Suci tak berhenti mengeluh hingga sepeda motor bebek yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah bangunan pertokoan mewah. Suci sempat menghadiahi pengemudi motor dengan tamparan di punggung sebelum meninggalkan bangku penumpang dengan kepayahan. Dua kotak tambahan di dua sisi belakang sepeda motor menghambat kenyamanannya. Apalagi dua wadah itu terisi banyak bungkusan-bungkusan berbagai ukuran milik banyak orang.
Sang pengemudi menjerit keras. "Apa-apaan sih, Ci?" Protesnya.
Suci melipat lengannya. "Kalau mau mengajak aku kencan jangan pakai motor dinas!" Sindirnya.
Leo membelai lampu depan motor. "Jangan salah, ini motor pribadi yang bersejarah." Ujarnya membantah.
Suci melengos tak acuh.
Leo melepas pelindung kepala lalu turun dari motor. "Lagian siapa yang mengajakmu kencan? Aku tahu seleramu bukan kaum kismin." Sindirnya.
Suci memutar matanya. "Kismin tapi ganteng dan berprestasi di kampus tidak jadi masalah untukku." Celetuknya.
Leo menoyor kening Suci. "Pokoknya kamu mengaku saja menjadi calon istriku dan hanya mengangguki perkataanku. Nanti ada upah lumayan."
Suci melotot kuat hingga bola matanya hampir melompat dari rongganya. "Kenapa hanya mengaku? Kenapa tidak lamaran sekalian?"
Leo mengeleng-geleng frustasi. "Bukan waktunya becanda,Ci! Ini juga gara-gara kamu tidak mau memberitahuan calon suami Sri jadi aku harus mencari tahu sendiri."
Suci bertolak pinggang. "Oke, bukannya aku tidak mau memberitahu, aku hanya takut mengatakan sesuatu yang menurut aku belum jelas. Ya, kalau yang dikatakan Sri benar. Bagaimana jika Sri hanya berhalusinasi? Aku tidak mau menceritakan sebelum tampak kebenarannya."
Leo menyumbat dua telinganya dengan telunjuk. "Cukup, jangan berbicara lagi!" Geramnya.
Suci menyibak rambutnya kesal.
Leo meraih pergelangan tangan Suci sebelum membimbingnya melintasi pintu kaca utama butik baru khusus pakaian pengantin yang mulai dilirik pelanggan. Suci hanya membelalak pasrah dalam genggaman Leo ketika melintasi barisan jas dan gaun pengantin masa kini.
Langkah Leo menutup di depan etalase asesoris pengantin. Leo memghampiri seorang pelayan wanita yang asyik menata tiara dalam etalase kaca.
"Selamat siang, Kak!" Sapa Leo santun.
Setelah meredakan keterkejutannya, sang pelayan berpaling pada sepasang pelanggan yang telah berhadapan dengannya.
Si pelayan membungkuk. "Selamat siang, Kak! Maaf saya kurang memperhatikan anda. Apa yang bisa saya bantu, Kak?"
Leo menebar senyuman berjuta watt. "Saya El dan di sebelah saya calon istri saya bernama Sue."
Suci melotot berusaha unjuk rasa. Namun genggaman erat Leo di lengannya menahan keinginannya. Ada dua kejanggalan yang Suci rasakan. Pertama Leo mengakuinya sebagai calon istri. Kedua, etika berbicara Leo tak seperti rakyat jelata.
Leo mengeluarkan sebuah benda pipih persegi dari saku jaketnya. Satu lagi yang mampu memaksa bibir Suci menganga. Alat komunikasi modern dalam genggaman Leo berlogo buah berlubang.
Leo memamerkan gambar pada layar gawai ponsel setelah beberapa kali menggesernya. "Calon istri saya menyukai gaun ini tapi sayang informasi di situs resmi butik ini menyatakan jika telah laku terjual. Apakah masih ada stok untuk baju pengantin model ini?"
Sang pelayan mengamati gambar pada situs resmi mereka sejenak. "Maafkan kami,Tuan El dan Nona Sue! Produk kami premium sehingga hanya ada satu model untuk satu gaun."
Leo melirik Suci tajam. Suci yang sanggup mengurai makna tatapan Leo tiba-tiba menghela napas panjang.
Paras cantik Suci murung palsu. "Tapi saya mau ini!" Rengeknya menunjuk layar ponsel Leo.
Leo memutar dagunya. "Kira-kira siapa yang membeli gaun tersebut dan resepsi pernikahan akan diselenggarakan kapan? Kami akan menikah enam bulan lagi. Saya rasa saya akan mencoba menghubungi dan menyewa pada pemiliknya."
