Chereads / AKU KABUR KAU KEPUNG / Chapter 19 - Target Kecurigaan.

Chapter 19 - Target Kecurigaan.

Arch meraih kunci kontak motor bebek Leo yang tergeletak pada permukaan meja kaca ruang tengah.

Leo bersigap mencengkeram lengan sang kakak. "Arch, kamu mau apa?" Tanyanya cepat.

Arch menggenggam kontak motor dalam telapaknya. "Aku pinjam sebentar untuk pergi ke rumah Juan. Nanti aku isi penuh bahan bakarnya dan aku bayar sewanya."

"Tunggu dulu, Kakakku tersayang! Bukan itu maksudku. Jangan gegabah! Belum tentu dugaanku benar." Cegah Leo memperingatkan.

Arch melempar tatapan garang.

Leo mempererat cengkeraman pada lengan kaos panjang Arch. "Belum tentu Ayah yang mengambil kartu penduduk milikmu. Bisa saja tertinggal di ruang kerjamu di kantor. Selidikilah dulu!"

Arch menggeleng. "Tidak perlu berpikir keras untuk hal sepele seperti ini."

Leo mencengkeram sebelah lengan Arch yang bebas. "Kak Arch, jangan membawa parang dan bertengkar dengan ayah malam-malam seperti ini!"

Arch menyentak sepasang lengannya dari genggaman sang adik. "Aku masih waras, Leo!"

Leo meraih ujung sweater pastel Arch. "Arch, sebaiknya besok saja kamu menemui ayah. Aku pikir KTP itu untuk mendaftarkan perusahaan terbaru ayah atas namamu, mungkin!"

Arch melenggang menjauhi posisi sang adik dan membalas bujukan dengan kebisuan. Leo mengikuti punggung tegap Arch. Berulang kali nama Arch diteriakkan tapi hanya dianggap bisikan semu. Pria dewasa itu tak berniat memutar lehernya meskipun hanya seperempat lingkaran.

Leo memacu tungkainya dan menghadang Arch di ambang pintu utama. "Arch, aku mohon jangan sampai kamu muncul di televisi!"

Arch geram karena langkahnya tertahan. "Apa maksudmu?"

Air muka Leo panik. "Berita Kriminal!"

Sepasang mata tajam Arch melebar. Dua tangannya terkepal.

Dua lengan Leo masih setia merentang untuk menghadang sang kakak. Tragedi keluarga konglomerat yang pernah berseliweran dalam berita kriminal jangan sampai ada pengikutnya. Cukuplah permasalahan terselesaikan dalam hangat ruang makan.

Telapak kanan Arch menyapu paras Leo yang masih serupa busa pembaringan. "Jangan berpikir aneh meskipun aku memang ingin bunuh calon istri orang!"

Leo gelagapan. Jawaban Arch meningkatkan keinginannya untuk menahan niat anarkis Arch. Mahasiswa tahun kedua itu semakin merentangkan keduanya lengannya tinggi-tinggi.

Arch menggeser tubuh Leo dari hadapannya kemudian bergegas memacu tungkai melintasi sepasang daun pintu utama setelah memisahkan kunci dari lubang. Jemari Arch cekatan menjodohkan kembali kunci pada lubang dari luar lalu memutar kaitnya.

Leo yang gagal mencegah sang kakak hanya mampu menggedor pintu dari dalam.

"Arch, jangan ke rumah ayah! Arch, buka pintunya! Jangan kunci kami dari dalam!" Teriak Leo emosi.

Tak ada balasan dari Arch. Hanya terdengar suara mesin motor bebek menjauh dari pekarangan depan.

Kepalan tangan Leo menghantam daun pintu dengan kesal. Leo hampir meraung tersedu-sedu jika tak mengingat Haliastur ada dalam bangunan yang sama.

***

Petugas keamanan istana Juan yang bertubuh tinggi menghampiri pengendara motor bebek yang memarkir sepeda di depan gerbang.

"Selamat malam, Pak! Maaf, jam untuk bertemu sudah habis. Tuan Besar sedang beristirahat!" Sapa petugas keamanan sopan pada pemuda berpelindung kepala.

Sang pengendara melepas pelindung dari kepalanya. "Tumben Ayah sudah tidur jam segini."

Petugas keamanan terperanjat. Tubuhnya segera membungkuk memohon maaf atas ketidaktahuannya. Paras pria gagah tinggi besar di hadapannya adalah warisan dari kecantikan sang mendiang Nyonya Besar.

"Maaf Tuan Muda Arch. Tuan Besar Juan baru saja pulang dari kantor. Saya kira Tuan Muda orang lain. Kendaraan Anda belum familiar untuk saya." Jelas petugas keamanan sopan.

Arch mengangguk maklum. Dia melintasi pintu gerbang setelah meletakkan pelindung kepala. Petugas keamanan bertubuh pendek mendorong gerbang untuknya.

