Daun pintu utama kediaman Arch bergeser dari dalam menampakkan sosok wanita setengah baya dengan sapaan santun. Wanita berisi itu berbalut daster panjang dan aroma bawang.
"Selamat siang dan selamat datang, Tuan Muda Arch dan Nona Jasmine!" Ucap asisten rumah tangga hormat.
Bibir Arch melengkung simpul.
Sementara Sri tertawa lebar. "Bi Ayuk bisa saja. Saya kan setiap hari ke sini ngajar Mas Hal." Sahutnya.
Bi Ayuk menyelimuti bibir bergincu dengan telapaknya. "Ya tetap beda, Non! Kalau dulu hanya saat ngajar saja tapi sekarang Nona Jasmine sudah menjadi anggota keluarga Monarch. Jadi saya tidak kesepian Di rumah Tuan Muda. Ada teman untuk ngomongin tetangga!"
Arch menaikkan alisnya takjub dan Sri berdzikir mohon ampunan Allah Swt.
Arch melotot. "Bi, awas ya! Jangan ajari istri saya hal yang tidak-tidak." Ancam Arch.
Bi Ayuk mengangguk sambil menahan senyum. "Ciee, istri...." celetuknya menggoda.
Arch menggeser koper pakaian dalam genggamannya disertai wajah bosan. "Bi Ayuk, saya minta tolong bawakan koper pakaian saya ke dalam!" Pinta Arch dengan penekanan kata.
Bi Ayuk meraih koper medium dari tangan Arch. "Maaf, Baik, Mas Arch!"
Bi Ayuk melebarkan daun pintu sebelum bergegas menggiring koper pakaian menuju belakang rumah. Arch melintasi ambang pintu diikuti Sri di balik punggungnya. Mereka melangkah hingga tangga ruang tengah.
Gadis yang menggendong ransel kecil kusam di punggungnya menahan gerakan telapak kakinya ketika Arch hampir menapak anak tangga.
Arch menoleh. Sebelah lengannya menggenggam pegangan tangga. "Kenapa berhenti?" Tanyanya heran.
Sri menyipit. "Mau kemana?"
Arch mendesah panjang. "Ke kamar, Sri!"
Sri menggaruk kepala berbalut kerudung segiempat berwarna sage senada kemejanya. "Lalu kamarku di mana?" Tanyanya belum paham.
Arch mengurut pangkal hidungnya. "Kamu masih menanyakan hal itu?"
Sri membelai dagunya. "Itu artinya aku akan menempati kamar tamu di lantai bawah, ya?" Tebak Sri.
Arch menunda niatnya menapaki anak tangga. Dia memutar haluan dan mendekati Sri.
Arch meraih pergelangan tangan Sri. "Ingat Sri! Kamar kita! Bukan kamarku atau kamarmu!"
Sri mengangguk ragu antara paham dan gamang. "Jadi kamar kita bersebelahan?"
Paras Arch mengikis jarak dengan Sri sembari menunduk. Bibir merekah Arch yang serupa madu dengan sengaja bersinggungan kilat dengan bibir mungil istrinya.
Sri tersentak hingga mengambil satu langkah mundur. Jantungnya bertalu-talu tak beraturan. Aliran darahnya seolah berhenti bagai warga tropis yang menginjak kutub utara.
Arch mengulum senyum jahil. Tubuh tingginya kembali tegap.
Sri masih bergeming dalam keterkejutannya.
Arch membelai bibirnya pelan. "Baiklah, nikmati saja jika kamu masih ingin merasa terpesona denganku. Aku akan ke kamar dulu untuk persiapan shalat jumat di masjid."
Sri setia mematung. Perkataan Arch bagai hembusan bayu yang terasa menggetarkan raga tanpa otak yang sanggup memproses dengan baik maknanya.
Arch menghampiri anak tangga. "Kamu segera ke kamar dan meletakkan barang-barang yang kamu bawa. Mulai sekarang rumahku adalah rumahmu dan kamu bebas melakukan apa saja kecuali berenang."
Sri melongo heran.
Mata Arch memicing. "Jika ingin berenang harus berdua denganku! Ingat jangan coba-coba masuk kolam seorang diri!"
Sri mengangguk pelan sambil menelan ludah kelu. Hati Sri mengkisut dan ciut. Mimik Arch mengancam kepercayaan diri Sri.
Arch mendesah lega setelah mendapat balasan angguk kepala Sri. Pria itu melanjutkan perjalanan menapaki anak tangga disertai siulan bahagia.
Sri memejamkan matanya. Satu aksi nyata kegemarannya mendadak melintasi benaknya. Jika Sri tak segera mengambil tindakan, jantungnya akan meledak karena berdebar melebihi ketentuan. Bagaimana mungkin detaknya aman jika Arch mengecup tiba-tiba seperti yang baru terjadi. Tiada jaminan untuk tidak terulang lagi. Apalagi mereka telah mendapatkan surat kehalalan dari agama dan negara.
Badan Sri mendadak meriang. Jantungnya semakin berdenyut tak beraturan. Bagaimana jika keindahan seorang Arch membuat kesadarannya melayang? Bagaimana jika pesona seorang sulung Monarch memaksa hidungnya hingga mimisan?
