Sri memekik sekuat tenapa tapi suaranya hanya sanggup kembali tertelan. Sepasang tangan lentik beraroma bunga membungkam bibir Sri dari belakang. Sri memberontak. Raganya tak menyerah untuk dapat melepaskan diri dari jeratan orang tak diketahui.
Sepasang mata Sri melebar ketika sepasang tangan asing memutar tubuhnya setengah lingkaran. Bayangan pelaku yang tengah menyinggungkan telunjuk pada tepi bibir, terpantul pada retinya.
"Sri, aku mohon jangan berisik!" Nasihat sang pelaku lirih.
Sri mengangguk pelan. Pandangannya masih menyorot penampakan gadis berbalut dress motif tulip sepanjang lutut. Mahkota kepala munjuntai hingga punggung. Paras yang cantik berbedak tipis dengan sapuan perona pada pipi dan permukaan bibirnya.
Gadis itu menepuk bahu Sri. "Kamu baik-baik saja, kan?" Tanya rekan Sri khawatir.
Sri mengangguk pelan. "Terima kasih, Suci!" Ucapnya tulus.
Nadine Suci Prameswari, rekan satu angkatan Sri yang banyak berjasa membantu memudahkan rencana Leo dalam penggagalan tindak kriminal para penggemar gila Danaus Monarch. Detik ini Suci kembali mengulurkan tangan memberi pertolongan pada Sri.
Sesuatu yang melintasi otak Sri tiba-tiba, berhasil memompa jantungnya lebih cepat. "Murni! Murni jatuh di jalanan menuju belakang gedung perkuliahan. Ayo kita kembali untuk menolongnya!" Pekiknya panik.
Sepasang mata indah Suci membola.
Sri meraih lengan Suci. Namun Suci justru menggenggam jemari Sri dan menahan langkah rekan kampusnya itu.
Suci menggeleng pelan. "Tenang, Sri! Leo sudah mengatasi semuanya." Ujarnya menenangkan.
Sri mengernyit. "Kenapa bisa Leo?"
Bibir Suci melengkung tipis. Dia hanya mengangguk tanpa memberi penjelasan. Jemarinya mendekap pergelangan Sri lalu membimbingnya melintasi pintu belakang gedung.
Mereka mengendap-endap.
Suci melirik daerah sekitarnya yang memang lengang. "Kita lewat tangga di sudut yang dekat toilet lantai satu untuk menuju lantai dua. Aku yakin di sana aman karena jarang dilalui orang. Kita harus segera masuk ruang kelas sebelum terlambat." Usulnya.
Sri hanya mampu patuh dan mengikuti alur gagasan Suci. Mereka melintasi toilet untuk mendaki satu per satu anak tangga menuju lantai dua. Mereka mampu mengempaskan napas lega ketika telah menginjak lantai dua. Suasana senyap menyambut mereka. Ruang kelas pagi hanya berjarak dua ruangan dari tempat mereka berpijak.
Suci masih mengamankan pergelangan Sri. "Masuk ruang kelas lebih aman karena ada dosen." Ujarnya.
Sri tersenyum tipis. Alas kakinya mulai kembali berayun mengikuti panduan Suci. Namun nasib sial seolah sulit dibendung meskipun telah berkali-kali kabur. Ombak para penggemar Danaus Monarch menghampiri dengan kecepatan maksimal.
Sri dan Suci menahan langkah. Mimik ketakutan keduanya mengunci semua jalur berpikir dalam benak mereka.
Tangan Suci bergetar. "Apa yang harus kita lakukan, Sri?" Tanyanya bersuara parau.
Sri menuntun langkah sang kawan. "Kita kembali ke lantai satu!"
Suci menahan. "Jangan! Di bawah juga sudah banyak penggemar suamimu!"
Teriakan, jeritan dan pekikan histeris para penggemar Danaus Monarch seakan membangkitkan euforia konser idola. Namun nama sang istri idola yang justru memantul memenuhi dinding lantai dua.
Sri menekan lengan Suci. "Sementara kita bersembunyi di toilet wanita sembari meminta bantuan!" Usulnya.
