Chereads / AKU KABUR KAU KEPUNG / Chapter 22 - Perlahan Menjauh

Chapter 22 - Perlahan Menjauh

Telah selesai satu minggu Sri membantu nenek merawat kakek. Kakek kembali pulih dengan rutin minum obat dan rutin mengkomsumsi makanan diet khusus penderita tekanan darah tinggi. Kakek telah beraktifitas mandiri mulai dari kegiatan meja makan hingga kamar mandi.

Sri pamit untuk kembali ke kota dan melanjutkan perkuliahan. Seseorang telah menunggu kedatangan Sri pada pintu keluar penumpang terminal pusat kota.

Pria berbalut serba gelap menunduk memberi salam. "Nona Jasmine, Tuan Besar menunggu anda di suatu tempat. Saya akan mengantar anda!"

Sri menahan napas sejenak. Dia tak memiliki pilihan selain mengangguk.

Sopir pribadi Juan Monarch membimbing sang calon istri majikan menuju tempat barisan mobil berada kemudian membawa ke suatu tempat yang belum dijelaskan.

Sri tak bersuara. Dia juga tak tertarik menanyakan tujuan Tuan Besar yang ingin menemuinya. Sri lelah harus selalu kabur dari makhluk-makluk yang memperkeruh masalah. Sri letih harus menerka apa yang akan berserakan di depan jalan hidupnya.

Drama dalam lamunannya berhenti seiring roda mobil yang tak lagi berputar. Sopir pribadi Juan menarik pintu penumpang dan mempersilakan Sri turun.

Sopir pribadi Juan melangkah mendahului Sri di sepanjang pelataran rumah makan selera tradisional. Bapak sopir membimbing Sri menuju seorang pria yang tengah duduk menanti pada tempat khusus di sudut rumah makan.

Pak sopir menunduk sopan. "Nona Jasmine telah tiba, Tuan Besar!"

Sang tuan besar mengangguk menanggapi dan mengisyaratkan pada bawahannya untuk segera undur diri. Setelah pak sopir berlalu, Sri mendaratkan tulang duduknya pada kursi di seberang tuan besar. Sebuah meja persegi memisahkan keduanya.

Sri masih membungkam. Dia enggan membuka percakapan.

Kedua lengan tuan besar bertumpu pada permukaan meja. "Saya belum memesan. Kamu mau makan apa?"

Sri menggeleng. "Maaf, saya sudah makan dari rumah kakek nenek saya dan saya juga membawa bekal untuk nanti sore."

Juan mengangguk memaklumi. Sudut bibirnya sedikit terangkat disertai mata yang menyipit.

Juan menjulurkan lengannya dan menyapa pelayan yang tengah melintas kemudian memesan dua minuman dingin.

"Kamu tahu apa tujuan kita bertemu di sini?" Basa basi Juan menambah lelah pikiran Sri setelah perjalanan.

Sri menggeleng samar.

Kedua sisi jemari Juan saling terjalin. "Aku hanya ingin membicarakan soal mas kawin. Kira-kira kamu ingin mas kawin apa dan berapa?"

Sri menghirup udara berpendingin ruangan kemudian menghempaskan perlahan. Dia membutuhkan waktu berpikir bijak sejenak.

Juan mencondongkan parasnya. "Apa yang kamu inginkan bisa aku penuhi."

Sri menggeleng pelen. "Untuk saya pribadi tidak ada yang sedang saya inginkan. Saya menerima apa saja yang pihak laki-laki berikan tapi...." kalimatnya menggantung.

Juan menaikkan sebelah alisnya. "Tapi apa?"

Sepasang tangan Sri saling menggenggam. "Saya berharap anda menghapus bunga pinjaman untuk para nasabah anda."

Dahi Juan terangkat. "Maksudmu?"

"Saya ingin anda membebaskan bunga pada para peminjam. Jadi mereka hanya membayar pokok pinjaman saja. Jika ternyata pembayaran sudah melebihi pokok, saya harap bisa dikembalikan pada yang berhak." Papar Sri pelan.

Juan melipat kedua lengannya. "Dengan kata lain, kamu ingin aku menutup salah satu usahaku yang ini?"

Sri menunduk lalu mengangguk.

Juan terbahak hingga sudut matanya berair. "Oke, bisa saja aku menghapus bunga pinjaman. Kerugiannya tidak berarti apa-apa untukku. Hutang keluargamu sudah kuhapus karena persetujuan pernikahan. Selain itu apa untungnya untukmu?"

Bola mata Sri memerah. "Jika anda masih menjalankan usaha pinjaman, saya akan mendapatkan kerugian."

