Chereads / AKU KABUR KAU KEPUNG / Chapter 36 - Tujuan Baru

Chapter 36 - Tujuan Baru

Leo melirik penunjuk waktu buatan lokal pada pergelangan kirinya. Sang bayu malam kian menembus jaket tebal hingga menusuk tulang. Namun sang pemuda masih memacu kendaraan roda dua pada jalan perkampungan yang lengang.

Leo memahami jalan pintas untuk menghindari melubernya pengguna jalan raya yang menghambat perjalanan meskipun sudah larut malam. Setelah melintasi beberapa tikungan jalan kampung, sepeda motor tua Leo kembali tenggelam dalam jalan besar yang padat.

Leo menahan laju sepeda motornya setelah menempuh setengah kilometer dari jalan kampung yang ditinggalkannya. Kini dia tegak di hadapan salah satu gedung perkantoran perbankan terbesar.

Seorang petugas keamanan gedung menghampiri Leo. "Ada yang bisa saya bantu, Mas?" Sapanya ramah.

Leo terperanjat dari lamunan akan megahnya bayangan gedung pada retinanya. Dia segera mengaduk salah satu dari dua box motor di boncengan.

Leo mengulurkan tangannya setelah memastikan alamat bungkus hitam di tangannya. "Maaf, saya mengantarkan barang semalam ini. Paket ini untuk salah satu karyawan yang bekerja di kantor ini."

Sang petugas keamanan muda menyambut baik. Sepasang mata gelap menelusuri barisan kata yang tercetak pada salah satu sisinya. Sesaat kemudian dia mengangguk-angguk.

Bibir Sang petugas keamanan melengkung. "Benar, nama dan alamat yang tertera pada paket ini bekerja di sini."

Leo mendesah lega. Tangannya menyeret ponsel pintar dari saku jaket seragam perusahaan sebelum meminta ijin mengambil foto petugas keamanan.

Bunyi debam beberapa langkah tergesa mengusik Leo yang tengah sibuk mengunggah foto bukti pengiriman pada aplikasi perusahaan.

Dua hawa beda usia saling kejar dalam kegelapan. Mereka melintasi lobi gedung dan menghampiri pos keamanan. Seorang perempuan muda mengakhiri langkahnya di balik punggung petugas keamanan. Langkah seorang perempuan dewasa matang tertahan di sisi sepeda motor usang.

Wanita cantik berumur mengatur napasnya yang naik turun. "Sayang, mama minta maaf kalau harus lembur lagi. Mama mohon kamu pulang ya, Nak! Biar Pak Udjo supir mama jemput kamu." Pinta sang wanita bersetelan blazer dan celana bahan hitam.

Seorang gadis muda mengintip dari balik tubuh petugas keamanan. "Tidak mau! Di rumah hanya ada Mbak Sum dan Pak Udjo. Papa masih bulan depan pulang."

Leo memicing tajam. Dahinya berkerut. Retinanya menyesuaikan data dalam memori otak. Bayangan gadis seusianya membekas dalam sel-sel memori kepalanya.

Leo mengayun langkah perlahan. Pandangannya tak bergeser dari gadis berbalut kemeja kekinian dan celana jeans panjang.

Leo menjulurkan telunjuknya. "Lho? Murni? Ngapai malam-malam main petak umpet. Ga takut diculik sama wewe gembol dan gondrong tua?"

Petugas keamanan menepuk kaca helm Leo pelan hingga menutupi seluruh wajah. "Mas, kondisi rumit begini masih sempet becanda!"

Leo melipat lengannya setinggi perut. "Kata orang tua jaman dulu begitu, Pak! Dua spesies itu suka nyulik anak orang."

Sang gadis mencuat dari balik punggung petugas keamanan. "Dasar sok kenal! Apa maksudmu? Kamu pikir aku bocil?" Protesnya.

Leo menaikkan kaca pelindung kepalanya. "Sok kenal dari mana?"

Sepasang mata Murni membulat. "Leo?"

Leo melengos kesal. Sementara wanita berumur matang dan petugas keamanan hanya saling melempar tatapan heran.

Murni mengunci lengan Leo dengan jemarinya. "Ma, aku pulang diantar Leo!" Putusnya cepat.

Wanita setengah baya berambut bob klasik melerai cengkeraman Murni pada Leo. "Mama akan telepon Pak Udjo untuk menjemputmu!"

Murni tak patah arah. Lengannya kembali bergelanyut pada lengan jaket Leo.

"Pokoknya Murni mau diantar pulang oleh Leo!" Tukasnya keras kepala.

