Mata Arch memerah darah. Barisan giginya bergemeletuk geram. Cengkeraman tangan kekarnya enggan terurai dari pergelangan Sri.
Sri berupaya membuka bibir namun kata tak mampu terangkai.
Sang fotografer profesional mendesah panjang. "Maaf Tuan Muda, anda telah membuat Nona Jasmine Sri, model kami ketakutan."
Arch dan Sri serentak berpaling pada sang pria muda berhelai kecokelatan. Mimik keheranan yang selaras tercetak pada paras keduanya.
Arch melirik Sri heran. "Model?"
Sri masih setia bergeming. Tatapannya tak bergeser dari sang penggenggam kamera. Retina Sri menangkap mata bulat sang fotografer mengerjap cepat.
Arch menggeser pandangannya kembali pada sang fotografer. "Kamu yakin?"
Sang fotografer mengangguk tegas. "Dia emang hanya model lepas bukan model tetap butik kami. Tapi dia sangat kami butuhkan karena memiliki aura kepolosan seorang calon pengantin wanita."
Arch mengurai cengkeraman tangannya. "Kamu juga kerja sambilan di sini?" Selidiknya ragu.
Sri tergagap. Parasnya bergegas berpaling pada Arch sebelum kembali menjatuhkan pandangan pada sang fotografer.
Tatapan Sri bersirobok dengan sang tukang foto profesional. Keduanya mengangguk pelan.
Arch menumpukan dua lengannya di depan dada. "Apa bayaran pengajar privat Haliastur kurang untuk kamu?"
Sri menggeleng lemah. "Uang itu aku kumpulkan untuk melunasi hutang orang tuaku. Untuk makan sehari-hari aku kerja serabutan."
Sang fotografer menghampiri dua sejoli yang tampak sedang berbincang resah. Dia menepuk bahu keduanya.
"Apakah kalian memang sepasang kekasih yang sedang ada masalah?" Selidik sang fotografer ingin tahu.
Arch dan Sri membisu. Keduanya hanya mampu membalas dengan bungkam.
Sang fotografer mendesah panjang. "Hari ini Tuan Muda Arch dan Nona Sri akan saya abadikan dalam kamera jika kalian tidak keberatan. Kalian tampak serasi apalagi pakaian yang melekat di tubuh kalian memang kami rancang berpasangan."
Arch dan Sri saling melempar lirikan.
Fotografer butik mengambil langkah mundur beberapa kali serta mempersiapkan kamera profesionalnya. Kata-katanya sukses menyihir dua sejoli untuk mengikuti keinginannya. Dia tak lelah memandu dua sejoli menemukan posisi yang serasi.
Beberapa kali ibu jari sang fotografer diutarakan setelah melakukan pengambilan gambar.
Sang fotografer membiarkan kamera menggantung menyinggung dadanya. Kedua telapak tangannya saling beradu memberikan kekaguman pada dua sejoli di depannya.
"Kalian luar biasa!" Puji sang fotografer.
Arch dan Sri hanya saling memunggungi canggung. Mereka sulit menemukan kata-kata yang sesuai untuk menanggapi sanjungan sang fotografer. Atmosfir yang mengikat keduanya terasa berat dalam detak.
***
Leo menahan laju motornya di depan bangunan megah milik saudara tertua. Sang adik bungsu yang tengah bertengger di jok penumpang segera diperintahkan angkat kaki dan mendorong pagar besi.
Leo menyesal telah membusungkan dada pada kecerdasannya. Dia pikir selama ini protes keras pada sang ayah untuk tidak kembali ke rumah tak terendus keberadaannya. Ternyata memang Juan belum berniat mengetahui kabar putranya. Saat pria tua itu butuh, suara yang diktator akan menyapa gendang telinga melalui jaringan data. Entah darimana dia mampu melacak nomor baru Leo yang bahkan telah sepuluh kali berganti kartu.
Jika suara Juan Monarch telah menerobos lubang telinga si putra tengah, akan ada perintah yang wajib dipenuhi. Leo harus menghampiri sekolah Haliastur saat senja lalu mengirimnya pada kediaman kakak sulung. Arch telah menyerah pada aksi menghilang dari peradaban sebagai bentuk protes pada rencana pernikahan ayahnya. Upayanya hanya menyisakan tangan hampa. Maka dari itu dia telah kembali lagi bergentayangan di kediamannya.
