Chereads / AKU KABUR KAU KEPUNG / Chapter 29 - Putaran Komedi

Chapter 29 - Putaran Komedi

Langkah ceria Sri menapak pelataran luas tempatnya bekerja. Seusai bertukar pendapat dengan dosen pilihannya, kepalanya terasa ringan seperti tak pernah berpikir beban hidup sebelumnya. Judul penelitian untuk proposal skripsi diterima dengan tangan terbuka oleh dosen pembimbingnya.

Sri bersenandung sepanjang kakinya berayun mulai dari halaman kampus hingga dapur restoran. Matahari telah tinggi. Bayangan para karyawan yang bersusah payah terpantul pada retinanya.

Sri bergegas meletakkan tas slempang medium pada loker pribadi karyawan sebelum menyambar celemek yang menghuni di dalamnya. Sri cekatan menjalin simpul pada bagian punggung celemek.

Sri memberi salam pada seluruh karyawan yang berpacu dengan waktu dalam dapur. Mereka membalas salam tanpa berpaling dari pekerjaan.

Beberapa rekan pria Sri mengangkut sebuah karung raksasa berisi kentang lalu membilasnya hingga bersih. Disusul timbunan karung beras di belakangnya. Beberapa karyawan wanita cekatan mengupas bawang merah dan bawang putih yang jumlahnya tidak sedikit. Dua karyawan pria mengangkut daging sapi dalam sebuah wadah lebar. Beberapa lainnya asyik memilah dan memilih rempah dapur beraroma semerbak.

Sri melintasi para rekan kerjanya yang tengah tenggelam dalam pekerjaan pada bagian masing-masing. Gerakan tungkai Sri berbelok pada ruangan penyimpanan peralatan masak dan perlengkapan makan.

Sri melirik memo yang melekat pada dinding ruang penyimpanan peralatan. Dia mengikuti aliran kata yang terangkai pada permukaannya. Sri mulai menggunakan ototnya cekatan. Kedua lengannya mendekap sususan piring lebar dari lemari menuju rak-rak balok yang akan menghuni bak truk.

Bu Grenadine melangkah perlahan melintasi para anak buah yang giat dalam tugas mereka. Sepasang mata sayu berlensa menelisik mulai bagian sayuran, bumbu hingga aneka daging. Bunyi langkah kaki wanita cantik berumur itu tertahan pada ruangan penyimpanan peralatan.

Bu Grenadine melipat sepasang lengan di depan dada. Dia mengawasi setiap gerak-gerik anak buahnya.

Lengannya terjulur menepuk bahu Sri yang kebetulan melintas di hadapannya.

Sri menahan langkahnya. Dia berpaling pada atasan disertai anggukan.

Bu Grenadine menebar senyum tulusnya. "Bagaimana dibagian peralatan makan?"

Sri mengangguk semangat. "Alhamdulillah, sudah hampir selesai bersiap, Bu. Saat saya datang tadi anggota tim yang masuk pagi sudah membereskan sebagian."

Bu Grenadine menaikkan ibu jari. Lehernya berotasi meneliti satu per satu sosok yang tampak dalam ruang peralatan.

Bu Grenadine menjulurkan leher. "Berarti perlengkapan standing party sudah siap menuju lokasi pesta pernikahan sore ini, kan?"

Anggota tim peralatan menahan pekerjaan mereka sejenak untuk membalas mantap pertanyaan sang atasan.

Bu Grenadine menambahkan satu lagi ibu jari ke udara. "Kalian hebat!"

Semua anggota tim peralatan bersorak terima kasih dengan lantang. Energi yang menurun kembali diisi semangat hingga penuh.

Pandangan Bu Grenadine beralih kembali pada Sri. "Sri, saya dengar kamu kuliah, ya?"

Sri mengangguk pelan.

Bu Grenadine membelai dagunya yang runcing. "Bagaimana kalau...."

