Cakrawala sekelam jelaga tanpa sinar candra. Bintang-bintang yang biasa bersorak riang gembira memadati angkasa kini hanya beberapa gelintir saja yang tertangkap retina. Selepas maghrib Sri telah bersiap dalam kamar anak laki-laki yang dipenuhi gambar bola. Kamar lantai dua dengan balkon luas berpembatas. Pintu kaca balkon terbuka menampilkan tayangan langit kelam disertai angin malam.
Sri bersila di atas permadani. Pemandangan malam terbentang berbingkai pintu di depan matanya. Haliastur melipat kaki tepat di depan Sri hanya berbatas meja pendek sebagai pemisah.
Haliastur anak laki-laki yang menyenangkan. Dia begitu mudah menyerap semua ilmu yang diajarkan. Dia sudah jera berbuat usil pada orang lain. Haliastur hanyalah anak-anak yang sejatinya membutuhkan kasih saya seorang bunda. Ibu kandungnya begitu dicintai Allah. Beliau telah bahagia di atas sana. Sejak mengenal Sri yang unik, cerita hidup Haliastur menjadi berwarna.
Satu jam belajar hanya ada keceriaan. Belajar tak hanya tentang materi dan ketegangan. Ada canda yang mewarnai deretan soal-soal latihan olimpiade ilmu pengetahuan alam.
Hal dan Sri yang asyik berdiskusi tentang alam semesta, dikejutkan bunyi gagang pintu di dorong dari luar. Si pelaku melakukan gerakan tergesa setelah terdengar panggilan mama keluar dari rongga mulut Hal.
Seorang dewasa melangkah kalem menghampiri anak sepuluh tahun. "Kamu memanggil siapa dengan sebutan mama?"
Hal dan Sri bergeming. Keduanya hanya saling melempar lirikan.
Hal mengangkat kedua alisnya. "Mama bagaimana, Kak Arch?"
Arch yang tampak segar dengan sweater putihnya melempar tatapan pada Sri.
Sri membuang muka takut
Arch pantang menyerah. "Baru saja aku mendengar sebutan mama."
Hal tertawa kecil. Telunjuknya menjulur pada salah satu sisi dinding. "Kak Jasmine bertanya tentang foto wanita cantik di bingkai itu."
Arch mengikuti arah telunjuk Hal.
"Aku bilang itu Mama!" ulang Hal.
Arch mendesah panjang melepas semua kepenatan. Sepasang iris cerah memandang sendu seorang wanita dewasa yang sumringah dalam bingkai. Parasnya yang jelita menurun pada ketiga pangerannya.
Arch mendekati adik dan pengajar privatnya. Pria itu melipat kaki di hadapan sang adik bungsu.
Arch memandang dalam mata Hal. "Apa Hal tahu siapa yang akan jadi mama baru untuk Hal?" tanyanya setengah berbisik.
Sri, si penonton terabai menggigit bibir bawahnya cemas. Dia hanya mampu berasa dalam dada. Dia tak ingin klimaks hidupnya terjadi saat ini. Dia belum siap menerima amarah Arch.
Sri ingin mengumpat keras ketika paras Hal berpaling padanya. Hal hanya menatap datar. Sementara Sri membalas tatapan sang bocah dengan menaikkan kedua alisnya cemas.
Arch mengikuti pandangan Hal. "Apa guru les ini tahu tentang calon istri ayah?"
Sri melirik tatapan tajam Arch. Paru-parunya menahan napas. Detik ini juga jantungnya seakan malas memompa.
Retina Hal setia menatap Sri yang tetap bergeming. Akhirnya sesaat kemudian gelengan kepala Hal membalas pertanyaan sang kakak.
Sri menghempaskan napasnya perlahan-lahan. Tanda rasa lega itu tak mau ditampakkannya secara vulgar. Arch si jenius akan mempertanyakan lagi.
Hal kembali menatap sang kakak. "Aku saja tidak tahu siapa yang akan menikahi ayah apalagi Kak Jasmine. Dia kan bukan anggota keluarga kita."
Arch membelai rambut Hal yang senada dengan sang kakak. "Lalu kenapa kamu menoleh padanya?"
Sri belum aman dari pertanyaan intelijen versi Arch.
Hal mengalihkan tatapan matanya. Dia meraih alat tulis di hadapannya. Anak itu menggoreskan tinta pada permukaan selembar soal.
Arch menaikkan sebelah alisnya. Rasa penasaran yang membuncah harus diimbangi kesabaran untuk memperoleh kenyataan.
Hal masih menggoreskan pena. "Aku pernah mendengar pembicaraan asisten juru masak jika Kak Arch akrab dengan Kak Jasmine Sri."
Arch dan Sri saling membenturkan pandangan. Sebelah alis tebal Arch terangkat. Sementara dahi Sri berkerut.