Petugas keamanan berpostur tinggi mengikuti langkah sang majikan dari balik punggungnya. "Apa Anda akan menginap?"

Arch mengangkat tangan kanan lalu menggoyangkan dua arah. "Aku hanya sebentar."

Petugas keamanan badan tinggi menahan langkahnya. "Baik, Tuan Muda. Gerbang tidak saya kunci terlebih dahulu." Kemudian berlalu berlawanan arah dari Arch.

Arch mengangguk dari balik punggungnya dalam langkahnya menuju pintu utama. Pria itu tak harus berusaha payah menekan dan mendorong daun pintu karena keramahan seorang karyawan rumah Juan menyambut di sana.

"Tuan Besar Juan ada dimana?" Tanya singkat Arch pada sang karyawan wanita dewasa.

Sang karyawan mengangguk. "Mari saya antar, Tuan Muda! Tuan Besar sedang di ruang makan."

Tanpa kata langkah Arch menyusul sang karyawan rumah Juan dari balik punggung mungilnya menghampiri ruang makan yang jaraknya lumayan membutuhkan satu menit pergerakan.

Sang karyawan wanita menunduk salam pada sang majikan. "Tuan muda berkunjung, Tuan Besar!"

Juan yang tengah menyantap makanan berkuah keruh meletakkan sendoknya. Dia menatap sang pekerja kemudian mengangguk. Karyawannya ijin undur diri dengan santun.

Arch menghampiri sang ayah dan meletakkan tubuhnya pada kursi makan terdekat dengan pemilik rumah.

Tangan kanan Juan menunjuk pada sajian di atas meja makan besar. "Ayo, temani ayah makan malam."

Arch menggeleng sopan. "Maaf, saya sudah makan malam tadi. Saya kemari untuk menanyakan tentang kartu kependudukan saya."

Juan mengulum senyum. "Benar-benar pewaris pertama keluarga Monarch. Jenius!"

Arch diam tanpa menanggapi.

Juan menarik dompet dari saku celana kemudian menelusuri tiap bagian untuk menemukan sesuatu berwarna langit. Juan meletakkan sebuah kartu penting pada permukaan kaca meja makan.

Arch meraihnya kemudian mengamankan dalam saku kaos lengan panjangnya setelah memastikan kebenarannya.

Arch mendesah panjang. "Mengapa lebih memilih mengambil sendiri daripada meminta ijin pada pemilik?"

Juan menggosok ujung hidungnya. "Kamu masih belum puas hanya dengan KTP kembali?"

Rahang Arch mengeras. Sebelah alis tebalnya bergerak ke atas.

Juan menenggak seteguk air mineral dalam gelas bening. "Aku hanya menggunakannya untuk mengurus pembagian warisan dari mendiang kakek kalian."

Arch melempar tatapan acak. "Apa hubungannya aku dengan pembagian warisan kakek? Itu semua menjadi urusan ayah dan saudara-saudara ayah."

Sepasang tangan Juan saling terjalin di depan dagu. "Ayah ingin bagian ayah dari warisan kakek aku berikan atas nama Danaus Monarch."

Arch menggeleng pelan. "Tidak masuk akal, Tuan Besar! Saya juga tidak membutuhkannya. Saya harap anda bisa membicarakan kepada saya terlebih dahulu perihal barang-barang penting saya."

Juan beranjak dari kursi makan. "Baik jika kamu menolak pengatasnamaan tanah warisan kakek. Saya akan mengkaji ulang semuanya."

Arch mengikuti gerakan sang ayah. "Saya pamit, Ayah! Assalamu'alaykum."

Juan mengangguk dan membalas salam sang putra sulung. Pandangan sang ayah enggan beranjak dari pergerakan sang putra yang menjauhi ruang makan bersama seorang pelayan yang membimbing langkahnya.

***

Leo melempar tubuhnya pada bangku kantin yang tengah lengang pagi ini setelah membuat pesanan segelas es jeruk dan nasi soto ayam. Tak lama kemudian seorang pelayan kantin muncul dengan nampan di kedua tangannya. Sebuah gelas jumbo penuh cairan kekuningan dan semangkuk nasi berkuah bening tampak berdiri gagah pada permukaannya.

Pelayang menyajikan pesanan Leo pada meja kayu di hadapannya.

"Makasih, Mas!" Ucap Leo pada pria muda berseragam kantin serba hitam.

Sang pelayan mengangguk lalu undur diri.

Leo menenggak kesegaran air dingin perasan jeruk manis.

Dua ahli gibah melintasi jalan utama kantin dengan kasak-kusuknya yang kekinian. Mereka saling melempar tawa di sela cerita-cerita yang entah apa menariknya.

