Beberapa pria warga kampung setengah baya sigap meringkus para preman tukang kredit sebelum menunjukkan gejala tunggang langgang. Mereka menghadang tiga preman dari segala sisi. Sementara dua orang wanita dewasa yang datang setelahnya menahan sepasang lengan Sri.
Mata Sri berkaca-kaca. "Tolong ibu-ibu dan bapak-bapak lepaskan saya! Saya bukan bos mereka." Rintihnya.
Salah satu dari pria setengah baya menyahut, "Jika sudah jelas informasinya kami akan melepaskanmu. Asal mbak tahu saja renteneir itu sudah menghancurkan para pengusaha sukses di daerah sini!"
Ningsih menuntun sang ibu tua beranjak dari permukaan bumi. Gadis manis rekan kerja Sri melingkarkan lengannya pada bahu lemah sang ibu.
Ibu korban renteneir terbatuk ringan. "Sebentar, saya tidak pernah menjumpai mbak berkerudung ini selama saya memiliki pinjaman. Semua ini pasti ada penjelasannya." Bela sang ibu parau.
Seorang ibu bertubuh gempal yang mencengkeram lengan kanan Sri membantah, "Bukankah kita mendengar sendiri bagaimana para penagih hutang memanggil mbak ini?"
Derap langkah cepat mengentak tergesa menghampiri keramaian. Seorang pria muda kepala tiga menyeruak kerumunan warga kampung. Sepasang tangan kokoh melerai cengkeraman pada lengan Sri. Pria itu meraih bahu Sri lalu mendekapnya. Pria tampan berbalut kemeja krem lengan panjang, celana bahan hitam, kaca mata normal dan topi sporty.
Sri menelan ludah. Jantungnya berdentum keras. Dia mengenal sosok itu meski dalam penampilan samaran.
Sang pria memandang nyalang para warga kampung. "Apa yang kalian lakukan pada istri saya?" Bentaknya
Kata istri yang mengalun dari bibir sang pria semakin menambah kecepatan nada pada jantung Sri. Peristiwa seperti ini seolah membuka pintu lebar-labar untuk berharap.
Dua wanita dewasa bertepuk tangan sarkas. "Jadi kamu suami bos renteneir ini? Baik, pasangan penghisap darah warga telah menunjukkan diri." Cerocos salah satunya.
Sepasang mata cerah Arch semakin melebar. "Jangan sembarangan! Jaga perkataan kalian. Apa maksud kalian?" Geramnya.
Seorang warga berkaos dan celana pendek menunjuk tiga penagih hutang. "Kamu jangan pura-pura tidak mengenal mereka?"
Arch berpaling pada tiga wajah garang yang telah lama terekam dalam sel sarafnya. Arch mengernyitkan dahinya dalam bisu. Wajah-wajah beringas yang kuyu hanya mampu tertunduk lesu
Bapak berkaos dan bercelana pendek kembali mengomel. "Diam berarti membenarkan dugaan warga. Kalian sudah merugikan banyak warga karena memberikan pinjaman dengan bunga yang tak masuk akal. Sekarang mau berbuat tidak baik pada wanita yang tidak berdaya."
Sebuah teriakan menjeda pembicaraan di antara suara derap langkah cepat. "Tunggu!"
Seorang pria tampan memacu pergerakan tungkainya setelah membanting pintu kendaraan roda empatnya. Dia menyeruak kerumunan warga dan menjadi perisai untuk Sri dan suaminya.
Pria bersetelan jas itu mengatur napasnya perlahan. "Bapak-bapak dan ibu-ibu, kalian jangan salah sangka! Wanita di belakang saya adalah karyawan restoran milik saya dan suaminya."
Seorang ibu kurus menyela. "Jangan-jangan kamu komplotan renteneir ini juga?" Tudingnya
Wanita tua dalam dekapan Ningsih terbatuk. "Maaf, bapak-bapak dan ibu-ibu! Pria ini adalah Pak Belcher, pemilik restoran tempat putra saya, Birian, bekerja."
Para warga memicing curiga pada Belcher sesaat sebelum mengendurkan cengkeraman pada pergelangan tangan Sri. Namun para preman tetap terbelenggu penjagaan warga.
Sri dan Ningsih saling berkomunikasi melalui tukar pandangan. Ternyata rumah di hadapan mereka milik rekan satu profesi mereka yang menjadi tujuan menginjakkan kaki di kampung ini.
