Chereads / AKU KABUR KAU KEPUNG / Chapter 30 - Risau Kawan

Chapter 30 - Risau Kawan

Arch melipat lengan setinggi dada. "Jadi Nyonya Danaus Monarch apakah anda bisa jelaskan tentang jadwal pulang kerja sore menjadi pindah lokasi?" Tuntutnya.

Sri menahan senyuman. "Jadi Arch datang ke restoran untuk menjemput aku?"

Arch melirik tajam. "Menurutmu? Dan yang aku dapatkan adalah jawaban yang menjengkelkan. Sri sedang meninjau lokasi dengan Pak Bos Belcher. Begitulah kata salah satu dari rekan kerjamu."

Sri terkikik kecil. Perangai dingin Arch yang selama ini tercatat dalam memori Sri, perlahan bergeser seratus delapan puluh derajat. Dia menjelma pria menggemaskan dan mudah digoda.

Arch mendengus kesal. Dia mengikis jarak antara mereka. Suasana di sekeliling Sri mendadak mencekam. Gadis itu melangkah mundur pelan-pelan hingga terhalang dinding.

Paras Arch menghampiri Sri bahkan tiada celah antara hidung mereka. "Apanya yang lucu Sri?" Tanyanya serak.

Sri meringis. "Kamu yang lucu. Seperti seorang kekasih bucin yang sedang cemburu." Jawab Sri terlampau jujur.

Arch melengos. Parasnya berpaling sembarang arah. Dia berusaha menghindari tatapan mata sang Istri yang tampak mengusili.

Arch melipat lengannya. "Jangan mengalihkan pembicaraan. Kamu belum menjawab bagaimana kamu ada di sini?"

Sri yang geregetan spontan menekan ujung hidung panjang sang suami. Arch yang terkejut terlambat menghindar. Suara mengeluh keluar dari bibirnya. Arch berniat membalas. Jemari kanan sang pria berusaha meraih lengan Sri. Keberuntungan Sri yang sigap dapat lolos dari serangan balas dendam Arch.

Arch mendelik. "Sri, jangan iseng!"

Sri bertolak pinggang. "Arch, kenapa kamu menanyakan hal yang sudah kamu tahu jawabannya. Aku ada kerja tambahan memantau kerapian dan keindahan meja-meja konsumsi pada resepsi pernikahan."

Arch memicing. "Bagaimana bisa sampai tempat ini? Tidak mungkin naik satu truk bersama karyawan-karyawan pria, kan?"

Gigi-gigi Sri bergemeletuk. "Kan sudah diberi informasi dari resto. Aku menuju lokasi ini bersama Pak Belcher dengan mobil pribadinya."

Paras Arch semakin menjorok paras Sri. "Apa? Kalian berdua dalam mobil yang sama?" Selidiknya.

Sri mendesah panjang. "Bukan berdua tapi bertiga. Aku duduk di bangku penumpang belakang dan temanku Ningsih menemani Pak Belcher di depan."

Leher Arch menjulur mencoba mengintai suasana dalam aula. "Lalu pernikahan siapa yang akan di adakan di sini?" Tanyanya ingin tahu.

Bibit Sri beristighfar. Jemarinya saling bergotong royong melepas kancing kemeja seragam yang melapisi pakaian panjangnya. Lengannya bergegas meluruhkan baju seragam dari tubuhnya. Beberapa lipatan diciptakan untuk meringkas ukuran sebelum menyimpannya dalam tas slempang.

Arch memelintir dagunya. "Kenapa mendadak panik? Leo tadi meneleponku untuk segera menyelamatkanmu dari sini. Ini sebenarnya acara pernikahan siapa?"

Mata Sri melebar. "Leo memberitahumu?" Tanya Sri memastikan.

Leo yang tampak sedikit kesal karena pernikahan paksaan kakak dan sahabatnya ternyata masih menaruh kepedulian pada mereka berdua.

Arch mengangguk pelan. "Kamu belum memberitahu acara pernikahan siapa ini?"

Sepasang tangan Sri terkepal geram. "Acara pernikahan kita besok pagi! Itulah mengapa aku melepas seragamku. Aku tidak ingin ayah tahu aku bekerja sambilan." Jawabnya penuh penekanan.

Arch mulai mengeluarkan taringnya. "Apa? Kenapa kamu tidak memberitahuku tentang hal sepenting ini?"