Sepasang retina Juan yang seindah Arch, menghampiri paras Sri. "Aku yang akan rugi bukan kamu. Kenapa kamu cemas?"

Sri mendorong mundur lehernya. "Saya akan menjadi keluarga anda dan tinggal bersama. Saya ingin apa yang masuk dalam tubuh kita adalah sesuatu yang halal. Saya harap anda memahami saya."

Hening melintasi kedua makhluk beda usia itu. Juan tak mampu menyusun kata. Kedua telapak tangannya mengepal.

Juan menghela napas panjang. Kedua sudut matanya memanas.

Sri menahan napas. Dia siap menampung segala kemarahan calon suami paksaannya. Dia sadar dia melebihi batas untuk menasehati seorang pemguasa seperti Juan. Namun dia ingin melanjutkan hidup di jalan halal meskipun dosa tak juga berkurang.

Senyum Juan terbit indah sebelum menjelma tawa renyah. Aura pria matang itu semakin bersinar pada retina Sri.

"Kamu mengingatkanku pada bundanya Arch. Dia bidadari surga yang turun ke bumi untuk mengingatkanku kepada kebaikan. Namun saat dia kembali ke surga, aku seperti kehilangan pegangan." Paparnya sendu.

Sri hanya terdiam mendengarkan.

Sepasang mata Juan berkaca-kaca. "Aku begitu mencintainya. Tak ada seorangpun yang bisa membuatku jatuh cinta seperti dia."

Sri menahan napas. Benaknya mengembara. Entah apa yang melintas dalam otak rentenir tampan itu. Matanya tak mampu berbohong betapa merindukan sosok sang bidadari surga hatinya. Namun mengapa dia tetap ingin meminang perempuan lain.

Juan tersenyum lembut. "Aku rasa aku tidak salah memilihmu. Kamu akan menjadi istri yang baik dan cahaya untuk keluarga besar Monarch."

Sri melempar pandangan acak. Dia semakin gusar. Dia tidak keberatan menjadi anggota keluarga Monarch jika itu sosok lain. Dia enggan hidup dalam bayang-bayang bunga pinjaman. Dia juga tak mampu memilah mana harta Juan yang halal digunakan.

Juan Monarch menepuk lembut bahu gadis di hadapannya. Hati Sri menghangat merasakannya seolah membangkitkan kerinduan nun jauh di sana. Bukan sentuhan pria pada wanita melainkan seorang ayah pada putri kesayangannya.

Sri berpaling pada Juan. "Ayah," lirih Sri tanpa sadar nyaris seperti hembusan angin.

Entah telinga Juan menangkap atau tidak. Bibir Juan melengkung indah kemudian mengangguk pelan. Jemari kanannya membelai surai Sri lembut.

"Jika kamu tidak ada permintaan yang lain, kami akan memberi mas kawin sejumlah lima ratus gram emas murni." Tukas Juan.

Sri terdiam bukan karena sepakat tetapi karena tidak memiliki pilihan lain. "Saya serahkan kepada anda."

***

Leo hampir menyerah. Dia mendekati frustasi dalam menelusuri fakta. Dia mengunjungi satu per satu WO besar tapi hasilnya nihil. Beberapa butik gaun pengantin tersohor juga disambangi tapi belum ada informasi pasti.

Leo memutuskan menemui kakak sulungnya ke kantor saat sudah hampir larut. Leo telah berulang kali menghubungi nomor pribadi tapi tak ada respon dari pemilik nomor di seberang. Nomor rumah juga hanya berdering tanpa ada tangan yang menerima. Sehingga Leo bergegas menuju kantor sang kakak yang mulai sering lembur.

Leo menahan langkah ketika berada di depan pintu utama lobi. Sepasang mata cerah menangkap penampakan satu-satunya pria dewasa yang melintas keluar dari lobi. Gedung megah berlantai-lantai itu telah lengang selepas isyak tadi.

Leo berteriak. "Arch!"

Arch menoleh kemudian menghampiri sang adik. Mereka duduk bersisian di tangga serambi lobi kantor. Dua pasang tungkai mereka bersila.

Leo mendesah panjang. "Sudah satu minggu berlalu tetapi aku tak juga mendapat informasi kapan dan dimana pernikahan itu akan terjadi."

Arch memutar dagunya. "Aku memperoleh informasi dari KUA memang benar Juan Monarch mendaftarkan pernikahan dan Jasmine Sri Puspasari akan menikah. Tapi dengan pasangan masing-masing. Tapi pegawai KUA tidak bisa memberikan informasi siapa pasangan keduanya."

