Penata rias dan busana khusus pria yang bertanggung jawab pada penampilan mempelai pria, sedikit resah mendapati panggilannya yang tak berbalas. Bastian bergerak gelisah dua arah di depan daun pintu kamar hotel yang menganga. Pria metropolis itu telah kenyang memeriksa. Dia beberapa kali menjelajahi isi kamar yang masih saja tanpa penghuni.
Sebastian menamparkan lempengan alat komunikasi pada telapak tangannya. Mendadak pelita imajiner benderang dalam sel-sel otaknya. Dia beranjak dengan sedikit senyum lega menelusuri koridor yang menghubungkan taman belakang.
Taman belakang hotel yang begitu lapang mengelilingi kolam dewasa dan anak-anak. Semilir angin terasa kesepian tanpa makhluk-makluk bernyawa yang menyambutnya. Hembusannya hanya mampu berlalu tanpa terjeda gelak tawa penikmatnya.
Sebastian menyisir kasar helai lembut rambutnya. "Astaga, Tuan Muda ada dimana?" Tanyanya bermonolog.
Sepasang retina kembali menajamkan pandangan menjelajahi taman belakang. Sekali lagi hanya kecewa yang diteguknya.
Sebastian menggigiti kuku jari tangannya. "Tuan Muda Arch, aku mohon jangan menghilang. Ayo, muncullah!" Harapnya.
Tubuhnya melonjak histeris ketika tepukan lembut mendarat pada punggungnya. Sebastian memutar raganya setengah lingkaran.
Pria tinggi tegap memandang Sebastian heran. "Kak Bastian, apa ada masalah?"
Bastian membelai bagian depan kemejanya. Napasnya masih tersengal-sengal.
Sang pria berbalut jas resmi menepuk bahu Bastian kembali. "Kas Bastian baik-baik saja, kan?" Tanyanya khawatir.
Bastian memicingkan matanya. "Anda Tuan Muda Arch?" Balasan yang muncul berupa pertanyaan kembali.
Pria muda mengangguk dalam senyum tipis. Dia yang memiliki postur menjulang itu mengenakan pakaian mempelai pria yang beberapa waktu lalu memohon kesempatan menghirup udara segar pagi di taman belakang. Namun paras menawan itu terselimuti tabir setengah bagian wajah.
Bastian menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa anda memakai topeng?" Tanya Bastian cemas.
Sang Pria melipat lengannya. "Saya dan istri saya sepakat untuk menggunakan penutup wajah. Kami akan membukanya pada pertengahan acara."
Bastian mengangguk paham. "Mari Tuan Muda Arch, kita menghampiri ruangan Nona Jasmine untuk memasuki ruang resepsi bersama." Pintanya.
Arch bertopeng mengangguk tanpa tapi.
Sementara penata rias dan busana khusus mempelai wanita tak ubahnya Sebastian. Kesadarannya disergap kebingungan ketika dia kehilangan jejak sang mempelai wanita secara tiba-tiba.
Waktunya amblas percuma hanya untuk mondar mandir melintasi gawang pintu kamar hotel. Namun kepanikan kian membesar menyaksikan kondisi kamar tetap tak didapati penghuni meski beberapa kali diselidiki. Langkah lebarnya kembali melintasi pintu kamar dan bersua dengan oksigen koridor.
Bibir Emerald berulang kali melantunkan dzikir penenang jiwa. Hanya harapan baik yang berusaha dihadirkan dalam benaknya. Namun bayang-bayang negatif tak henti-henti menakuti.
Alat pemompa darah yang tengah menemui klimaks berangsur-angsur mereda saat anti klimaks muncul. Perempuan berbalut gaun pengantin membelai lembut bahu sang penata rias.
Emerald membalik badan. Bola matanya bergerak vertikal beberapa kali memandang sosok perempuan tinggi yang terbungkus gaun mempelai wanita kliennya lengkap krudung dan menutup wajah.
Kening Emerald mengernyit. "Kak Jasmine Sri? Benarkah? Dari mana saja, Kak?" Tanyanya cemas dan ragu.
Sang mempelai berpenutup wajah mengangguk. "Saya hanya berjalan sebentar."
