseorang."

Suci bergeming sejenak sebelum membuka suara. "Kamu ikuti halaman penggemar di sosmed setelah itu kirim pesan secara langsung pada pengurus halaman itu. Jika beruntung mereka akan menambahkanmu pada grup percakapan."

Leo mencerna perkataan Suci.

"Tapi mereka tidak sembarangan mempercayai orang." Lanjut Suci menambahi.

***