Pertanyaan dari bibir Bu Grenadine terjeda oleh derap kaki nyaring yang menghampiri. Sri dan Bu Grenadine memutar tubuh setengah lingkaran. Seorang pemuda berkulit pasi dan berbalut kemeja lengan panjang mengikis jarak dengan keduanya.

Bu Grenadine mengulurkan tangannya. "Selamat siang, Pak Belcher!"

Pemilik restoran menjabat erat tangan Bu Grenadine. "Siang, Bu Grenadine! Bagaiama persiapan di bagian peralatan dan perlengkapan konsumsi?"

Bu Grenadine menjalin sepasang tangannya. "Sudah hampir siap dan sore akan segera di antar menuju lokasi."

Belcher menepuk bahu Bu Grenadine bangga. "Baik, kerja yang luar biasa! Saya minta tolong Bu Grenadine dapat menangani bagian bahan mentah untuk pengolahan menu malam ini."

Bu Grenadine menunduk singkat disertai anggukan. "Saya permisi berkeliling, Pak!"

Belcher mengangguk. Sepasang mata indahnya mengamati gerak Bu Grenadine yang berlalu dari ruangan penuh barang-barang berbahan alumunium dan stainless steel.

Punggung Belcher berbalik. "Dan kamu, saya minta ikut saya sore ini mengantar perlengkapan dan peralatan bersama para anggota tim!"

Gadis berhijab segiempat gelap itu menggaruk ubun-ubunnya canggung. "Maaf, Pak! Berdasarkan kesepakan anggota tim hanya anggota pria yang kesana."

Pak Belcher mengernyitkan dahinya. Lehernya menjulur disertai lirikan mata ke beberapa sudut. Tangan Belcher melambai pada seorang gadis berambut terurai yang berdiri di sisi susunan panci besar dalam almari terbuka.

Sang gadis sawo matang manis tergopoh-gopoh menghampiri sang pemilik restoran.

Telunjuk Belcher mengarah pada gadis bermata bulat. "Nancy, saya tugaskan kamu dan Sri menciptakan keindahan meja komsumsi sore ini saat tim menata peralatan di hotel."

Sri memandang penuh kekaguman pada sang rekan. Bagaimana mungkin gadis bersahaja itu tampak begitu menawan. Parasnya yang sawo mata berlesung pipit tak pernah menjemukan. Bola matanya yang sejernih kelereng begitu percaya diri.

Sang gadis manis berdehem. "Maaf, Pak! Nama saya Ningsih bukan Nancy." Koreksinya.

Belcher cekatan meraih lensa minus berbingkai tipis dari saku kemejanya. Lehernya menjulur pada saku baju berbordir sang karyawan setelah meletakkan bingkai lensa pada pangkal hidung.

Belcher menepuk dahinya. "Saya juga meminta maaf telah salah membaca namamu Ningsih."

Sri dan Ningsih saling melempar lirikan bingung.

Belcher berlensa melipat lengannya. "Sri ... Ningsih ... karena perlengkapan dan peralatan sudah hampir selesai disusun dalam bak truk. Kalian ikut mobil saya menuju lokasi. Tim kita akan menyelesaikannya sebelum senja."

Sri dan Ningsih mengangguk kompak.

Truk pengangkut berbak tertutup telah meluncur cekatan mendahului tunggangan sang pemilik restoran. Pria lajang dua puluh delapan tahun itu mengendalikan kemudi bersama seorang karyawati di bangku depan dan seorang lagi menjadi penumpang belakang.

Belcher berpaling pada gadis manis di sisi kirinya. "Kamu membawa sepada motor saat kerja?"

Ningsih mengangguk canggung.

Bibir Belcher melengkung. Pandangannya kembali pada jalan raya.

"Setelah dari lokasi pernikahan, saya akan mengantarmu kembali ke resto." Lanjut sang bos memutuskan.

Kepala Ningsih yang masih dalam tundukan mengangguk pelan. "Terima kasih, Pak Belcher."

