Chereads / AKU KABUR KAU KEPUNG / Chapter 14 - Aktifitas Lama Pemain Baru

Chapter 14 - Aktifitas Lama Pemain Baru

Sri sukses menyeruak pintu pagar dan menghambur menuju jalanan. Namun dua makhluk berjakun mendadak menyergapnya dari arah tak terduga. Mereka berdua bagaikan makhluk pengintai yang selalu tepat target.

Seorang pria mencengkeram sebelah lengan Sri. "Nona Jasmine, saya mohon jangan kabur dari istana Tuan Besar Juan!" pinta seorang petugas keamanan rumah berbalut serba hitam.

Seorang rekan petugas keamanan berseragam sama mendekap sebelah lengan Sri yang lain. "Saya minta dengan kerendahan hati saya, Nona Jasmine." ucapnya santun.

Sri menahan tangisnya. "Bapak-bapak sekuriti, saya tidak ingin kabur dari Pak Juan tapi ijinkan saya pergi sebentar."

"Ada masalah apa, Nona?" tanya sekuriti pertama yang memiliki postur menjulang.

Sri mendesah panjang. "Bapak tahu, kan? Putra sulung Pak Juan datang dengan amarah. Dia mengatakan akan membunuh calon istri Juan!"

Kedua sekuriti merenggangkan cengkeraman jari mereka pada dua pergelangan tangan Sri.

Sepasang mata si sekuriti tinggi bergerak gelisah. "Tapi saat Mas Arch melintasi halaman depan seperti tidak terjadi apa-apa."

Sri merapatkan kedua sisi telapak tangannya. "Bapak-bapak, saya mohon! Jangan sampai Arch tahu siapa saya sebenarnya. Para karyawan rumah Pak Juan sepakat tutup mulut. Mereka hanya mengatakan pada Arch jika saya hanya pengajar privat Mas Hal."

Sekuriti pendek menyanggupi. "Tuan Besar Juan juga sudah memberikan informasi yang serupa pada kami."

Sri kembali memohon belas kasihan. "Oleh sebab itu biarkan saya pergi sebentar untuk bersembunyi." pintanya sekali lagi dengan telapak tangan saling bersinggungan di depan dada.

Bunyi derap langkah beberapa pasang alas kaki menyentak ketiganya. Apalagi saat suara berat seseorang yang mereka pahami melintasi lubang telingan mereka.

Jantung Sri berdentum hebat.

Suara teriakan kembali mengalun dari dalam rumah menyertai bunyi derap langkah yang semakin nyaring. "Sri, jangan lari!"

Sri menepuk bahu kedua sekuriti sebelum kabur mencari perlindungan. "Bapak-bapak, saya harus segera pergi! Tolong kabarkan pada Pak Juan!"

Dua sekuriti rumah Juan hanya setia bergeming dan saling pandang.

Dua sekuriti bergegas menghampiri pos tugas mereka yang berdiri tegak di balik pagar besi. Sementara sosok Sri yang lenyap entah kemana berganti kemunculan Arch diiringi beberapa karyawan yang tergopoh-gopoh.

Arch menghampiri pos jaga. Parasnya menekuk merah. Giginya bergemeletuk geram. Amarahnya siap meledakkan kemurkaan meskipun raganya menggigil kedinginan. Kemeja basah kuyup yang menempel tubuhnya mendeskripsikan keindahan relief dada.

"Dimana dia?" tanya Arch tegas.

Dua sekuriti saling pandang. Sekuriti tinggi mewakili rekannya membalas pertanyaan dengan tanda tanya.

Arch melipat lengannya. "Kalian menyembunyikan pengajar privat itu, kan?"

Kedua sekuriti menggeleng kompak. "Kami tidak menyembunyikan Nona Jasmine Sri. Dia baru saja pulang."

Tangan kanan Arch mengepal. "Kenapa kalian membiarkan dia pergi?"

Sekuriti yang tak begitu tinggi menjawab, "Maaf, Tuan Arch! Nona Jasmine Sri memang hanya mampir sebentar. Kenapa kami harus menahannya?"

Arch membuang muka kasar. "Ah, sial...." umpatnya.

Kepalan tangan kanan Arch menyinggung keras telapak kirinya. "Tunggu Sri, aku akan membalas!"

Sekuriti tinggi mengernyit. "Maaf, Tuan Arch! Sebenarnya ada masalah apa dengan Nona Jasmine Sri?"

Arch memicing kesal. "Bukan urusan kalian! Pergi kerjakan pekerjaan kalian!" bentaknya marah.

Dua sekuriti dan para karyawan rumah Juan mengangguk cemas sebelum menjauhi anak majikan mereka. Mereka bergegas kembali pada tugas masing-masing.

***

Gadis basah kuyup itu terbirit-birit sepanjang kompleks elit. Langkahnya menikung pada jalan setapak yang tercetak sepanjang pekarangan belakang rumah warga kampung yang berdampingan dengan pemukiman elit.

Rambut dan pakaian dingin perlahan setengah mengering karena sengatan matahari musim kemarau. Parasnya menengadah. Sepasang mata bulat menyipit menantang sinar sang surya yang menerobos celah-celah dedaunan.

Waktu belum beranjak pada pertengahan hari tapi panas sinarnya seolah bintang raksasa itu berada tepat di atas kepala.

Sri menahan langkahnya. Tubuhnya bersandar pada batang pohon mangga tua. Napasnya terengah-engah lelah. Energi Sri mulai menguap dalam paparan ultraviolet. Apalagi tak ada cadangan nutrisi yang mengisi lambungnya saat jam sarapan tadi.