Pandangan Hal beredar dari Arch menuju Sri. "Apa kalian sepasang kekasih?" selidiknya.
Sri tersentak. Dia wajib segera membalas tanya Hal sebelum kesalahpahaman terjadi dan memancing amarah Arch.
Sri mengibaskan jemari kanannya. "Bukan, Mas Hal! Mas Hal jangan salah paham. Kami hanya saling mengetahui saja bahkan tidak bisa disebut saling mengenal."
Paras tampan Arch memberengut. Matanya memicing. "Apa begitu buruknya wajahku hingga kamu cepat-cepat menyangkal?"
Sri melongo mendapat balasan mengejutkan dari bibir Arch. Sri hanya memilih jalan yang tidak penuh kerikil kesalahpahaman. Dalam benak Sri sama sekali tak terlintas merendahkan fisik si pria. Apa yang mau diperolok jika si pria merupakan salah satu wujud ciptaan terindah Sang Maha Kuasa.
Sri menggeleng cepat. "Aku tidak bermaksud buruk, Arch! Aku hanya tidak menghendaki terjadi hal yang rumit padamu karena percakapan ini."
Arch menggeser tubuhnya memangkas jarak dengan Sri. "Jadi menurutmu jika ada rumor kita sepasang kekasih adalah hal buruk?"
Sri mendesah panjang. "Aku tidak pernah mengatakan apapun tentangmu dengan label buruk. Aku hanya mengatakan kenyataan kalau kita bukan sepasang kekasih. Aku tidak mau kamu kerepotan karena berita tidak benar ini."
Arch melipat kedua lengannya di depan dada. "Pikiran orang bukan hal yang perlu dikhawatirkan."
Sri mengernyit semakin heran. "Jadi tidak masalah jika Haliastur mengira kita sepasang kekasih dan didengar telinga yang lain, begitu?"
Arch mengangkat kedua bahunya.
Sepasang kelopak mata Sri memicing. "Aku tidak paham dengan cara kerja otakku."
Arch menyentil ringan dahi Sri. "Hai, jangan terlalu lama berpikir. Orang-orang tidak mungkin percaya rumor itu. Mana bisa seorang pria tampan dan tersohor sepertiku memiliki kedekatan dengan mantan orang kaya."
Sri menggembungkan pipinya emosi. "Baik, mulai sekarang aku tidak akan peduli lagi apa yang terjadi padamu!" balasnya.
Tawa Haliastur menghentikan perdebatan konyol dua otak dewasa itu. Dua sejoli bukan kekasih itu tak lagi mampu mengeluarkan argumentasi untuk saling menyerang.
Hal mendekap mulutnya untuk menghentikan gelora tawa yang dahsyat. "Benar, kan? Kalian memang serasi." celetuknya.
Kumandang adzan isya yang mengalun merdu berhasil menunda adegan melodrama anak muda yang bermain lugu dalam kamar Haliastur. Sri mendesah lega saat waktu berpihak padanya.
Sri segera beranjak. "Mas Haliastur, Kak Jasmine ijin shalat isya dulu, ya? Nanti kita lanjutkan belajar."
Hal mengikuti pergerakan sang pengajar privat. "Ayo kita shalat, Kak Jasmine!"
Arch beranjak paling akhir. "Kita shalat berjamaah di mushola bersama pekerja-pekerja ayah yang lain."
Sri mengernyit. "Mushola?"
Arch menaikkan sebelah alisnya. "Ada mushola dalam istana Juan. Kamu heran?"
Sri menggelang pelan. "Hanya saja aku selalu sholat di kamar tamu saat menjadi pengajar privat Hal."
Arch membelai dagunya. "Mushola itu ada sejak istana Juan didirikan. Bunda yang mengusulkan dibangun Mushola. Saat aku masih anak-anak, kami selalu sholat berjamaah dengan karyawan lain."
Sri menatap Arch takjub. "Keluarga yang hebat."
Arch menunduk. "Tapi sejak kepergian bunda untuk selamanya. Pria tua itu semakin menjadi-jadi. Dia tak hanya meninggalkan sujudnya tapi juga menjadi lintah penghisap darah orang biasa."
Paras Hal menekuk duka. Jemarinya meraih telapak tangan Sri dan mendekap erat.
Keheningan yang terjadi beberapa detik lalu segera dihancurkan suara Sri. "Sebaiknya kita segera menuju mushola."
***
Arc memandang kesal layar ponsell. Sebuah nama yang begitu mengikat kehidupannya pantang menyerah menghubunginya meskipun beberapa kali mendapat sentuhan penolakan.
Arch mencampakkan kumpulan data dalam genggamannya pada permukaan meja. Hari masih beranjak pagi bahkan belum saatnya jam masuk karyawan tiba. Namun benaknya telah dipenuhi emosi bertubi-tubi.