Belcher mengulurkan lehernya sejenak ke balik punggung. "Aku dengar kamu tidak memiliki kendaraan pribadi dan kamar kontrakanmu dekat dari Resto. Nanti saya antar kamu ke kontrakanmu setelah pekerjaan selesai."

Sri yang tengah asyik menghayati jalan raya yang padat oleh tunggangan bermesin dari dalam kaca jendela, terperanjat dari posisinya.

Sri meringis canggung. "Terima kasih atas niat baik Pak Belcher. Tapi saya akan pulang sendiri. Saya tidak mau merepotkan anda."

Bibir Belcher hampir membentuk celah ketika tujuan mereka telah terhampar di depan mata. Satu-satunya pria dalam mobil kembali membungkam bibirnya. Dia mengendalikan kemudi dengan cekatan hingga menikung pada pelataran hotel. Kemudian benda bermesin itu memasuki salah satu celah kosong lahan parkir.

Langkah tiga pasang kaki berayun meninggalkan mobil kemudian melintasi pintu utama ruangan megah tempat akan diselenggarakannya resepsi pernikahan.

Sang pemilik restoran melangkah lebar terdepan diikuti dua karyawan cantik.

Sri menghampiri meja panjang utama yang berhadapan dengan singgasana raja dan ratu sehari. Food pan telah rampung ditertibkan secara urut oleh beberapa anggota tim pria pada permukaan kain satin alas meja.

Sri menambahkan ornamen-ornamen cantik pada setiap sudut meja yang belum terisi. Beberapa tangkai bunga imitasi yang terjalin siap menanti tamu di sisi susunan piring keramik. Sementara Ningsih mempercantik meja panjang di sayap kanan dengan susunan mutiara-mutiara manik yang berkilau.

Belcher menghampiri Sri setelah puas berkeliling ruangan menyapa para pekerjanya.

"Bagaimana, Sri?" Sapa Pak Bos memperhatikan kinerja anak buah.

Sri mengangguk. "Alhamdulillah meja depan dekor pengantin sudah selesai. Saya akan memperindah meja di tengah ruangan."

Belcher menjulurkan ibu Jari.

Sri melirik pintu masuk utama ruangan megah yang sejurus dengan punggung sang atasan pemilik restoran. Mata Sri melebar saat bayangan seorang pria setengah abad berbalut kemeja panjang melintasi dua daun pintu yang terbuka.

Pandangan sang pria berumur mengembara pada setiap sudut ruangan.

Sri membekap bibirnya. "Ayah," gumamnya.

Belcher berpaling pada Sri. "Ada apa, Sri?"

Sri memandang Belcher kikuk kemudian menggeleng. "Sebenarnya ini pernikahan siapa, Bos?" Tanya Sri disertai debar hati.

Lengan Belcher terulur pada dekorasi bagian atas singgasana pengantin. Dua nama terpahat pada dinding tiruan.

Sri mengambil satu langkah mundur. Tubunya terhuyung ringan. Kepalanya kembali menoleh balik punggung Belcher. Pria berumur semakin melenyapkan jarak mereka. Guratan mata semakin nyata kala memicing tajam. Bidikan retinanya jatuh pada hijab Sri yang menyembul dari celah tubuh sang atasan.

Sri berpaling pada Belcher. "Bos, saya ijin ke kamar kecil." Pamitnya dalam langkah seribu.

Uluran tangan Belcher berusaha mencegah. "Tapi ... tunggu!"

Sri tak punya waktu menoleh balik punggungnya untuk mendengar balasan sang atasan. Pandangannya setia lurus mencari jalan keluar.

Tepukan halus menghantam pungung lebar Belcher. Ketika pria muda itu membalik tubuhnya setengah lingkaran, retinanya memantulkan bayangan senyum seorang pria dewasa gagah.

Belcher mengulurkan tangan yang disambut genggaman bersahabat pria setengah abad di hadapannya.

"Selamat sore, Tuan Besar Juan Monarch!" Sapa Belcher santun.