Emerald menaikkan sebelah alisnya tak percaya. "Kenapa badan Kak Jasmine bisa setinggi ini?"
Mata sang mempelai wanita menyipit dalam tawa terselubung. "Saya sudah memakai heels, Kak Emerald!" Balasnya tanpa menunjukan sepasang tungkai di balik gaun yang menjuntai.
Emerald menyinggungkan kedua telapak tangannya. "Alhamdulillah," gumamnya.
Bunyi dua pasang sepatu yang berirama dari ujung lorong terdengar kian tegas. Sosok dua pria dewasa berbalut pakaian formal terlihat kian nyata.
Sebastian menghampiri Emerald. "Mari, kami akan mengantar menuju singgasana pelaminan!" Ajaknya santun.
Sang mempelai pria meraih tangan sang pasangan dalam genggamannya. Mereka melangkah perlahan menuju lorong yang menghubungkan dengan balai riung utama yang megah.
Barisan keluarga mempelai pria dan wanita berjajar rapi pada dua sisi ambang pintu utama. Mereka adalah pasangan suami istri klasik dalam balutan pakaian seirama. Mereka tampan rupawan bersanding cantik jelita.
Sepasang demi sepasang pengiring mengawali langkah mereka ketika kedua mempelai melintasi ambang pintu utama. Para pengiring menata diri mereka di balik punggung kedua mempelai. Mereka berjajar rapi bagai jajaran bidadari yang mengayomi cinta sejati.
Denting piano mengalun lembut berselaras dengan hangat lantunan seksofon. Setapak demi setapak kedua mempelai menghirup udara kemegahan dalam balai riung. Atmosfir ruangan menyerupai legam jelaga dirgantara di saat gulita. Kerlip berlian angkasa memukau setiap pasang mata yang memandangnya.
Tirai benang gliter senada cakrawala bak kristal yang benderang dalam kelam malam. Jalan setapak menuju singgasana pelaminan berbalut permadani timur tengah yang terhampar panjang. Kabut buatan berhembus sepanjang tungkai berjalan.
Sang mempelai wanita menyinggung rusuk sang pria dengan sikunya. "Aku tidak menyangka akan seperti ini. Apa tidak bahaya untuk kita? Keluarga ini bukan keluarga biasa." Bisiknya ragu.
Sang mempelai pria setia mengayun langkah. "Kamu tidak perku khawatir. Apapun yang terjadi in sya Allah kita pasti selamat." Balasnya menenangkan.
Mempelai wanita memalingkan pandangan pada jalan setapak yang dilaluinya. Susunan bunga dan lampu dekorasi kupu sepanjang jalur bagai berbaris menyambut rombongan pengantin.
Sang mempelai wanita menghirup napas panjang untuk meredakan ketegangan. Berbanding terbalik dengan mempelai pria bertutup muka yang lebih mampu mengendalikan hati. Perlahan tapi pasti, mereka menduduki singgasana ratu dan raja semalam. Kedua orang tua kandung mendampingi pada kedua sisinya. Juan yang seorang duda duduk ditemani sang adik kandung di panggung pelaminan.
Para tamu undangan mulai berdatangan memenuhi meja penerima tamu. Antrian panjang pada jalur singgasana mempelai membuktikan antusiasme para hadirin untuk memberi ucapan selamat dan doa.
Kedua mempelai semakin asyik dengan kesibukan menyapa undangan setelah beberapa ritual singkat antar anak dan orang tua yang telah dijadwalkan penyusun acara.
Mempelai wanita bercadar berbisik tiba-tiba, "Sepertinya tidak ada yang mencurigakan."
Sang pria yang masih menjabat tangan satu per satu beberapa tamu menoleh. "Jangan lengan kita harus tetap waspada!"
Para tamu undangan yang telah melintasi singgasana pengantin untuk memberi kebahagiaan, kini memadati sajian hidangan mewah yang memenuhi setiap penjuru ruangan. Mereka bersantai menyantap olahan barat dan timur diiringi orkestra musik jazz.
