Rembulan menyapa alam semesta ketika Sri termenung di serambi sebuah bangunan mungil. Tubuhnya telah berbalut kaos oblong ukuran jumbo dan celana kulot masih lengkap dengan label merek di bagian pinggang.
Leo menghibahkan salah satu kaos terbaiknya untuk Sri. Selain itu pemuda dua puluh tahunan menyumbangkan beberapa lembar rupiah untuk sebuah celana panjang wanita.
Leo juga yang bersusah payah berburu kos-kosan khusus wanita dalam keadaan terjepit. Hingga akhirnya Sri sementara tak akan kedinginan dalam gelap. Sebuah kamar sempit harga rakyat telah disewa setelah jabat tangan perjanjian dan pembayaran satu bulan. Dana dari siapa lagi selain kebaikan Leo yang juga menanggung biaya IGD Sri.
Leo mendaratkan tubuhnya pada bangku kayu di sisi Sri. "Kenapa diam saja?"
Sri mengangkat bahunya.
Leo mendesah panjang. "Kamu sudah dapat tempat tinggal sementara. Jadi segera masuk dan istirahat!"
Sri menekuri sandal karet yang melindungi telapak kakinya. "Aku harus membayar dengan apa semua bantuan biaya darimu, Le?"
Leo menggeleng pelan. "Kamu kan masih ngajar privat Haliastur."
Kepala Sri semakin tertunduk.
Leo menepuk pelan bahu Sri. "Sebenarnya kamu dari mana, akan kemana dan sedang mengalami apa?"
Sri menggigit bibirnya panik. "Aku dari rumah Mas Haliastur."
"Maksudmu rumah Ayahku?"
Sri mengangguk ragu.
Leo beranjak. "Tunggu ... tunggu! Saat itu apakah kamu sedang mencari lokasi Haliastur yang baru karena adikku tidak tinggal dengan Arch sementara ini?"
Sri menggaruk ubun-ubunnya. Sedikit demi sedikit dusta telah dia susun, entah akan setinggi apa di masa mendatang. Sri sedang hidup dalam dilema. Keputusan seolah tak mampu ditegakkannya. Dia selalu terdorong menuju jalur abu-abu.
"Lalu?" tanya Leo menyelidiki, "Apa Haliastur membahayakan nyawamu lagi?"
Sri mendongak. Telapak tangannya melambai-lambai cepat disertai gelengan kepala.
"Benar? Haliastur tidak berubah lagi?" tanya Leo memastikan.
Sri mendesah panjang. "Hal sudah berubah. Aku hanya sedikit bermasalah dengan Mas Arch."
Leo berlutut di hadapan Sri. "Arch pulang ke rumah ayah? Bagaimana bisa kamu bermasalah dengan Arc? Apa kamu sudah lebih dulu mengenalnya sebelum ini? Oke, aku tahu kamu pasti pernah bertemu dia saat mengajar Hal. Tapi aku pikir hanya saling tahu tidak lebih." serang Leo ingin tahu.
Sepasang tangan Sri saling meremas panik. "Arch menolongku saat terjatuh di kolam renang. Lalu kami sedikit adu mulut dan aku mendorongnya."
Sebelah alis lebat Leo menukik. "Maksudmu mendorongnya?"
Sri menekan dadanya yang semakin cepat berdentum. "Ke dalam air!"
Leo beranjak dari kedudukannya sebelum mengacak surainya frustasi. "Astaga! Berani-beraninya kamu dengan singa itu. Sebenarnya ada masalah apa kalian?"
Sri mengikuti pergerakan sahabatnya. "Dia mengatakan sesuatu yang menyakiti padahal aku mengkhawatirkan keadaannya." sahutnya pelan hampir tak terdengar.
Mata Leo melebar. Kata-kata yang melintasi gendang telinganya sulit dicerna.
Sri membungkam bibirnya.
"Coba ulangi!"
Sri menggeleng. "Maaf Leo, ini sudah malam. Kamu sebaiknya pulang. Aku juga akan beristirahat."