Telapak tangan Juan lain menepuk gengaman tangan Belcher dengan kuat. "Anda pasti pengusahan muda sukses yang akan membantu kelancaran pesta pernikahan putra sulungku!"

Belcher menunduk sekali. "Anda terlalu memuji."

***

Sri terbirit-birit melintasi ambang pintu berdaun satu yang terletak di sudut ruangan. Sri melangkah tergesa sepanjang hamparan serambi yang mengelilingi bangunan hingga berhenti di balik pilar besar.

Sri mengatur napasnya yang naik turun. Kepalanya berputar tak tentu arah. Dia memaksa sepasang tungkai berbalut rok panjang tetap melangkah pelan. Namun penampakan sosok berjaket tebal menghantam keras tubuhnya dari arah berlawanan.

Sang adam menahan berat tubuh Sri ketika hampir membentur lantai. Sri kembali menemukan keseimbangan setelah sang pria melerai genggaman pada lengan Sri. Napasnya yang memburu perlahan selaras.

Sri menunduk menyesali kecerobohannya. "Maafkan saya! Saya tidak hati-hati!"

Nada suara yang hangat sedikit meninggi. "Sri, apa yang kamu lakukan di sini?"

Sri menengadah. Sepasang retinanya menangkap bayangan pria berjaket tebal seragam perusahaan. Helm tertutup tergantung di lengan kanannya.

Sri menelan ludah. "Aku kerja, Leo! Lalu kamu sendiri kenapa juga ada di sini?"

Leo mendesah panjang. "Aku kurir dan bisa berada dimana saja."

Sri memicing curiga.

Leo melirihkan suaranya. "Apa Arch tahu kamu kerja sampai ke lokasi ini? Ini kan lokasi resepsi pernikahanmu besok pagi."

Sri menggigit bibirnya cemas. "Dia tahu aku kerja hari ini sampai sore. Tapi dia tidak tahu aku ditugaskan ke lokasi ini karena Pak Belcher memberitahukan secara mendadak."

"Sri, cepat kirim pesan pada Arch atau kamu akan...." ancam Leo disertai gerakan tangan melintasi leher.

Tangan Sri yang gemetar menyeret ponsel usang dari saku rok panjangnya.

Leo melambai cepat. "Aku pergi dulu, ya!"

Teriakan Sri menghentikan langkah Leo. "Mau kemana, Le?"

Leo mengayun kembali langkahnya yang terjeda. "Kerja!" Teriaknya tanpa berpaling.

Sri menggeser halaman percakapan dengan cemas. Dia bergegas menorehkan huruf demi huruf dalam kolom ketik pesan.

Tubuh Sri melonjak kaget saat suara sang atasan terasa nyaring terdengar dalam gendang telinganya. Sri kembali meredupkan layar ponsel sebelum menyembunyikan dalam saku.

Belcher mengangkat sebelah alisnya. "Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa malah mengobrol dengan Leo?"

Sri menengadah heran. "Pak Belcher kenal Leo?"

Belcher mengusap ujung hidungnya yang runcing. "Aku selalu berusaha keras menghafal semua karyawanku."

Sri bergeming sejenak. Berfikir keras. Telunjuk Sri menggaruk hijabnya.

Belcher tersenyum kecil. "Kantor ekspedisi tempat Leo bekerja itu milik saya. Bagaimana kamu bisa kenal Leo?"

Ujung bibir kanan Sri terangkat. "Leo itu ... dia itu ... sahabat saya di kampus. Dia juga yang memberi info lowongan di resto Pak Belcher."

Belcher tak menimpali. Dia melirik tangan Sri yang saling terkait. Sementara Sri tengah ketakutan pada tatapan Belcher yang menghakimi. Dia berusaha menggali kembali ingatan tentang kesalahan yang telah diciptakan.

"Kamu mau berkirim pesan pada siapa?" Tanya Belcher menyelidik.

Kedua tangan Sri saling menggenggam. "Keluarga saya, Pak! Saya memberi informasi tentang keterlambatan saya."

Belcher membelai dagunya. "Keluarga yang mana? Bukannya kamu tinggal sendiri di kontrakan."