Seorang perempuan jelita tamu undangan melenggang menghampiri mempelai. Sebuah kado pernikahan duduk manis dalam genggamannya. Dia menyambut uluran tangan mempelai dengan lengkungan bibir.
Sang tamu perempuan menyodorkan kado berbentuk kubus berukuran sedang. Mempelai wanita menerimanya dengan berpura-pura senang hati.
Kedua mempelai memicing curiga setelah tamu wanita yang datang tanpa pendamping itu berlalu.
Pengantin wanita menggigit bibirnya cemas. "Perasaanku tidak enak."
Pengantin pria mengetuk pelan kotak bercorak mawar itu. "Kita buka perlahan. Jika isi jauh dari perkiraan, aku mohon jangan berteriak." Pintanya memberi arahan.
Pengantin wanita mengangguk pelan.
Mempelai pria menggengam erat kotak sementara pasangannya menggeser penutup perlahan hingga tampak sebagian dari penghuni kardus.
Mempelai pria hampir gagal menguasai diri ketika menyaksikan sesuatu yang menggeliat dalam kotak. Beruntung mempelai wanita memperingatkan melalui tatapan mata. Mempelai pria berhasil menahan kecemasannya.
Mempelai wanita mendesah. "Benar, kan? Si tampan menawan ada di dalam." Celetuknya.
Mempelai pria melirik heran pasangannya. Dia kesulitan menyusun kalimat. Dia hanya mampu menelan ludah kelu.
Sang pengantin wanita melangkah anggun menghampiri sang wanita pemberi kado yang hampir menuruni panggung singgasana pengantin.
"Kak, milik kakak ketinggalan!" Ujar pengantin wanita sedikit nyaring karena tenggelam dalam alunan live music.
Sang wanita anggun bergaun menyala menoleh. Sementara tangan mempelai wanita terulur dan mendaratkan sang tampan pada bahu sang tamu wanita.
Sang tamu wanita menjerit lantang. Tangannya menampik si hijau tampan pada pundaknya hingga melayang tinggi. Si hijau tampan melakukan pendaratan cantik hingga keluar singgasana pengantin.
Para tamu yang asyik bercengkrama dan menyantap sajian istimewa terperanjat. Beberapa tamu mengeluarkan suara terkejut. Beberapa lainnya mengurut dada perlahan. Namun kekhawatiran mereka tak berlangsung lama ketika dua pria dewasa serba hitam muncul dari kerumunan tamu.
Mereka mematuhi kode dari mempelai pria yang mengayunkan tangan ke udara. Seorang pria berkepala tandus mengamankan iguana jantan hijau kelam. Sementara pria berikat rambut menggiring sang wanita pembuat ribut.
Sang pria mencengkeram pergelangan sang tamu. "Maaf, anda harus ikut saya mempertanggungjawabkan perbuatan anda!" Pintanya sopan namun tegas.
Sang tamu wanita meronta tapi tertunda keberhasilannya. Sang pria berbalut setelan hitam tiada niat melerai jemari tangannya. Sang pria berikat rambut bergegas menyeret langkah mereka menuju pintu utama balai riung dan lenyap dari pandangan. Iguana jantan telah nyaman menghuni teralis besi berbentuk persegi panjang.
Juan menggeram. Dia beranjak dari singgasana lalu menghampiri sang putra.
Juan melipat lengannya. "Apa-apaan kamu? Dimana kakak dan kakak iparmu?" Tudingnya keras.
Sang mempelai pria terperangah. Dia hanya mampu membisu dalam tundukan kepala.
Pengantin wanita tanpa sengaja melonggarkan kewaspadaan ketika sang tuan rumah mulai menerka keadaan. Seorang pria bertudung serba abu mengayun langkah seribu menghampirinya. Dia bergerak dengan tangan tersembunyi. Lengannya mengayunkan genggaman senjata tajam.
Beruntung, teriakan sang mempelai pria yang menyadari sosok asing menggugah kesadaran mempelai wanita. Wanita bergaun merekah dan menjuntai itu memutar tungkai jenjangnya. Tendangan kaki beralas sandal jepit sanggup melempar senjata dari tangan pelaku.