Sang pelayan mengangguk pelan sebelum berlalu meghanpiri petugas kasir. Jemari petugas kasir menekan dan membelai papan ketik komputer setelah menerima bisikan si pelayan.
Beberapa saat kemudian sang pelayan menjauhi kasir dan kembali menghadap pelanggan.
"Untuk pembeli gaun pengantin series angelove kualitas teratas seperti pada situs resmi butik kami atas nama saudara Luhur Guardi." Ucap pelayan perempuan itu sopan.
Dahi Leo berkerut. Nama yang menyentuh gendang telinganya tak pernah tercetak dalam ingatan sebelumnya.
Leo bangun dari lamunan setelah Suci menyiku lengannya.
Leo membasahi bibirnya yang kering. "Sekitar satu minggu lalu saya melihat teman saya memakai gaun ini. Apa dia model di butik ini?" Tanya Leo kemudian masih dengan topik yang sama pada ponsel di telapak tangannya.
"Satu minggu yang lalu?" Tanya si pelayan mengulangi dan langsung mendapat balasan anggukan dari Leo.
Bibir sang pelayan melengkung. "Siapa nama teman anda?"
"Jasmine Sri Puspasari," balas Leo cepat.
Si pelayan manis berkulit sawo matang tertawa kecil. "Nona Jasmine Sri Puspasari adalah pelanggan kami. Satu minggu yang lalu Nona Jasmine sedang penyesuaian gaun pengantin series angelove. Namun pembayaran barang dilakukan keesokan harinya oleh Tuan Luhur Guardi."
"Apa Tuan Luhur Guardi adalah calon suami Nona Jasmine? Bagaimana perawakan beliau?" Tanya Leo dengan kesabaran yang mulai mengendur.
Sang pelayan menyinggungkan dua telapak tangan di depan leher. "Maafkan saya, Tuan El! Saat pembayaran kami sedang tidak bertugas sehingga saya tidak bertemu secara langsung dengan beliau. Sehingga kami tidak bisa memastikan apakah beliau calon Nona Jasmine atau keluarga pengantin."
Leo mendesah panjang.
Suci hanya bungkam dengan mimik wajah berubah-ubah.
"Jika Tuan El ingin meminjam gaun setelah resepsi Nona Jasmine, saya sarankan langsung menghubungi Nona Jasmine karena Tuan Luhur tidak mengambil pakaian pengantin pria pasangan gaun tersebut." Papar si pelayan.
"Berarti pasangan gaun itu masih di butik ini?" Tebak Leo.
Si pelayan menggeleng. "Pakaian pengantin pria series angelove telah dipinang Tuan Danaus Monarch satu hari sebelum Tuan Luhur melakukan pembayaran."
Kedua biji mata Leo membelalak terkejut. Buat apa Danaus Monarch memiliki baju pengantin pria? Semakin menjelajahi fakta semakin Leo kebingungan dibuatnya.
"Kira-kira kapan pernikahan Nona Jasmine akan diselenggarakan?" Tanya Leo kemudian.
Si pelayan memutar dagunya berpikir. "Kami tidak mengetahui dengan pasti. Hanya saja saya pernah mendengar sekitar satu minggu lagi."
Suci meraih ujung jaket Leo sebelum berbisik hati-hati. "Danaus Monarch itu bukannya anak sulung dari Juan Monarch duda kaya raya itu?"
Leo hanya membalas dengan sekali berkedip.
Sang pelayan memandang dua sejoli bergantian. "Bagaimana Tuan dan Nona? Apa informasi yang kami berikan membantu?"
ksepuluh jemari Leo saling menggengam. "Apa kami boleh mengetahui alamat dan nomor pribadi Pak Luhur Guardi?"
Sang pelayan tersenyum menyesal. "Maafkan saya, Tuan! Kami tidak bisa memberikan informasi tentang data diri pelanggan kepada orang lain."
Leo mengangguk menerima. "Iya, Mbak! Kami paham. Kami sangat berterima kasih atas informasinya. Kami mohon permisi." Pamitnya berlalu diiringi sosok cantik kekasih gadungan.
***
Bu Jamilah membelai rambut sebahu Sri yang porak poranda oleh badai air mata. Gadis itu telah sesenggukan sepanjang tiga puluh menit dalam dekapan Bu Jamilah. Narasi hidupnya dari mulai goyah hingga tertatih-tatih detik ini telah tercurahkan lengkap tanpa kurang atau lebih.