Sri tak habis berpikir berlebihan tentang bagaimana memalukannya dia jika sampai semua menjadi nyata. Arch akan mengoloknya dengan seringai menggoda. Sri pasti tak hanya pingsan tapi juga hilang ingatan.
Bagaimana mungkin dia akan siap mental menyaksikan batu kokoh bersusun delapan tingkat di perut Arch, dada lebar bidang dan lengan kekar.
Sri melempar tubuhnya pada permukaan sofa ruang tengah yang berdekatan dengan tangga. Rasanya dia belum sanggup hidup satu atap maupun terbaring satu ranjang dengan pria tampan standar internasional.
Bunyi derap langkah menuruni tangga menarik perhatian Sri. Gadis itu menengadah mencari sumber bunyi. Benar saja. Belum tuntas dengan debar yang ada, sosok itu kembali menghambat pernapasan istrinya.
Arch mempesona dalam balutan jas pengantin elegan. Namun ketika mengenakan koko putih bersih berpadu songkok dan sarung tenun tampak menyilaukan retina. Sosoknya bagai malaikat bertabur cahaya yang singgah sesaat ke bumi.
Arch menyelesaikan langkahnya menuruni anak tangga sebelum memhampiri istrinya.
Arch menjentikkan jemarinya di depan mata Sri. "Aku tahu aku tampan tapi jangan membelalak berlebihan!" Celetuknya usil.
Sri tergagap. Kepalan tangannya segera memukul ringan dahinya. Sri telah mempermalukan harga dirinya bahkan belum ada satu hari di rumah Arch. Arch benar-benar akan membuat Sri gila. Ya, tergila-gila padanya.
***
Waktu mentari rehat telah tiba. Tanggung jawabnya bersambung pada bagian bumi yang lainnya dan akan kembali menyapa dalam hangat esok pagi. Hari merangkak gelap. Kegelisahan Sri semakin meradang sepeninggal Bi Ayu yang mengakhiri tugas hari ini. Haliastur pun tak nampak akan berkunjung. Kedua orang tuanya yang berencana akan menginap sukses digiring Tuan Besar Monarch menuju istana megahnya. Kini tinggallah sejoli pengantin paksaan baru.
Hari menjelang senja tapi bunyi lambung tak mampu bekerja sama. Gadis berbalut bergo gelap dan setelan motif bunga mendekap perutnya erat. Arch yang tengah asyik terlentang di sofa ruang keluarga mengulum senyum geli.
Arch beranjak. Tangannya terulur pada sosok Sri yang duduk di sofa lain.
Sri menengadah bingung.
Arch semakin merendahkan telapak tangan kanan. "Ayo, makan! Bi Ayuk sudah menghangatkan makanan sebelum pulang."
Telapak tangan Sri perlahan menyambut uluran Arch. Lengan Arch mengelak ketika Sri hampir mendekap telapak tangannya.
Arch menarik lengannya sembari tersenyum jahil. "Ngarep banget sih digenggam tangan Tuan Muda Tampan ini!"
Sri beranjak kesal. Kedua tangannya mengepal geram. Tubuhnya berbalik berseberangan arah dari Arch.
Sri urung mengayunkan kaki setelah Arch meraih lengannya tiba-tiba.
Sri bersusah payah melepaskan lengannya tapi nihil.
Arch memutar biji matanya. "Ruang makan bukan ke sana tapi di belakangku!"
Paras Sri menekuk geram. "Aku mau ke kamar."
Arch menaikkan alisnya. "Makan dulu dong baru ngamar." Celetuknya.
Sri menjulurkan lidahnya.
Arch melepaskan cengkeraman pada lengan Sri sebelum melingkarkan lengan kekarnya di bahu Sri.
Arch membimbing langkah Sri menuju meja makan. Sri mengumpat dongkol dalam hati. Matanya melirik pria tinggi yang begitu erat mendekap bahunya. Pahatan sempurna paras pria itu menambah kecepatan irama jantungnya. Cekungan mata, bulu mata, garis alis, cetakan hidung, bibir yang bulat madu, dan dagu yang maskulin. Semuanya benar-benar mahakarya Sang Maha Pencipta.
Arch dan Sri duduk saling berhadapan di meja makan bentuk oval ukuran lebar. Mereka makan tidak dalam keadaan tenang. Santap bersama menjelang malam yang diisi nutrisi adu mulut dan lempar olokan. Namun sesekali tawa lebar mengiringi debat keduanya.
Arch menyelesaikan suapan terakhir dan ditutup dengan ucapan hamdallah. Dia beranjak menuju tempat cuci piring. Namun Sri mencegahnya.
Sri yang telah menguras tiga mangkuk sup jagung menghampiri sang suami. Dia mengambil alih piring keramik putih kotor dalam genggaman Arch.
Sri meletakkan alat makan kotor dalam tempat cuci piring. "Arch duduk saja. Biar aku yang mencuci piring."
Arch tegak di balik punggung Sri. "Emang bisa?" Ledeknya.