Arch kesal dengan Juan yang tiba-tiba akan menikah. Dia lelah dengan segala tingkah bocah tua yang tengah dilanda masa remaja kedua. Pria dewasa yang seenaknya menunjukan kekuasaan pada para peminjam. Pria matang yang entah bagaimana membuat seorang wanita bertekuk lutut. Wanita yang belum diketahui keberadaannya oleh Arch.
Panggilan masuk kembali menghiasi layar ponsell Arch. Sudut mata Arch memeriksanya sekilas. Dia terpaksa meraih barang pipih itu dengan helaan napas panjang.
Panas merambati gendang telinganya setelah benda pipih menyentuh kulit wajahnya. Suara yang selalu membakar amarahnya menyapa angkuh.
"Lama sekali kamu mengangkat panggilan dari Ayah. Helaan napasmu seperti sedang berbicara dengan si pembuat onar." cecar suara dewasa di seberang.
Arch mengepal geram. "Katakan apa keperluanmu! Aku sibuk!" sahutnya dingin.
Nada sang ayah sedikit meninggi. "Arch, detik ini bahkan belum masuk jam kantor. Sibuk apa kamu?"
Arch beranjak dari kedudukannya. "Aku berada di perusahaanku bukan di perusahaan ayah. Aku pemimpin sekaligus pemilik yang memiliki harga diri yang tinggi!"
"Aku tak peduli!" balas suara Juan di seberang. "Yang terpenting siang ini kamu harus membeli jas terbaik dari butik besar terbaru di pusat kota. Aku akan mengirim alamatnya."
Arch menghantam tinjunya pada permukaan meja. "Jangan mengada-ada. Buat apa aku harus memberi jas baru?"
"Meeting dengan klien dua minggu lagi kamu yang harus menanganinya. Istrinya pemilik butik baru itu. Tunjukkan kita menyukai dan menghargai koleksi butik itu." papar suara dalam di seberang.
"Kenapa tidak anda saja yang menangani klien itu sendiri? Dia kan calon partner perusahaan anda." pancing Arch.
Suara helaan napas Juan menggesek udara. "Aku sudah ada jadwal yang ditetapkan untuk hari itu. Aku tidak mengizinkan kegagalan dalam salah satu perusahaanku."
Arch bergeming tanpa tahu harus membuat keputusan apa.
"Sudah diputuskan. Siang ini saat istirahat makan siang kamu segera menuju butik itu. Aku percayakan keberlangsungan perusahaan dan karyawan perusahaan keluarga kita padamu." putus suara di seberang.
Komunikasi terhenti saat bibir Arch ingin menyuarakan jawaban. Pemuda itu hanya bisa melempar ponselnya pada sofa untuk melampiaskan rasa.
Arch kesal, sebal dan menyesal memenuhi permintaan ayah kandungnya. Butik mewah yang terhampar di pelupuk matanya begitu mempesona dengan aroma cat baru yang berbaur semerbak tanaman-tanaman hias. Saat istirahat makan siang tiba menandakan kemenangan sang ayah yang sanggup mengendalikan gerakan sang putra.
Arch membelai dagunya. Matanya mengernyit heran. Bagaimana mungkin Juan memerintahkannya berburu jas kerja pada butik pakaian pengantin.
Jas-jas yang berjajar rapi pada etalase begitu megah melangit. Warna lembut yang beraura berlian. Aura seorang raja dalam singgasana semalam bersama permaisurinya.
Beberapa pelayan tampak asyik melayani pengunjung dengan sabar dan ramah.
Seorang pelayan tampan mendorong pintu kaca perlahan dari dalam sebelum menyapa pria dewasa yang tengah ragu di ambang pintu.
"Selamat siang, Tuan Muda Danaus Monarch! Silakan, saya sudah menunggu anda."
Arch menaikkan sebelah alis tebalnya hingga tangan kanan sang pelayan membuka lebar pintu kaca utama butik.
"Tuan Besar Juan telah berpesan pada saya untuk melayani putra sulungnya saat istirahat siang ini. Silakan anda mengikuti saya. Saya akan menunjukkan koleksi terbaik yang sesuai dengan kebutuhan Anda." Papar sang pelayan profesional.
Sang pelayan membimbing langkah Arch menjelajahi butik setelah mendapat anggukan sang tamu istimewa.
Sepasang retina Arch beredar bosan pada deretan jas berkelas yang dilindungi lemari kaca. Namun entah mengapa membuat bibirnya menguap lelah.
"Bagaimana, Tuan Muda?"
"Saya suka warna gelap yang misterius tapi tidak suram." Jawab Arch setelah mendengar lontaran pertanyaan dari sang pelayan.