"Saya tidak menginginkan pernikahan ini, Bu! Apalagi harus menikah dengan ayah dari Pak Arch beberapa hari lagi." Keluh Sri.
Bu Jamilah mendesah panjang. "Ibu tidak bisa membantu apa-apa. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga jika harus menikah muda, Nak Sri bisa mendapatkan pria yang pantas."
Sri masih tersedu dalam pelukan Bu Jamilah. "Tidak ada yang bisa membantu Sri, Bu Jamilah. Orang tua Sri malah mendukung pernikahan paksaan ini."
"Istighfar, Nak Sri! Allah yang akan menolong Nak Sri. Bermalamlah di sini untuk satu hari. Shalat malamlah dalam masjid saat sunyi. Nanti saya temani." Saran Bun Jamilah.
Sri melerai dekapan Bun Jamilah. Sepasang mata gelap Sri memancarkan harapan. Saran menyejukkan yang keluar dari bibir Bu Jamilah tak sempat terlintas dalam angan Sri sebelumnya. Dia sibuk mengatasi masalah yang tumpah ruah hingga lupa berserah dan berpasrah.
Sri menggengam Jemari Bu Jamilah. "Astaghfirullah! Terima kasih, Bu! Sejak keluarga saya bangkrut dan terlilit hutang, saya lupa shalat malam. Malam ini saya akan menggiatkan diri lagi!"
Bu Jamilah mengangguk semangat. "Alhamdulillah, mengadulah pada Allah. Allah akan memberikan yang terbaik bagi kehidupanmu, Nak Sri."
Sepertiga malam terakhir dua perempuan beda usia telah bersiap di dalam bangunan luas jamaah putri. Mereka bermunajat masing-masing dengan segala keluh kesah dan resah hati yang berbeda.
Isak tangis tak berjeda melantun lirih dari keduanya karena banyaknya khilaf yang mungkin disengaja.
Bu Jamilah yang hidup sebatang kara berurai air mata syukur atas nikmat beribadah selama ini. Putra-putrinya masih ada. Namun mereka juga hidup jauh di negeri tetangga karena mengalami keterbatasan ekonomi.
Sementara Sri terisak sedu sedan meratapi masa depannya. Dia memohon pertolongan untuk penbebasan pinjaman tanpa syarat. Jika memang harus menikah, dia menginginkan calon yang dapat bertakwa, bersujud dan bertawakal pada Sang Maha Pencipta.
Air mata Sri tumpah ruah membanjiri tempat sujudnya. Bibirnya melantunkan istighfar tanpa lelah.
Sementara di sudut kota lain, seorang pria dewasa yang tak mampu terlelap selepas menunaikan ibadah isyak memutuskan menyerah untuk menutup mata.
Dia bangkit dan duduk di sisi ranjang luas kamarnya. Kepalanya mendongak. Retinanya menangkap dua jarum berputar lambat yang menempel pada dinding. Waktu masih menunjukkan dini hari.
Raga sang pria beranjak sebelum menghampiri kamar kecil. Beberapa saat kemudian sang pria muncul dari balik daun pintu kamar kecil dengan tetesan-tetesan air pada beberapa bagian tubuhnya. Lengannya meraih kemeja muslim putih, songkok dan sarung yang bersandar di balik pintu kamar.
Sang pria membentangkan sajadah sebelum melewati indahnya dua rakaat yang khusuk dalan sunyi. Paras tampannya menoleh ke dua sisi ketika setetes air mata membasahi pipinya.
Satu bulan terakhir yang entah mengapa begitu menyesakkan baginya. Dia tak memahami alasan dia tersedu. Dia tak mengerti sebab di balik kegundahan hatinya. Dia hanya sadar satu hal. Dia akan kehilangan sesuatu.
Istighfar mengalun dari bibirnya tanpa celah hingga adzan subuh menggema di pelosok kota.
Sang pria bergegas meraih sajadah dan seikat kunci pada permukaan meja sebelum menghampiri daun pintu. Pria dewasa melangkah tergesa menuruni anak tangga hingga taman belakang. Dia menggenggam kemudi sepeda kayuh yang bersandar pada pilar serambi belakang.
Pria itu berlalu dari kolam dan pekarangan belakang yang luas setelah membuka kaitan pagar yang terkunci. Dia mengayuh sepeda bertenaga pada jalanan dingin nan lengang. Kumandang adzan yang masih menyentuh gendang telinganya meningkatkan semangatnya.