Leo membebaskan diri. "Aku sedang kerja. Ingat! Aku mengantar barang bukan orang!"

Bibir Murni mengerucut. "Kalau begitu aku akan pergi saja dari kalian!" Tukasnya marah.

Sang wanita setengah baya bergegas menghadang sang putri yang hendak kembali melarikan diri meskipun irama langkahnya sedikit tidak selaras.

Leo mendesah panjang. "Baik, aku akan mengantarmu dengan memerintahkan rekanku! Jika kamu menolak aku tidak peduli lagi kamu mau pergi kemana!"

Murni kurang sepakat dengan ide Leo. Namun dia terpaksa mengangguk.

Leo membalikkan tubuhnya. Jemarinya berselancar landai pada layar ponsel. Dia menemukan sebuah kontak dalam daftar panggilan utama. Beberapa sentuhan jari pada layar ponsel menghubungkan komunikasi.

Mama Murni melotot. "Murni, kamu jangan sembarangan percaya pada orang asing." Nasihatnya.

Murni meloloskan tangannya. "Dia Leopard Adnando Monarch, temanku satu jurusan di kampus, Ma! Dia anak kedua keluarga Juan Monarch!" Paparnya antusias.

Bibir Sang wanita berambut bob pendek menganga. "Maksudmu Keluarga pengusaha Monarch yang terkenal tajir dan tampan itu?"

Leo mengakhiri percakapan melalui poselnya ketika sebuah mobil sedan panjang menepi pada pelataran gedung perkantoran. Deheman Leo mengusik keasyikan ibu dan anak yang tengah menuturkan sang pemuda.

Seorang pemuda tampan berbalut hoodie panjang melintasi pintu pengemudi sebelum berlari kecil menyongsong sang pimpinan.

Pemuda tampan itu menjulurkan ibu jarinya. "Bos, saya siap menjalankan perintah!"

Leo tersenyum miring. "Devran, ternyata kamu lebih cepat dari yang aku bayangkan."

Devran menggaruk ubun-ubunnya. "Saya sedang ada urusan di dekat sini sehingga saya langsung menuju tempat ini."

Leo mengulurkan telunjuknya pada Murni. "Tolong antarkan Murni pulang! Setelah itu kamu segera kembali!" Perintahnya pada Devran

Devran membungkuk patuh. "Siap, Tuan Muda Bos!"

Bibir Leo melengkung tipis dalam anggukan.

Devran menghampiri sang gadis jelita nan manja. Senyuman sejuta watt benderang menyapa sang kakak kelas cantik. Aura putih Devran bagai pelita yang berkilauan menyibak kelam. Murni tak sengaja hanyut dalam aliran gemericik aroma debar sejenak.

Devran mengulurkan lengannya. "Mbak Murni, silakan! Saya akan mengantar pulang!"

Murni berjingkat menjauh. "Apaan sih kamu itu mbak mbek mbak mbek? Sok kenal banget deh!" Cerocosnya.

Devran membelai dagunya. "Bukannya kita memang sudah kenal?" Timpalnya balik.

Murni bertolak pinggang. "Tapi jangan panggil mbak mbek mbak mbek!"

Devran mengangkat dua lengannya. "Saya panggil Mbak Murni bukan Mbek Murni."

Murni semakin murka. Dua jemari lentik memelintir lengan sang pemuda dari balik sweater tebal.

Leo meraih kemudi motor tuanya lalu mendaratkan raganya pada jok dekil bagian paling depan.

Kepalanya mengangguk pada wanita dewasa yang telah melahirkan Murni. "Saya permisi, Buk!" Pamitnya sopan.

Mama Murni mengangguk disertai senyum kecil.

Leo memutar kontak motor setelah melambai pada petugas keamanan gedung. Dia segera melaju tanpa menghiraukan suara Murni yang meneriakkan namanya. Tungkai Murni menerjang udara dengan kesal sepeninggal Leo.

Devran mengulurkan tangan kanan dan disambut jabatan kuat dari Mama Murni. "Maaf, Ibu! Saya permisi kalau Mbak Murni tidak bersedia saya antar."

Murni mencengkeram ujung sweater Devran. Mata indahnya hampir meloncat dari rongga. Dia menolak diabaikan.

Mama Murni menggeleng pasrah."Saya minta tolong Nak Devran mengantar putri saya sampai rumah. Satu jam lagi saya akan menyusul setelah merapikan ruang kerja."

Devran menggeliat dari genggaman kuat Murni pada ujung Sweater hoodienya. "Baik, Bu!"