Suci masih bergeming dengan tatapan kosong.
Tiba-tiba sesosok pria menjulang memacu tungkainya dari arah yang tak terduga. Sosok menawan berbalut gaya kekinian itu mengurangi kecepatannya lalu berdiri tegak memunggungi dua teman kampusnya.
Kehadiarannya tepat waktu sebelum terjadi aksi brutal penggemar yang memalukan. Pria yang tampak gagah dengan kemeja motif kotak melapisi kaos putih polos.
Tangannya merentang. "Kalian mengapa berbondong-bondong sepagi ini?" Tanyanya tegas.
Kelompok besar penggemar sedikit melandaikan volume histeria mereka. Sementara Sri dan Suci menunduk di balik punggung lebar sang pria.
Seorang penggemar dari jurusan tetangga menjulurkan kamera profesionalnya. "Kami hanya ingin berfoto dan bersalaman dengan Nyonya Muda istri Danaus Monarch. Kami ikut bangga salah seorang mahasiswi kampus ini bisa menjadi Nyonya Monarch."
Sang pria penyelamat mendesah panjang. "Jika hanya ingin beramah tamah tidak harus mengejar-ngejar seperti ini, kan?"
Mahasiswa berpotongan cepak nenimpali, "Kami tidak bermaksud merepotkan hanya saja kami takut keduluan sama penggemar yang lain. Selain itu aku juga ingin tahu kisah cinta mereka hingga pelaminan."
Seorang gadis bertubuh gempal di tengah kerumunan melambaikan lengan. "Kamu itu Kak Leopard, kan? Dulu dia Leo yang sederhana itu. Ternyata Dia putra kedua keluarga Monarch!"
Leo memukul keningnya pelan. Keputusannya menjadi sejati dirinya ternyata membawa masalah. Dia menyembunyikan lengan kiri di balik punggung. Tangannya bergerak memberi isyarat pada dua gadis di belakangnya untuk segera melarikan diri.
Gadis kurus lain menimpali. "Leopard Adnando Monarch! Dia adik kandung Danaus Monarch!"
Suara teriakan kembali berpadu dalam harmoni tak keruan. Hingga akibatnya telinga Leo mendenging nyeri.
Sri dan Suci mengendap-endap rendah melintasi sisi kerumunan massa untuk menghampiri ruang kelas kuliah pagi. Dengan langkah hening gadis berhijab dan gadis bersurai panjang selamat hingga melintasi daun pintu kelas.
Sepasang tangan Leo menggenggam dua sisi strap bahu ransel. Alas sepatunya memasang posisi kuda-kuda siap melangkah lebar. Ketika kerumunan penggemar mulai meraih seluruh bagian raganya, Leo meluncur gesit di antara puluhan pasang kaki.
Leo memacu gerak tungkai disertai ayunan dua lengan kokoh yang bersinergi. Leo seolah bisa merasakan nasib para tokoh utama dalam film horor zombie. Sosoknya diburu keruman manusia-manusia yang tengah haus. Namun dalam dunia nyata mereka bukan haus cairan aroma besi melainkan haus informasi.
Leo mengayuh langkah sekuat daya hingga menemui tangga bagian tengah yang menuju lantai satu. Pemuda itu berselancar pada pembatas tangga yang licin hingga menginjak lantai satu.
Laju sepasang tungkai Leo tetap melesat stabil hingga melintas lobi gedung kampus. Kemudian langkah Leo menikung pada salah satu koridor bercabang dalam lobi.
Langkahnya yang trengginas tertahan pada ruangan tertutup di ujung lorong. Tangannya menggeser gagang pintu sebelum raganya menghilang dalam lenyap.
Tubuh Leo menyinggung dinding ruangan kemudian meluncur perlahan hingga beradu dengan lantai. Napasnya terengah-engah ditemani tingginya susunan kardus cairan pembersih ruangan dan setumpuk alat kebersihan yang tercampak di sudut dinding.