Haliastur yang mengetahuinya merengek manja pada sang ayah. Dia kembali ingin tinggal bersama kakak tertua.
Haliastur berteriak dari dalam pagar. "Kak Leo, kenapa hanya diam saja? Ayo masuk!"
Leo membimbing motor bebek sederhana menuju pekarangan depan rumah Arch. Kemudian mengikuti Haliastur menuju pintu utama setelah memarkir sepeda motornya.
Bi Ayuk muncul dari balik pintu setelah beberapa kali bel rumah ditekan.
Bi Ayu menyambut dua Tuan muda dengan ceria. "Ayo masuk, Mas Leo dan Mas Hal! Bibi sudah siapkan makanan!"
Bibi bergegas menuju dapur menjauhi keduanya yang tampak melenggang santai melintasi pintu.
Leo mendorong daun pintu pada gawangnya kemudian memutar kait tengah. Hal berlarian keci menuju kamar lantai bawah yang selalu di huni saat menginap. Sementara Leo melempar tubuhnya pada permukaan lembut sofa ruang santai setelah meletakkan ransel pada meja kaca.
Bi Ayuk muncul dari dapur. Kedua telapak tangannya menggenggam nampan berisi dua gelas jus buah.
Leo segera bangkit dari permukaan sofa. Lengannya menyambut gembira cairan pelepas dahaga dalam gelas kaca kemudian menenggaknya hingga tandas.
Bi Ayuk meletakkan satu gelas penuh lain pada meja kaca kemudian menggusur gelas kosong ke dapur.
Langkah Bi Ayu tertahan panggilan Leo.
Bi Ayu memutar tubuhnya. "Ada apa, Mas Leo?" Tanya Bi Ayuk.
"Arch pulang jam berapa?" Pertanyaan Bi Ayuk dibalas pertanyaan pula oleh Leo.
Bi Ayuk merenung sejenak. "Kalau hari-hari biasa saat Mas Hal sekolah, Tuan Muda Sulung tiba di rumah sebelum magrib. Kalau lembur akhir pekan bisa menginap di hotel dekat perusahaan."
Leo membelai dagunya. "Ada yang aneh jika Arch sudah di rumah sebelum magrib."
Bi Ayuk tersenyum di balik telapak tangannya. "Iya, Mas Arch memang sedikit aneh semenjak kedatangan guru les baru Mas Hal. Saya diperbolehkan pulang."
"Maksud Bi Ayuk, Nona Jasmine Sri?" Tebak Leo semakin ingin tahu.
Bi Ayuk mengangguk antusias.
Leo menatap lekat-lekat dua tangannya yang terkepal. Benaknya semakin tak sanggup mengurai benang kusut yang masih menjadi teka-teki antara kakak dan sahabat kampusnya.
Leo memicing. "Apa Bi Ayuk pernah mendengar siapa calon istri Ayah?"
Mata Bi Ayuk membelalak. "Saya tidak tahu dan baru mengetahui Tuan Besar akan menikah. Yang pasti calon Tuan Besar bukan saya, Mas Leo."
Leo melempar tatapan kesal. "Becanda suka kelewatan, nih!"
Bi Ayuk meringis kikuk. "Kalau Tuan Besar tadi pagi berkunjung ke sini, Mas Leo."
Leo beranjak tiba-tiba. "Ada keperluan apa, Bi? Diskusi perusahan sama Arch?"
Bi Ayuk menggeleng gamang. "Saya juga kurang tahu. Beliau datang setelah Mas Arch berangkat kerja. Beliau terburu-buru naik ke atas kemudian turun dan pergi lagi."
Leo menaikkan sebelah alisnya. "Atas? Kamar Arch?"
Bi Ayuk menaikkan kedua bahunya. " Saya tidak memperhatikan, Mas Leo. Saya sedang menyapu halaman belakang."
Kedua lengan Leo saling bertumpu di depan dada. Pemuda itu bergeming untuk beberapa saat hingga tak menyadari Bi Ayuk pamit undur diri ke dapur.
***
Sri melintasi ambang pintu utama rumah Arch. Haliastur dan kakak tertuanya menyusul dari balik punggung Sri. Waktu sudah melintasi adzan isya satu jam lalu. Saatnya Sri mengakhiri kegiatan belajar mengajar privat dan undur diri pulang.