Beberapa petugas keamanan berseragam kelam menyeruak dari keramaian tamu kemudian meringkus pelaku beserta senjatanya. Sorak sorai tamu memberi penghargaan atas ketangkasan pengantin wanita. Gegap gempita tepuk tangan memantul di setiap penjuru bangunan.
MC kembali berceloteh di hadapan hadirin berupaya meredam ketegangan. Suasana kembali terkendali. Acara kembali berkelanjutan. Kehangatan mulai menjalar lagi.
Mempelai pria bersiap menghampiri sang pengantin wanita. Namun tuan besar mencekal lengan jasnya.
Pengantin pria melempar tatapan tajam. Gerak gesit jemari kanan tuan rumah merampas penutup wajahnya.
Mata Juan membola. "Sudah aku duga ini kamu! Lantas dimana mereka?"
***
Perempuan berbalut gaun permaisuri raja bersusah payah menggapai kontrakan seseorang yang dikenal. Dia menahan gaun panjang dan berbobot selama dalam taksi hingga sang sopir mengulurkan bantuan ketika melintasi pintu taksi.
Taksi telah berlalu. Kini tinggalah dia seorang diri di hadapan bangunan bertingkat yang tersusun atas puluhan kamar. Sebuah ruangan pada lantai bawah menjadi targetnya.
Kamar kontrakan sang sahabat tampak senyap dengan lampu yang terlihat benderang dari ventilasi jendela. Beberapa kali kepalan tangannya mendarat pada daun pintu tetapi tanpa balasan.
Dia meminta pemilik kontrakan membuka daun pintu dengan kunci cadangan. Namun ternyata ketakutan sang perempuan tak terbukti. Ibu pemilik kontrakan yang enggan menilik ke dalam akhirnya mendesah lega.
Mata sang wanita bergaun pengantin menjelajahi setiap sudut ruangan kosong dari ambang pintu.
"Kapan terakhir kali ibu melihat Leo?" Tanya sang wanita pelan.
Sang pemilik kontrakan termenung sejenak. "Tadi malam saya melihat Mas Leo masuk kamar." Jawabnya.
Sang wanita bergaun pengantin mendesah. "Tapi mengapa tidak ada barang-barang selain dipan dan almari kecil?"
Ibu kontrakan menjentikkan jari. "Mas Leo memang pamit. Dia bilang bulan ini terakhir dia tinggal di kamar ini."
Wanita bergaun menatap ibu kontrakan serius. "Apa ibu tahu Leo pindah kemana?"
Pemilik kontrakan menaikkan kedua bahu. "Dia hanya bilang akan balik. Kata-kata semacam itu."
Wanita bergaun membekap bibirnya. "Astaghfirullah, apa maksudnya? Dan pesan yang dia kirim tadi apa juga berhubungan?"
Ibu kontrakan yang sempat menelusuri kalimat pesan singkat dari Leo untuk sang sahabat pun mendadak gusar. "Mbak, saya ijinkan kamu mencari petunjuk tentang keberadaan Mas Leo di kamar ini. Saya harap Mas Leo baik-baik saja!"
Wanita bergaun mengangguk pelan disertai ucapan terima kasih.
Ibu kontrakan menepuk bahu wanita bergaun. "Saya permisi dulu mau ke lantai atas. Saya sudah ada janji dengan penghuni baru di sana."
Wanita bergaun mengangguk kembali. Sepeninggal bunyi ketukan sepatu ibu kos yang menuju lantai atas, aura gelap tiba-tiba menyergap perasaan wanita bergaun. Tubuhnya lunglai. Punggungnya menyinggung dinding serambi kamar kontrakan sebelum meluncur ke bawah.
Kepalanya tertunduk lesu.
Suara dehem pria menyentak kegamangan sang wanita bergaun pengantin. Sang wanita mendongak heran. Bayangan seorang pria bersetelan jas mewah rapi bediri tegak di hadapannya.
Sang pria merasakan napasnya berat. "Jadi kamu melarikan diri dari resepsi pernikahan kita untuk menemui pria lain?"
Sang wanita terperangah. Dia menyangkal dengan gelengan cepat.
***