Sri bersusah payah meloloskan lengannya dari dekapan lembut jemari kanan Arch. Namun energi Arch masih terpusat pada ujung jemarinya. Usaha Sri hanya berbuah kesia-siaan saja. Air mata Sri hampir meluncur jika tawa kecil Arch tak menyapa gendang telinganya.
Sri menengadah. Matanya memastikan tawa itu bukanlah halusinasi dari ketakutannya.
Arch mendesah panjang. "Aku ingin.... "
Saat dewi fortuna muncul, Sri bergegas meloloskan lengannya dengan gesit. Arch yang lengah tak lantas pasrah. Tangannya yang kekar kembali meraih tubuh Sri dan menyentaknya menghampiri dirinya. Kini hanya hembusan napas mereka berdua yang menjadi celah bisu antara dua pasang mata yang saling beradu.
Pria dewasa berbalut setelan jas dan celana bahan senada itu tak menggeser pandangannya satu senti pun dari mata Sri.
Sri menutup kelopak matanya erat. "Maaf, Arch! Aku mohon jangan balas dendam dan lepaskan aku karena aku bau setelah bekerja di dapur rumah makan."
"Aku tidak peduli!" bisiknya dingin.
Hembusan napas aroma daun mint semakin menggelitik indra penciuman Sri. Pori kulit tubuh gadis itu basah oleh peluh. Tangannya bergetar. Sekelebat ingatan tentang kemurkaan Arch menjadi-jadi dalam benaknya. Gadis itu tak bisa lolos lagi dari jeratan ketakutan.
Napas segar itu kini menyentil daun telinga Sri. "Aku hanya ingin...."
Mata Sri masih terpejam tapi jantung yang berdebar dapat merasakan paras sang pria hampir tak memiliki celah dengan gadis itu.
Sri merasakan wajahnya membelai sesuatu yang bidang saat kepala mungil itu menunduk. "Maafkan aku, Arch! Aku tidak akan mengganggu hidupmu lagi."
Sri memberanikan diri membuka kelopak matanya perlahan. Dada kekar berbalut kemeja dan jas menyapa retinanya pertama kali. Niat Sri melangkah mundur masih terkunci jemari Arch.
Sri menengadah perlahan. Mata lembut Arch seolah menyambut ramah.
Senyum tipis Arch tersungging sepersekian detik. "Aku hanya ingin meminta maaf karena sudah membentakmu kemarin."
Sri tak punya pilihan selain mengangguki.
Hening melintasi keduanya untuk beberapa saat.
Raga kedua sejoli masih terlalu hampir rapat dan enggan merengang.
Sri menahan napas. "Kelas sebentar lagi dimulai. Apa aku sudah bisa dilepas?" Pertanyaan Sri terlalu waspada. Dia tak ingin mengulangi kejadian suram di rumah Juan.
Arch mengendurkan genggamannya. Tubuhnya mengambil satu langkah ke belakang.
Sri menghempaskan napas lega. "Saya kembali ke kelas dulu!" pamit Sri seketika canggung.
Kedua lengan Arch saling bertumpu di depan dada. Kepalanya bergoyang memberi ijin.
Sri menciptakan tiga langkah mundur sebelum berbalik badan. Gadis itu ingin segera melesat menjauh dan menyembunyikan diri dari tatapan tajam. Namun lagi-lagi suara berat Arch menghalangi.
"Masih tinggal di tempat lama?"
Sri menelan ludah kelu. Kepalanya menggeleng patah-patah.
Arch pantang menyerah dengan rasa penasarannya. "Sekarang dimana?"
Sri menghitung mundur dalam hati. Sepasang tungkainya melesat kilat tepat pada hitungan ketiga.
Arch setia bergeming meskipun lawan bicaranya tampak mengecil dalam pandangan. Sosok gadis mungil itu segera lenyap setelah menikung di lobi utama kampus.
Arch membelai dagunya. "Kenapa kamu harus lari, Sri? Apa ada sesuatu?"
Arch menyapu parasnya. "Astaga, kenapa aku jadi begini?"
***
Juan bertolak pinggang di kamar pribadi Sri dalam bangunan khusus yang terpisah dari istana utama. Semua karyawan berkumpul dengan aura mendung. Pria itu baru menginjak lantai rumahnya usai bermalam di hotel yang bersisian dengan perusahaannya. Pabriknya yang berada jauh dari kota besar membutuhkan sosoknya untuk meredakan sedikit masalah.
