Chereads / AKU KABUR KAU KEPUNG / Chapter 33 - Versus Dimulai

Chapter 33 - Versus Dimulai

Sri menuangkan masing-masing dua spatula nasi goreng ayam dari wajan menuju dua piring keramik. Kemudian meletakkan kelebihan nasi gorang yang masih menghuni wajan pada wadah nasi berukuran besar. Sri memposisikan wajan dalam wastafel dapur setelah menutup wadah nasi.

Kedua tangan Sri meraih wadah nasi lalu menatanya pada permukaan meja mini bar dapur untuk menemani sebuah kotak bekal makan siang. Langkah Sri kembali menghampiri kompor induksi dan menggapai dua piring keramik di sisinya.

Sri bersenandung merdu menghampiri meja makan utama. Meja oval ukuran delapan orang telah dihuni beberapa sajian. Sebuah toples jumbo berpenghuni kerupuk udang, beberapa telur mata sapi dalam satu piring sajian, dua gelas kopi pahit dan cah brokoli baso sapi. Sri cekatan meletakkan dua piring nasi goreng pada posisi kursi utama dan sisi kanannya.

Sri menyinggungkan dua telapak tangannya disertai desahan panjang. Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi tepat. Bi Ayuk akan tampak tiga puluh menit lagi.

Sri menanggalkan celemek polkadot yang melingkari leher hijabnya. Menantu keluarga Monarch itu telah rapi sejak sebelum subuh. Dia telah mengenakan setelan rok senada berbahan katun rayon premium. Hijab segiempat berwana lebih gelap membingkai cantik parasnya yang cerah.

Sri mendaratkan tulang duduknya pada salah satu bangku sisi meja makan yang paling berdekatan dengan bangku utama. Dia melipat lengannya pada permukaan meja. Lengkungan bibirnya terbit saat ingatan hari kemarin kembali mencuat.

Arch yang enggan ramah memasang senyum kikuk menyambut antrian tamu undangan yang memberikan jabatan salam. Sri hampir terpingkal-pingkal jika saja tidak menyadari kemurkaan sang mempelai pria. Pria itu terus saja berpaling berlawanan arah dari Sri.

Pada usai acara, putra sulung Monarch antusias menyapa satu per satu kolega dan rekan bisnis perusahaan Monarch. Para sahabat-sahabat bisnis keluarga Monarch masih betah bersenda gurau di antara ruangan yang telah lengang diiringi sayup irama jazz. Aura Arch kembali segar dan cerah setelah menikmati topik bisnis dari mereka. Parasnya merekah antusias.

Sri bahkan masih setia mengingat bagaimana ekor mata Arch sama sekali abai pada keberadaannya. Namun entah mengapa pria gagah itu selalu menyambar lengan istrinya saat perbincangan dengan lawan jenis tercipta.

Arch bahkan tak segan membimbing Sri menjauh dari obrolan ringan dengan sang adik. Kesabaran Arch tak terbendung lagi saat sosok pria muda berprestasi yang tengah memantau hidangan, menghampiri sang mempelai wanita.

Pengusaha muda itu tampak tercengang mendapati salah satu pekerjanya bersanding dengan putra sulung pewaris keluarga Monarch. Keduanya terlihat asyik dengan obrolan ringan hingga mengundang derap kaki sang mempelai pria.

Arch bergegas menarik pergi pasangannya tanpa permisi. Pemilik tempat Sri bekerja hanya mampu menaikkan kedua alisnya heran.

Sri tertawa dalam lamunannya. "Bahkan Arch menyebut Pak Belcher dengan panggilan Si Tukang Nasi saat itu." Celetuknya geli.

Jemari kanan Sri mengetuk permukaan meja makan jati beberapa kali. "Apa Arch benar-benar merasa cemburu? Kalau iya apakah berarti dia mulai mencintaiku?" Tanyanya bermonolog.

Terdengar deheman berat yang tiba-tiba memaksa Sri beranjak tanpa persiapan. Kakinya yang malang beradu dengan salah satu kaki meja.

Sri meringis menahan nyeri.

Arch menghampiri bangku utama. "Dia? Dia siapa dan bagaimana?" Tanyanya curiga.