Sri meremas spon dalam cairan pembersih. "Aku ini ahlinya ahli cuci piring. Aku pencuci piring terbaik di tempatku bekerja."
Arch tertawa kecil. "Memang ada yang begitu?"
Sri mulai membelai permukaan piring dengan busa melimpah. "Ada," sahut Sri cepat.
Arch membelai dagunya. "Tapi kerja kamu lama!" Protesnya.
Sri menggembungkan pipinya. "Aku tidak meminta kamu menemani di sini."
Sepasang lengan kokoh Arch terjulur melewati dua sisi tubuh Sri. Tangan lebarnya menggenggam jemari Sri. Sri yang terkesiap segera memukul mundur sang suami dengan sikunya.
Arch mengambil langkah mundur disertai tawa menggoda.
Sri melirik kesal. Dia berlaku sedikit garang untuk menutupi debar yang kian meradang. Sri bingung harus berbuat apa agar Arch tak membongkar rahasia hatinya.
Arch menanggalkan kaos oblongnya. "Aku mau mandi dulu ke atas." Pamitnya
Mata Sri melotot saat berpaling. "Hari sudah hampir gelap baru mau mandi? Tapi kenapa harus buka baju di sini?"
Arch menyeringai jahil. "Suka-suka akulah! Toh aku masih memakai celana pendek. Kenapa? Kamu mau mandi sekalian?"
Sri menjulurkan lidahnya. "Sori ye! Aku sudah mandi."
Arch melenggang dalam senandung lirih lagu bertema kasmaran. Kakinya setengah berlari memanjat anak tangga menuju lantai dua. Tak lama sosoknya lenyap di telan pintu kamar.
Sri mendesah panjang. Telapak tangannya menjinakkan detak cepat dadanya. Belaian lembut mampu menunda ledakannya. Dia membasuh tangan setelah meletakkan peralatan makan kotor begitu saja dalam tempat cuci. Sri mengendap-endap keluar dapur setelah menutup aliran keran.
Sri memeriksa pintu menuju kolam dan pekarangan belakang. Daun pintu sangat rapat tanpa mampu bergeser. Tak tampak kunci bergelantungan di sana.
Sri buru-buru menghampiri daun pintu utama ruang depan. Keadaannya tak jauh beda dari pintu belakang. Terkunci rapat tanpa kunci yang melekat.
Sri bergegas memacu langkah menghampiri tangga lantai dua yang berada di ruang tengah. Derap kakinya tergesa memanjat satu per satu anak tangga hingga menginjak lantai dua.
Sri menghampiri pintu kamar Arch yang juga tempatnya melepas lelah. Sri menekan pelan gagang pintu hingga menyisakan lubang seukuran mata.
Pandangan Sri mengembara di seluruh sudut ruangan yang kosong. Gendang telinganya menangkap samar-samar gemericik air dari kamar mandi dalam.
Sri merapatkan kembali daun pintu kamar. "Aku harus segera beraksi sebelum Arch menyelesaikan mandinya."
Sri mendekati daun pintu kamar yang bersisian dengan kamar Arch. Kamar Haliastur sedang tidak dijamah penghuninya untuk beberapa hari ke depan. Sri menekan gagang pintu hingga sebagian terbuka. Dia segera melintasi celah sebesar tubuhnya.
Sri memutar tubuhnya dalam ruangan pribadi haliastur. Pandangan matanya beredar tajam bagai predator mengintai mangsa. Bibirnya sedikit terangkat ketika bayangan seprai tempat tidur terpantul pada retina.
Sri menggenggam ujung sprei kuat lalu menarik sepenuh tenaga hingga terlepas dari ranjang. Sri bergegas memacu langkah menuju balkon kamar Haliastur.
Sri mengaitkan salah satu ujung sprei pada sisi pembatas balkon kemudian mencampakkan ujung sprei lain melintasi pembatas balkon. Sprei meluncur menggapai gravitasi. Namun sangat disayangkan panjangnya tak mampu mendekap bumi.
Sri mengambil napas menenangkan kegelisahannya. Kedua telapak tangannya menggenggam erat pembatas balkon. Setelah keyakinannya penuh, tubuhnya melintasi pembatas balkon dan berayun pada sprei.
Sedikit demi sedikit tubuhnya merosot turun hingga melewati separuh panjang sprei. Namun entah mengapa telapak tangannya yang basah oleh keringat menjadi licin. Sri kehilangan pegangan dan menggoyahkan keseimbangan.
Sri memejamkan kelopak mata.
Raga Sri tertarik kuat gravitasi hingga hampir memeluk bumi jika saja dekapan erat datang terlambat.
Sri masih mendapatkan kesadaran ketika lengan kokoh melingkari tubuhnya.
Suara pria berdehem. "Kapan kamu mau bertobat jadi pelarian? Mau kabur kemana lagi?" Celetuknya jengkel.
Sri perlahan menarik kelopak matanya. "Maaf, aku hanya ingin kembali ke kos untuk mengambil barang-barang perkuliahan."
Bibir Arch mencebik. "Lalu kenapa harus merosot dari lantai dua?"
***