Suci dan Murni rekan satu angkatan Sri yang memiliki rasa penasaran setinggi lapisan atmosfir bumi. Entah permasalahan teman kampus hingga polemik dalam negeri wajib melintasi pendengaran mereka.

Mata Si Genit Suci yang berbalut dress katun selutut menangkap penampakan seorang pemuda yang tengah melahap semangkok nasi soto.

Suci berbisik pada lubang telinga Murni lalu menjulurkan telunjuknya pada pemuda di sudut kantin.

Mereka saling tatap bingung sebelum menghampiri sang pangeran tampan yang berselimut penyamaran.

Suci menyapa. "Leo, tumben setelah kuliah pagi bisa santai sarapan di kantin? Biasanya langsung tancap gas menghilang dari peredaran."

Leo menengadah. Mulutnya yang penuh nasi soto hanya mampu menggembung kesal. Ekor tauge bergelantungan di sudut bibirnya.

Kedua gadis cantik nan genit menggeleng maklum menyaksikan penampilan teman satu angkatan mereka.

Leo menelan sisa nasi dalam mulut kemudian mengguyurnya dengan es jeruk. "Ada perlu apa?"

Suci berhelai sebatas punggung menguap palsu. "Hanya menyapa saja. Heran lihat kamu sendirian tidak bersama Si Sri."

Mulut Leo membulat. "Kalau Sri aku juga tidak tahu dia kemana. Dia keluar kelas lebih dulu. Tumben sekali Tuan putri perhatian dengan para anggota kismin klub." Sindir Leo.

Murni meletakkan tubuhnya pada bangku seberang Leo. "Siapa yang anggota kismin klub? Sri?" Celetuknya dengan gelengan "Kamu sendiri kali." Tambahnya lagi.

Leo tergoda menyimak penuturan Murni si gadis menawan dengan celana ramping dan kemeja polos berample.

Suci menempatkan diri di sisi Murni. "Bestie kesayanganmu itu bakal jadi orang kaya lagi."

Leo membelalak. "Fitnah," komentarnya tak yakin.

Murni menepuk bahu kemeja lengan pendek Leo. "Bestie akan hidup di atas sejahtera itu harus diaminkan bukan dihina."

Leo mencondongkan tubuhnya. "Jadi hutang keluarga Sri sudah lunas? Tapi aneh kenapa dia tidak cerita?"

Suci mendengus. "Bukan, yang sebenarnya dia itu akan menikahi orang kaya."

Leo mendadak beranjak dari bangkunya. "Apa?" Kagetnya.

Murni meraih lengan Leo dan membimbingnya kembali menempati bangku.

Sementara Sri yang melenggang ceria menuju kantin harus menahan langkahnya sebelum mendekati jalan masuk utama kantin. Sepasang retina gelap Sri menangkap sosok sahabat baiknya tengah berdiskusi serius dengan dua patner gibah sejuta umat.

Sri memandang amplop cokelat berisi lembaran merah dalam telapak tangannya. Sejumlah nominal yang telah dipersiapkan untuk mengganti semua tabungan Leo yang telah cair untuk membantunya.

Sri melangkah pelan mendekati pintu utama kantin. Gerak kalem sepasang tungkai bergerilya dari pilar menuju pilar hingga hinggap pada pilar terdekat di balik punggung Leo.

Sri memasang pendengaran dengan seksama.

Leo mengarahkan telunjuknya pada dua gadis di hadapannya. "Kalian sudah pasti mendapat informasi yang salah."

Suci mendesah panjang. "Salah bagaimana kalau Sri sendiri yang mengatakan itu. Seminggu saat kamu tidak kelihatan di kampus. Sri berpenampilan mahal selama beberapa hari."

Leo menggeleng. "Berpenampilan mahal bagaimana? Kalian melihat sendiri bagaimana pakaian Sri, bukan?"

Murni dan Suci saling bertukar tatapan kemudian mengangguk pelan. "Sri kembali menggembel. Apa rencana pernikahannya batal, ya?"

Sepasang mata cerah Leo membidik dua pasang retina di hadapannya. "Siapa yang akan menikahi Sri menurut informasi yang kalian dapat?"

Sri membungkam bibirnya dengan tangan kanan. Sri tak menghendaki episode saling kejar kembali bermain ulang. Sendi-sendinya telah lelah melarikan diri.

"Pria dewasa itu kaya raya dan tampan. Jika aku sebut namanya, kamu juga tidak akan mengenalnya. Aku malas menjelaskan. Sebaiknya kamu menanyakan langsung pada Sri." Papar Suci angkuh.

Leo memutar matanya bosan. Gigi-giginya bergemeletuk geram. Dia harus setia bersabar demi identitasnya yang wajib menjadi rahasia sedikit lebih lama.

Leo kembali beranjak setelah mendorong bangku kasar. Dia melenggang tanpa permisi dari dua gadis di hadapannya.

***