Sri mengibaskan tangannya disertai gelengan. "Bukan apa-apa. Aku hanya bergumam sendiri mengira-ira kapan Bi Ayuk akan datang."

Arch telah rapi, tampan, menawan dan rupawan dalam balutan setelan kerja berjas. Sebuah tas kerja gelap berada dalam genggaman tangan kanan.

"Arch, ayo kita sarapan. Aku sudah menyiapkan nasi goreng." Ajak Sri ceria.

Arch bergeming. Hanya bola matanya yang beredar dari satu sudut meja menuju sudut yang lain. Barisan sajian pada permukaan meja makan begitu menggiurkan. Namun harga diri yang terlampau membumbung tinggi membuatnya mengurungkan niat menggeser kursi.

Sri kembali menempati kursinya. "Ayo, kita makan, Arch!" Ajaknya

Arch masih berdiri dengan tangan saling bertumpu di depan dada. "Bi Ayuk belum waktunya datang. Restoran mana yang jam segini sudah buka?" Tanyanya ketus.

Kening Sri mengernyit heran sebelum dia menangkap maksud pertanyaan Arch. "Ya ampun, aku mana ada uang untuk beli sarapan di restoran? Aku hanya memanfaatkan bahan-bahan yang masih tersedia di lemari es" jawabnya apa adanya.

Arch tercenung sejenak sebelum mengamati pergelangan tangan kirinya. Penunjuk waktu masih belum terlalu giat berotasi.

"Arch, ayo kita sarapan!" Ajak Sri sekali lagi.

Arch mendesah panjang. "Aku tidak lapar." Balasnya singkat.

Pria tampan itu berbalik dan berlalu begitu saja. Sri mengulurkan lengannya berusaha menahan sang suami. Namun langkah lebar Arch mengacaukan niat Sri.

Pipi Sri menggembung. "Apa dia masih marah karena kejadian kemarin, ya?" Gumamnya mengira-ira.

Sementara Arch mengentak langkahnya kesal. Perasaan antik yang entah apa itu selalu memompa emosinya hingga meletus dan bercerai-berai. Dia telah mendapat pemaparan kenyataan dari sang adik. Kepedulian Sri hanya sebatas kasih sayang seorang kakak pada Leo. Namun tak paham apa sebabnya pria dewasa itu selalu gelisah. Dia haus akan amarah, mendidih, berapi-api dan naik darah tanpa alasan yang terarah.

Arch menghentikan pergerakan tungkainya saat terdengar bunyi aneh dari tubuhnya. Bunyi memalukan yang memaksanya balik haluan. Dia lebih tak punya muka jika menginjak kantor dalam keadaan fakir sarapan.

Arch yang hampir menyentuh pintu utama kini kembali menjelajah mundur ruangan-ruangan di kediamannya hingga menginjak lantai ruang makan.

Amarah Arch yang melandai karena kelaparan harus kembali memuncak. Retinanya tak lagi memantulkan bayangan sepiring nasi goreng pada permukaan meja makan.

Arch menyipit. "Mana piring nasi gorengku?" Tanyanya horor.

Sri yang asyik menyantap piring kedua, melonjak kaget. Dia menengadah. Sepasang mata bulatnya hampir terjun dari rongganya menyadari sosok yang tengah mematung di hadapannya.

Ekor mata Arch membidik dua benda pipih berbahan keramik di depan Sri.

Sri mengikuti arah pandang Arch. "Aku sudah menghabiskan nasi goreng bagianmu, Arch! Nasi gorengku sisa setengah. Aku pikir kamu memang tidak lapar."

Gigi Arch bergemeletuk. "Belum ada lima menit aku beranjak dan jatahku sudah lengap? Apa kamu langsung menelan makanan tanpa dikunyah?"

Hati Sri berdesir. Dia segera beranjak untuk meredam perang dunia ketiga. Sri meraih lengan jas Arch lalu membimbing Arch menempati bangkunya.

Arch mengikuti arahan tangan Sri.

Sri menepuk lembut lengan Arch. "Tunggu sebentar. Jangan pergi!" Pintanya.