Leo menyipit tak suka karena dahaga penasarannya harus tertahan mendapat penawar ketika Sri melambai dari balik pintu kamar yang hampir merapat. Leo nyaris tak mampu menangkap gerakan gesit Sri yang menjauhinya.
***
Pertolongan selalu menyeruak di antara kesialan-kesialan hidup yang Sri hadapi. Kamar kos baru benar-benar hanya sebuah kamar tanpa ada sesuatu kasat mata dengan sebutan barang. Bersyukur Sri ucapkan, Allah Swt memberikan pertolongan melalui pemilik bangunan. Ibu kos separuh baya memberikan pinjaman tikar sebagai pembatas dinginnya lantai.
Sri membuka mata sebelum fajar menyapa. Dia berulangkali mengucap syukur karena diberi kenyamanan beristirahat. Setelah membersihkan seluruh tubuh dan menyelesaikan ibadah subuh, gadis itu bersiap di tepi serambi kamar. Sekali lagi kebaikan pemilik kontrakan sedikit meringankan beban gadis itu. Sri menerima langsung sepasang baju layak pakai dari sang pemilik kos.
Entah apa yang akan dilakukannya. Dia hanya bermodal kain yang membalut tubuhnya. Dompet dan ponsell pribadi tergeletak di rumah calon suaminya. Dia masih setia termenung menanti kemunculan sahabatnya.
Jarum pendek dan panjang jam dinding luar kamar kos Sri membelah tepat di pertengahan sebuah lingkaran saat Leo menahan laju motor lamanya di serambi kamar Sri.
Leo yang telah berbalut jaket tugas beranjak dari motor sebelum menghampiri Sri.
Leo menelusuri penampilan Sri mulai ujung rambut hingga kaki. "Baju siapa? Maling jemuran basah, ya?"
Sri membuang muka. "Anggap saja begitu!"
Leo menggembungkan pipinya. Sikunya menyenggol lengan kemeja Sri yang secerah tengah hari.
Sri hanya bergeming.
Leo kembali menyinggung lengan baju Sri. "Ayolah, aku hanya bercanda. Aku tahu siapa yang memberimu baju. Pastilah pemilik kontrakan."
"Jangan bertanya kalau sudah tahu!" celetuk Sri malas.
"Ayolah, Sri! Jangan lesu seperti itu. Aku hanya bermaksud menghiburmu." rayu Leo mulai panik.
Sri hanya membalas dengan bungkam.
Leo meletakkan tubuhnya di sebelah Sri. "Aku tahu kamu mengalami hal berat. Aku juga tahu kalau aku tidak banyak membantu. Andai saja aku sudah lulus dan bekerja aku pasti menikahimu, Sri!"
Satu irama jantung Sri sumbang mendengar penuturan Leo. Kepalanya berpaling cepat pada sahabat kentalnya.
Sri melotot. "Itu tidak lucu, Le!"
Leo membalas tatapan Sri. "Aku sedang tidak melucu, Sri! Aku hanya ingin berbuat baik dengan menikahi janda miskin untuk menyelamatkan kehidupannya."
Sri menggeleng cepat. "Sejak kapan orang belum menikah bisa jadi janda? Sepertinya kamu sedang tidak baik-baik saja, Le! Lebih baik kita segera pergi dari sini dan cari makan daripada membahas lamaranmu yang tidak masuk akal."
Leo menjentikkan jari kemudian beranjak. "Sebelum beli makan kita harus cari uang dulu!"
Sri mengikuti pergerakan Leo. "Nah, itu ... Leo yang sebenarnya telah kembali."
Leo menepuk bahu Sri. "Pakaianmu sudah formal untuk melamar pekerjaan. Kemeja dan rok kain. Rumah makan besar di sebelah kantor ekspedisi tempat aku bekerja, membutuhkan banyak karyawan."
Mata sendu Sri mulai berbinar. "Wah, siapa tahu rezekiku. Mereka butuh banyak pelayan, ya?"
Leo meringis kikuk. "Mereka butuh banyak tukang cuci panci. Selain rumah makan, mereka juga melayani paket catering untuk semua acara termasuk pernikahan."