Sri seolah mendapat serangan fajar berpeluru panik. Jantung Sri bagai terikat besi hingga susah berdetak. Bibirnya hanya mampu membuka dan menutup bagai ikan yang terdampar di tepian.

Sri bersiap melarikan diri. "Keluarga saya selalu telepon setiap sore. Saya hanya mengatakan untuk menelpon lebih malam karena saya akan pulang terlambat."

Belcher mencoba mengangguki meskipun masih ada ragu dalam sorot matanya.

Sri memulai pergerakan tungkainya. "Saya permisi ke kamar kecil lalu saya akan segera kembali bertugas, Pak!" Pamitnya sebelum melesat dan menghilang di tikungan.

***

Sri termenung dalam lorong toilet khusus perempuan yang berada terpisah dari aula hotel. Aula hotel memiliki delapan toilet dalam. Namun Sri memilih celah yang lebar untuk menyembunyikan diri. Toilet yang terpisah dari bangunan utama adalah solusinya.

Sri memandang kosong bayangannya dalam cermin toilet. Tubuhnya berbalut seragam kerja kemeja hitam lengan pendek yang melapisi atasan panjangnya. Pada saku kemeja sebelah kanan terdapat bordir nama panggilan.

Tiba-tiba otak mampet Sri sedikit mendapat cahaya benderang. Gadis bersuami itu melucuti kemeja seragam dan menyisakan atasan panjang dan rok yang membungkus tubuhnya.

Sepasang tangan Sri melipat seragam dengan cekatan sebelum menjejalkan pada tas slempang yang menggatung di bahunya.

Sri mengatur hijab dan pakaiannya yang sedikit kusut sebelum berlalu dari lorong toilet. Langkahnya begitu kalem dan berjaga. Pandangannya mengembara di setiap sudut yang dilalui.

Bagaimanapun waspada indra penglihatannya, tak sanggup menggeser takdir. Seberapapun teliti indra pendengarnya, tak mampu menghapus garis tangan. Skenario hidup menghendaki bayangan Sri terpantul pada retina Juan Monarch.

"Sri, kamu di sini?" Tanya pria berumur tiba-tiba.

Sri melonjak kaget. "Ayah Juan."

Juan tetawa kecil. Lehernya menjulur ke setiap sudut serambi.

"Kenapa terkejut? Kamu bersama Arch, kan? Dimana dia?" Tanya Juan penasaran.

Telunjuk Sri mengarah acak. "Sepertinya ... Arch ... Arch sedang membeli ... membeli minuman, Yah!" Balasnya terbata.

Juan menggedikkan sepasang bahu tegapnya. "Apa boleh buat. Kamu ikut ayah saja melihat persiapan pesta di dalam."

Sri menyeringai cemas. "Tapi saya...." kalimat penolakan yang belum sempurna terangkai harus menyerah oleh genggaman sang ayah mertua.

Lengan Sri dibimbing sang ayah mertua menuju singgasana pelaminan raja dan ratu sehari. Sri kesulitan mengambil tindakan. Dia hanya mampu menyamai langkah Juan dengan was-was. Beberapa kali lehernya berotasi mengintai keberadaan sang atasan. Dia telah memantapkan diri untuk lari jika tampak batang hidung sang bos.

Juan mengurai genggamannya. Badannya menghadap dekorasi pengantin dengan puas.

"Bagaimana, Sri? Cantik, kan? Saya sengaja menampilkan nama depan kalian saja pada dekorasi." Tanya Juan meminta pendapat.

Sri mengangguk cepat. "Saya terkesan, Ayah! Seperti dongeng kerajaan." Pujinya jujur.

Beruntung para anggota tim peralatan Belcher kurang memperhatikan pergerakan manusia-manusia yang berlalu-lalang dalam aula. Sehingga keakraban salah satu anggota mereka dengan klien sulit terpantau.