Dia terperanjat oleh rengekan Hal ketika sosoknya baru bergesekan dengan udara lantai ruang utama. Anak laki-laki sepuluh tahun mengeluh telah kehilangan jejak calon mamanya sejak pulang sekolah kemarin.
Juan meneliti beberapa barang Sri yang tergeletak pada permukaan ranjang. Retinanya menangkap bayangan dompet, ponsell dan beberapa modul perkuliahan.
Juan berotasi pada para karyawan yang berderet mengelilinginya. Dia menatap tajam satu per satu pegawai setianya.
"Kenapa kalian membiarkan Nona Jasmine kabur?" selidik Juan.
Asisten juru masak mewakili menjawab. "Maaf Tuan Besar, Nona Jasmine tidak berniat melarikan diri. Kemarin pagi Tuan Muda Arch datang dengan murka. Nona Jasmine ketakutan. Mereka sempat adu mulut hingga Nona Jasmine berlari keluar."
Juan menaikkan kedua alis tebalnya. "Apa Arch tahu tentang status Jasmine di keluarga ini?"
Asisten juru masak menggeleng pelan. "Kami berusaha menyembunyikan semuanya. Kami mengatakan bahwa Nona Jasmine tamu undangan Tuan Besar sebagai pengajar privat Mas Hal. Tuan Muda Arch tidak mengetahui."
Petugas keamanan berpostur tinggi menambahi, "Nona Sri juga berpesan pada saya untuk memberitahukan pada Anda jika Nona terpaksa bersembunyi."
"Ternyata kenyataan masih rapat tersimpan. Jadi Arch tidak tahu alasan mengapa Jasmine lari darinya?" cecar Juan.
Semua karyawan membisu untuk beberapa saat.
"Maaf, Tuan Besar! Saya melihat keakraban tak biasa antara mereka. Sepertinya ada masalah lain yang tidak berhubungan dengan rencana Anda." balas asisten juru masak hati-hati.
Juan membelai dagunya. Benaknya sedang memproses sesuatu. "Masalah lain?"
Asisten juru masak mengiyakan. "Mereka sempat beradu mulut tentang hal yang kami tidak mengerti. Nona Jasmine tampak kecewa lalu mendorong Tuan Muda Sulung ke dalam kolam."
Juan membelalak mendengar penuturan pekerjanya. Sebelah sudut bibirnya menyeringai.
Bibir Juan melengkung angkuh. "Wow, berani sekali dia pada putra sulungku yang keras kepala itu! Sepertinya semua akan berjalan lancar."
Juan membubarkan pertemuan para karyawan. Sepeninggal belasan pegawainya, Juan masih memproses keras otaknya. Tangannya meraih dompet wanita kusam yang merebah pada permukaan sprei.
Jemari Juan memisahkan pengait dompet kemudian menarik kedua sisinya perlahan. Hampir tak ada kartu berharga selain identitas diri di dalamnya. Juan mendapati seonggok kartu lusuh lain yang tersemat di sudut dompet. Ibu jari dan telunjuk bekerja sama menyeretnya keluar dari persembunyian.
Bola mata Juan bergulir mengikuti deretan kata yang membentuk makna. Sesaat kemudian matanya semakin melebar.
Juan menggenggam kartu lusuh dalam telapak tangannya. "Kartu ini terbatas dan hanya aku berikan pada orang-orang tertentu."
***
Senja menyambut pergantian alam. Sisa sinar mentari mengintip antara jingga. Langit belum sepenuhnya gelap saat Sri melangkah perlahan di sepanjang trotoar kampus. Tangan kanan menggenggam kantong plastik berisi sebuah buku dan alat tulis. Sebelah tangan lainnya menjinjing sepasang sepatu flat bekas sumbangan pemilik kontrakan.
Leo masih betah di ruangan dosen untuk mengoreksi tugas individunya. Sri meninggalkan kampus seorang diri. Sri tetap bersyukur selalu menjaga makanan yang mengaliri darahnya meskipun narasi hidupnya begitu berat.
Setiap detik berlalu air mata selalu terjaga di sudut kelopak. Sesekali tumpah dan tersapu angin. Entah kebebasan yang sementara ini akan bertahan sampai berapa lama. Sri hanya bisa menyerahkan segala yang telah diupayakan pada takdir sang pencipta.