Sri meraih lengan jaket Leo ceria. "Ayo, apapun asal halal dan bisa makan!"
***
Sri tanpa halangan mendapatkan pekerjaan hari ini bahkan tanpa wawancara berarti. Gadis itu hanya perlu menjabarkan nama dan alamat domisili saat ini. Setelah itu tangan para koki terbuka menyambut tenaganya. Sri butuh perjuangan panjang melibas semua benalu alat masak. Mulai dari lemak membandel, kerak hitam dan sisa bau amis yang enggan raib.
Pekerjaan Sri mereda setelah tengah hari. Tidak hanya disodori upah keringat per hari, tapi juga jatah makan dua kali. Selepas menyelesaikan kewajibannya, Sri menuju kampus berjalan kaki.
Sri menelusuri jalan-jalan rusak antara rumah-rumah dan pekarangan-pekarangan kampung untuk mencari alternatif jalur tercepat menuju kampus. Sri tak ada pilihan selain mempertahankan penampilan berantakan dan aroma keringat menyengat. Satu-satunya baju ganti masih bertengger di tiang jemuran belakang kamar kontrakan.
Sri menjauhi kerumunan manusia di halaman kampusnya. Dia sadar akan bau badan sendiri. Selain bau terasi, lemak bumbu basi dan minyak bekas ikan teri, ada andil sinar matahari.
Tiba-tiba Leo menampar punggung Sri keras. Pemuda itu selalu berhasil menyulut emosi Sri. Pria yang menunda pekerjaan sejenak untuk memenuhi kelas hari ini, terbahak angkuh.
Sri menghindar. Tungkainya mundur dua langkah.
Leo mengangkat alisnya heran. "Kenapa?"
Sri merentangkan kedua lengannya. "Jangan mendekat! Aku belum mandi setelah bekerja tadi."
Leo tak kuasa menahan gelak tawa. Lengan kanannya yang masih berbalut jaket tebal melingkar di bahu Sri. Gadis mungil itu mendadak bersin beruntun. Ternyata aroma Leo lebih mengerikan dari tubuh Sri. Wangi pemuda itu menyerupai ikan asin yang dijemur saat musim kemarau tepat pada garis ekuator.
Sri mendorong tubuh sang sahabat. "Kapan terakhir kamu mandi?"
Leo membelai dagunya beberapa kali. "Seingatku kemarin lusa."
Bibir Sri menganga takjub. "Kalau kamu tidak memiliki rumah seperti aku wajar kalau mandi saja terlewat. Tapi kamu ini anak orang kaya, Leo!"
Leo melipat kedua lengannya. "Sementara bukan karena masih dalam aksi protes."
Sri mendesah panjang. "Masih betah melakukan aksi mogok, ya?"
Leo menghampiri tangga serambi lobi kampus yang hanya beberapa langkah dari mereka. Tubuhnya mendarat pada anak tangga kedua dari bawah. Sri mengikuti pergerakan Leo.
Leo menghisap udara di sekitarnya. "Mau bagaimana lagi. Aku akan melakukannya sampai ayah membatalkan rencananya menikah."
Pemaparan Leo membangun setitik asa dalam benak Sri. Bagai ada secercah silau di ujung lorong. Jika Sri mampu membangun kerja sama dengan Leo, kemungkinan persentase lepas dari duda kaya raya itu semakin signifikan.
Sri melirik paras Leo yang menunduk. "Bagaimana jika gagal? Apa kamu juga berencana membunuh ibu tirimu seperti niat Arch?"
Leo menyeringai. "Kemarin kamu melihatnya mengamuk di rumah ayah, kan? Dia selalu datang untuk menentang semua perbuatan ayah."
Sri membungkam. Resah itu kembali menghinggapi asa Sri. Balasan pertanyaan dari Leo tak menjawab kecemasan hatinya.
Sri menepuk bahu Leo. "Apakah kamu pernah terpikir bagaimana jika sebenarnya calon istri ayahmu tidak menghendaki pernikahan itu. Dia hanya terpaksa karena suatu hal."