Rasa aman Sri kembali terancam ketika sosok pemimpin dan rekan kerjanya memangkas jarak dengan singgasana mempelai. Apalagi sorot mata Belcher berbenturan dengan tatapan Sri. Ningsih yang awalnya tak menaruh curiga sempat goyah.

"Ayah, saya permisi akan mencari Arch dulu!" Pamitnya tiba-tiba.

Juan menepuk bahu Sri. "Ayah akan menunggu kalian di sini."

Sri mempercepat langkahnya menuju balik panggung singgasana mempelai. Dia kembali melekatkan seragam kerja melapisi atasan panjang. Sosoknya telah berseragam kembali ketika muncul dari balik dekorasi tinggi.

Belcher merasa sang klien tengah beramah tamah dengan salah satu karyawannya. Namun keberadaan gadis itu tiba-tiba buram. Pandangan Belcher beredar memantau setiap gerakan makhluk hidup dalam aula.

Belcher memacu alat gerak bawahnya ketika bayangan Sri melintasi pintu samping aula. Sri bergegas menjauhi aula. Kedua telapak tangannya menyumbat telinga. Dia cemas jika namanya kembali diteriakkan.

Benar saja. Panggilan lantang sang atasan tiba-tiba menembus gendang telinganya. Sri enggan mengurangi kecepatan. Dia setia melangkah untuk menghindari drama entah apa jika para tokoh dipertemukan dalam satu kondisi yang sama.

Sekeras apapun berusaha mengelak drama, torehan tinta takdir tetap akan bermain di dunia nyata. Sri berusaha menyembunyikan kenyataan diri dari Bos dan ayah mertua. Namun sekenario lain berjalan seperti semestinya.

Tubuh mungil Sri terhalang sosok tinggi besar yang berkacak pinggang di tengah jalan.

Raga Sri memantul mundur. Sementara Belcher sukses menggapai keberadaan Sri.

"Sri, kamu akan pergi kemana? Pekerjaan sudah selesai dan saatnya kita pulang?"

Sang pria tinggi besar berbalut sweater gelap dan celana cargo meraih lengan Sri. Mereka berdiri saling merapat. Dia sedikit menurunkan sisi depan pelindung kepalanya.

Belcher menaikkan sebelah alisnya heran. "Maaf, anda siapa?"

Sang pria tinggi mengatur letak kaca mata normalnya. "Saya yang seharusnya bertanya siapa anda mengajak pulang Sri?"

Sri menahan napas. Suasana sore yang pengap bagai ada bom waktu yang akan meletup kuat.

Belcher menyorongkan telapak tangannya. "Saya Belcher Pavo pemilik restoran tempat Sri bekerja. Saya bertanggung jawab pada karyawan saya untuk kembali dengan aman."

Sang pria tinggi menjabat erat tangan Belcher. "Saya Dan. Suami sah dari karyawan anda, Sri!"

Belcher memandang Sri tajam menuntut jawaban. "Benarkah itu?"

Sri menunduk. Dia hanya mampu melirik khawatir.

Jemari suami Sri menyelinap pada celah-celah jari perempuan itu sebelum melambungkan tangan mereka tinggi. Sepasang lingkaran menghias jari manis tampak berkilau diterpa cahaya senja.

Suami Sri menyeringai. "Anda melihat cincin pelatina kami?"

Belcher tertawa singkat dalam anggukan kepala. "Baik, jika begitu sudah tidak ada lagi tanggung jawab saya sebagai atasan sore ini. Saya permisi undur diri."

Belcher berlalu meninggalkan tatapan tajam yang sulit diurai maknanya. Busur mata dibidikkan tepat pada retina Sri. Pandangan tajam yang diartikan sebagai pemutusan gaji secepatnya oleh Sri.

Sri tidaklah paham apakah dia masih bisa bekerja jika statusnya telah menikah?

Arch menyipit di hadapan Sri. "Sri, jelaskan mengapa kamu bisa sampai sini?"

Sri mengerucutkan bibirnya. "Arch sendiri mengapa ada di sini?"

***