Para warga laki-laki dan perempuan satu per satu memohon maaf serta menjabat tangan Belcher. Kemudian mengangguk dan tersenyum pada sepasang pasutri setelah berpadu dalam satu suara mengucapkan rasa menyesal paling dalam.
Sri dan Arch hanya membalas dengan anggukan ringan.
Belcher memangkas jarak dengan para preman tukang tagih. "Sebaiknya kalian kembali ke kantor untuk mengetahui prosedur terbaru penagihan. Jika sudah jelas kalian bisa kembali dan meminta tagihan dengan manusiawi."
Tiga preman saling melempar pandangan.
Arch dalam penyamaran melotot tajam. Tatapan samurai berpindah dari satu preman menuju preman berikutnya.
Ketiga preman kredit mengangguk dalam bungkam.
Belcher menyeret secarik kertas dari saku jasnya kemudian mengulurkan ke hadapan tiga tukang tagih.
Ketiganya saling berpandangan heran. Namun hanya mampu bertanya-tanya tanpa suara dalam batin. Preman pemegang berkas menyambut uluran Belcher dengan jemari gemetar. Mereka bertiga saling merapatkan pandangan untuk menelusuri rangkaian kata pada permukaan kertas mini itu.
Belcher mendesah panjang. "Temui saya di kantor pusat besok pagi. Saya akan membayar tunggakkannya."
Beberapa warga melerai cengkeraman pada tiga pasang lengan kekar preman penagih hutang. Mereka segera ijin undur diri setelah memastikan kondisi nyata aman dan masalah terselesaikan walaupun sementara. Mereka berlalu diikuti beberapa warga barisan ibu-ibu di belakang mereka.
Preman pembawa berkas menunduk santun di hadapan Belcher. "Kami akan menemui anda besok pagi saat jam kerja, Tuan Belcher!"
Belcher menaikkan alisnya. "Baik, sebelem makan siang saya ada di kantor pusat. Selepas itu saya mengunjungi satu per satu perusahaan keluarga saya."
Preman otot, preman administrasi kredit dan preman rantai pamit undur diri begitu santun di hadapan Belcher. Tak lupa mereka melempar anggukan pada putra dan menantu sang bos besar.
Sri dan Ningsih menolong tubuh lemah sang ibu menghampiri pintu rumah utama. Dua pria tampan menyusul kemudian. Mata mereka terbelalak ketika menginjak lantai ruang tamu rumah megah ini. Seorang pemuda tengah tergeletak pada sofa panjang ruang tamu dalam balutan selimut. Rambut pendek menyembul dari ujung selimut.
Sri dan Ningsih membimbing sang ibu mendarat nyaman pada sandaran sofa.
Tangan sang ibu mengguncang bahu sang anak disertai panggilan lembut. Sang pemuda tak butuh jeda untuk memberikan tanggapan. Perlahan tubuhnya beranjak dari pembaringan. Punggungnya bersandar. Namun tak kuasa berpisah dengan selembar kain tebal. Parasnya pasi. Mimiknya merana. Auranya redup.
Punggung tangan Belcher menyinggung dahi anak buahnya. "Astaga, kamu panas sekali, Birian!"
Semua makhluk dalam ruang tamu terperangah. Tak terkecuali lipas yang terlindas sepatu pantofel Belcher. Serangga itu tak sanggup menerima hitungan mundur usia hidupnya.
Belcher berpaling pada sang ibu. "Sudah berapa lama suhu tubuhnya tinggi?"
Mata sang ibu berkaca-kaca. "Empat hari, Pak Belcher. Kami tidak punya apa-apa selain pakaian dan rumah ini. Peternakan sapi pedaging kami sudah bangkrut dan ludes untuk membayar angsuran bulanan yang tinggi."
Belcher menepuk bahu rapuh sang ibu. "Saya akan mengantar Birian ke rumah sakit terdekat. Ibu di rumah saja bersama Ningsih, karyawati saya."
Sang ibu tertatih menggapai sang pemuda sebelum mendekap erat. "Anakku!" rintihnya pilu.
Paras Belcher menoleh pada Ningsih. "Setelah dari rumah sakit, saya akan mengantarmu pulang!"
Ningsih mengangguk patuh.
Tatapan Belcher berpindah pada Sri. "Kamu dan Tuan Arch bisa meninggalkan tempat terlebih dahulu. Tapi sebelum itu saya meminta bantuan Tuan Arch untuk memindahkan karyawan saya menuju mobil."