Sri memijit pelipisnya. "Bagaimana mungkin aku bisa bilang? Jika Pak Belcher tidak mengajakku kemari aku bahkan juga tidak akan mengetahuinya."

Arch menyipit tak suka. "Terus saja menyebut nama Pak Beser."

Sri menyinggung dahi Arch menggunakan punggung tangannya. "Arch, kamu tidak sakit, kan? Dari tadi kamu bersikap aneh dan seolah membenci Pak Belcher. Padahal kalian tidak kenal. Aku pikir kamu demam."

Arch menyingkirkan jemari Sri dari keningnya. "Demam apa maksudmu?"

Sri berbisik. "Deman kecemburuan." Ledeknya.

Arch memelintir pipi bolen Sri. "Kamu sudah meledekku dua kali." Geramnya.

Suara berat yang terdengar tiba-tiba meredam ketegangan antara mereka hingga gencatan senjata terpaksa ada.

Seorang pria berumur melipat lengannya. "Kalian apa-apaan? Saya dengar kalian bertengkar terus sedari tadi!"

Mereka berdua berpaling pada sumber suara. Mereka hening sejenak. Dua pasang mata hanya mampu tukar lirikan dalam bisu.

Mata sang pria dewasa melotot. "Kalau mau bertengkar jangan disini! Ini ruangan terbuka! Bikin malu saja!" Cerocosnya.

Arch dan Sri saling menatap bingung. "Lalu dimana, Yah?" Jawab mereka kompak.

"Di ranjang!" Balas Juan Monarch sarkas.

"Astaghfirullahaladzim...." keduanya kompak beristighfar.

"Ayah, Arch minta tolong jangan bicara macam-macam di depan anak di bawah umur." Sindirnya sambil melirik sang istri.

Sri yang peka seketika melotot. "Siapa anak di bawah umur? Aku?"

Juan mengisi celah antara dua sejoli itu. Dia berniat meredam pertengkaran tidak bermutu keduanya.

"Kalian ini sudah dinasehati masih bandel, ya? Harusnya kalian membina hubungan yang romantis, harmonis, sejahtera, rukun, aman, tenteram gemah ripah loh jinawi." Geram Juan.

Arch memebelai dadanya. "Yah, kita pengantin baru bukan transmigran baru di lahan tidur."

Bibir Juan mendekati lubang telinga sang putra. "Sama saja, sama-sama akan bercocok tanam agar menghasilkan individu unggul."

Arch menyeringai. "Ini jadikan pembelajaran untuk ayah. Jika mencari calon istri untuk anaknya harus difilter dulu. Gadis ini kan bocah tengil dan tukang kabur." Ledeknya.

Sri mencubit pinggang Arch gemas.

Juan mengurut pangkal hidungnya. Otaknya terasa akan meledak.

Juan melipat lengan di hadapan sang putra. "Berarti kamu masih belum menerima keputusan ayah? Baiklah, ayah rasa Leo sudah cukup dewasa menggantikanmu."

Arch terenyak. "Ya, bukan begitu maksud Arch, Ayah!" Bujuknya. "Meski tukang kabur, aku tidak akan membiarkannya kabur dengan pria lain."

Juan berbisik, "Nah, begitu dong! Jadi pria jangan gengsian." Celetuk sang ayah pelan.

Sri menaikkan sebelah alisnya. "Ayah, kalian membicarakan apa?"

Juan meraih lengan kiri Arch dan kanan Sri. Dia menuntun dua kesayangannya menginjak lantai dalam aula tanpa memberi tanggapan rasa penasaran Sri.

"Ayo, kita lihat persiapan acara megah kalian besok pagi!" Ajaknya

***

Leo menatap penuh amarah pada layar ponsel dalam gengamannya. Dia telah beberapa kali mengirim pesan pada akun resmi penggemar Danaus Monarch dan akun-akun pengikutnya. Namun belum ada satu balasan dari beberapa akun yang telah disapanya.

Sepertinya pernyataan Suci terbukti kebenarannya. Jangankan menjadi anggota komunitas, menanti balasan pesan langsung sungguh menuai derita yang menyiksa.

Leo melempar tubuhnya pada kursi malas yang telentang di tepi kolam renang rumahnya. Pemaparan taman belakang saat gelap terhampar pada retinanya. Beberapa hari sang anak tengah sanggup menuai senyuman sang ayah. Dia bermalam kembali dalam kamar kesayangan di istana Juan. Ketegangan antara keduanya pun telah sirna. Salah paham perlahan menghilang.