Dia selalu berlapang dada dengan segala perlengkapan layak pakai yang melindungi tubuhnya. Awal perubahan kasta Sri menimbulkan makian-makian tajam dari rekan satu angkatan. Namun seiring berjalannya hari, cacian itu tenggelam. Mereka tidak lagi tertarik menghina makhluk yang semakin hina.
Sri termenung dalam langkahnya. Benaknya tak berhenti memproses situasi yang telah terjadi. Dia mencoba mencari celah dan kesempatan lolos dari rencana pernikahan.
Sri enggan kembali ke istana. Namun dia juga tak akan mampu melepaskan diri dari mata-mata Juan Monarch
Suara klakson mobil menghentikan langkah Sri. Mobil warna jelaga itu menepi menghampirinya. Setelah suara lirih mesin lenyap, seorang pria muncul dari balik pintu kemudi. Pria dewasa pengemudi pribadi Tuan Besar Juan, menghampiri Sri. Kedua tangannya menggenggam beberapa barang.
Sopir Juan menunduk memberi salam santun. Sri membalas anggukan pelan.
Sopir Juan menjulurkan tangan kanannya. Sebuah dompet dan ponsell kurang kekinian telentang di telapak tangannya.
Sri membelalak. "Itu...."
Bibir sopir Juan melengkung tipis. "Milik anda, Nona Jasmine Sri. Tuan Besar mengutus saya untuk menyerahkan barang-barang pribadi anda secara langsung dan mengantar barang lain ke kamar kontrakan Anda."
Sri meraih dua barang penting untuknya itu meskipun sama sekali tak akan memiliki nilai jual. Kemudian menyembunyikan keduanya dalam saku rok panjang.
"Bapak mengantar barang-barang yang lain ke kos saya? Saya pindah ke kos baru tadi malam. Saya takut kalau...." kalimat kekhawatiran Sri ditenangkan oleh penuturan sang sopir.
Sopir Juan mengangguk. "Tuan Besar sudah menyelidiki tempat tinggal baru anda pagi tadi."
Sri menahan napas cemas. "Jadi apakah saya harus kembali tinggal di rumah Juan?"
Sopir Juan menggeleng yakin dalam senyumnya. Pria single seusia Arch itu menunjukkan wajah lega.
Sri mengernyitkan dahinya. Kejanggalan seperti sedang bermain saat ini. Bagaimana mungkin buronan hutang yang tertangkap basah urung dapat hukuman? Bahkan dibiarkan merdeka di luaran?
"Tuan Besar Juan memutuskan agar Nona Jasmine tidak menetap di kawasan rumah beliau sementara ini untuk keselamatan Anda. Kalau anda berkenan, Tuan Besar sudah mempersiapkan apartemen mewah tak jauh dari kampus ini." papar Sopir Juan.
Sri menolak dengan gelengan. "Saya tinggal di kamar kontrakan saja untuk menghindari hal-hal yang mencurigakan."
Sopir Juan mengangguk paham. "Sebelumnya saya minta maaf Nona Jasmin. Saya tidak bermaksud mengancam anda. Saya hanya ingin menyampaikan pesan dari Tuan Besar jika beberapa staff keamanan beliau tetap memperhatikan anda dari jarak jauh."
Sri membasahi bibirnya yang kering. "Saya paham sekali dengan hal ini."
"Tuan Besar juga sudah mengirimkan sejumlah uang ke rekening anda."
Sri membuat gerakan lambaian tangan kode menolak keras. "Saya akan mengembalikannya nanti. Saya tidak bisa menerima yang bukan hak saya. Saya belum menjadi istri Juan jadi belum kewajiban dia memberi nafkah."
Sopir Juan membungkam bibirnya yang hampir tertawa. Reaksi dadakan Sri begitu menggelikan sama persis seperti penuturan majikannya. "Bukan itu Nona Jasmine. Uang yang dikirimkan Tuan Besar merupakan upah pengajar privat Tuan Muda Haliastur."
"Kalau itu saya terima." sahut Sri yakin.
Sopir Juan memainkan kontak mobil dengan telunjuknya. "Pesan yang paling akhir dari Tuan Besar, lusa saya akan menjemput anda untuk penyesuaian baju pengantin bersama Tuan Besar di sebuah butik pusat kota."
Bibir Sri menganga. Rasanya hidupnya selalu tertunda untuk bernapas lega. Baru saja dapat setengah merdeka dari istana Juan, narasi kejutan mengerikan kembali ditampilkan. Secepat itukah Sri harus mempersiapkan pernikahannya?
***