Sri berlalu menghampir dapur. Sesegera mungkin Sri menyelesaikan kesibukan singkatnya di sana. Sosok gadis cantik itu kembali tampak menjauhi dapur. Dia mengikis jarak dengan meja makan disertai sesuatu di kedua tangannya.

Sri menyajikan sepiring nasi goreng ikan filet tepung di depan mata Arch. Sebuah kotak bekal yang telah tersusun rapi juga mendarat setelahnya.

Sri kembali menempati kursinya.

Arch mendesah cepat. "Aku jadi tak berselera."

Bibir Sri yang hendak membuka tertunda bunyi orkes dangdut dari lambung Arch. Lengkungan bibir Sri sedikit lebar. Sementara Arch yang kaku membuang muka.

Sri meraih satu sendok nasi gorong sebelum mengulurkan ke bibir sang suami. "Arch, jangan sampai kamu sakit karena tidak makan." Bisiknya.

Arch berpaling pada Sri. Entah keajaiban dari mana bibir sempurna pria tampan itu membuat celah. Dua sejoli saling berbagi tatapan tanpa pembatas. Hingga kerling mata terjadi ketika satu suap memenuhi bibir sang adam.

Jantung Sri berdesir seumpana gelombang pasang yang menghantam bebatuan karang tepi lautan. Sementara Bola mata Arch berotasi ke lain sisi.

Sri kembali mengambil satu sendok nasi lalu menyodorkan pada Arch. "Enak, kan?"

Arch hanya bergeming. Namun kunyahan antusias, cara menelan yang elegan dan celah bibir telah memberikan jawaban jujur.

Bibir Sri terkembang. "Enak karena rasa atau suasana?" Candanya manja.

Arch membelalak. "Biar aku makan sendiri!" Potongnya cepat sambil merampas sendok dari tangan Sri.

Arch tergesa menjejalkan suap demi suap nasi goreng dalam rongga mulutnya.

Sri tak kuasa menahan ceria dalam matanya. Rasanya taman mawar merekah dalam hatinya.

Tangan Sri meyinggung kotak bekal bersusun. "Ini bekal makan siang untuk Arch. Jadi kamu tidak perlu repot mencari makan siang di luar lagi."

Arch menahan kunyahan bibirnya. Matanya menatap kotak bekal lamat-lamat.

Sri menggeser kotak bekal. "Kalau Arch tidak berkenan, aku bawa saja untuk makan siang di kampus!"

Arch menahan kotak bekal agar tak berjarak darinya. "Aku belum memjawab bukan berarti aku menolak. Lepaskan!"

***

Sri telah mendarat nyaman pada bangku taman kampusnya. Hari masih terlampau pagi untuk menemukan keriuhan dalam kampus. Gedung perkuliahan masih lengang. Pelataran parkir kendaraan hanya terisi beberapa gelintir motor. Taman kampus hanya tampak sosok Sri serta beberapa pasukan kuning yang cekatan menjaga kebersihan. Sesekali Sri berucap salam saat bertukar pandang dengan ibu-ibu rajin pejuang nafkah itu.

Waktu perlahan bergeser. Sinar mentari mulai merangkak pada cakrawala. Satu per satu penghuni kampus berdatangan melintasi gerbang kampus. Kendaraan roda empat milik dosen pengajar mulai berjajar rapi pada lahan parkir khusus. Sepeda motor mahasiswa mengular pada jalurnya menuju parkir umum.

Sri beranjak dari bangku taman kampus ketika waktu mendekati jam perkuliahan pertama. Namun langkahnya urung karena penampakan sosok seorang gadis berambut sebahu. Gadis itu mendesak Sri kembali menduduki bangku.

Gadis berbalut kemeja kerah shanghai sepanjang lutut dan celana jeans hitam ramping mendaratkan tubuhnya di sisi Sri.

Sri tersentak. "Ada apa, Murni?"

Kedua telapak tangan Murni membingkai paras Sri. "Jadi istri sah pengusaha muda Danaus Monarch benar kamu Sri?"

Sri menahan napas dalam anggukan ringan.

Murni menepuk keningnya. "Astaga, Sri. Kenapa kamu berani-beraninya duduk seorang diri di sini?"