Leo menggoyangkan ponsel dalam genggaman dengan gemas. Malam semakin pekat membumbung di angkasa berkawan pelita cakrawala yang mengerling cantik. Namun jalan pikiran sang pemuda masih terhalang batasan dan ide gagasan belum bermunculan.

Derap langkah menghampiri Leo pelan. Pemuda itu abai akan segala yang berisik di sekitarnya. Otak cerdasnya sedang diperah sekuat tenaga demi menyusun rencana.

Sang pria setengah abad menepuk pelan punggung sang putra sebelum meletakkan tubuh di sisi sang pemuda.

Leo masih bergeming pada posisi awal.

Sang pria dewasa mendesah lelah. "Kamu masih memikirkan istri kakakmu?"

Leo menggeleng pelan. Balasan Leo sedikit melonggarkan paru-paru Juan. Juan mengucap syukur akan kondisi sang putra yang terbebas dari jerat patah hati.

Sebelah alis pria berumur itu terangkat. "Lalu apa yang sedang kamu khawatirkan?"

Leo berpaling pada Juan. "Aku mengkhawatirkan Sri, Yah!" Jawabnya lirih.

Juang menggeleng-geleng heran. "Itu sama saja kamu memikirkan istri kakakmu, Le!" Sahutnya sedikit kesal. Lega yang datang kini ditendang

Iris Leo memandang tajam. "Aku memikirkan Sri sebagai sahabatku bukan Sri sebagai Istri Arch."

Mata Juan menyelidik kesungguhan sang putra. "Sri adalah istri Arch. Apa bedanya? Sebenarnya ada masalah apa?"

Leo melipat lengannya. "Aku baru tahu kalau ternyata Danaus Monarch terkenal di kalangan para perempuan. Mereka begitu terobsesi pada si buruk rupa Arch."

Juan tak mampu menahan tawa.

Leo merajuk. "Ayah, aku serius. Jangan menertawakan masalah yang bukan main-main."

Juan menahan tawanya. "Aku tahu arah pembicaraanmu, Leo. Kamu takut jika mereka akan mencelakai istri Danaus Monarch. Bukan begitu?"

Leo mengangguk. "Sri sahabatku, Yah! Bahkan sejak keluarganya masih kaya raya dia satu-satunya yang mau menemaniku meskipun setahu dia aku kumuh dan belum mengetahui identitasku sebenarnya."

Lengan Juan mendekap bahu sang anak. "Kamu tidak membenci Ayah, Arch dan Sri?"

Leo melempar pandangan pada paras tampan pewarisnya. "Aku tidak mungkin membenci kalian. Aku hanya sedikit kaget dan kecewa pada pernikahan mereka yang tiba-tiba. Aku memang berniat menikahi Sri. Namun aku sadar jika Arch lebih mampu melindungi Sri daripada aku."

Juan menepuk beberapa kali bahu Leo. "Terima kasih untuk Leo yang telah berpandangan dewasa. Ayah bangga padamu!"

Pandangan Leo berkaca-kaca. "Tapi Leo mohon jaga Sri saat resepsi pernikahan besok. Leo takut para fanatik Danaus Monarch mencelakakannya."

Bibir sang duda tampan melengkung indah. "Jangan khawatir. Ayah sudah memikirkan hal itu!"

***

Sri tegak di ujung jendela bening sebuah kamar dalam ruangan hotel yang khusus didayagunakan sebagai lokasi tata rias pengantin dan keluarga. Ada empat kamar dalam ruangan tersebut. Dua mempelai dan dua keluarga mendapat jatah kamar rias masing-masing.

Sri terpaku memandang halaman belakang hotel yang diramaikan keluarga-keluarga kecil yang tengah bermain air dalam kolam. Gadis itu telah dilukis menjadi lebih menawan dengan kesederhanaan dalam kemewahan.

Sri berbalut gaun tertutup berwarna putih tulang dan berbahan heavy satin yang elegan. Bagian teratas tubuhnya rapat oleh kerudung yang menjuntai hingga dada. Selendang lace melapisi kerudung dengan tiara sebagai pengaitnya.

Sri bagai bidadari surga yang singgah sementara di permukaan dunia. Pernikahan yang tak dikehendakinya ini menarik garis lengkung bibirnya. Pernikahan paksaan ini menabuh genderang jantungnya. Pernikahan setengah hati yang terasa membahagia.