Jantungnya kembali berdentum ketika pintu gudang kebersihan terdorong dari luar. Matanya yang melebar kembali menyipit ketika bayangan dua orang yang dikenalnya terpantul pada retina. Seorang pemuda tampan tengah memapah gadis yang hanya mampu menahan nyeri.
Leo beranjak cepat. "Devran, apa yang terjadi?" Tanyanya khawatir.
Devran Gazi, pemuda berhelai ikal dan miskin pigmen. Kulitnya selembut kapas saat musim dingin di benua eropa. Irisnya yang cokelat muda bagai aliran sumber mata air pegunungan.
Devran perlahan merendahkan tubuhnya lalu menolong gadis dalam lengannya untuk bersandar nyaman pada dinding.
Sang gadis hanya mampu menyeringai menahan cidera.
Devran menunduk sesal. "Bos, maafkan saya. Saya terlambat menyelamatkan Mbak Murni!" Ujarnya.
Lengan Murni menyodok rusuk Devran. "Enak aja kamu manggil mbak-mbak begitu." Protesnya sembari menahan nyeri.
Devran menggaruk rambut ikalnya yang berkilau. "Maaf, Mbak Murni. Saya kan harus menghormati kakak tingkat yang lebih tua dari saya!"
Murni sekali lagi menyenggol rusuk Devran. "Panggil Murni! Lagian kamu ini sok kenal banget" Ketusnya.
Devran mengukurkan telapak tangannya. "Iya Murni. Saya Devran!"
Murni menepis tangan Devran. "Ga ada yang ngajak kamu kenalan!"
Devran mendesah kesal. Bola matanya berotasii jenuh.
Leo menepuk bahu Murni. Brigita Murnisari, gadis manis kekinian sahabat karib Suci. Jika Suci putri seorang pengusaha garmen, Murni merupakan anak tunggal pengusaha tambang di luar pulau.
Murni menatap Leo canggung. Retinanya sulit memahami pria tampan rupawan di hadapannya tak lain rekan seangkatan yang dulunya terkenal lusuh.
"Masih nyeri?" Tanya Leo sedikit cemas.
Murni mengangguk kikuk.
Leo meraih pergelangan kaki Murni yang cerah terawat. "Maafkan Devran. Dia temanku meskipun lebih muda. Aku yang memintanya menyelamatkanmu tadi."
Devran tersenyum malu-malu. "Terima kasih, Bos, sudah menganggap saya teman." Sahutnya cengengesan.
Leo berpaling sejenak pada Devran lalu mengangguk pelan.
Kedua tangan Leo menggengam pergelangan kaki Murni pada titik tertentu. "Kamu tahan sebentar." Pintanya.
Murni menggigit bibirnya dalam anggukan.
Murni membungkam bibirnya sendiri. Retinanya menangkap geseran kecil di antar tangan Leo. Dia merasakan desiran seperti menerima pukulan martil pada pergelangan kaki dalam waktu kurang dari satu detik. Setitik air mata sang gadis menjadi peredam cidera. Selisih beberapa menit kemudian rasa nyaman kembali menyelimuti pergelangan kakinya.
***
Sri bersandar pada bangku serambi restoran tempatnya mengais rezeki. Latar belakang jingga sore menghiasi restoran yang tengah lengang. Dia duduk saling bersebrangan dengan sang sahabat dan hanya terpisah sebuah meja jati. Leo menikmati jus alpukat susu coklat di hadapannya.
Sri menyorongkan amplop coklat persegi panjang. "Leo, terima kasih untuk semua bantuan darimu. Aku mengembalikan dengan ikhlas sebagai bentuk penghargaan untukmu."
Leo mengulum senyum. "Kamu yakin memberi uang seorang Monarch?" Candanya.
Sri menenggak setengah botol air mineral. "Meskipun kamu anak raja timur tengah terkaya sekalipun, aku tetap akan mengembalikannya!" Sahutnya tegas.
Leo mengangguk pelan. "Baik, aku terima. Terima kasih." Putusnya.
Bibir Sri melengkung. "Dengan senang hati."