Sri menaikkan sebelah alisnya. "Aku memang sudah di sini sebelum jam setengah tujuh. Apa ada yang salah?"

Telunjuk Murni terjulur pada gedung menjulang di balik punggung mereka. "Itu para penggemar insaf Danaus Monacrh pengen bersilaturahim."

Sri menyeringai heran. "Apa maksud penggemar insaf? Kalau mereka ingin bertemu Arch kenapa kemari? Arch ada di kantor."

Bibir Murni mengerucut disertai binar mata berkaca-kaca. "Manisnya ... Arch tersayang!"

Sri mencubit bibir Murni kesal sebelum beranjak pergi. Namun Murni bergegas mengimbangi langkah cepat Sri.

Murni terengah-engah sepanjang jalan setapak taman yang luas. "Sri, tunggu! Jangan berjalan sendirian! Berbahaya! Penggemar insaf itu tak lagi memusuhi istri Arch. Kini mereka berbalik menggilaimu!"

Sri tiba-tiba mengendalikan langkah cepatnya hingga hampir terjungkal. Murni yang menyertainya ikut terperanjat. Beruntung dia mampu menjaga keseimbangan. Sri berbalik badan. Keduanya saling brtukar pandangan ngeri di tepi taman.

Sri mengibaskan tangannya. "Tidak perlu dipikirkan. Penggemar Arch di kampus ini mungkin hanya beberapa."

Murni menjambak rambutnya frustasi. "Depalan puluh persen dari seluruh populasi perempuan di kampus ini kamu bilang hanya beberapa?" Jeritnya merasa kesal dengan Sri yang tidak peka.

Sri membola.

Murni mengulurkan lengan pada arah lobi gedung yang hanya terpisah jalan beraspal dengan mereka. Sri mengikuti arah lengan Murni.

Sri dan Murni saling melempar tatapan ketakutan.

Sri menahan tumpahan air matanya. "Kenapa sepagi ini aku harus lari-lari kabur dari mereka?" Ujarnya mengeluh.

Bagaimana alat pemompa darah Sri tidak berpacu saat raganya menghadapi gelombang manusia yang berbondong-bondong menghampirinya. Mereka meneriakkan nama Sri bagai kesetanan.

Murni menyeret lengan Sri yang hanya terpasung pada pijakannya. Tenaga dan akal sehat istri Arch seolah menipis terkuras oleh ketakutannya.

Murni mengayunkan langkah seribu sekuat tenaga diikuti Sri yang terseok-seok di balik punggungnya. Mereka mengikuti hamparan jalan kampus beraspal yang mengitari gedung perkuliahan. Hingga Murni tak sanggup melanjutkan langkahnya yang terhalang sandungan batu.

Murni terjerembab. Cengkeramannya pada pergelangan tangan Sri terlepas. Sri hendak mengulurkan bantuan tapi dicagah oleh Murni. Dia mengusir Sri secepat mungkin.

Murni menggenggam pergelangan kakinya. "Pergi, Sri! Cepatlah bersembunyi! Mereka tidak mencariku. Mereka menginginkanmu."

Pandangan Sri beredar dari sosok Murni menuju segerombolan banyak orang yang hampir menghapus jarak dengan keduanya. Mereka memekik bersahut-sahutan.

Sri meneteskan air mata. "Maafkan aku, Murni!" Ucapnya parau sebelum kembali memacu sepasang alat gerak bawahnya.

Sri memacu tungkainya hingga pekarangan belakang bangunan gedung perkuliahan. Dia menyembunyikan diri di balik pilar besar. Jantung Sri bekerja keras mengatasi kepanikan raganya.

Gelegar para pengagum Arch mulai terdengar samar. Perlahan degup jantung Sri berada pada titik aman. Pernapasannya pun mulai teratur hingga jari-jemari lentik membungkam bibirnya dari belakang.

Sementara itu Murni merasakan bumi seolah memasung tubuhnya. Jangankan beranjak, bergeser saja membutuhkan upaya besar. Ombak besar para penggila Arch semakin menghapus jarak. Murni hanya mampu melantunkan permohonan dalam hati di antara kepanikan yang menyelimuti. Hingga sepasang lengan kokoh menopang tubuhnya bagai melayang ke angkasa.

***