Mata Leo membelalak. Parasnya menoleh pada pria di sisi kiri.

Dagu Arch berpangku tangan. "Kita harus segera tahu kapan dan dimana mereka menikah. Firasatku mengatakan tidak akan lama lagi. Pernikahan Juan pasti akan diselenggarakan di istananya sendiri itu."

Lengan Leo merengkuh bahu sang kakak. "Kita tetap pada rencana semula. Kamu menghentikan ayah dan aku merebut Sri. Aku berkali-kali melamarnya tapi dia belum bersedia menerima."

Rahang Arch menegas beberapa saat. Ada letupan dada yang begitu menyiksa beruntung benaknya dapat mengendalikan gejolak diri.

Hening melintas beberapa saat bersama semilir angin malam. Gelap dan bintang menjadi latar perbincangan mereka. Dua pemuda sedarah kandung diselimuti sunyi. Keduanya bungkam beberapa saat hingga si sulung membuka suara.

"Apa Sri juga bekerja sambilan sebagai model lepas di sebuah butik?" Tanya Arch tiba-tiba.

Leo tecengang sejenak mendengarnya sebelum terbahak lebar.

Arch mengernyit. "Kenapa?"

Leo menahan perutnya yang berguncang karena tawa. "Sri? Model? Berita bohong dari mana? Sri itu meskipun cantik tapi badannya pendek dan berisi tidak mirip model."

Arch merenung sejenak. Benaknya mengembara acak. Ingatan demi ingatan kembali dikenang hingga menjumpai sesuatu yang janggal.

Arch bergegas meraih sesuatu berbentuk pipih lalu menggeser layarnya. Beberapa detik matanya tampak asyik mengamati sesuatu yang nampak pada layar sebelum menunjukkan di depan mata Leo.

Sebelah alis Leo terangkat. "Baju pengantin yang sudah terjual?"

Arch mengangguk. "Lebih dari satu minggu yang lalu aku melihat Sri dalam balutan baju pengantin ini di sebuah butik. Awalnya aku pikir dia akan menikah tetapi kata fotografer butik, dia hanya seorang model lepas yang sedang memperagakan gaun pengantin."

Dahi Leo mengernyit. "Saat itu masih dipakai dan sekarang sudah ada keterangan jika laku terjual. Aku akan mencari tahu siapa yang telah membelinya."

Arch membelai dagunya. "Setelah itu aku akan paham apa yang gadis itu sembunyikan dariku." Gumamnya pada diri sendiri.

***

Kegiatan belajar mengajar privat si bungsu Haliastur telah dipindahkan pada rumah utama Juan Monarch. Arch yang mengajukan permintaan tersebut dengan alasan lembur hingga tengah malam. Setelah bimbingan belajar privat selesai, dia akan menghampiri sang adik untuk kembali bermalam di rumahnya.

Arch resah. Rasa hati begitu menggebu untuk dapat berjumpa. Namun sedikit kekecewaan menampar kenyataan yang ada. Gadis yang telah menggelitik cerita hidupnya ternyata hanya akan melintas saja.

Arch pamit undur diri dari rumah ayah kandungnya setelah Sri muncul bersama petugas keamanan rumah memasuki ruang utama.

Sri menelan ludah kelu. Suasana canggung begitu menusuk ketika keduanya berpapasan. Sri tak sanggup bila tak berpaling pada sosok angkuh yang hanya menatap datar ke depan.

Napas Sri seolah sesak menyadari Arch yang begitu tak acuh padanya. Jangankan menyapa bahkan melirik saja tidak. Arch berlalu begitu saja tanpa menilik Sri.

Arch tak hanya mengabaikan Sri tetapi juga menganggapnya tak ada. Ketika proses belajar mengajar privat Haliastur selesai, pria itu tak sudi meninggalkan kemudi. Dia hanya menunggu Haliastur dari luar pintu pagar. Dia bahkan tak menawarkan kursi penumpang belakang untuk Sri.

Sri melangkah sendu seorang diri pada trotoar sepanjang rumah Juan Monarch. Pedestrian mungil ini menoleh pada mobil gelap yang tiba-tiba melaju mendahaluinya.

Seorang anak laki-laki melambai dari balik kaca jendela yang terbuka sebagian. "Kak Jasmine!" Teriaknya girang.

Sri menoleh dan membalas lambaian tangan murid lesnya. "Mas Hal, hati-hati di jalan!"

Arch hanya memandang kaca depan mobil. Satu sisi parasnya yang menawan terlihat dari posisi Sri berdiri. Mata cerah itu bahkan tak berkenan menyapa. Cahayanya yang terang kini sunyi.

***