Leo terbahak mengingat resiko manis apa yang akan diterima sang orang kepercayaan. Apakah Devran akan berbesar hati menghadapi sifat Murni yang mengalahkan anak bawah lima tahun? Leo menggeleng-geleng dalam fokusnya menghadapi jalan raya. Dia akan menyelesaikan kewajibannya dalam waktu singkat. Barang tersisa hanya dua buah paket berukuran sedang dan beralamatkan satu tujuan.

Leo menarik napas panjang meskipun udara malam tak sesuai untuk alat pernapasan. Kemudian melepaskan karbondioksida perlahan. Tunggangan bermesin dua roda usang telah diganti sebuah motor besar seharga satu unit mobil baru. Jaket khas perusahaan ekspedisi tak lagi melapisi kaos rajut berkerah tinggi.

Leo yang sebenarnya telah menjelajahi jalan raya dengan kecepatan ekstra setelah menyelesaikan pekerjaannya. Laju cepat motornya menurun saat minimarket dua puluh empat jam terpantul pada retina.

Leo melepas pelindung kepala. Rambut berkilaunya tersibak bayu malam dalam pancaran lampu jalan. Beberapa kaum hawa yang melintas akan berpaling sejenak menikmati maha karya Sang Maha Pencipta.

Pandangan Leo terusik seorang gadis muda keluar dari toko buku yang telah padam. Gadis semampai berbalut seragam karyawan toko yang serba hitam. Leo melangkah perlahan menghapiri sosok yang dikenal benaknya.

Gadis bersurai panjang melintasi barisan beberapa sepeda motor yang tertata rapi. Leo mengikuti dari balik punggung sang gadis.

Jemari sang gadis hampir meraih kemudi sepeda motor bebek saat terdengar suara gesekan alas kaki beradu dengan pelataran depan toko buku.

Leo menepuk lembut bahu sang gadis. "Suci, apa yang kamu lakukan di sini?"

Sang gadis tersentak. Dia bergegas mengayun langkah tanpa berpaling arah. Leo yang belum siap dengan reaksi ganjil sang teman terpaku beberapa saat sebelum melangkah trengginas menggapainya.

Sang gadis memberikan penolakan. Dia melawan dan meronta dalam borgol tangan rekan kampusnya. Lengannya berupaya keras terbebas dari cengkeraman Leo.

Suci menunduk. "Lepaskan!" Rintihnya tak putus asa meskipun sia-sia.

Alih-alih meluruhkan dekapan jemarinya, Leo mengunci dua lengan Suci.

Suci semakin memberontaks . Dia bahkan enggan menemui dua pasang mata gagah yang sedang mencari jawaban.

Leo berusaha menahan gerak Suci. "Suci, sebenarnya ada apa? Kenapa kamu lari?"

Suci semakin menunduk dalam. "Aku tidak ingin kamu dan semua orang yang mengenalku melihat aku seperti ini!"

Leo mengguncang lengan Suci. "Seperti apa? Seorang putri pengusaha besar bekerja menjadi karyawan toko buku? Asal tahu saja itu hal yang luar biasa!"

Gerakan Suci melemah. Namun surai panjang masih menyelimuti seluruh permukaan wajahnya. Perlahan paras cantik menengadah.

Sepasang retina Suci membola menangkap bayangan menyejukkan di hadapannya. "Le, aku hanya tidak ingin ada yang tahu."

Bibir Leo melengkung tipis. "Baiklah, aku paham! Kamu bisa cerita nanti saja. Aku antar kamu pulang sekarang!"

Suci menoleh pada parkir roda dua di pekarangan toko buku. "Tapi aku bawa motor milik penjaga kebun di rumah."

Leo menyeret ponsel dari saku celana panjangnya. "Kamu hubungi pekerja keluargamu itu dan minta tolong mengambil sepeda motor di sini. Lalu kamu pulang bersamaku!"

***

Sri dan Arch belum sukses menemui sang ayah meskipun semalam bermimpi indah di bawah atap istana kepala keluarga Monarch. Leo yang menginjak rumah hampir tengah malam sedikit terperanjat mendapati pasutri yang terdiam di ruang tengah. Mereka memang berniat membunuh waktu untuk menanti kepulangan adik kedua yang sedikit menabur resah. Acara misteri mencekam dalam layar kaca menemani suasana.

Paras Leo yang layu masih berkenan mengabarkan jadwal kepulangan sang ayah. Ketika mentari mulai merangkak pada cakrawala, pasutri pamit undur diri. Malam nanti mereka akan berkunjung kembali ketika sang ayah telah menghirup aroma istana pribadi.