Sang pelayan mengangguk bersemangat bagai memperoleh sebuah petunjuk. Pria tampan berparas campuran jawa dan timur tengah itu bergegas menghampiri sebuah lemari kaca khusus yang hanya dihuni satu koleksi. Kedua tangannya menyibak daun pintu bening sebelum meraih barang mahal itu.
Sang pelayan memboyongnya menuju pelanggan terhormat.
Sepasang kelopak mata Arch melebar takjub. Arch mengolah benaknya sejenak. Ibu jari dan telunjuknya membelai dagu.
Jemari Arch meraih jas mewah berbahan langka tersebut dan membelainya perlahan. Arch menyerahkan kembali pada sang pelayan setelah menelisik dengan seksama.
"Tolong tunjukkan dimana kamar pas pria berada?" Tanya Arch menunjukkan persetujuan.
Sang pelayan pria mengangguk antusias. Tangan kiri yang menggenggam jas dengan elegan dan tangan lainnya mempersilakan Arch mengikuti langkahnya.
Sementara seorang gadis tengah bermuram durja pada ruangan koleksi gaun pengantin wanita. Pemaparan sabar dari pelayan wanita hanya singgah sebentar pada lubang telinganya. Sri terpaksa menganggukkan kepala untuk menghormati kerja keras mbak pelayan baik hati.
Bagaimana hatinya bisa memilih sedangkan pria yang akan mendampingi hidupnya adalah tokoh paksaan. Bahkan laki-laki matang itu tak menunjukkan batang hidungnya saat ini. Apakah benaknya lebih enggan dari Sri. Pengemudi pribadi yang meletakkan Sri sampai tujuan juga lenyap tak ada jejaknya. Dia pamit kemudian menjadi tak kasat mata.
Gerakan kepala Sri tercipta ketika koleksi terbaik ditampilkan. Sebuah gaun putih santun dan anggun yang akan menjaga seluruh anggota tubuh pemakaiannya dari terkaman mata srigala. Taburan berlian asli terpahat pada beberapa sisi tertentu. Dada, pinggang dan ujung rok yang menggelembung.
Sang pelayan tersenyum cerah. "Pilihan sempurna, Nona Jasmine!"
Sri hanya tersenyum canggung menanggapinya.
Sang pelayan wanita membimbing langkah Sri menuju kamar pas. Dengan cekatan sang pelayan seolah menyentuh raga Sri dengan ilmu sihir. Jari-jemarinya yang gesit membantu Sri mengenakan gaun putih panjang dan berbahan langka. Sang pelayan menuntaskan tugasnya tanpa membutuhkan waktu lama.
Sri bagai berbalut pakaian kebesaran seorang ratu dengan helai demi helai rambut bergelombangnya yang tergerai.
Seorang fotografer profesional telah menanti Sri di ujung ruangan koleksi gaun wanita setelah langkahnya meninggalkan kamar pas.
Di ruangan koleksi pengantin pria yang terhubung langsung dengan koleksi pengantin wanita, berdiri seorang pengusaha tampan yang tengah mementaskan diri di hadapan cermin.
Tubuhnya membeku sejenak ketika dengung dialog menyentuh gendang telinganya. Satu di antara dua suara itu begitu berbekas dalam ingatan.
Arch melangkah perlahan mengikuti sumber suara yang hanya membutuhkan beberapa detik saja hingga bayangan sang putri tercetak pada retinanya.
Kelopak mata Arch membuka lebar. Bidadari yang tengah memenuhi layar matanya itu tersenyum canggung di hadapan kamera. Kemilau berlian yang berpendar tertimpa cahaya terang bahkan tak sanggup menandingi sinar wajah sang calon mempelai wanita.
Arch mengepalkan kedua tangannya tanpa sadar. Dia mengentak petakan granit di bawah alas kakinya. Paras tampannya menekuk tajam. Sorot matanya tak bergeser dari sang target.
Arch melangkah tergesa menghampiri sang bidadari.
Arch meraih lengan sang calon mempelai dengan geram. "Katakan, siapa calon mempelai prianya?"
Sri terkejut. Parasnya berpaling pada sumber getar pita suara yang dalam dan mencekam.
Mata Sri melebar. Seorang pangeran negeri dongeng berbalut jas gelap menggenggam erat pergelangan tangannya. Sri tidak hanya terpesona paras rupawan sang pria tetapi juga pada kenyataan yang terlalu cepat terungkap.
Arch memicing. "Katakan!"
Sri tergagap.
Asap hitam di atas kepala Arch semakin membumbung tinggi. "Jika aku mengetahui siapa dia, hati-hati dengan nyawanya karena telah berani melamarmu."
Sri menelan ludah kelu. Begitu sulit mengalirkan sesuatu pada tenggorokan. Seolah ada bara panas di dalamnya. Entah mengapa Arch selalu ingin menghabisi nyawa calon mempelai. Apa seorang jomblo mudah tersinggung?
***