Arch mengangguk samar. "Cukup dengan Arch tanpa Tuan."
Hentak sepatu Belcher memangkas jarak mereka berdua. Dua pria saling melempar tatapan datar berbatas udara kosong satu jengkal.
Belcher berbisik, "Maaf, aku belum seberani itu Tuan Monarch!"
Arch memicing. "Apakah artinya suatu saat keberanian itu akan muncul?" Pancingnya.
Belcher mengambil satu langkah mundur. "Siapa yang bisa menebak."
***
Sri dan Arch saling bersisian di bahu jalan besar. Mereka telah menanti kedatangan angkutan kota selama seperempat jam. Namun hasil kesabaran belum menunjukkan kelegaan. Jingga semakin tenggelam ditelan remang-remang alam.
Sri menunduk gelisah.
Arch menaikkan sebelah alisnya heran. "Sepertinya ada hal yang rumit dalam kepalamu?" Tanyanya.
Sri mendesah panjang. "Tiga preman penagih hutang itu masih menagih bunga. Padahal aku pernah berdiskusi dengan Ayah Juan untuk membebaskan bunga para peminjam. Beliau menyetujuinya."
Kelopak mata Arch melebar. Dia tertarik dengan kalimat panjang dari bibir Sri.
"Kapan diskusi kalian terjadi?" Tanya Arch kembali.
Sri menengadah. "Sebelum pernikahan. Ayah Juan menanyakan mas kawin yang aku minta. Aku tidak menginginkan apa-apa. Aku hanya mengatakan agar Tuan Juan menghapus bunga pinjaman dan mengembalikan kelebihan pembayaran pokok."
Arch memutar dagunya. "Waktu telah berlangsung sekitar dua minggu dari kesepakatan kalian. Kemungkinan ada dua. Pertama belum diubah dan kedua masih dalam proses pengubahan kebijakan."
Sri melirik sang suami. "Lalu dari mana kita bisa mencari data?"
Arch menjentikkan jarinya. "Kantor administrasi. Ayah memiliki beberapa unit perumahan elit di kawasan kota. Salah satunya difungsikan untuk kantor administrasi kredit. Ada beberapa karyawan yang bekerja di sana."
Sinar surya semakin redup diiringi para dayang jingga. Dua sejoli kian resah dalam penantian. Angkutan kota yang biasa beroprasi hingga malam menjelang belum terpantul pada retina.
Sri meremas lembut lengan kemeja Arch. "Apa kita akan mencari tahu di kantor administrasi itu?"
Arch menggeleng dalam senyuman. "Kita akan menanyakan dulu pada ayah. Aku yakin ayah akan memberikan jawaban sebenarnya."
Sri mengangguk setuju. "Lalu Arch menyusul ke tempat ini naik apa tadi?"
Arch tersenyum miring. "Naik ojek dari kantor. Setelah kamu mengirim pesan karena ada hal yang harus dilakukan atas perintah Pak Belcher. Aku secepatnya kemari."
Sri mengulum senyum. "Arch sudah tak marah lagi, ya. Terima kasih selalu menjemputku saat pulang kerja." Ucapnya tulus.
Arch menepuk punggung tangan Sri yang masih bergelanyut pada lengan kemejanya. "Dengan senang hati karena kamu istriku!"
Suara bising angkutan kota tak sanggup menjadi penggoda kesyahduan mereka. Hingga sang sopir sedikit menjulurkan kepala.
Sang sopir yang berbalut seragam batik bersuara lantang. "Mas, mbak, nungguin saya, kan? Jadi naik nggak, nih?" Tanyanya penuh percaya diri.
Arch dan Sri kompak menoleh pada mobil penumpang biru yang telah menepi di hadapan mereka.
Pak Sopir berkumis tersenyum lebar. "Pengantin baru, ya? Mesra amat!" Godanya.
Arch mendekap jemari Sri. "Kami ikut, Pak!" Sahutnya.
Arch membimbing langkah Sri melintasi pintu angkutan kota. Punggung keduanya membungkuk menyesuaikan ukuran angkutan kota. Mereka duduk bersisian tepat di depan daun pintu yang terbuka. Angkot kembali melaju tenggelam dalam lautan kendaraan bermesin.
Paras Arch menghampiri daun telinga Sri. "Kita ke rumah ayah, ya? Kita diskusikan kejadian tadi sekalian menginap."
Desah napas Arch menggelitik jantung Sri. Gadis itu hanya mampu menganggukkan kepala kaku.