Sang pria meletakkan sepeda pada parkir depan masjid agung. Dia yang masih dalam aura wudhu menghampiri serambi masjid. Sepasang iris cerahnya tanpa sengaja menangkap bayangan ceria yang giat menyapu serambi bagian jamaah putri. Seorang hawa yang berbalut mukena putih bersih.
Sang pria bersusah payah menghela napas.
Sang gadis yang memalingkan paras acak tanpa sengaja bertukar pandangan dengan pria berkoko bersih di ujung sana.
Sang gadis menundukkan kepala. Dia berupaya menghalau segala kejanggalan yang ada dalam benaknya. Sang pria pun berpaling pada pilar masjid di hadapannya lalu menapaki lantai granit menuju barisan pertama.
***
Arch harus membekap layar ponselnya ketika menerima panggilan dari Leo. Adiknya itu tanpa pikir panjang menjerit sekeras mungkin di ujung layar setelah suara Arch menyapa.
"Kamu masih berteriak aku akan menutup panggilan." Ancam Arch.
Terdengar napas sang penelepon turun naik. "Apa maksudmu membeli pakaian mempelai pria pasangan dari gaun pengantin Sri?" Tudingnya.
"Maksudnya ... tunggu dulu ... gaun pengantin Sri yang seperti situs resminya butik baru?" Intonasi Arch mulai terpancing.
Leo mengangguk meskipun tak dapat disaksikan lawan bicara. "Benar. Sri menipumu! Dia bukan model tapi pelanggan butik baru."
Ada jeda hening beberapa detik sebelum Arch menarik napas. "Dia tidak menipuku. Fotografer yang bilang dia model. Sri hanya mengikuti alur tipuan sang fotografer."
Terdengar Leo menjerit frustasi. "Sekarang jelaskan mengapa kamu membeli pakaian mempelai pria yang berpasangan dengan gaun pengantin Sri?"
Arch mengurut keningnya. "Karena pemilik butik baru itu istri klien Juan. Kami akan mengadakan pertemuan besok lusa membahas masalah bisnis. Juan ingin aku menghormati mereka dengan memakai produk istrinya."
"Tidak masuk akal pakaian pengantin untuk pertemuan bisnis." Celetuk Leo dari seberang.
Arch menghela napas. "Pakaian pengantin yang aku beli tepatnya berwujud sebuah jas. Jadi bila dipakai menemui klien tampak berlebihan meskipun aku tidak dirias seperti pengantin."
Terdengar suara Leo mendesis di ujung ponsel.
Arch mendekap erat ponsel yang masih menyinggung daun telinga. "Sri bukan pejabat atau tokoh masyarakat. Namun mengapa pernikahannya ditutupi banyak pihak? Aku masih punya firasat kalau dia calon istri Juan Monarch."
"Bukan! Seperti informasi yang disampaikan pihak KUA padamu. Aku yakin karena pembayaran gaun pengantin Sri atas nama Luhur Guardi." Sangkal Leo.
Arch membeo. "Luhur Guardi? Jadi itu nama calon suaminya?"
"Aku kurang tahu. Bisa jadi calon suami atau mertua." Jawab Leo.
Arch merenung sejenak. Belum ada balasan suara dari seberang alat komunikasi Leo. Kakak sulungnya masih setia bergeming menghubungkan satu per satu keganjilan yang pernah ditemuinya.
Semua bermula ketika perdebatan antara ayah dan anak sulung telah menjelma bara. Arch mendesak sang ayah segera mentas dari genangan dosa riba. Episode selanjutnya perjumpaannya dengan gadis dari keluarga bangkrut yang berjuang hidup seorang diri demi melanjutkan kuliah. Gadis yang sama pun harus bertahan dari kejaran penagih hutang.
Teriakan suara Leo dari seberang ponsel menarik Arch dari alam lamunan.
"Entah firasat atau apa, aku yakin pernikahan ayah dan Sri akan dilaksanakan lusa." Kata Arch meramal.
Leo menggeram. "Data-data penyelidikan membuktikan mereka menikah masing-masing."
"Oke, mungkin aku salah," kata Arch. "Aku rasa Juan ingin bersikap manis padaku agar aku tidak melenyapkan calonnya. Tapi aku akan tetap menyelidiki tempat pernikahan itu."
Tiba-tiba ada kekuatan dalam suara Leo. "Iya, sementara itu tugasku mengacaukan pernikahan Sri."
Arch menahan napas. Nama itu menyentuh gendang telinganya berulang kali. Lagi dan lagi. Nama gadis yang beberapa bulan terakhir menanam bibit sakit kepala dalam tubuh Arch.
***