Leo yang tertidur di kamar tamu sejak lepas maghrib belum juga terjaga. Niatnya bersua dengan sahabat kentalnya tak tercipta. Sri yang datang sedikit lebih lama dari jadwal biasa, membuat sang kawan lelah menanti dirinya. Energi Leo yang telah terkuras menghadapi hari tergantikan rasa kantuk yang hebat.
Sri membungkuk sopan. "Saya pamit, Kak Hal dan Kak Arch."
Arch hanya mengangguk samar sementara Hal melambai ceria.
"Salam buat Leo yang ketiduran," pesan Sri pada Haliastur.
Hal mengacungkan ibu jarinya. "Siap, Kak Jasmine!"
Mata Arch menyipit tidak tertarik.
Sri berlalu menghampiri pagar besi kemudian menggeser kaitannya. Dia melintasi pembatas antara pekarangan dan jalan umum. Selanjutnya sosok gadis sederhana itu lenyap dari pandangan dua laki-laki penghuni rumah.
Arch menepuk bahu adik paling bungsu. "Segera tidur kalau sudah selesai mempersiapkan jadwal besok."
Hal menjulurkan ibu jarinya. Anak laki-laki itu bergegas merentangkan jarak dengan sang kakak. Arch menyusul langkah Hal setelah memastikan sepasang daun pintu utama tertutup dan terkunci rapat.
Hal sibuk dengan jadwal pelajaran dalam kamarnya. Leo masih setia mendengkur pada sofa raksasa ruang tengah. Sementara Arch sedikit panik menyadari kartu identitas kependudukannnya belum diketemukan.
Arch menjelajahi satu per satu sudut kamarnya hingga tempat-tempat yang sulit dijangkau tapi hasilnya nihil.
Dia ingat betul telah menarik kartu identitas dari dalam dompetnya kemarin lusa karena suatu keperluan. Dia tak lupa laci kecil pada meja kerjanya di kamar. Satu-satunya tempat yang mungkin dihuni kartu pipih berukuran sedang dan berwarna lautan.
Asisten rumah tangganya sudah selesai tugas dan pulang ke kediamannya sore tadi. Leo menjadi satu-satunya makhluk yang masih bisa diinvestigasi.
Arch menuruni tangga tergesa. Kepalanya hanya menggeleng menyadari sang anak kedua Juan Monarch masih mendengkur sekeras mesin gergaji.
Arch menepuk lengan Leo sedikit keras hingga Leo beranjak dari sofa. Paras Leo linglung antara mimpi dan realita. Kepala Leo hanya menoleh ke kanan dan kiri. Jantungnya turun naik.
"Apaan Arch? Ada maling?" Tanya Leo panik.
Arch melipat lengan kesal. "Ga ada! Itu akibatnya tidur sebelum shalat isya!"
"Sudah masuk Isya? Terus Sri dimana?"
Arch menunjuk dinding atas. Dua jarum penunjuk waktu berada pada pertengahan delapan sembilan dan enam.
Leo menarik kedua sisi rambutnya frustasi.
Arch menoyor kening Leo. "Kamu bisa bertemu setiap hari dengannya di kampus. Tidak usah memikirkan hal tidak penting."
Leo melotot. "Tapi kalau aku tidak ketiduran aku bisa mengantarnya pulang." Sahutnya.
Arch mengernyit. Matanya menyipit menyelidiki. "Kamu tahu tempat tinggalnya?"
Leo mengambil langkah mundur. Bibinya terkunci rapat.
Arch mendesah panjang. "Itu tidak penting. Kamu tahu KTP di meja kerja kamar?"
Leo menaikkan sebelah alisnya. "KTP siapa? Kamar siapa?"
Arch mendesah. "Ya jelas milik abangmu yang ganteng ini."
"KTP milik kamu ada di kamar milik kamu. Kenapa tanya aku yang jarang tinggal di sini?" Sahut Leo memainkan telunjuk dan jari tengahnya.
"Kamu ga pernah masuk kamarku, kan?" Selidik Arch.
Leo menggeleng-geleng. "Buat apa? Maling KTP? Kayak laku aja dijual! Bersih-bersih kamar jomblo ngenes juga ogah aku. Itukan tugas karyawanmu."
Arch bergeming sejenak. Benaknya mencoba memproses sesuatu.
"Kalau pengen tahu informasinya tanya asisten rumah tanggamu. Tadi sore dia bilang ayah datang pagi hari setelah kamu berangkat kerja." Papar Leo memecah keheningan.
Arch tak mampu menyembunyikan rasa kaget. Matanya membelalak lebar.
***