Seorang ahli rias berhijab sibuk menata perlengkapan berhias pada permukaan meja kamar hotel khusus mempelai wanita.

Wanita kepala empat itu menghampiri sang ratu sehari. "Nona Jasmine, saya permisi keluar sebentar untuk mengambil beberaoa asesoris di mobil." Pamitnya meminta ijin.

Sri berpaling pada wanita di balik punggungnya. "Iya, Kak Emerald!"

Wanita dewasa bernama Emerald menepuk bahu Sri. "Saya tinggal dulu sebentar." Ucapnya berlalu menuju pintu.

Sri mengangguk pada sosok yang menghilang setelah daun pintu kembali merapat.

Beberapa bunyi notifikasi pesan singkat sedikit mengejutkan jantung Sri. Langkahnya gemulai mendekati meja. Jemari lentik berhias hena putih meraih benda ketinggalan jaman pada permukaannya.

Sebuah aplikasi pesan obrolan menyala merah. Beberapa saat Sri memeriksa halaman pesan yang tampak sepi tanpa pengirim. Hanya ada satu nomor dengan beberapa pesan belum terbaca. Deretan kalimat-kalimat panjang dari nomor yang sama segera dibuka.

Bola mata Sri asyik terhanyut dalam aliran kata-kata di dalamnya. Rangkaian kata yang berhasil membuka bibir Sri untuk beristighfar.

Sri menggeleng-geleng heran. "Apa-apaan nih bocah? Perasaan kemarin saat ketemu dia baik-baik saja. Bahkan sedang giat bekerja." Omelnya.

Sri mondar-mandir sambil menimang-nimang benda pipih di genggamannya.

"Benar-benar tidak beres anak satu ini. Perlu dirukyah otaknya. Siapa tahu ada yang nempel saat dinas malam." Gumamnya bermonolog.

Sri meremat ponsel dalam genggamannya. Dia tak perlu merenung lagi jika masalah bersinggungan dengan masa depan sang sahabat.

Kedua tangan Sri mengepal dan memantapkan langkah. Dia mendorong daun pintu perlahan lalu mengendap-endap meninggalkan kamar.

Sri menempuh hamparan koridor panjang lantai pertama hingga berjumpa dengan kolam renang taman belakang hotel.

Sementara Tuan Muda Danaus Monarch yang telah tuntas mendapat pelayanan tata rias dan tata busana, bergerak gelisah pada sofa kamar hotel mempelai pria. Sebastian Ahmed, penata rias dan busana khusus pria memandang sang klien heran.

Sebastian yang tengah merapikan peralatannya berhenti sejenak. "Penampilan anda sangat menawan, Tuan Muda. Paras tegas natural anda tidak membutuhkan banyak riasan karena sudah sangat eksotis. Jadi jangan cemas!"

Danaus Monarch dalam balutan setelan jas putih tulang bagai pangeran negeri seberang yang banyak diidamkan kaum hawa.

Arch menoleh pada sang penata rias. "Terima kasih atas perhatian Kak Bastian. Saya hanya butuh sedikit pemandangan berbeda untuk meredakan cemas. Bolehkah saya berjalan di taman belakang sebentar?"

Sebastian mengangguk memaklumi. "Jika saatnya tiba saya akan menghubungi anda."

Bibir Arch melengkung tipis. "Terima kasih, Kak Bastian!"

Bastian menggulirkan ibu jari kanan. Sepasang mata jelaga tak berpaling dari sosok memawan yang menutup pintu dari luar.

Arch menggosok kedua telapak tangannya. "Mengapa perasaanku tidak enak?" Gumamnya bermonolog.

Arch mengayun sepasang tungkainya santai. Pandangannya mengembara dari sudut ke sudut sepanjang koridor hingga menangkap bayangan gaun mewah putih tulang.

Arch menambah kecepatan tungkainya hingga hampir setengah berlari melintasi kolam renang taman belakang. Sosok berbalut gaun kerajaan barat itu menelusuri celah kecil antara dua bangunan hotel bertingkat untuk menggapai jalur keluar utama.

Arch mengikutinya dalam senyap. Tuan Muda Sulung paham betul perangai yang sering menyembunyikan diri tersebut. Gelagat yang telah melalui proses pengamatan Arch.

Arch menyeringai licik. "Kamu masih sempat berpikir tentang melarikan diri dalam kondisi seperti ini? Lihat saja! Aku akan menangkap dan menghukummu!"

***