Leo menandaskan segelas jus kegemarannya pesanan Sri untuknya.
Sri mengamati jaket gelap tebal yang membungkus kemeja mahal Leo. "Kamu masih bekerja di ekspedisi?"
Leo mengangguk.
Jemari Sri memainkan mulut botol. "Kenapa kamu berubah saat di kampus?"
Leo mendesah panjang. "Aku tidak berubah. Aku justru menjadi diriku yang sebenarnya."
Sri memejamkan matanya. "Kamu benar."
Leo melempar punggungnya pada bangku. "Sebenarnya niat aku menjadi orang biasa karena ingin mendapatkan seseorang yang memerimaku apa adanya. Aku telah menemukannya tapi sayang sekali dia diambil oleh kakakku."
Tangan Sri mendekap tubuh botol mineral hingga sedikit cekung. "Maafkan aku, Leo! Kita berada pada posisi yang kurang tepat. Masa depanmu cerah dan jangan sampai terhenti karena menikah terlalu muda."
Leo tertawa getir. "Jika bersamaku setidaknya kamu bersama orang yang mencintaimu. Saat itu Arch pernah mengatakan tidak memiliki perasaan apa-apa."
Sri menunduk. Sepasang retinanya menekuri permukaan meja. Bibirnya mendadak kaku. Dia hanya mampu menelan ludah kelu. Penuturan sang sahabat mampu meretakkan harapan Sri pada hati Arch.
Leo tertawa kecil seolah melepaskan beban perasaan. "Memang sudah digariskan seperti ini. Aku sudah menerima kamu sebagai kakak iparku." Paparnya tulus
Sri menengadah. Bibirnya melengkung terhipnotis garis wajah Leo yang tampak ringan. Paras pemuda menawan itu kembali memancarkan aura sahabat seperti pertama kali mereka berkawan.
Lengan Sri saling bertumpu pada permukaan meja. "Kamu dan Murni kenapa tidak terlihat dalam kelas pagi ini?"
Leo mengusap parasnya. "Aku, Devran dan Murni terjebak di gudang alat kebersihan. Hingga kami harus menghubungi keamanan kampus untuk membubarkan massa penggemar suamimu. Aku sudah meminta izin pada dosen kelas."
Sri memainkan ujung kerudungnya. "Terima kasih untuk yang kesekian kalinya."
Leo menggeleng. "Sudahlah, hal itu tidak harus dipikirkan. Aku sepertinya akan kembali bekerja. Kamu pulang kerja jam berapa?"
Sri melirik jam lingkaran pada dinding serambi restoran. "Sekitar satu jam lagi."
"Arch akan menjemputmu sepulang kerja?" Tebak Leo memastikan.
Sri mengangguk pelan.
Leo beranjak lalu pamit undur diri.
***
Sri merapikan kembali meja pelanggan pada serambi restoran setelah Leo berlalu. Dia meraih dua gelas kotor untuk diantar menuju dapur bagian tempat cuci piring. Sri mendaratkan dua gelas kotor bersama tumpukan piring lain dalam wastafel dapur
Dia menyingsingkan dua lengan pakaiannya ketika panggilan sang pemilik restoran menyentuh gendang telinga. Tangannya segera memutar kembali kran dalam posisi tertutup.
Sri menoleh. "Iya, Pak Belcher. Ada hal lain yang harus saya kerjakan?"
Belcher tersenyum simpul. "Kamu pulang jam enam sore, kan? Kamu boleh pulang sekarang karena saya ingin meminta tolong."
Sri kembali merapikan lengan bajunya. "Apa yang harus saya lakukan, Pak?"
Belcher mengulurkan secarik kertas yang segera disambut heran tangan Sri. "Salah seorang pelayan restoran saya, Birian, sudah empat hari tidak bekerja karena sakit. Saya memintamu dan Ningsih menjenguknya sekarang."
Sri menelusuri deretan kata pada permukaan kertas. "Ini alamatnya, Pak?"
Belcher mengangguk. "Saya khawatir dia tidak bisa berobat karena kesulitan dana. Ningsih sedang mempersiapkan makanan dari dapur restoran untuk dibawa. Besok tagihannya letakkan saja di ruangan saya."