Tiga perempuan muda berseragam khas karyawan supermarket salah satu mall terbesar kota menahan senyum gemas di sudut belakang kendaraan. Mereka saling melempar tatapan sambil berbisik girang.
Angkutan kota bergoyang dengan bunyi berantakan padahal aspal jalan semulus paras ibu-ibu yang rajin perawatan. Sri menikmati perjalanannya yang bagai diterjang gelombang pasang. Sedangkan sang suami hanya bergeming dengan paras datar.
Sang sopir jahil menarik rem tiba-tiba hingga seluruh penumpang terjengkang maju. Tiga perempuan muda pada bagian belakang saling bergandengan melawan guncangan. Tak ada benturan yang mereka terima. Sementara Arch yang bertubuh kokoh tak terpengaruh sedikitpun. Berbeda dengan Sri yang tanpa sadar terlempar dalam pelukan sang laki-laki tampan.
Sri menelan ludah. Aroma maskulin tubuh Arch memenuhi jalur napasnya. Suara dentum jantung sang pria terdengar sekeras tabuhan kendang. Semakin tinggi dan cepat.
Arch masih begeming. Dia tak berniat melerai dekapan sang istri. Lengannya justru bergerak mengunci pergerakan Sri.
Arch meletakkan dagunya pada puncak kerudung Sri. "Tenang saja, begini lebih aman." Bisiknya.
Jeritan histeris tiga perempuan muda penggemar drama mengejutkan sepasang pasutri. Arch dan Sri melonjak kaget hingga pelukan mereka terurai.
Seorang perempuan berambut pendek menyeletuk. "Romantisnya!!! Ternyata drama korea ada di dunia nyata!"
Seorang perempuan berhijab tak mau kalah. "Kalau ini sih lebih mirip Shah rukh khan dan Kajol. Habis yang cowok macho banget!"
Perempuan berambut cepol mengibaskan tangan. "Menurutku persis FTV yang berjudul Kekuatan Cinta Kita tak Gentar Meskipun Angkot Bergoyang Saat Jalan."
Mereka saling melempar tatapan ceria dan saling menjabat tangan menyetujui buah pikir perempuan berambut cepol.
Perempuan berambut pendek berdehem. "Maaf, Mas ... Mbak ... kalian sudah pacaran berapa tahun sebelum menikah?"
Sri berpaling pada bagian belakang kendaraan. "Kami tidak pacaran. Kami menikah karena dikenalkan, Kak!"
Perempuan berhijab memandang dua rekannya. "Pasti ta'aruf ini. Benar-benar romantis. Yang pria ganteng, keren dan macho. Yang wanita cantik, imut dan menggemaskan."
Arch mengikuti pandangan Sri pada bagian belakang. "Alhamdulillah," tutur Arch dengan nada rendah.
Ketiga perempuan muda mendadak beku dan menahan napas. Bagi mereka memandang Arch dari posisi depan lebih mendebarkan dari siluet samping.
Perjalanan sederhana dalam angkutan kota yang bersahaja bagai kaindahan suasana taman bunga di kelilingi barisan kupu-kupu. Apalagi ada tiga perempuan penggemar ARCHI (Arch dan Sri) dadakan.
Seorang petugas keamanan istana Arch mendorong pintu gerbang utama untuk anak majikan saat adzan magrib berkumandang. Arch menanggalkan topi dan kacamata sebelum menekan bel pintu gerbang.
Dua petugas keamanan menunduk hormat dan mempersilahkan pengantin baru menuju rumah utama.
Arch mengurungkan langkahnya. Sri yang telah mengambil dua langkah kembali mundur.
Arch menyelipkan kaca mata dalam saku kemeja. "Apa ayah ada di rumah?"
Salah satu petugas keamanan menjawab, "Maaf, Tuan Muda Arch! Tuan Besar Juan ada perjalanan bisnis ke bagian timur indonesia sejak pagi tadi."
Arch dan Sri saling bertukar pandangan lelah.
"Kira-kira kapan ayah pulang?" Tanya Arch kemudian.
"Besok Tuan Besar sudah kembali berada di rumah tapi kami kurang tahu pukul berapa." Jawab salah satu petugas keamanan mewakili.
Arch memdesah panjang. "Malam ini kami akan menginap!"
Kedua petugas keamanan mengangguk. "Baik, Tuan Muda Arch dan Nona Jasmine Sri!" Sahut mereka kompak.
***