Leo memutar tubuhnya menghadap Sri. "Kamu benar. Jika kenyataannya seperti itu, aku bisa mengajaknya menjalankan rencana."
Sri menatap paras Leo yang ramah. Sepasang iris cerah seindah milik Arch. Sejenak Sri hanyut dalam lautan bola mata Leo dan sekelebat kenangan bersama Arch.
Leo membalas tatapan Sri dengan lembut.
Mereka saling melempar pandangan untuk beberapa detik sebelum Leo menjentikkan jari.
Sri terenyak.
Leo mencubit dua lubang hidungnya. "Aromamu sudah tak bisa ditolerir lagi!" celetuknya.
Sri beranjak kesal. "Wangimu sudah mengalahkan lubang toilet." balasnya.
Leo berdiri. Lengan kanannya menyinggung bahu Sri.
Sri sekuat tenaga mengelak. Namun lengan Leo terasa berat menindih alat gerak atasnya.
Bibir Leo menghampiri lubang telinga Sri. "Kita ini sehati dan besti jadi tidak ada salahnya kalau kamu menjadi calon istri."
Sri mendaratkan kepalan jarinya pada ubun-ubun Leo. "Aku tahu seleramu janda-janda miskin. Meskipun hidupku sedang butuh perjuangan tapi aku tidak sesuai kriteriamu."
Leo yang gagal menghindar mengeluh nyeri. Namun tawa bahagia pemuda itu semakin merekah indah.
Leo meraih jemari Sri. "Ayo, kita nikah!"
Ibu jari dan telunjuk Sri memelintir punggung tangan Leo. "Orang gila!
Leo meringis kesakitan. Namun tawa tetap menyertai rintihannya.
Sri terbahak lepas.
Kedua sahabat karib itu saling membagi canda tawa dalam terpaan ujian kehidupan masing-masing. Saling goda, saling ejek dan saling menjadi pelipur lara layaknya keluarga.
Sepasang mata elang memperhatikan keduanya dari jarak yang tak terlalu jauh. Rahang pria itu sedikit mengeras. Tatapan tajamnya sulit untuk dikuliti maknanya. kedua tangannya mengepal geram.
Langkah sunyi sang pria dewasa berayun perlahan menghampiri dua pelajar itu. Mata sedingin kutub Utara itu tak beranjak dari fokusnya. Sesosok gadis mungil berkulit cerah dan berwajah ayu.
Perawakan tinggi besar itu kini berdiri di antara dua manusia yang tengah gaduh dengan kebahagiaan mereka.
Sepasang lengan si pria dewasa saling bertumpu. "Belum cukupkah kalian tertawa?"
Suara berat yang mencekam memaksa Leo dan Sri bungkam. Awan cerah yang menyertai keduanya mendadak kelabu.
Leo dan Sri saling lempar lirikan sebelum berpaling pada seseorang yang beraura api di hadapan mereka.
Bibir keduanya bergetar. "Arch!"
Sri mengambil satu langkah di balik punggung Leo.
Leo bertolak pinggang. "Ada perlu apa kemari?"
Arch membidik mata sang adik hanya beberapa detik sebelum melempar pandangan pada Sri. "Bukan kamu tapi dia yang di belakangmu!"
Sri menggigit bibirnya panik.
Arch gesit meraih lengan Sri yang menyembul dari balik punggung Leo. Pria dewasa itu bergegas membimbing langkah Sri bersamanya.
Sri yang masih menenangkan denyutan liar jantungnya hanya bisa memasrahkan episode perjalanan hidupnya pada Yang Maha Kuasa.
Leo segera menyusul. Namun langkahnya tertahan saat ancaman dalam sorot mata Arch dikirimkan.
Arch memandu langkah Sri menjauhi kampus dan berakhir pada parkir kendaraan.
Sri memandang pergelangan tangannya yang lemah pada sentuhan Arch. "Arch, jangan balas dendam padaku!"
Arch hanya tertawa meremehkan.
***