Sri mengangguk semangat. "Baik, Pak!"
Belcher membelai dagunya. "Kalian coba tanya Birian tentang biaya berobatnya, saya akan membantu dana."
Sri mengacungkan ibu jarinya. "Laksanakan, Pak!"
Sri membungkuk sopan lalu mohon ijin undur diri. Namun tepukan lembut pada bahu Sri menahan langkahnya.
Belcher menatap dalam retina Sri. "Mulai besok saya meminta kamu menjadi pelayan restoran. Seorang pelayan senior saya tugaskan menggantikan kasir yang sedang cuti melahirkan."
Sri terkesiap. Sepasang mata tajam Belcher menanamkan heran pada benaknya. Dia melampar pandangannya acak untuk mengalihkan fokus sang atasan.
Belcher mengerutkan keningnya. "Bagaiamana, Sri?" Tanyanya mengulangi.
Sri mengulurkan tangan kanannya setinggi kening. "Siap, Pak!"
Sri dan Ningsih tiba pada jalan kampung yang sesuai secarik kertas pemberian pemilik restoran. Mereka turun dari alat transportasi tradisional berbahan bakar nasi uduk. Ningsih mengulurkan beberapa lembar uang kertas dan ucapan terima kasih pada abang becak.
Sri menengadah pada gerbang jalan desa yang menjulang bertulis deretan nama sebuah nama kelurahan. Mereka melangkah beriringan sambil mengedarkan pandangan. Jalan kampung sedang lengang. Mereka melintasi barisan rumah-rumah lega berdinding tradisional kayu jati.
Perhatian mereka terusik pekikan-pekikan rusuh pada pelataran rumah besar berlantai dua. Kedua gadis itu bergegas menghampiri seorang wanita setengah baya yang tak berdaya menghadapi tiga pria kekar.
Ningsih melangkah mendahului Sri. Dia membantu sang wanita tua yang tersungkur nelangsa pada permukaan bumi.
"Ibu tidak apa-apa?" Tanya Ningsih khawatir.
Sang wanita tua hanya sanggup tersedu tanpa bisa memberi balasan.
Seorang pria kekar berotot bertolak pinggang. "Siapa kamu? Jangan ikut campur urusan kami! Dia punya hutang pada bos kami. Pokok dan bunga belum lunas seluruhnya."
Sri menaikkan sebelah alisnya. Suara yang melintasi gendang telinga sangat dikenal memorinya. Suara pria lain pun menimpali lalu diikuti suara ketiga.
Sri melesat menghampiri tiga preman yang mulai bringas menghadapi seorang wanita tua dan gadis. Sri menghadang mereka. Sang preman pembawa arsip menahan niatnya menampar perempuan mungil berhijab di hadapannya.
Sri melotot garang. "Ayo, pukul saya! Kalian akan..." ancamnya disertai gerakan tangan menggesek leher.
Ketiga preman mengambil beberapa langkah mundur lalu menunduk takut menjadi pengangguran.
Sri melipat lengannya. "Ayah Juan telah memutuskan menghapus bunga pinjaman. Jika ada nasabah yang membayar melebihi pokok, maka akan dikembalikan pada yang berhak. Lalu kenapa kalian masih menagih bunga?" Tanya Sri tegas dan keras.
Mereka kembali menunduk. "Maaf Bos, kami belum update informasi!" Sesal seorang preman penggemar rantai celana.
Ningsih dan wanita tua berguman serempak. "Bos?"
Beberapa warga yang melintas tercengang mendengar penuturan para preman penagih hutang. Mereka berbondong-bondong mengitari drama preman dan peminjam.
Seorang pria lansia memandang Sri tajam. "Jadi mbak yang sok alim ini ternyata lintah darat yang menghisap penghasilan para wiraswasta?"
Sri menggeleng panik. "Bukan, Pak!" Sangkalnya.
Pria berusia matang lain menimpali. "Kita beri dia pelajaran!"
***