Kaki Sri mulai kembali melangkah perlahan. Denyutan halus pada pelipisnya menghambat langkahnya. Gadis itu terhuyung-huyung linglung hingga meraba benda apa saja yang mampu diraih tangannya.

Sri terseok menjauhi pekarangan belakang rumah warga. Dia bersusah payah melintasi celah dua rumah kampung yang saling bersebelahan hingga bersua dengan jalan desa.

Sri menyisir tepi jalan beraspal seadanya. Beberapa lubang jalan kampung berhasil memperlambat laju kendaraan yang melintas. Sehingga tak ada pembalap gadungan yang melanggar kecepatan.

Sri beberapa kali menutup kelopak mata untuk mereda rasa ngilu di pelipis. Namun tubuh mungil tanpa asupan sarapan itu harus pasrah pada gravitasi bumi yang begitu kuat. Sri harus mengikhlaskan raganya menggelangsar bumi setelah menyinggung motor kurir ekspedisi yang tengah berhenti di tepi jalan.

Pemuda yang sibuk mencari alamat penerima puluhan paket yang menggunung di bagian belakang, tersentak hebat. Telinganya menangkap bunyi dua benda beradu. Dia bergegas memberikan pertolongan pada gadis yang tengah mendekap permukaan bumi.

Si gadis tak memberikan balasan ketika pemuda kurir menggoyangkan tubuh sang gadis.

"Kak, Kakak baik-baik saja?" bisik si pemuda kurir panik.

Si gadis tetap nyaman bergeming.

Si pemuda perlahan menggeser tubuh mungil si gadis hingga menempati posisi telentang.

Sepasang mata cerah pemuda kurir hampir meninggalkan rongga mata ketika mengetahui siapa sosok yang tengah tak sadar di hadapannya.

***

Kelopak mata Sri berkedut perlahan sebelum membuka sedikit demi sedikit. Sepasang retina menyesuaikan serbuan cahaya ruangan yang menyambut antusias. Satu sosok bermimik cemas tercetak dalam retinanya. Senyum hangatnya menyapa bahagia.

Si kurir mengusap parasnya. "Alhamdulillah, kamu sadar Sri!"

Bibir Sri bergetar. "Ke ... kemana saja kamu, Leo? A ... aku terus mencari dan menghubungimu tapi nihil." lirihnya terbata.

Leopard si kurir baik hati mendesah panjang. "Itu bukan pertanyaan yang sewajarnya keluar dari mulut pasien yang baru sadar."

Sri bergegas bangkit dari rebahan. Namun cengkeraman selang infus menghalangi niatnya.

Leo yang panik bergegas membaringkan kembali tubuh Sri. "Mau kemana? Orang sakit istirahat saja!"

Sri merebahkan belakang kepalanya pada nyamannya bantal ranjang ruang IGD. "Aku mau mencegah kamu pergi!"

Leo meraih bangku plastik yang berada pada kolong ranjang pasien kemudian mendaratkan pantat pada permukaannya.

Leo melipat kedua lengannya. "Lagian siapa yang mau pergi? Harusnya kamu bertanya dimana sekarang atau apa yang terjadi?"

"Hampir dua minggu kamu tidak bisa dicari dan dihubungi." celetuk Sri yang berseberangan dengan pemikiran Leo.

Leo menggeser bangku plastik merapat pada ranjang Sri. "Yang seharusnya dikhawatirkan itu kamu. Aku kerja, Sri, untuk menghidupi diri sendiri dan membayar kuliah."

Sri menaikkan sebelah alis. "Maksudmu?"

Leo bertopang dagu pada tepi permukaan seprei putih ranjang Sri. "Aku protes pada ayah. Aku tidak merestui pernikahan ayah dengan entah siapa itu. Sehingga aku mengganti nomor hp dan pindah kos."

Sri memijit pelipisnya.

"Apa kamu nggak mau tahu kenapa ada di sini?" bisik Leo.

Sri menggeleng lemah. Dia sudah enggan peduli pada apa saja selain cara melarikan diri dan bersembunyi.

Leo menggoyangkan tubuh sahabatnya. "Astaga! Kamu itu kurang gizi, Sri!

Deheman palsu seorang pria dewasa menyita perhatian keduanya. "Bukan kurang gizi tapi kurang asupan nutrisi hari ini. Jadi kekebalan tubuh menurun dan gejala-gejala influenza mudah menyerang."

Pria paruh baya berbalut jas putih muncul dari balik pembatas tirai.

Sang dokter menyunggingkan senyuman terbaik. Tangannya terulur sopan.

"Tidak perlu dikhawatirkan. Makan yang cukup nutrisi, minum obat dan istirahat. Bisa langsung pulang setelah menebus obat." papar dokter itu menenangkan.

Leo menerima selembar resep penuh coretan rumput liar. "Terima kasih, Dok! Akan saya ambil obatnya di apotek."

Sang dokter mengangguk sebelum menjauhi pasien dan menghilang dari balik tirai. "Saya permisi! Semoga lekas sembuh!"

"Terima kasih, Dok!" ucap Sri pelan.

Leo beranjak. "Aku akan menebus obat dan membayar administrasi. Setelah itu aku akan mengantarkanmu ke tempat kosmu."

Sri meraih lengan Leo. "Jangan lakukan itu! Aku mohon carikan aku tempat kos lain."

Leo menoleh heran. Kerutan pada dahi seolah melemparkan pertanyaan.

"Aku masih dikejar-kejar." ucap Sri seolah memberi balasan tanda tanya pada kepala Leo.

"Preman penagih hutang itu lagi?"

Sri menggeleng ragu. "Bukan, kejadian sama tapi dengan pemain baru."

***