Arch melatih ototnya pada genangan air berkaporit setingga dua meter di pekarangan belakang rumahnya setelah mengantar sang istri hingga lobi kampus. Adik bungsunya merebah santai pada tepi kolam beralaskan kursi panjang kolam. Keduanya menikmati sabtu damai yang menyegarkan pikiran.

Sri bergegas menuju lokasi tempat mengais rezeki setelah melalui dua jam mata kuliah yang panjang. Kegemaran menjadi pelanggan angkot mengantarkannya ke tempat kerja.

Sri berlari kecil menuju ruangan restoran setelah mengenakan seragam kaos gelap berkerah. Kerudungnya yang menjuntai sepanjang dada melonjak seirama gerak tungkainya.

Sri meraih susunan menu pada meja kasir ketika suara pria meneriakkan namanya. Gadis itu berbalik meneliti sumber datangnya suara. Seorang pemuda berjaket gelap melambai padanya dari pintu utama restoran.

Sri menghampiri sang pemuda. "Ada perlu apa kesini, Leo? Sarapan? Kita kan baru saja bertemu kuliah pagi ini."

Leo menggeleng. "Bukan! Aku hanya ingin minta tolong saja."

Sri menaikkan sebelah alisnya. "Tolong?"

Leo mengangguk. "Ini berhubungan dengan Suci. Dia sedikit murung akhir-akhir ini. Sepertinya ada hal berat yang dipendam. Aku minta tolong kamu menghiburnya, ya?"

Sri mengusap hidungnya. "Sepertinya Suci tidak masuk kuliah pagi ini. Apa karena masalah yang kamu maksud itu?"

Leo mengangguk sepakat.

Sri merentangkan sebelah tangannya. "Tunggu! Kenapa kamu tiba-tiba perhatian pada Suci? Sepertinya pengantin gadungan akan menjadi pengantin beneran." Goda Sri.

Lee melipat lengannya setinggi rusuk. "Sudahlah, jangan melantur!" Celetuknya salah tingkah.

Bunyi ketukan sepatu hak tinggi yang memantul pada dinding restoran mengusik percakapan adik kakak. Mereka menoleh kompak pada pintu utama restoran. Tampak seorang perempuan dewasa berhelai sebatas punggung melintasi ambang pintu. Ujung Gaun mewah sang perempuan bergelanyut manja pada sepasang betis ramping.

Leo terpasung pada pijakannya. Sepasang iris cerah enggan berkedip saat menangkap bayangan mempesona sang wanita.

Sri membelai susunan buku menu pada lengannya. "Aku permisi menemui tamu dulu." Pamitnya.

Leo menahan langkah Sri. Dia merengkuh ujung seragam Sri. Sri mengurungkan niatnya. Tungkainya kembali menghitung mundur.

Sri memandang heran genggaman tangan Leo. "Ada masalah?"

Leo melerai lengannya dari ujung seragam Sri. "Sebaiknya biar rekanmu yang lain saja...."

Seorang rekan pria Sri melangkah tegap melintasi dua mahasiswa yang sedang berbincang. "Sri, kakap merah itu bagianku! Siapa tahu bisa kenalan." Tukasnya sambil lalu.

Sri berpaling pada pemuda bertubuh sedang berparas mungil. "Tapi ... Faruk tunggu!"

Pemuda bernama lengkap El Faruk berpaling sesaat dengan ibu jari terjulur. Dia tak sabar menghampiri perempuan menawan bagai bidadari turun ke restoran.

Leo mengenakan masker medis gelap menyelimuti alat pernapasannya. "Aku akan kembali bekerja!" Pamitnya undur diri.

Langkah Leo yang menuju bagian belakang restoran menanam tanda tanya dalam benak Sri. Gadis itu segera memanggil sang adik ipar.

Leo menahan langkahnya. Parasnya berpaling sebagian.

Sri menaikkan bahunya. "Kenapa lewat belakang? Pintu utama belum ramai pengunjung jadi tidak berdesakan, kok!"

Leo menyeringai dari balik maskernya. Jemarinya menggaruk ubun-ubun yang tak gatal. Pemuda itu perlahan berputar setengah lingkaran lalu melangkah gesit menghampiri pintu utama.

Sang bidadari pelanggan pagi hari memalingkan parasnya pada sosok pemuda kurir berpenutup wajah setelah menentukan pesanan pada pelayan. Jemari lentik berhias berlian menepuk lengan sang pemuda. Sang pemuda menoleh tanpa menatap lawan bicara. Beberapa dialog berakhir dengan sang pemuda yang menggeleng dan cepat-cepat berlalu.

Sepasang mata bulat Sri mengamati heran dari kejauhan.

***